BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan salah satu pilar upaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu yang universal, berada di semua penjuru

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

BAB I PENDAHULUAN. bantu memecahkan masalah dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan kemampuan untuk memperoleh informasi, memilih informasi dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hani Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA SMP

BAB. I PENDAHULUAN. Hilman Latief,2014 PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan ilmu atau pengetahuan. Tujuan pembelajaran matematika adalah terbentuknya

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia sedang mendapat perhatian dari pemerintah. Berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan tidak terlepas dari tujuan pendidikan yang telah hendak dicapai,

BAB I PENDAHULUAN. penting. Salah satu bukti yang menunjukkan pentingnya. memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan. Pendidikan adalah segala kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Mengingat pentingnya peran matematika tersebut, maka matematika dipelajari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh siswa kelas VII SMPN 1 Bandar Lampung. Berdasarkan hasil

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya dengan menempuh perbaikan di bidang pendidikan. Pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Menyiapkan Pendidik Yang Melek Hukum Terhadap Perlindungan Anak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pengetahuan manusia tentang matematika memiliki peran penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. disampaikan melalui ceramah akan sulit diterima oleh siswa dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut. Kurikulum 2004, adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan bidang ilmu yang memiliki kedudukan penting

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang dapat bersaing secara nasional dan internasional.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Motivasi belajar matematika berkurang. Minat belajar merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching And Learning (CTL)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

Kata kunci : Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. dengan semboyan learning by doing. Berbuat untuk mengubah tingkah laku

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan selanjutnya, sehingga pembelajaran di SD haruslah

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. logis, konsisten, dan dapat bekerjasama serta tidak mudah putus asa.

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Rini Apriliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab 1 ini tentang pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab,

BAB I PENDAHULUAN. segala aspek kehidupan. Pendidikan tidak akan terlepas dari proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang harus dimiliki individu dan tujuan yang akan dicapai dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

I. PENDAHULUAN. menguasai informasi dan pengetahuan. Dengan demikian diperlukan suatu

UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DENGAN CONTEXTUAL TEACHING & LEARNING SISWA KELAS VII E SMP N 1 SRANDAKAN

MENINGKATKAN KREATIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR MELALUI METODE KONTEKSTUAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk masa yang akan datang yang harus dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut. Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai positif dalam masyarakat di tempat hidupnya. Salah satu jalur pendidikan yang sangat akrab di lingkungan kita adalah pendidikan formal yang pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Pendidikan formal pada intinya adalah kegiatan belajar mengajar dimana komponen yang terlibat dalam proses belajar ini meliputi: guru, siswa, kurikulum dan sarana penunjang pendidikan. Salah satu mata pelajaran yang diberikan disetiap jenjang pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas SDM adalah matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Cockfort (dalam Abdurrahman, 2012:204) mengemukakan bahwa: Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, matematika menuntut siswa kepada pola pikir untuk memecahkan 1

2 masalah. Hal ini sesuai dengan tujuan diajarkannya mata pelajaran matematika di SD, SMP, SMA dan SMK (http://p4tkmatematika.org, 2011) yaitu: 1. Agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Matematika tidak hanya menuntut siswa mampu memecahkan masalah matematika tetapi juga masalah pada kehidupan sehari hari. Seperti yang dikemukakan oleh Cornelius (dalam Abdurrrahman, 2012: 204) mengemukakan alasan perlunya siswa belajar matematika: Lima alasan perlunya siswa belajar matematika karena matematika merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis; (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari hari; (3) sarana mengenal pola pola hubungan dan generalisasi pengalaman; (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas; (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Sekalipun demikian, mata pelajaran matematika belum menjadi mata pelajaran yang diminati oleh banyak siswa. Siswa masih beranggapan matematika itu sulit. Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka bahwa matematika merupakan seperangkat fakta fakta atau rumus rumus yang harus dihadapi. Selain itu objek matematika yang abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya yang banyak memanipulasi bentuk bentuk dan

3 menghubungkan ide ide matematika ternyata menimbulkan anggapan siswa bahwa matematika itu sulit. Hal tersebut mengakibatkan kemampuan berpikir matematis siswa rendah diantaranya adalah kemampuan pemecahan masalah matematik, komunikasi matematik, penalaran dan pembuktian matematik, koneksi matematik dan representase matematik. Dari kelima kemampuan berpikir matematis tersebut, dengan tidak mengabaikan kemampuan yang lain, kemampuan koneksi matematik merupakan bagian penting dalam aktivitas dan penggunaan matematika yang dipelajari siswa. Pentingnya kemampuan ini dijelaskan dalam standar kompetensi bahan kajian matematika kurikulum yang berlaku saat ini pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam standar ini dijelaskan bahwa siswa dituntut untuk memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, skema, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas suatu keadaan atau masalah, menunjukkan kemampuan dalam membuat, menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan sehari hari. Koneksi matematik merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan dalam dunia pendidikan, kemampuan menghubungkan suatu materi yang satu dengan materi yang lain atau dengan kehidupan sehari hari berperan penting dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika. Koneksi matematik adalah keterkaitan antara topik matematika, keterkaitan antara matematika dengan disiplin ilmu lain, dan keterkaitan matematika dengan dunia nyata atau kehidupan sehari hari. Melalui kemampuan koneksi matematik, kemampuan berfikir kritis siswa terhadap matematika diharapkan dapat menjadi semakin luas. Selain itu, koneksi matematik dapat pula meningkatkan kemampuan kognitif siswa seperti mengingat kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan sebagainya. Begitu penting kemampuan koneksi matematik siswa dalam proses pembelajaran, namun kenyataannya kemampuan koneksi matematik siswa masih rendah. Terutama dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari hari atau soal cerita. Siswa masih kurang bisa menentukan

4 data data apa saja yang dapat diperoleh dari soal cerita itu, bagaimana menghubungkannya dengan materi matematika dan melihat keterkaitannya dengan materi yang lain. Hal ini berarti siswa kurang mampu memahami keterkaitan antar materi sehingga kemampuan koneksi matematik siswa rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruspiani (2000) yang menyatakan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa masih tergolong rendah, nilai rata ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22,2 % untuk koneksi matematika dengan pokok bahasan lain, 44,9 % untuk koneksi matematika dengan bidang studi lain, dan 67,3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian. Sejalan dengan itu, dari hasil observasi di kelas yang dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2015, penulis menemukan siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal yang membutuhkan koneksi, baik koneksi antar topik matematika, koneksi matematika dengan disiplin ilmu lain maupun dengan kehidupan sehari hari. Sebagai contoh kasus, dalam sebuah kapal laut terdapat 300 orang penumpang. Jumlah penumpang pria adalah 175 orang. Berapakah persentase penumpang pria dan persentase penumpang wanita? Untuk menyelesaikan soal tersebut siswa harus mampu menuliskan permasalahan tersebut dalam konsep bilangan pecahan dimana siswa harus mengetahui mana pembilang dan mana penyebut dalam soal tersebut, serta dimana untuk menyelesaikannya membutuhkan koneksi antar topik matematika. Siswa kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, siswa mengalami kesulitan dalam menerjemahkan soal tersebut ke dalam bentuk matematis. Umumnya siswa tidak bisa mengubah pecahan biasa ke pecahan campuran dan dari pecahan campuran ke bentuk desimal. Dari 36 orang siswa, 12 orang siswa hanya bisa menuliskan, misalkan dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah. x 100, namun tidak bisa menyelesaikannya Kemudian ditemukan juga kelemahan siswa dalam melakukan koneksi matematik dengan disiplin ilmu lain. Sebagai contoh kasus, seorang pedagang membeli 10 ekor ayam dengan harga seluruhnya Rp 140.000,-. Kemudian ayam tersebut dijual dengan harga Rp 14.500,- per ekor. Berapa rupiah keuntungan pedagang tersebut?

5 Siswa juga kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, kesalahan yang dilakukan siswa dalam menjawab soal tersebut karena siswa tidak tahu bagaimana mencari harga penjualan ayam seluruhnya. Kemudian harga penjualan akan dikurang dengan harga pembelian, itulah keuntungan yang diperoleh pedagang tersebut. Dari 36 orang siswa. 6 orang siswa hanya mampu mengalikan 14.500 x 10 = 145.000 namun tidak bisa menyelesaikannya, 4 orang siswa menjawab benar dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah. Padahal mereka telah mempelajari materi tersebut di IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa ini bisa terjadi karena model pembelajaran yang digunakan guru bidang studi matematika kurang melatih keterampilan atau kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Saragih salah satu guru matematika SMP Negeri 1 Silou Kahean, ditemukan bahwa sebagian besar guru termasuk Bapak Saragih masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana pembelajaran masih berpusat pada guru, karena metode ceramah lebih mudah digunakan dalam pembelajaran. Selain itu ditemukan juga bahwa aktivitas belajar siswa masih rendah dan siswa di kelas tersebut masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal koneksi karena pembelajaran yang berlangsung selama ini mengabaikan aspek keterkaitan matematika dengan topik matematika sebelumnya, dengan disiplin ilmu lain dan dengan masalah masalah nyata di sekitar kehidupan sehari hari siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Kurniati (2010:5) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika di kelas masih cenderung menggunakan paradigma lama dengan menyajikan pengetahuan matematika tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari hari. Selama ini model pembelajaran yang digunakan guru adalah model pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung teacher oriented sehingga siswa menjadi pasif, jenuh dan bosan yang menyebabkan pencapaian hasil belajar tidak optimal. Trianto (2011:5) mengemukakan bahwa:

6 Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini dari rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidka menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana seharusnya belajar itu (belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam prose berpikirnya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka seorang guru harus mampu memilih dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan kebutuhan belajar. Ada banyak model pembelajaran yang bisa kita gunakan dalam menumbuhkembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa. Salah satu model pembelajaran yang diduga akan sejalan dengan karakteristik matematika dan harapan kurikulum yang berlaku adalah pembelajaran kooperatif dan kontekstual. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara berkelompok dan tidak menekankan pada situasi pengalaman siswa. Pembelajaran ini terdiri dari: presentase kelas (materi dipresentasikan oleh guru), kelompok kerja, tes (dilakukan setelah presentasi guru dan kegiatan kelompok), peningkatan skor individu, dan penghargaan kelompok. Sedangkan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan pada belajar bermakna, dan lebih mengutamakan proses daripada hasil serta belajar dikontekskan ke dalam situasi serta pengalaman siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Trianto (2011:108) yang mengemukakan bahwa: Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan pekerja.

7 Strategi pembelajaran kontekstual lebih mengaitkan terhadap hubungan materi yang dipelajari siswa dengan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari hari. Kesadaran terhadap adanya kegunaan matematika dalam kehidupan sehari hari akan meningkatkan minat siswa dalam belajar matematika dan mengurangi kebosanan siswa saat mempelajari konsep matematika. Sehingga melalui pembelajaran kontekstual diharapkan adanya peningkatan kemampuan koneksi matematik yang lebih baik. Sedangkan pembelajaran kooperatif tidak menekankan pada hubungan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan sehari hari dan pengalaman siswa, sehingga diduga kemampuan koneksi matematik siswa lebih baik melalui pembelajaran kontekstual. Dalam pembelajaran kontekstual, guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment). Melihat besarnya kontribusi model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual merupakan salah satu alternatif pembelajaran inovatif yang berpeluang dalam mempengaruhi kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu diadakan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual dan kooperatif tipe STAD dengan judul: Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Melalui Model Pembelajaran Kontekstual Dengan Kooperatif Tipe STAD di SMP Negeri 1 Silou Kahean. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, sebagai berikut : 1. Siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit. 2. Hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih rendah.

8 3. Siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang membutuhkan pengkoneksian antar topik matematika, matematika dengan disiplin ilmu lain maupun matematika dengan kehidupan nyata. 4. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional). 5. Aktivitas siswa dalam belajar matematika masih rendah. 1.3. Batasan Masalah Melihat luasnya cakupan masalah, maka peneliti merasa perlu memberikan batasan terhadap masalah yang dikaji. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Kemampuan koneksi matematik siswa masih rendah. 2. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional). 3. Model pembelajaran yang digunakan model kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) dan kooperatif tipe STAD. 1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah yang dikemukakan pada penelitian ini adalah: 1. Apakah kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan Model Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD? 2. Bagaimana proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik yang diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dan Kooperatif Tipe STAD? 1.5. Tujuan Penelitian Secara khusus tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan Model Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.

9 2. Untuk mengetahui proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dengan Kooperatif Tipe STAD. 1.6. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi guru Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan serta menjadi alternatif yang dapat diterapkan oleh para guru dalam proses belajar mengajar dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa. 2. Bagi siswa Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik dengan menggunakan pembelajaran kontekstual. 3. Bagi sekolah Melalui penelitian ini, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam peningkatan kualitas pengajaran serta menjadi pertimbangan untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa. 4. Bagi peneliti Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan dalam pembelajaran serta dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian sejenisnya. 1.7. Defenisi Operasional 1. Kemampuan koneksi matematika siswa adalah kemampuan siswa menghubungkan konsep matematika, memahami antar topik matematika, menggunakan matematika dalam bidang studi lain ataupun kehidupan sehari hari. 2. Model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah strategi yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari, mendorong siswa agar dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi

10 kehidupan nyata dan mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan. Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu : a. Konstruktivisme (Constructivism) b. Menemukan (Inquiry) c. Bertanya (Questioning) d. Masyarakat belajar (Learning Community) e. Pemodelan (Modelling) f. Refleksi (Reflection) g. Penilaian sebenarnya (Autentic Assesment) 3. Model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang melibatkan kelompok kecil, untuk bekerjasama dalam memecahkan masalah, menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan bersama dan akhirnya dapat meningkatkan prestasi hasil belajar bersama sama pula. 4. Model pembelajaran kontekstual dikatakan berpengaruh terhadap kemampuan koneksi matematik siswa jika terdapat perbedaan yang signifikan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran kooperatif. 5. Proses jawaban siswa adalah kesistematisan jawaban siswa dari tes kemampuan koneksi matematik. Dengan ide ide yang berbeda, maka proses jawaban pun akan bervariasi. Proses jawaban siswa diukur dengan kriteria lengkap ataupun tidak lengkap sesuai dengan rubrik kemampuan koneksi matematik. Hal ini dapat terlihat dari lembar jawaban siswa dalam menyelesaikan tes kemampuan koneksi matematik.