Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) OLEH : PUTU KRISNA SIANTARINI

ABSTRAK PATOGENESIS DAN PROGRESIVITAS GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD) OLEH KAFEIN DALAM KOPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Factors Associated with The Success of GERD Therapy

LAPORAN TUTORIAL BLOK 2.6 (GANGGUAN SALURAN CERNA) MODUL 3 OLEH : KELOMPOK 10B

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Askep GERD Gastroesophageal Reflux Disease

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT / GANGGUAN SALURAN CERNA ULKUS PEPTIK ULKUS PEPTIK

OBA B T A T S I S ST S E T M

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

ABSTRAK ETIOPATOGENESIS ULKUS PEPTIKUM. Nita Amelia, 2006, Pembimbing utama : Freddy T Andries, dr., M.S.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS

Definisi. Kelainan ini tidak diturunkan dan memerlukan waktu bertahuntahun hingga menimbulkan gejala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International

PR0GHlllltG. B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik.

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS. HARRY A. ASROEL Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dantelinga Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

Konsensus Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Thera Rolavina S,S.Farm.,Apt

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OBAT GASTROINTESTINAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Prestasi merupakan pencapaian akan usaha seseorang yang diperoleh

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi yang belum sempurna. Mulut bayi masih pendek, licin, dan

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal

BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk membantu seorang pakar/ahli dalam mendiagnosa berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

Refluks Gastroesofageal pada Anak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TUGAS NEONATUS. Pengampu : Henik Istikhomah, S.SiT, M.Keb POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA JURUSAN KEBIDANAN TAHUN AJARAN 2013/2014

HUBUNGAN ANTARA ASMA BRONKIAL DENGAN REFLUKS GASTROESOFAGEAL DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

LAPORAN PENDAHULUAN. memperlihatkan iregularitas mukosa. gastritis dibagi menjadi 2 macam : Penyebab terjadinya Gastritis tergantung dari typenya :

BAB I PENDAHULUAN. dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB 2 LANDASAN TEORI

Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek merupakan suatu jenis bisnis retail (eceran) yang komoditasnya

LAMPIRAN 2 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

154 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

GIZI SEIMBANG LANSIA

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB I PENDAHULUAN. merasakan sakit atau tidak enak badan pasti akan melakukan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Faizatul Ummah ABSTRAK

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

Transkripsi:

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Disusun oleh: UMAR SYARIF (030.06.263) Fakultas kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 2009

Definisi Gastroesophageal Reflux Disease adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat dari keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas. Etiologi Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara, terganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus. Patogenesis Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (< 3 mmhg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan c. Meningkatnya tekanan intraabdominal Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial

esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik. a. Pemisah antirefluks Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES. Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.

b. Bersihan asam dari lumen esophagus Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. c. ketahanan epithelial esophagus Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari : - membran sel - batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus - aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas. Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada ph < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks prainfeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien

dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang. Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan nonacid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral. Manifestasi Klinik Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian, derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett s esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat. GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/nccp), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya teofilin).

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik. Diagnosis Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu : a. Endoskopi saluran cerna bagian atas Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break(pecah) di esophagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett s esophagus, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.

Klasifikasi Los Angeles Derajat kerusakan A B C D Gambaran endoskopi Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esophagus) b. Esofagografi dengan barium Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia. c. Pemantauan ph 24 jam Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda ph pada bagian distal esophagus. Pengukuran ph pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. d. Tes Bernstein Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring ph 24 jam pada

pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus. Penatalaksanaan Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esophagus ataupun esophagus barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi. a. Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi

lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, permen mint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obatobat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone. b. Terapi medikamentosa Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas. Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/ppi). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid. Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi bila perlu (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang. Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD : Antasid Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Antagonis reseptor H2 Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.

Obat-obatan prokinetik Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Metoklopramid Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia. Domperidon Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang di banding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung. Cisapride Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi). Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI) Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.