1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi atau ring of fire yang dimulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Utara hingga Papua. Kondisi tersebut terjadi karena secara geologi Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara dan lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut senantiasa bergerak dan saling bertumbukan yang menyebabkan lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan bencana alam gempa bumi. Penunjaman (subduction) lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke Utara dengan lempeng Eurasia yang bergerak ke Selatan akan menimbulkan gempa bumi pada rangkaian gunung api aktif yang berada di sepanjang Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng tersebut. Dari tahun 1907 sampai dengan 2006 terdapat sekitar 338 bencana alam di Indonesia atau rata-rata terjadi sekitar tiga sampai empat bencana setiap tahunnya. Beberapa bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah : Gempa bumi di Provinsi NAD / Samudera Hindia d e n g a n k e k u a t a n 9,1-9,3 SR yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004; G empa b u m i d i Nias dan
2 Sumatera Utara dengan kekuatan 8,7 SR yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005; Gempa bumi di DI Yogyakarta dengan kekuatan 6,3 SR yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006; dan erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada tanggal 26 Oktober 2010, bencana alam tersebut telah banyak menimbulkan korban nyawa karena penanganan bencana yang kurang terkoordinasi dan kurang terpadu (Saptono, 2011 :38). Menyadari sebagai suatu negara yang menyandang status negara bencana, maka pemerintah Indonesia membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008. Pembentukan BNPB merupakan realisasi dari Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 18 di dalam UU tersebut mengamanatkan dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Propinsi maupun Kabupaten atau Kotamadya. Berdasarkan UU yang sama, Pasal 33 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap yaitu : prabencana, saat tanggap-darurat, dan pasca bencana. Pada fase tanggap-darurat bencana, Pasal 50 menjamin bahwa BNPB dan BPBD memiliki kemudahan akses yang mencakup: pengerahan sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai, karantina, perizinan, pengadaan barang/jasa, pengelolaan dan pertanggung jawaban uang dan/atau barang, penyelamatan, dan komando untuk memerintahkan sektor/lembaga. Jaminan sama dalam bentuk yang lebih terjabarkan juga diberikan oleh Bab III Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
3 Bencana. UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulanan Bencana yang bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. Dalam satu dekade terakhir, Gunung Merapi tercatat telah mengalami dua kali letusan besar, yaitu pada tahun 2006 dan 2010. Menurut ahli vulkanologi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), tipe letusan Gunung Merapi bersifat siklis yang sudah pasti akan berulang setiap jangka waktu tertentu. Artinya, bencana letusan Gunung Merapi merupakan potential disaster atau potensi bencana yang mungkin terjadi secara berkala. Jika hal tersebut tidak ditangani secara arif oleh pemerintah serta kurangnya dukungan dari masyarakat, maka potensi bencana tersebut dapat menimbulkan bahaya yang akan terus terulang di tahun berikutnya. Penanganan bencana alam banjir lahar Gunung Merapi merupakan kasus bencana alam yang dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran bagi semua pihak untuk meningkatkan masalah koordinasi penanganan suatu bencana alam. Letusan Gunung Merapi tahun 2010 merupakan letusan terbesar dalam satu abad terakhir. Akibat bencana ini, banyak kerugian dialami oleh warga Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kegiatan ekonomi, seperti industri pariwisata, sektor perdagangan dan jasa, serta aktivitas akademis, terutama di Kota Yogyakarta sempat terganggu. Dalam kasus bencana Gunung Merapi tahun 2010 untuk menghindari timbulnya korban baru akibat letusan Gunung Merapi, Presiden RI pada tanggal 5
4 November 2010 telah memerintahkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk mengendalikan penanganan bencana letusan Gunung Merapi dengan arahan sebagai berikut : a. Kendali penanganan bencana Merapi di tangan BNPB dibantu Gubernur DIY, Gubernur Jateng, Pangdam Diponegoro, Kapolda Jawa Tengah dan Kapolda DIY. b. Unsur Pemerintah Pusat di bawah Menko Kesra mengkoordinasikan bantuan Pemerintah Pusat untuk memastikan kelancaran pengerahan bantuan sumber daya nasional. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Optimalisasi koordinasi penanggulangan bencana alam dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah" (Studi kasus bencana alam banjir lahar di Kecamatan Cangkringan DIY yang diakibatkan oleh meletusnya Gunung Merapi). Penelitian ini penting dilakukan karena kondisi geologi Indonesia memiliki potensi besar terhadap terjadinya bencana alam khususnya meletusnya gunung berapi dan gempa bumi. Hal ini tentu saja membutuhkan penanggulangan bencana alam yang tepat untuk mengatasinya agar ketahanan wilayah dapat terus terjaga. Pemerintah sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat dituntut untuk mampu melindungi masyarakat dari ancaman bencana dan membantu masyarakat menghadapi bencana dengan tangguh dan optimal. Berbagai kebijakan penanganan bencana telah dikeluarkan dan mengalami perkembangan dengan harapan penanganan bencana akan menjadi lebih baik. Adapun salah satu upaya penting yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan
5 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang mengatur segala ketentuan dan pelaksanaan penanggulangan bencana. Agar penanganan bencana alam dapat lebih optimal maka pemerintah juga harus mampu mengimplementasikan undang-undang atau peraturan yang telah dikeluarkan mulai dari tingkat nasional sampai ketingkat daerah maupun pedalaman yang rawan bencana. Dengan adanya kebijakan dan peraturan penanggulangan bencana, pemerintah diharapkan mampu mengurangi jatuhnya korban dan penderitaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Hal tersebut dapat tercapai dengan manajemen bencana yang terencana dengan baik, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh. Dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri menangani permasalahan bencana, diperlukan adanya hubungan kerjasama yang baik antara berbagai pihak terkait atau pemangku kepentingan mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Non-Governmental Organizations (NGOs), International Non-Governmental Organizations (INGOs) dan seluruh anggota masyarakat sehingga penanganan bencana bisa terlaksana secara optimal. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti dapat menarik perumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana pelaksanaan koordinasi antar instansi dalam penanggulangan bencana alam banjir lahar Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan DIY?
6 b. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi saat pelaksanaan penanggulangan bencana alam banjir lahar Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan DIY? c. Bagaimana strategi optimalisasi koordinasi penanggulangan bencana alam serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah di Kecamatan Cangkringan DIY? 1.3 Keaslian Penelitian Terdapat penelitian lain yang berkaitan dengan penanganan bencana alam, antara lain penelitian oleh Susanto (2012:5) yang membahas tentang Upaya Penanggulangan Korban Gempa Bumi di Bantul 2006, penelitian yang dilakukan oleh Winaya (2012:7) membahas Penanggulangan Tsunami di Aceh dan penelitian yang dilakukan oleh Angelia (2012:5) membahas tentang Penanggulangan Pasca Tsunami di Pangandaran. Barnaby Willitts-King (2009) telah melaksanakan penelitian dengan judul The role of the affected state in humanitarian action: A case study on Indonesia menjelaskan bahwa Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia merupakan refleksi terhadap perubahan cara pandang masyarakat dalam menghadapi bencana. Dalam UU tersebut ditekankan bahwa bencana tidak dapat dihindari, namun dapat diatasi dengan kesiap siagaan dini untuk menghindari korban atau kerugian akibat bencana. Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang dikeluarkan pemerintah Indonesia mengawali perubahan pola pikir dan sikap masyarakat, media dan dalam diri pemerintah sendiri untuk lebih peduli dan tanggap dalam penanggulangan bencana.
7 Dalam sejarah penanganan bencana di Indonesia, penanggulangan bencana di fokuskan pada masa tanggap darurat (emergency response). Dengan dikeluarkannya UU yang baru, penanggulangan bencana di fokuskan terhadap segala aspek risiko bencana, namun secara khusus lebih mengutamakan pada pencegahan (prevention). Secara keseluruhan, Undang-Undang Penanggulangan Bencana mencakup delapan elemen yaitu; 1) Ketentuan umum, 2) Landasan, asas dan tujuan, 3) Tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, 4) Kelembagaan, pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), 5) Hak dan kewajiban masyarakat, 6) Peran lembaga usaha dan lembaga internasional, 7) Penyelenggaraan penanggulangan bencana yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana, 8) Pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana. Sebagai tindak lanjut, beberapa peraturan telah dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaan UU Penanggulangan Bencana. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 tentang Peran serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana, yang dikembangkan berdasarkan kolaborasi dengan lembaga internasional termasuk United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) dan United Nations Development Programme (UNDP) yang dianggap penting sebagai acuan bagi pelaksanaan penerimaan bantuan internasional. Penelitian-penelitian tersebut di atas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang bertemakan tentang Optimalisasi Koordinasi
8 Penanggulangan Bencana Alam dalam rangka meningkatkan Ketahanan Wilayah" (Studi kasus bencana banjir lahar Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan DIY) yang sepengetahuan peneliti hal ini belum pernah dilakukan oleh peneliti yang lain. 1.4 Tujuan Penelitian Secara umum pelaksanaan penelitian diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak untuk dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera dan tangguh dalam menghadapi bencana alam serta bertujuan untuk merumuskan strategi optimalisasi koordinasi penanggulangan bencana alam dalam rangka meningkatkan ketahanan wilayah. Secara khusus tujuan dari penelitian adalah : a. Untuk mengetahui berbagai permasalahan yang timbul saat pelaksanaan penanggulangan bencana alam banjir lahar Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan yang melibatkan berbagai instansi terkait pemerintah maupun unsur-unsur dari luar pemerintah. b. Untuk mengkaji kendala-kendala yang timbul saat penanggulangan bencana alam banjir lahar Gunung Merapi. c. Untuk dapat merumuskan suatu strategi optimalisasi koordinasi penanggualangan bencana alam banjir lahar Gunung Merapi dalam mewujudkan ketahanan wilayah di Kecamatan Cangkringan. Sedangkan manfaat dari penelitian adalah: a. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan untuk program studi ketahanan nasional utamanya dalam
9 memahami optimalisasi koordinasi penanggulangan bencana alam dengan kasus bencana banjir lahar Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan dalam rangka mewujudkan ketahanan wilayah. b. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan pengembangan koordinasi penanggulangan bencana alam dan diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap penelitian-penelitian yang berhubungan dengan optimalisasi koordinasi dalam penanggulangan bencana alam. 1.5. Sistematika Penulisan Sistematika dalam penelitian ini diuraikan dari mulai Bab I Pengantar yang berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian dan keaslian penelitian. Bab II merupakan tinjauan pustaka dan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini, hal tersebut mencakup konsep optimalisasi, teori koordinasi, konsep penanggulangan bencana dan ketahanan wilayah. Bab III Metode Penelitian berisikan tentang jenis penelitian, lokasi penelitian, data penelitian, sumber informasi dan jenis data, tekhnik pengumpulan data, study pustaka dan tekhnik analisis data. Bab IV merupakan profil daerah penelitian yaitu Kecamatan Cangkringan. Bab V merupakan pelaksanaan penanganan bencana alam, kendala yang dihadapi serta strategi koordinasi penanggulangan bencana alam dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Bab VI merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi.