BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai daerah rawan bencana. Bencana yang terjadi di Indonesia sangatlah beragam baik jenis maupun skalanya (magnitude). Disamping bencana, Indonesia juga rawan terhadap bencana akibat ulah manusia. Hal ini disebabkan karena faktor letak geografis dan geologi serta demografi. Bencana mengakibatkan dampak terhadap kehilangan jiwa manusia, harta benda, dan kerusakan prasarana dan sarana. Kerugian harta benda dan prasarana dapat mencapai jumlah yang sangat besar dan diperlukan dana yang cukup besar pula untuk pemulihannya. Penanggulangan bencana merupakan suatu rangkaian kegiatan yang bersifat preventif, penyelamatan, dan rehabilitatif yang harus diselenggarakan secara koordinatif, komprehensif, serentak, cepat, tepat dan akurat melibatkan lintas sektor dan lintas wilayah sehingga memerlukan koordinasi berbagai intansi terkait dengan penekanan pada kepedulian publik dan mobilisasi masyarakat. Seluruh sistem, pengaturan, organisasi, rencana dan program yang berkaitan dengan hal-hal inilah yang disebut dengan penanggulangan bencana. Agar menjadi efektif, penanggulangan bencana harus melibatkan semua sektor, termasuk sektor non-pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, melibatkan semua tingkatan masyarakat dari tinggat nasional sampai ke desa terpencil. Guna menghindari dan
mengurangi kerugian yang sangat besar, maka diperlukan upaya penaggulangan sejak dari pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, dibutuhkan dana penanggulangan bencana. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana Pasal 63 dan 69 ayat (4) mengamanatkan perlunya menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur tentang mekanisme pengelolaan dana dan tata cara pemberian dan besarnya bantuan penanggulangan bencana. Untuk melaksanakan kedua ketentuan tersebut, Peraturan Pemerintah tentang Anggaran dan Pengelolaan Bantuan Bencana ini mengatur beberapa hal penting antara lain sumber dana, alokasi dana, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan dan pertanggungjawaban pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana. Menurut Sutaat dalam Syaukani (2003), hubungan eksekutif dan legislatif mengandung implikasi positif dan negatif. Implikasi positif hubungan eksekutif dan legislatif, terutama peran legislatif yang diharapkan dapat lebih aktif dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama dengan eksekutif. Implikasi negatif kemungkinan terjadi komplik berkepanjangan antara eksekutif (Kepala Daerah) dan legislatif (DPRD). Hal tersebut dapat terjadi karena 1) gaya kepemimpinan Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD; 2) latar belakang kepentingan; 3) latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Kebijakan publik yang menguntungkan masyarakat akan bisa terwujud bila legislatif kurang mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai sebagai wakil rakyat. Diperkirakan tidak semua wakil rakyat mampu menangkap aspirasi arus bawah dan memahami secara utuh kondisi masyarakatnya, keinginan, harapan dan keutuhannya. Bila ini terjadi maka kemungkinan akan muncul kebijakan daerah yang justru tidak memihak kepada rakyat. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 pada dasarnya mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah satu kesatuan dalam sistem perencanaan nasional dengan tujuan untuk menjamin adanya keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pegawasan. Perencanaan adalah suatu proses untuk menetukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya tersedia. Perencanaan pembangunan daerah disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. Menurut Salim (2007), langkah-langkah perencanaan dilakukan sebagai berikut: (1) Menentukan tujuan dan sasaran yang menyertakan seluruh warga; (2) Mengetahui fakta-fakta tentang kondisi yang ada serta memperkirakan apa yang terjadi; (3) Mengkaji pilihan pilihan tindakan yang dapat dilakukan dengan mengingat potensi dan hambatan yang ada; (4) Menentukan pilihan-pilihan yang terbaik berdasarkan pertimbangan normatif maupun teknis; (5) Mengusulkan rangkaian kebijakan dan tindakan yang perlu diambil; (6) Melakukan sosialisasi,
penegakan, pemberian insentif, serta membantu pelaksanaan perencanaan anggaran secara sistematik dan teratur Komponen-komponen yang terlibat dalam perencanaan anggaran adalah pertama, input berupa data analisis situasi keadaan kedaruratan masyarakat, sumber daya manusia dalam hal ini unsur legislatif yaitu komisi C di Dewan Perkawilan Rakyat Daerah (DPRD), dan unsur eksekutif yaitu walikota, Bappeda, DPKAD, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Kesbang Pol linmas-pb. Kedua, komponen proses yaitu proses-proses perencanaan mulai dari proses pengumpulan data, sampai pada penyusunan dokumen perencanaan, dan Ketiga, komponen output (keluaran), yaitu adanya dokumen perencanaan sebagai acuan untuk pelaksanaan program atau kegiatan yang akan dilaksanakan (Depkes RI, 2002). Pemerintah NAD dan Kota Banda Aceh melalui RPJM tahun 2007-2012 juga telah memasukkan sistem mitigasi bencana yang efektif dengan pencegahan dini dan penanggulangan korban bencana alam kedalam strategi pembangunan daerah dan program pembanguna daerah diharapkan semua kecamatan memiliki sistem peringatan dini, penanggulangan bencana serta penampungan sementara korban bencana (Profil NAD, 2007). Menurut Rinto Andriono (2009), struktur anggaran kebencanaan menyebutkan lebih dari 83 % wilayah Indonesia masuk dalam kategori daerah dengan tingkat risiko bencana yang tinggi, dan 383 kabupaten dari 440 kabupaten Indonesia adalah kawasan dengan risiko bencana, serta buruknya lagi 98 % dari 220 juta penduduk Indonesia adalah penduduk yang belum memiliki kesadaran tentang
pengurangan resiko bencana (http//www.ideajogja.or.id. Diakses tanggal 6 Februari 2010). Kota Banda Aceh merupakan ibu Kota Provinsi yang juga merupakan Kota terparah pada saat terjadinya musibah Gempa dan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 dengan berakibat 78.417 jiwa meninggal dunia atau hilang dan untuk NAD 173.741 jiwa meninggal dunia, lebih 127.000 rumah hancur dan rusak berat (Profil NAD, 2007). Berdasarkan penelitian dan pengalaman kejadian bencana, wilayah Kota Banda Aceh termasuk kawasan yang rawan terhadap gempa bumi dan tsunami karena diapit oleh pertemuan dua lempeng bumi, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo- Australia, serta patahan Sumatera/Semangko (Subandono dan Budiman dalam Profil Bappeda Banda Aceh, 2009). Tsunami 26 Desember 2004 telah meluluh lantakkan sebagian besar wilayah pantai di Aceh, terutama sepanjang pantai barat, dan merusak infrastruktur publik, ekonomi dan sosial, seperti sekolah, pusat layanan kesehatan dan gedung-gedung pemerintah. Tsunami telah mempengaruhi mata pencaharian dan kehidupan masyarakat karena rusaknya lahan-lahan pertanian, terganggunya usaha-usaha perikanan, hilangnya peralatan, hilangnya bukti kepemilikan tanah, menurunya kualitas air, polusi akibat limbah padat atau cair dan rusak fasilitas sanitasi dan pembuangan limbah, dan ini semua terjadi karena suatu bencana. Menurut United States Geological Survey (USGS) dan The Federal Emergency Management Agency (FEMA) menyebutkan "Setiap $1 belanja publik
untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dapat menyelamatkan $7 dari kerusakan akibat bencana." Dan "Setiap $1 dana publik yang dibelanjakan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana akan menyelamatkan dana sebesar $2 untuk emergency response." (http//www.ideajogja.or.id. Diakses tanggal 6 Februari 2010). Menurut Qanun Kota Banda Aceh tahun 2007, 2008 dan 2009 proporsi anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan penanggulangan bencana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) masih sangat minim untuk beberapa SKPD yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana. Dibawah ini beberapa dinas yang mendapatkan alokasi dana tak terduga untuk penanggulangan bencana seperti, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Kesbang Pol Linmas-PB Kota Banda Aceh seperti Tabel 1.1 sebagai berikut : Tabel 1.1 Jumlah Anggaran APBD yang di Alokasikan untuk Penanggulangan Bencana Kota Banda Aceh Tahun Jumlah APBD Alokasi Anggaran % Anggaran Bencana 2007 Rp. 532.046.733.984 Rp. 361.534.250 0,068 2008 Rp. 500.040.754.837 Rp. 348.719.800 0,069 2009 Rp. 527.267.525.926 Rp. 275.648.800 0,052 Rata-Rata 0,063 Sumber : DPKAD 2010 Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui dalam tiga tahun terakhir alokasi anggaran tak terduga yang bersumber dari APBD, rata-rata 0,063 %, dana tersebut digunakan untuk program-program penanggulangan bencana. Anggaran ini diperuntukkan bagi dinas-dinas yang mempunyai tupoksi menangani langsung masalah penanggulangan
bencana di Kota Banda Aceh. Menurut Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Perangkat Kerja Daerah. Ada beberapa dinas yang mempunyai tupoksi sebagai perencanaan anggaran dan pelaksanaan langsung dalam penanggulangan bencana di Kota Banda Aceh, seperti Bappeda, DPKAD, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Kesbang Pol Linmas-PB. Hal tersebut sangatlah tidak memadai sesuai yang diamahkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bila dilihat keadaan Kota Banda Aceh merupakan ibu Kota Provinsi dan merupakan Kota terparah pada saat terjadinya bencana Gempa dan Tsunami yang memerlukan penanganan secara komprehensif dalam penanggulangan bencana seperti tahap-tahap pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Anggaran merupakan rencana tindakan manajerial untuk mencapai tujuan organisasi. Negara/daerah sebagai suatu entitas sector public juga memanfaatkan anggaran sebagai alat untuk mencapai tujuan. Anggaran pemerintah daerah kita kenal sebagai APBD. APBD sebagai anggaran sektor publik harus mencakup aspek perencanaan, pengendalian, dan akuntabilitas publik. Anggaran daerah pada hakikatnya merupakan perwujudan amanat rakyat kepada eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran (Bambang, 2006). Menurut Abdullah dan Asmara (2006), secara faktual peran legislatif dinilai terlalu dominan dalam perencanaan dan penganggaran khususnya dalam pengesahan anggaran. Dugaan adanya mis-alokasi anggaran mengarah kepada kepentingan pribadi melalui pemanfaatan kekuasaan sebagai legislatif. Sedangkan peran dari
eksekutif hanya dalam melaksanakan proses perencanaan, namun dalam pengambilan keputusan terhadap program-program dalam perencanaan tidak dilibatkan, meskipun dalam forum penjelasan dan pertanggung jawaban terhadap penyusunan program kegiatan dilibatkan, tetapi mengingat bahwa perencanaan tidak terlepas dari kebijakan politis, maka cenderung argumentasi dari eksekutif diabaikan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan penganggaran seperti partisipasi, kesenjangan anggaran, kinerja dan hal lainnya, telah menjadi fokus banyak peneliti, khususnya dalam domain akuntansi keperilakuan. Penelitian-Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Kenis, (1979); Brownell dan McInnes, (1986); dan Indriantoro (1993). Hal ini juga berkaitan dengan hasil penelitian Bambang (2008), menunjukkan masih kurangnya pengetahuan, sikap dan persepsi eksekutif dan legislatif dalam perencanaan anggaran kesehatan pada APBD. Memperhatikan berbagai masalah diatas, tampaknya diperlukan persepsi dan kompetensi eksekutif dan legislatif. Eksekutif dan legislatif merupakan lembaga tinggi dalam kerangka realisasi perencanaan anggaran bencana pada APBD Kota Banda Aceh. Sebagai langkah awal dalam membangun komitmen eksekutif dan legislatif maka diperlukan penelitian berkaitan dengan persepsi dan kompetensi eksekutif dan legislatif tentang bencana terhadap perencanaan anggaran bencana pada APBD Kota Banda Aceh.
1.2. Permasalahan Pemerintah Kota Banda Aceh belum mengalokasikan dana khusus bencana pada APBD, saat ini anggaran bencana dimasukkan dalam anggaran tak terduga yang masih samar peruntukannya bagi penangganan penggulangan bencana karena masih dipadukan dengan kebutuhan lain, seharusnya pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus yang memadai untuk masalah penanggulangan bencana sesuai diamanahkah dalam UU Nomor 24 Tahun 2007, Pasal 8 (d). Hal ini diduga berhubungan dengan pengalaman, proses belajar, motivasi pengetahuan, keterampilan dan sikap dari eksekutif dan legislatif dalam mengadvokasi perencanaan anggaran bencana pada saat forum pengesahan anggaran, dan program-program penanggulangan bencana yang diusulkan. Berdasarkan hal diatas peneliti dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh persepsi dan kompetensi eksekutif dan legislatif tentang bencana terhadap perencanaan anggaran pada APBD Kota Banda Aceh. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh persepsi (pengalaman, proses belajar, motivasi) dan kompetensi (pengetahuan, keterampilan, sikap) eksekutif dan legislatif tentang bencana terhadap perencanaan anggaran bencana pada APBD Kota Banda Aceh 2010.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh persepsi (pengalaman, proses belajar, motivasi) dan kompetensi (pengetahuan, keterampilan, sikap) eksekutif dan legislatif tentang bencana terhadap perencanaan anggaran bencana pada APBD Kota Banda Aceh 2010. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan landasan pemikiran bagi pemerintah daerah terutama eksekutif dan legislatif dalam membuat kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan perencanaan anggaran bencana pada APBD Kota Banda Aceh. 2. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis pada masa yang akan datang 3. Bagi peneliti diharapkan dapat menambah wawasan dalam aplikasi keilmuan di bidang Manajemen Kesehatan Bencana terutama berhubungan dengan Perencanaan Anggaran Bencana.