BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) merupakan tanaman fast growing, yaitu memiliki pertumbuhan yang relatif cepat, masa panen yang pendek, teknik budidaya yang relatif mudah, produktivitas tinggi, bersifat multi fungsi dan memberikan dampak ganda baik sebagai tanaman produksi maupun sebagai tanaman konservasi, sebagai tanaman produksi karena kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai bahan konstruksi ringan, kayu lapis, papan blok, papan lamina dan papan partikel, sebagai tanaman konservasi karena sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus ke dalam tanah dengan rambut akarnya berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen sehingga tanah disekitar pohon sengon menjadi subur (Anggraeni, 2010). Sengon juga termasuk jenis yang toleran terhadap tempat tumbuhnya karena dapat tumbuh mulai dari pantai hingga ketinggian 1600 m dpl. Sengon dapat tumbuh pada tanah regosol, alluvial dan latosol dengan ph 6-7, selain itu, sengon juga dapat tumbuh pada daerah dengan iklim sekitar 18-27 ºC, kelembaban 50% - 75% dan curah hujan per tahun sekitar 2000-4000 mm. Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon adalah kayunya. Pohon sengon dapat mencapai tinggi sekitar 30-45 meter dengan diameter batang sekitar 70-80 cm, berat jenis kayu sengon rata-rata sekitar 0,33 dan termasuk kelas awet IV - V (Wiryadiputra, 2007). 1
Menurut Artianingsih (2012), sejak tahun 1970 dengan adanya sengonisasi, jenis sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang telah dibudidayakan secara besar - besaran di Indonesia. Teknik budidaya sengon bisa menggunakan biji (generatif) maupun bahan vegetatif (trubusan). Menurut Mansur (2012), budidaya sengon dengan metode trubusan dipilih dengan mempertimbangkan beberapa alasan, yaitu sengon trubusan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan bibit yang ditanam dari awal serta memiliki struktur perakaran yang luas dan lebih kokoh dari tonggaknya. Dengan demikian, trubusan dari tonggak akan memperoleh pasokan air dan unsur hara yang lebih banyak dibanding bibit yang baru ditanam. Selain itu, teknik trubusan dilakukan karena dapat menekan biaya penanaman karena tidak memerlukan biaya pembelian bibit, biaya angkut bibit, pengolahan lahan, pembuatan lubang lahan maupun penanaman. Menurut Poerba (2005), tanaman sengon memiliki kerentanan terhadap penyakit karat tumor (gall rust) yang disebabkan oleh jamur Uromycladium tepperianum. Respon tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik tanaman (Anggraeni, 2011). U. tepperianum yang menyerang sengon di Indonesia hanya memerlukan satu inang saja untuk menyelesaikan siklus hidupnya dan membentuk satu macam spora dalam telium, sehingga jamur ini mempunyai siklus hidup yang pendek dan bersifat parasit obligat, karena jamur ini sepenuhnya mengambil bahan makanan berupa zat organik hanya dari inang yang masih hidup (Gathe, 1971). 2
Adanya penyakit karat tumor (gall rust) pada sengon dapat menghambat pertumbuhan tanaman, cacat pada batang yang dapat mengurangi volume dan kualitas kayu bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman. Selain itu, dengan adanya gejala karat tumor pada batang tanaman yang telah dewasa dapat mengakibatkan rawan patah apabila ada angin kencang (Rahayu, 2010). Sejauh ini telah dilakukan penelitian mengenai tumor pada kayu yang menunjukkan gejala serta kenampakan tumor yang hampir mirip gall rust pada sengon seperti penelitian gall rust pada pinus (Liping dkk., 1990), pengaruh jamur Neofrabraea alba terhadap sifat anatomi kayu dan kulit Fraxinus spp. (Angeles dkk., 2006), anatomi pinus merah yang terkena tumor (Geun Eom, 1994), peran etilen bagi Agrobacterium tumefaciens pada batang tomat yang terkena tumor (Aloni dkk., 1998) serta struktur tiga dimensi dari jaringan vaskuler pada bakteri Agrobacterium tumefaciens penyebab tumor tajuk pada Ricinus communis (Aloni dkk., 1994). Namun, belum banyak penelitian mengenai anatomi karat tumor pada sengon serta perubah anatomi yang terjadi setelah kayu terserang karat tumor. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi keilmuan dan dapat bermanfaat bagi penelitian berikutnya. 3
1.2. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui anatomi karat tumor pada sengon. 2. Mengetahui perubahan anatomi kayu yang menunjukkan gejala serangan karat tumor pada sengon meliputi perubahan susunan, ukuran serta jumlah sel penyusun kayu. 1.3. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih lengkap mengenai anatomi tumor maupun perubahan anatomi pada kayu yang menunjukkan gejala serangan karat tumor. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kayu Sengon 2.1.1. Sistematika dan Deskripsi Kayu Sengon Kedudukan tanaman sengon dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut (Soerianegara dan Lemmens, 1993): Kerajaan Divisi Kelas Ordo Famili Genus Species Sinonim : Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Fabales : Fabaceae : Falcataria : Falcataria moluccana( Miq.) Barneby & J.W Grimes :Albizia falcataria (L) Fosberg, Paraserianthes falcataria(l) Nielsen. Sengon termasuk anggota famili Fabaceae dan merupakan salah satu jenis pohon yang pertumbuhannya sangat cepat. Pertumbuhannya selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Mengingat pertumbuhannya yang cepat, sengon dijuluki sebagai pohon ajaib (the miracle tree). Pada umur 6 tahun, pohon sengon sudah dapat menghasilkan kayu bulat sebanyak 372 m3/ha (Atmasuseno, 1994). Sengon mempunyai nama daerah yang bermacam - macam. Di Pulau Jawa, sengon mempunyai ± 7 nama panggilan, yaitu albisia, albiso, jeunjing (Jawa Barat), sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Timur dan Jawa Tengah) dan jing laut (Madura). Di luar Pulau Jawa, sengon dikenal dengan 5