BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak azasi manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukan. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Suatu sistem pelayanan kesehatan dikatakan baik, bila struktur dan fungsi pelayanan kesehatan dapat menghasilkan pelayanan kesehatan yang memenuhi tiga belas persyaratan, yaitu tersedia (available), adil/merata (equity), tercapai (accessible), terjangkau (affordable), dapat diterima (acceptable), wajar (appropriate), efektif (effective), efisien (efficient), menyeluruh (comprehensive), terpadu (integrated), berkelanjutan (continues), bermutu (quality) serta berkesinambungan (sustainable) (Depkes, 2004). 1
Sebagaimana yang tercantum dalam pokok-pokok rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010, yang menggariskan arah pembangunan kesehatan yang mengedepankan paradigma sehat, maka tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia antara lain meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat dan memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu secara adil dan merata (Depkes, 2004). Rumah sakit sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan, tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum, menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik. Merujuk pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992, pelayanan spesialistik dasar adalah pelayanan 4 (empat) dasar spesialistik yakni spesialis bedah, anak, penyakit dalam dan kebidanan. Hal tersebut juga tercantum pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 806b/Menkes/SK/ XII/1987 tentang klasifikasi rumah sakit swasta, yang menyatakan bahwa rumah sakit tipe Madya adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan umum dan spesialistik 4 (empat) dasar. Pelayanan rumah sakit menitik beratkan pada upaya yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi penderita melalui pelayanan obat dan farmasi, 2
sehingga obat merupakan unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Mengingat terbatasnya sumber daya kesehatan terutama obat-obatan maka pengobatan yang rasional merupakan salah satu upaya yang amat penting dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan di bidang kesehatan. Pengobatan yang rasional akan membantu pemerataan distribusi sumber daya kesehatan, khususnya obat-obatan (Sastramihardja, 1997). Menurut World Health Organization (WHO, 1993), pengobatan yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien, dengan dosis yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang sesuai dan dengan harga yang terjangkau. Pemakaian obat yang tidak rasional memberikan dampak yang serius terhadap kesehatan masyarakat, antara lain reaksi obat, kegagalan terapi, resistensi antibiotik, ketergantungan obat dan resiko infeksi akibat penggunaan injeksi yang tidak pada tempatnya (Grand dkk., 1999). Ketidakrasionalan penulisan resep mempunyai banyak sebab dan sifatnya kompleks. Quick (1991), mengidentifikasi faktor-faktor penyebab ketidakrasional penggunaan obat antara lain faktor pembuat resep, faktor pasien/masyarakat, faktor perencanaan dan pengelolaan obat, faktor kebijaksanaan obat dan sistem pelayanan kesehatan, faktor praktek pengobatan oleh tenaga non-medik serta faktor-faktor lain, seperti banyaknya informasi dan iklan obat, persaingan praktek atau kebiasaan memberikan obat menurut keinginan pasien. 3
Masalah ketidakrasionalan dan ketidaktepatan penggunaan obat tidak saja merupakan masalah lokal di Indonesia tetapi sudah merupakan masalah global yang serius dalam pelayanan kesehatan. Menurut Arustiyono (1999), pola peresepan obat di pusat pelayanan kesehatan di Indonesia menunjukkan masih tingginya derajat pemberian polifarmasi (3,5 jenis obat per penderita), pemakaian antibiotik yang berlebihan (43%) dan penyalahgunaan dan pemakaian obat suntik yang berlebihan (10 80%). Data dari WHO (1993) menunjukkan bahwa di Bangladesh derajat polifarmasi adalah 1,4 jenis obat per penderita dan di Nigeria sebesar 3,8 jenis obat per penderita. Sementara pemakaian antibiotik di Bangladesh adalah sebesar 25% dan di Sudan sebesar 63%. Pemakaian obat suntik di Zimbabwe adalah sebesar 11% dan di Sudan sebesar 36%. Menurut Grand dkk., (1999), pemakaian obat yang tidak rasional memberikan dampak yang serius terhadap kesehatan masyarakat, antara lain reaksi obat, kegagalan terapi, resistensi antibiotik, ketergantungan obat dan resiko infeksi akibat penggunaan injeksi yang tidak pada tempatnya. Penelitian Supardi (2003) di Rumah Sakit Umum Kabupaten K dan Kabupaten B menunjukkan bahwa penulisan resep yang tidak sesuai formularium dan standar pengobatan menyebabkan dampak adanya selisih biaya pengobatan yang harus dikeluarkan pasien rawat inap sebesar Rp. 81.671,-/hari untuk TBC paru dan untuk penyakit hipertensi sebesar Rp. 71.417,- /hari. Sedangkan untuk penyakit diabetes sebesar Rp. 86.481,-/hari dan demam tifoid sebesar Rp. 86.481,-/hari. 4
. Untuk memperbaiki masalah ketidakrasionalan pemberian obat di fasilitasfasilitas kesehatan yang terjadi hampir di seluruh dunia, pada tahun 1985 di Nairobi telah diadakan konferensi mengenai penggunaan obat yang rasional dan kemudian pada tahun 1989 telah dibentuk jaringan kerjasama internasional dalam bentuk International Network for the Rational Use of Drugs (INRUD) dan sejak saat itu telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk memperbaiki pola pemakaian obat (Almasdottir dan Traulsen, 2005). Langkah awal menuju kerasionalan pemakaian obat adalah dengan membatasi diri terhadap pilihan obat yang demikian banyaknya yakni dengan menetapkan Daftar Obat Esensial Nasional. Strategi ini berhasil menekan biaya pengobatan dengan mencapai tujuan efisiensi dan cakupan yang lebih luas. Seperti beberapa negara lainnya, Indonesia juga telah menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan pemakaian obat yang rasional dengan menetapkan Daftar Obat Esensial Nasional 2002 sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1375A/Menkes/SK/XI/2002 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2002. Rumah sakit sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan juga tidak terlepas dari sasaran pemerintah untuk meningkatkan pemakaian obat yang rasional. Salah satu adalah dengan mengembangkan suatu daftar obat terbatas yang lebih luas seperti formularium rumah sakit, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) yang digunakan Asuransi Kesehatan (ASKES) dalam pengobatan penderita yang tergabung dalam asuransi tersebut. 5
Formularium rumah sakit merupakan daftar obat baku yang dipakai oleh rumah sakit yang dipilih secara rasional dan dilengkapi penjelasan, sehingga merupakan informasi obat yang lengkap untuk pelayanan medik rumah sakit (Permenkes 085/Menkes/Per/I/1989). Formularium Rumah Sakit merupakan bentuk realisasi dari kebijakan obat nasional tentang Daftar Obat Esensial atau dengan perkataan lain formularium rumah sakit merupakan Daftar Obat Esensial Rumah Sakit dan digunakan sebagai pedoman dalam pemakaian obat di suatu rumah sakit (Sastramihardja, 1997). Dasar utama penyusunan formularium rumah sakit adalah Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sebagaimana yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 477/Menkes/SK/XI/1983 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 085/Menkes/Per/I/1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Penyusunan formularium di rumah sakit menjadi penting mengingat beragamnya obat yang beredar di pasaran serta banyaknya dokter spesialis yang ada di rumah sakit dan merupakan suatu cara untuk tercapainya pemakaian obat yang rasional di rumah sakit (Almasdottir dan Traulsen, 2005). Dari segi manajemen, formularium rumah sakit akan memberikan manfaat efisiensi dana dalam pengadaan obat dengan mengurangi biaya penyediaan dan penyimpanan obat yang tidak sering digunakan. Sementara dari segi pelayanan medik, formularium akan menghasilkan 6
pengobatan yang lebih efektif, aman dengan harga yang terjangkau (Darmansyah, 1988). Berdasarkan Profil Rumah Sakit Santa Elisabeth diperoleh data bahwa penggunaan obat non generik selama 4 tahun terakhir (2002 2004) cukup tinggi dibanding pemakaian obat generik. Pada tahun 2002 pemakaian obat non generik adalah sebesar 73,64% dan obat generik sebesar 26,36% dari keseluruhan resep yang dilayani di Instalasi Farmasi. Pada tahun 2004 pemakaian obat non generik adalah sebesar 76,54% sementara pemakaian obat generik adalah sebesar 23,46% dari resep yang dilayani. Menurut Ervinna (2004), dari penelitian pada 4500 pasien yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth, sebanyak 71,82% menggunakan antibiotik, dengan jumlah resep 5.411 lembar yang terdiri dari 2112 lembar resep antibiotik non injeksi dengan jumlah antibiotika 22.690 dosis dan 3299 lembar resep antibiotika injeksi dengan jumlah antibiotik 18.228 dosis serta antibiotika diluar Formularium sebesar 0,86% (352 dosis). Rumah Sakit Santa Elisabeth sebagai rumah sakit swasta kelas Madya yang telah terakreditasi, telah membentuk dan mengangkat Sub Komite Farmasi Terapi sesuai Surat Keputusan Direksi Rumah Sakit Santa Elisabeth No. 043/Dir- RSE/SK/II/2005, juga telah memiliki formularium yang diberlakukan dengan Surat Keputusan Direksi Rumah Sakit Santa Elisabeth No. 370/Dir/SK/VIII/1999. Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit Santa Elisabeth yang telah dibentuk dan telah dua kali mengalami pergantian personil sesuai Surat Keputusan Direksi Rumah Sakit Santa Elisabeth No. 043/Dir-RSE/SK/II/2005 sejauh ini belum 7
menunjukkan kinerja yang maksimal dalam mengatur penggunaan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth. Formularium yang sudah disosialisasikan tidak pernah dievaluasi, bahkan pemesanan obat di luar obat formularium kerap terjadi. Dari survey pendahuluan di Rumah Sakit Santa Elisabeth diperoleh gambaran pola peresepan yang ditulis oleh dokter spesialis bedah di mana dari 93 pasien bedah rata-rata mendapat obat sebanyak 9,6 macam obat, dengan persentase pasien yang mendapat obat generik sebesar 4,59%, persentase pasien yang mendapat obat antibiotik sebesar 89,3%, persentase pasien yang mendapat injeksi sebesar 92,4% dan persentase obat formularium sebesar 74%. Mengingat bahwa perangkat standar terapi dan formularium telah tersedia tetapi penulisan obat diluar formularium masih tinggi, serta tingginya pemakaian obat generik dan pemakaian antibiotik di Rumah Sakit Santa Elisabeth, maka penulis merasa perlu meneliti tentang pengaruh karakteristik dokter serta pengetahuan dan sikap dokter spesialis pada empat bidang spesialisasi dasar terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas dan berdasarkan fakta di lapangan bahwa banyak dijumpai kendala dalam menjalankan kebijakan rumah sakit berkaitan dengan pemakaian obat yang rasional serta formularium yang telah diterbitkan tidak sepenuhnya dipatuhi oleh para dokter, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh karakteristik dokter serta 8
pengetahuan dan sikap dokter tentang formularium dan standar terapi terhadap pola peresepan obat tersebut di Rumah Sakit Santa Elisabeth. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap dokter tentang formularium dan standar terapi serta pengaruh karakteristik individu dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. b. Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dokter tentang formularium dan standar terapi serta pengaruh karakteristik individu dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth. c. Untuk menganalisis pengaruh sikap dokter tentang formularium dan standar terapi serta pengaruh karakteristik individu dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth. d. Untuk menganalisis pengaruh umur dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. 9
e. Untuk menganalisis pengaruh jenis kelamin dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. f. Untuk menganalisis pengaruh spesialisasi dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. g. Untuk menganalisis pengaruh masa kerja dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh pengetahuan dan sikap dokter tentang Formularium Rumah Sakit dan Standar Terapi serta karakteristik individu dokter terhadap pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan 1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit St Elisabeth Sebagai bahan masukan dan informasi tentang perilaku dokter dan pola peresepan obat di Rumah Sakit Santa Elisabeth sehingga dapat dilakukan intervensi jika diperlukan dalam rangka memperbaiki mutu peresepan obat dan meningkatkan pemakaian obat yang rasional di rumah sakit. 2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai kontribusi bagi pengembangan ilmu dan penelitian yang berkelanjutan. 10