MENDONGENG DI SEKOLAH Oleh: Eko Santosa Keith Johnstone (1999) menjelaskan bahwa mendongeng atau bercerita (storytelling) merupakan produk seni budaya kuno. Hampir semua suku bangsa di dunia memiliki tradisi mendongeng. Mereka menggunakan dongeng untuk mengajarkan sejarah dan nilai-nilai kehidupan pada generasi yang lebih muda. Proses penyampaian dongeng ini dilakukan dengan cara yang khusus dan cenderung sakral di mana semua anggota suku duduk berkumpul bersama dan setelah melakukan satu ritus tertentu, dongeng di sampaikan oleh tetua adat. Semua mendengarkan dengan penuh perhatian. Dongeng yang disampaikan biasanya berisi tentang asal-muasal suku tersebut serta nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu yang perlu dijunjung. Dongeng ini dianggap terjadi secara nyata dan menjadi satu-satunya pelajaran hidup yang diteladani oleh semua anggota suku. Seiring perkembangan zaman dongeng tidak hanya sekedar sebagai media penutur sejarah dan nilai antargenerasi tapi juga dapat dijadikan media pembelajaran di sekolah bahkan ekspresi seni. Di Eropa dan Amerika storytelling (bercerita atau mendongeng) menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kehidupan manusia. Sejak kecil anak-anak diajar melalui dongeng yang diceritakan atau dibacakan oleh orang tua mereka sebelum tidur. Hal ini telah berlangsung lama dan membudaya sehingga dunia pendidikan pun perlu mengadaptasinya. Dongeng di sekolah Viola Spolin (1986) memasukkan storytelling sebagai media pembelajaran di kelas. Kekuatan cerita naratif ia gunakan untuk membina konsentrasi dan kerjasama antarpeserta didik. Dongeng di tangan Spolin tidak berdiri sendiri dan hanya sebagai dongeng yang sekedar untuk diceritakan tetapi juga dimainkan. 1
Guru dan siswa berperan aktif dalam membangun cerita dan mereka mainmainkan secara bersama-sama. Apa yang dikerjakan Spolin sebetulnya bisa dijadikan model untuk mengembangkan dongeng di sekolah. Meski ketika dongeng disampaikan secara lisan atau dibacakan sudah memiliki kekuatan imajinatif, namun jika penyajiannya dibuat variatif pasti akan lebih hidup. Dengan demikian, dongeng bisa merambah ke berbagai sisi atau bidang tidak hanya berkutat di sastra dan bahasa saja. Memang perlu tahapan sistematis untuk mengembangkan atau mengubah dongeng menjadi satu pertunjukan kreatif, tetapi jika hal itu mungkin dilakukan terutama di sekolah kenapa tidak? Jika mengacu kepada kamus bahasa Indonesia, maka dongeng dapat diartikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi. Secara luas, mendongeng bisa diartikan sebagai membacakan cerita atau mengomunikasikan cerita kepada seseorang. Entah itu cerita nyata, tidak nyata, atau pengalaman hidup. Jadi, bukan hanya memperdengarkan cerita rakyat (tradisional) yang sering kita baca atau dengar di kala masih kecil. Dengan batasan arti di atas, dongeng memiliki wilayah jangkauan yang luas yang bisa bersumber dari apa saja. Oleh karena itu, terbukalah kemungkinan menggali sumber dongeng sebanyak mungkin untuk diubah dan disesuaikan berdasar tujuannya. Manfaat dongeng dalam pembelajaran Metode pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dapat dikerjakan dengan menggunakan dongeng sebagai medianya. Manfaat atau tujuan dasar materi ajar akan tersampaikan secara tidak langsung melalui jalannya cerita dari awal sampai akhir, sehingga tidak perlu terlalu menggurui siswa. Banyak hal yang bisa dipetik dan dipelajari dari sebuah dongeng (cerita) di antaranya adalah: 2
1. Mengajarkan moral. Melalui dongeng, nilai-nilai moral kehidupan dapat ditransformasikan. Dengan mengambil tema kepahlawanan misalnya, anak-anak atau peserta didik bisa digiring untuk membayangkan perbuatan kepahlawanan yang dilakukan oleh para tokoh dalam dongeng tersebut. 2. Mengajarkan budaya. Latar belakang budaya suatu daerah atau tempat tertentu juga dapat dilakukan dalam hal ini. Nilai-nilai budaya semisal gotong-royong, sopan-santun dapat dengan mudah disisipkan atau bahkan ditekankan melalui cerita yang disampaikan. Kekuatan dongeng yang mampu menyampaikan pesan secara tersirat ini dapat disispi dengan beragam materi ajar asalkan ditampilkan secara estetik dan tidak nampak terlalu verbal. 3. Mengembangkan daya imajinasi. Setiap anak memerlukan pengembangan imajinasi. Tanpa itu akal pikiran akan menjadi pasif, buntu sehingga tidak terbiasa atau terlatih untuk memecahkan beragam masalah dalam kehidupan. Kekuatan imajinasi dongeng hadir bersamaan dengan kegiatan mendongeng dilakukan. Artinya, peserta didik akan langsung menyerap cerita yang disampaikan untuk kemudian di simpan menjadi memori dalam bentuk imajinasi peristiwa di mana di dalamnya sudah termasuk, tokoh, cerita, latar, dan pesan cerita. Semua nilai yang disampaikan dalam dongeng mendapatkan gambaran yang jelas melalui rekaan peristiwa dalam imajinasi tersebut. 4. Merangsang pikiran kreatif. Kekuatan imajinasi dengan sendirinya akan mendorong pikiran kreatif. Menurut Seto Mulyadi (Kak Seto) dongeng akan merangsang psikologis anak sehingga anak terdorong untuk berpikir kreatif. Persoalan yang ditampilkan dalam cerita dan diselesaikan oleh sang tokoh akan menjadi model dasar bagi anak dalam memecahkan masalah. Ketika hal ini sering dilatihkan maka tidak menutup kemungkinan sang anak akan mampu melahirkan solusi baru bagi 3
masalah yang ditemuinya dalam kehidupan dengan mengambil peristiwa dalam dongeng sebagai model dasar. 5. Merangsang kecerdasan emosional. Apa saja yang dialami dan dilakukan oleh tokoh dalam dongeng dapat menumbuhkembangkan empati anak (peserta didik). Perasaan sang tokoh, situasi atau peristiwa yang melingkupinya dapat menimbulkan efek perasaan yang luar biasa bagi anak-anak, sehingga ketika empati ini muncul maka akan dengan mudah bagi anak-anak untuk belajar bersimpati. Hal ini diperkuat dengan pola interaksi antara pendongeng dan pendengar. 6. Mengembangkan kemampuan berbahasa. Cerita yang disampaikan dengan menggunakan bahasa, baik itu daerah atau nasional (Indonesia) akan merangsang anak untuk lebih memperkaya vokabulari. Selain itu juga dapat digunakan untuk pembelajaran penggunaan kosa kata secara tepat dalam sebuah kalimat serta dalam situasi apa kalimat atau kata tersebut digunakan. Selain apa yang disebutkan di atas, masih banyak manfaat dongeng dalam pembelajaran. Dongeng atau cerita dapat digunakan sebagai media untuk mengajarkan kemampuan, misalnya, matematis. Setelah memaparkan sebuah cerita sederhana, bisa saja guru atau tutor menanyakan hal-hal matematis kepada peserta didik. Misalnya, dalam cerita tersebut ada berapa tokoh manusia, ada berapa binatang, dan lain sebagainya. Intinya, dongeng dapat digunakan untuk mengajarkan beragam hal kepada peserta didik. Mendongeng efektif Sebuah cerita atau dongen yang dibangun dan disampaikan dengan baik akan mematahkan garis pembatas antara anak-anak, remaja, dan dewasa. Artinya, cerita itu bisa enak didengar oleh siapa saja dan mampu mempertahankan daya tariknya. Cerita akan dikenang dalam waktu yang lama oleh para pendengarnya. Mengetahui dan menerapkan dasar-dasar mendongeng dengan baik akan 4
memperkuat cerita yang di sampaikan. Di bawah ini akan dijabarkan dasar-dasar mendongeng yang efektif. 1. Menemukan cerita yang tepat untuk diceritakan. Kata kunci yang tepat untuk hal ini adalah, dongeng (cerita) yang sederhana dengan unsur yang sederhana. Artinya, baik tokoh ataupun masalah yang ditampilkan dalam cerita tersebut tidak terlalu banyak dan kompleks. Untuk menemukan cerita semacam ini perlu kiranya datang ke perpustakaan atau toko buku yang menyediakan dongeng dari berbagai daerah atau negara. Carilah dengan teliti hingga sampai menemukan cerita yang benar-benar menyentuh hati. Selalu mulailah dengan cerita yang sederhana. Karakteristik cerita sederhana yang baik adalah; memiliki tema tunggal dan jelas, alurnya jelas dan sederhana, karakter tokohnya menarik, memiliki sentuhan dramatis, serta cocok dengan audiennya. 2. Interaksi dengan pendengar. Dalam mendongeng, pendengar memiliki peran yang sangat penting. Sebaik apapun cerita yang disajikan, jika tidak didengarkan dengan seksama oleh para pendengar maka akan sia-sia. Ibarat melukis, pendengar adalah kanvas kosong dan pendongeng adalah pelukis yang siap menggambar di atas kanvas tersebut. Oleh karena itu bekerja sama dengan para pendengar melalui interaksi selama proses mendongeng berlangsung sangat penting. Banyak pendongeng yang gagal karena dalam menampilkan cerita datar, tidak mau berinteraksi dengan pendengar. Cerita akan menjadi semakin menarik dan berkesan ketika pendengar merasa dekat dengan cerita tersebut. Artinya, baik tokoh ataupun peristiwa di dalam cerita harus digambarkan dengan gamblang, jelas, dan lengkap sehingga imajinasi pendengar terbangun dan mereka merasa memiliki cerita tersebut. Mendongeng atau bercerita pada prinsipnya adalah tugas yang diemban bersama antara pendongeng dan pendengar yang saling berinteraksi untuk menghidupkan cerita yang disajikan. 5
3. Hidupkan karakter dengan kepibadian dan perasaan. Cerita akan lebih nampak hidup jika disajikan dengan dinamika emosi para tokohnya. Pendengar akan semakin betah manakala pencerita mampu menampilkan watak tokoh, situasi peristiwa dengan baik dan bervariasi. Penggunaan warna suara untuk tokoh yang berbeda juga sangat mempengaruhi. Tinggi rendah nada serta irama ketika menceritakan satu peristiwa atau narasi. 4. Mulailah cerita dengan kalimat yang sederhana dan tidak biasa. Umumnya, pendongeng atau pencerita akan memulai ceritanya dengan kalimat pembuka; Pada suatu hari, atau Konon kabarnya. Hal ini tidaklah masalah sebenarnya, akan tetapi jika sering dilakukan pastilah akan sangat membosankan. Oleh karena itu mulailah cerita dengan satu kalimat atau kata yang lain dari biasanya. Kemudian berhentilah sebentar untuk memberikan ruang imajinasi bagi pendengar setelah itu lanjutkan dengan kata, kalimat atau bahkan sebuah gerakan atau ekspresi yang intinya membuat pendengar merasa takjub dan tertarik. 5. Ajak pendengar berpartisipasi. Dalam situasi tertentu yang membutuhkan efek suara atau suasana, pendongeng dapat mengajak pendengar untuk berpartisipasi. Sehingga, semua merasa aktif dan ikut berperan dalam cerita tersebut. Misalnya, situasi sebuah perlombaan, maka jadikanlah pendengar sebagai suporter. Ajaklah mereka bermain, libatkanlah mereka dalam cerita tersebut. 6. Jika cerita telah selesai, maka selesailah dalam arti sesungguhnya. Jangan memberi tambahan keterangan yang lain. Biarkanlah pendengar bermain dengan imajinasi mereka, membayangkan apa yang baru saja mereka dengar. Tepuk tangan meriah bukanlah ukuran keberhasilan sebuah presentasi. Kadang-kadang keheningan justru semakin menguatkan hasil akhir dari presentasi tersebut. Pendengar akan merasa tertegun, berpikir, dan menikmati cerita yang ditampilkan. 6
Yang terakhir dan yang terpenting dari kesemua hal di atas adalah mulailah cerita dengan tenang, rileks dan tanpa ketegangan. Sampaikan cerita secara efektif, buang hal-hal yang tidak terlalu dibutuhkan. Tampillah penuh percaya diri dan milikilah cerita yang akan disajikan sepenuh hati. Jangan takut menggunakan mode cerita yang berbeda. Jangan takut berbuat kesalahan. Berlatihlah dan terus berlatih, maka hasilnya akan dapat dirasakan. Selamat bercerita! () Bacaan: Jonhstone, Keith, Impro for Storytellers, Theatresports and the Art of Making Things Happen, Faber and Faber, London, 1999. Spolin, Viola, Theater Games for the Classroom, Northweswtern University Press, Illinois, 1986. Website: http://www.eldbarry.net 7