BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Parasetamol atau acetaminofen merupakan nama resmi yang sama dengan senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory drugs (NSAID) yang digunakan sebagai analgesik dan antipiretik (Hardman dan Limbird, 2007). Menurut Mycek dkk. (2001) parasetamol tergolong analgesik non-narkotik yang hanya mempunyai sedikit efek antiinflamasi, tetapi banyak digunakan sebagai analgesik ringan dan dapat diabsorbsi dengan baik secara peroral, selain itu parasetamol juga tidak menyebabkan ketergantungan fisik, tidak menghambat trombosis serta tidak menyebabkan iritasi pada lambung (Neal, 2006; Katzung, 2007). Nonsteroid anti-inflamatory drugs (NSAID) umumnya akan memberikan efek anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase (COX) di dalam sel dan jaringan normal yang kemudian akan berpengaruh terhadap biosintesis prostaglandin (Hardman dan Limbird, 2007; Hsu, 2008). Pemberian parasetamol menghambat peran prostaglandin sehingga mengurangi terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan aliran darah lokal sehingga migrasi sel radang pada area radang akan menurun (Reynertson, 2007). Parasetamol sebagai antipiretik akan bekerja saat terjadi demam dengan merusak kemampuan pyrogen dalam meningkatkan temperatur sebagai pusat termoregulasi tubuh di otak (hipotalamus anterior), sehingga temperatur tubuh 1
2 akan turun melalui, pengeluaran keringat dan vasodilatasi kutaneus. (Hsu, 2008). Parasetamol dapat merusak hati bila dikonsumsi manusia pada dosis tunggal 10 sampai 15 gram (Utami dan Masjhoer, 2006). Dosis parasetamol diatas 10 gram pada manusia menyebabkan nekrosis hati yang parah hingga menyebabkan kematian. Kejadian hepatotoksik parasetamol tergantung dari dosis yang diberikan (Mutschler, 1999). Beberapa efek menguntungkan mengenai pemberian parasetamol di atas tentunya perlu disertai dengan pemberian dosis yang tepat atau dosis yang menyembuhkan. Menurut Imani dkk. (2014) parasetamol cukup aman dikonsumsi oleh manusia pada dosis antara 2-3 g/hari. Food and Drug Administration (FDA) (2011) menjelaskan bahwa pemberian parasetamol tidak boleh melebih dari 4 g/hari pada manusia. Dosis terapiutik parasetamol untuk tikus Wistar adalah 63 mg/kg BB, yang diperoleh dari hasil konversi dosis terapiutik pada manusia, namun penelitian tersebut hanya membahas tentang efek analgesik dari respon yang diamati dan tidak spesifik pada perubahan histopatologis hati tikus Wistar (Pandey dkk., 2013). Pemberian parasetamol dalam dosis berlebih memungkinkan terjadinya hepatotoksik (Neal, 2006; Hardman dan Limbird, 2007). Gejala dini dari kerusakan hati meliputi mual, muntah, diare, dan nyeri abdomen selain itu kerusakan ginjal tanpa kerusakan hati juga pernah dilaporkan meskipun dalam dosis biasa pada manusia (Katzung, 2007). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (2006) lethal dosis parasetamol LD50 2.400 mg/kg BB peroral yang menimbulkan hepatotoksik berupa nekrosis lobulus sentral hati dan kerusakan pada ren berupa nekrosis tubulus ginjal akut (Hardman dan Limbird,
3 2007; Katzung, 2007). Menurut Rini dkk. (2013) dosis tunggal parasetamol 1.350 mg/kg BB akan memberikan efek hepatotoksik. Dosis parasetamol 1.350 mg/kg BB juga memberikan efek berupa degenerasi parenkim, degenerasi hidropik, dan nekrosis sel hati pada tikus Wistar (Utami dan Masjhoer, 2006). Parasetamol dosis toksik mengalami proses biotransformasi oleh sitokrom P-450 (dengan bantuan isoenzim CYP2E1) menghasilkan metabolit toksik reaktif yang tidak stabil yaitu N-asetil-p-benzoquinone imine (NAPQI). Kerusakan hati akibat parasetamol terjadi karena peningkatan akumulasi metabolit hepatotoksik N-acetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI) yang dihasilkan dari biotrasformasi tersebut. Pada keadaan normal, metabolit ini didetoksifikasi dengan berkonjugasi bersama glutathione (GSH) dan dikeluarkan bersama urin dalam bentuk derivat asam merkapturat yang bersifat non-toxic (Zakim dan Boyer, 1982; Benson dkk., 2005; Dienstag, 2008), jika cadangan glutathione telah habis barulah terjadi reaksi sitotoksik pada hati (Mutschler, 1999; Neal, 2006; Utami dan Masjhoer, 2006). Dalam keadaan overdosis parasetamol, kadar GSH di dalam hati menjadi sangat rendah akibat pertahanan terhadap oksidan (Hardman dan Limbird, 2007). Berkurangnya GSH akan mempengaruhi disfungsi berbagai sistem enzim seperti Aspartat Aminotransferase (AST) dan Alanin Aminotransferase (ALT). Kedua enzim tersebut mengalami kebocoran dan kadarnya meningkat, melebihi normal dalam darah (Mycek dkk., 2011). Hasil oksidasi parasetamol oleh enzim sitokrom P-450 adalah berupa radikal bebas yang juga merupakan prekursor NAPQI (Davis dan William, 1991). Radikal bebas dan N-asetil-p-benzoquinone imine (NAPQI) menyebabkan kerusakan struktur membran sel di daerah vena sentralis (area
4 sentrolobuler), degenerasi hepatoseluler sampai nekrosis hati, gangguan fungsi hati yang irreversible, serta nekrosis tubular ginjal (Davis dan William, 1991; Mycek dkk, 2001). Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek berbagai dosis parasetamol (750 mg/kg BB, 1.500 mg/kg BB, dan 3.000 mg/kg BB) terhadap gambaran histopatologis organ hati. Hasil penelitian ini nantinya dapat dipakai sebagai model hepatotoksik dari parasetamol dan dapat digunakan untuk uji hepatoprotektif senyawa uji obat herbal. Perumusan Masalah 1. Apakah pemberian parasetamol dengan berbagai dosis (750 mg/kg BB, 1.500 mg/kg BB, dan 3.000 mg/kg BB) dapat menyebabkan perubahan pada organ hati tikus Wistar? 2. Berapa dosis parasetamol yang dapat meyebabkan kerusakan paling berat pada organ hati tikus Wistar? Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perubahan gambaran histopatologis hati tikus Wistar dalam berbagai dosis parasetamol (750 mg/kg BB, 1.500 mg/kg BB, dan 3.000 mg/kg BB). 2. Untuk mengetahui dosis parasetamol yang dapat menyebabkan kerusakan hati tikus Wistar paling berat.
5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya dapat dipakai sebagai model hepatotoksik dari parasetamol dan dapat digunakan untuk uji hepatoprotektif senyawa uji obat herbal.