BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah profesi, pekerjaan menjadi perawat mempunyai resiko yang cukup tinggi untuk mengalami stres di rumah sakit. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stres kerja pada perawat antara lain pola dan beban kerja, hubungan interpersonal pada saat bekerja, hubungan dengan pasien dan keluarga pasien, organisasi kerja dan manajemen kerja, aspek teknis keperawatan, dan permasalahan personal (Cox et al., 1996). Sedangkan menurut Prihatini (2007) menyimpulkan dari beberapa studi literatur mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah faktor intrinsik dan faktor lingkungan kerja. Faktor intrinsik terdiri dari faktor yang terdapat dalam pekerjaan seperti tuntutan fisik dan tuntutan tugas, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, dan struktur dan iklim organisasi. Faktor lingkungan kerja yaitu kondisi, fisik, manajemen atau hubungan sosial dan faktor personal yaitu tipe kepribadian. Serta faktor lain yang mempengaruhi yaitu beban kerja yang berlebih, pekerjaan yang beresiko tinggi, status perkawinan, umur, pendidikan dan jarak tempat tinggal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (2006) dinyatakan bahwa 50,9% perawat mengalami stres kerja (Prihatini, 2007). Stres yang berkepanjangan ini dapat mengakibatkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang dapat berujung terjadinya burnout (Handini et 1
2 al., 2012). Burnout adalah istilah psikologi untuk menggambarkan kelelahan jangka panjang dan berkurangnya minat, biasanya digunakan dalam konteks pekerjaan. Burnout sering diterangkan sebagai hasil dari periode pengeluaran usaha di tempat kerja yang terlalu banyak sementara waktu istirahat yang dimiliki hanya sedikit. Petugas kesehatan, termasuk perawat seringkali rentan terhadap burnout. Semakin tinggi stres yang dialami maka akan menyebabkan burnout yang lebih tinggi daripada stres yang ringan (Embriaco, 2007). Menurut penelitian, sekitar 82% perawat Instalasi Gawat Darurat yang mengalami burnout tingkat sedang (Hooper et al., 2010). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi burnout pada perawat IGD diantaranya karena tuntutan pekerjaan, gaya kepemimpinan yang kurang memberikan dukungan terhadap anak buahnya, beban pekerjaan, beban pernikahan, kondisi pekerjaan yang buruk, kurang dapat mengontrol lingkungan pekerjaan, perekonomian keluarga, dan koping terhadap burnout (Dewanti, 2010). IGD merupakan ujung tombak pelayanan di rumah sakit. Setiap pasien yang masuk ke IGD mempunyai berbagai macam kasus berbeda. Bahkan seringnya pasien yang datang dengan kasus kompleks dan membutuhkan kompetensi tinggi untuk ditangani. Sehingga untuk dapat menangani dan memberikan pelayanan yang optimal, tentunya perawat yang bekerja di IGD dituntut untuk memiliki kecekatan, ketrampilan, dan kesiagaan setiap saat (Hendianti, 2013). Dengan beban kerja yang diberikan kepada perawat IGD yang sangat fluktuatif tergantung kondisi pasien yang ditangani, ditambah banyaknya jumlah pasein dan shift kerja yang panjang melebihi kapasitas kerja manusia
3 normal dikhawatirkan akan mengakibatkan penurunan produktivitas dan stres akibat beban kerja yang tinggi. Stres yang berkepanjangan ini dapat menyebabkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang dapat berujung terjadinya burnout pada perawat (Handini et al., 2012). Jika perawat IGD mengalami burnout, maka akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien, efektifitas pekerjaan menurun, hubungan sosial antar rekan kerja menjadi renggang, dan timbul perasaan negatif terhadap pasien, pekerjaan, dan tempat kerja perawat (Tawale, 2011). Burnout juga dapat mengakibatkan waktu tunggu yang semakin lama dan konsekuensinya akan meningkatkan perilaku agresi dan kekerasan pasien terhadap tenaga kesehatan (Potter et al., 2006). RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit pendidikan kelas A yang merupakan rumah sakit rujukan DIY dan Jawa Tengah bagian selatan. Salah satu misinya yaitu memberikan pelayanan yang paripurna, bermutu dan terjangkau masyarakat untuk menuju sebagai rumah sakit unggulan di Asia Tenggara. Untuk mencapai misi tersebut maka RSUP Dr. Sardjito langsung diketuai oleh Gubernur DIY yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono X. Menurut studi pendahuluan yang dilakukan oleh Wijoyo (2011) Rumah sakit ini memiliki 23 SMF (Satuan Medik Fungsional), 29 instalasi dan jumlah tempat tidur (TT) 750 bed yang terbagi atas : VVIP: 22 TT, VIP: 93 TT, kelas utama: 48 TT, kelas I: 88 TT, kelas II: 244 TT dan kelas III: 275 TT. Rumah sakit Dr. Sardjito sampai pada tahun 2010 mempunyai 2.966 karyawan yang terdiri dari 21 orang SKM, 30 orang terapi fisik, 36 orang farmasi, 99 orang gizi, 158 orang teknisi medis, 268 orang medis,
4 689 orang dokter residen, 874 orang keperawatan dan non-medis sebanyak 771 orang yang kesemuanya dibagi di semua instalasi rumah sakit (Sardjito Hospital, 2010). Menurut studi pendahuluan didapatkan bahwa IGD RSUP Dr. Sardjito terbagi menjadi tiga tempat yaitu kamar operasi (OK emergency), Intermediate Care (IMC) dan kamar periksa. Total perawat di IGD adalah 86 perawat pelaksana yang terbagi menjadi 11 perawat di kamar operasi (OK emergency), 31 perawat di IMC dan 44 perawat di kamar periksa. Bidan yang bertugas di IGD sebanyak 6 orang, dimana nantinya akan menangani pasien ibu hamil yang masuk lewat IGD dalam waktu 24 jam sehari serta 7 hari seminggu. Alur masuk pasien IGD rumah sakit yaitu pada saat pasien pertama kali masuk IGD sendiri atau datang bersama keluarga, pasien dimasukkan ke dalam kamar periksa. Setelah itu pasien dilakukan pengukuran tanda vital oleh perawat dan dilakukan triage oleh dokter umum selama kurang dari 5 menit (Depkes, 2008 cit Wijoyo, 2011). Setelah itu dirujuk ke SMF yang terdiri dari bagianbagian seperti anak, penyakit dalam, bedah, obsgyn, dan lain sebagainya. Masingmasing bagian tersebut terdapat tenaga medis yang on site ataupun on call. Setiap SMF mempunyai waktu 2 jam untuk menangani pasien mulai dari pasien datang sampai pasien dirujuk untuk menginap ataupun pasien pulang. RSUP Dr. Sardjito sebagai rumah sakit rujukan DIY dan Jawa Tengah bagian selatan maka menjadi rujukan untuk kasus-kasus gawat darurat yang dialami oleh pasien. Jumlah pasien gawat darurat yang masuk RSUP Dr. Sardjito
5 pada bulan Januari-September 2014 adalah sebanyak 24.127 pasien. Jika diratarata maka jumlah pasien yang ditangani per hari adalah sebanyak 87 pasien. Beberapa kasus gawat darurat tentunya membutuhkan penanganan yang lebih kompleks, teknologi yang canggih dan kemampuan professional yang lebih tinggi (Joint Commission International, 2011). Dengan jumlah pasien yang banyak, maka perawat IGD RSUP Dr. Sardjito juga dituntut untuk memiliki kompetensi dalam melakukan asesmen dengan cepat supaya pasien dapat segera tertangani (Joint Commission International, 2011). Jika jumlah pasien yang datang melebihi kapasitas normal perawat bekerja, maka dapat mengakibatkan beban kerja yang berlebihan pada perawat IGD Sardjito (Dewanti, 2010). Berbagai kasus gawat darurat yang dihadapi dan jumlah pasien yang banyak merupakan sumber stressor tersendiri bagi perawat IGD RSUP Dr. Sardjito (Garcı a-izquierdo & Rı os- Rı squez, 2012). Stres yang diakibatkan dari lingkungan pekerjaan seperti ini disebut sebagai stres kerja (Paluppi, 2013 cit Rihulay, 2012). Jika perawat IGD RSUP Dr. Sardjito mengalami stres kerja yang berkepanjangan, maka hal ini akan mengakibatkan kelelahan fisik, mental dan emosional dan berujung terjadinya burnout pada perawat (Handini et al., 2012). Pada saat peneliti melakukan studi pendahuluan, beberapa perawat mengungkapkan kondisi yang dialami selama bekerja di IGD RSUP Dr. Sardjito. Kondisi yang dilaporkan diantaranya pasien yang masuk di IGD sering kali melebihi kapasitas bed pasien dan kapasitas ruangan untuk pasien. Sehingga pasien yang berada di IGD sering kali diberikan tempat atau ditampung di belakang ruangan IGD, di tepi jalan IGD dan di depan lift belakang IGD. Pasien
6 yang mengalami stuck atau tertahan di IGD disebabkan karena kapasitas bangsal yang tidak mencukupi untuk menampung pasien baru pada saat yang sama. Kondisi pasien yang stuck ini menyebabkan stressor sendiri bagi perawat karena tugas dan tanggung jawab perawat IGD menjadi bertambah dengan melaksanakan tugas dan tanggung jawab perawat di bangsal seperti monitoring pasien, memberikan obat, mengganti infus, dan lain-lain. Sedangkan di sisi lain jumlah pasien yang masuk ke IGD terus bertambah dengan pasien yang baru. Semenjak diberlakukannya standarisasi JCI, tugas perawat yang sifatnya administratif seperti melengkapi file dokumentasi menjadi bertambah. File dokumentasi tambahan yang harus diisi oleh perawat semakin banyak. Lembaran dokumentasi utama pasien sering berpindah-pindah antar tenaga kesehatan baik perawat maupun dokter yang ditugaskan menangani pasien, sehingga terkadang perawat yang harus melengkapi beberapa isian catatan pada file dokumentasi tersebut harus mencari-cari terlebih dahulu siapa yang sedang membawa lembar dokumentasi pada saat itu, tentunya hal ini akan memperlama kinerja perawat. Dengan kewajiban yang semakin banyak tersebut salah satu perawat memberikan pernyataan terkadang tidak dapat terselesaikan secara tuntas, terlebih mengenai tugas dokumentasi karena segera berganti untuk menangani pasien lain yang masih banyak. Bahkan perawat memilih sikap untuk acuh tak acuh dengan masalah tidak selesainya dokumentasi ini dikarenakan memang tidak ada pilihan lain dan harus menangani pasien lainnya. Tanda-tanda burnout pada beberapa perawat terlihat pada perawat yang ditemui oleh peneliti pada saat bekerja menunjukkan sikap kurang ramah pada saat berkomunikasi dengan keluarga
7 pasien. Sikap ini termasuk dalam salah satu dimensi burnout yaitu cynism (depersonalisasi). Menurut Maslach (Jaya, 2005) perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan klien sebagai objek. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara stres kerja dengan burnout pada perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (2006) dinyatakan bahwa 50,9% perawat mengalami stres kerja (Prihatini, 2007). Padahal stres yang berkepanjangan ini dapat mengakibatkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang dapat berujung terjadinya burnout (Handini et al., 2012). Menurut penelitian, sekitar 82% perawat Instalasi Gawat Darurat yang mengalami burnout tingkat sedang (Hooper et al., 2010). Jika perawat IGD mengalami burnout, maka akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien, efektifitas pekerjaan menurun, hubungan sosial antar rekan kerja menjadi renggang, dan timbul perasaan negatif terhadap pasien, pekerjaan, dan tempat kerja perawat (Tawale, 2011). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara stres kerja dengan burnout pada perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
8 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui hubungan antara stres kerja dengan burnout pada perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Tujuan khusus a) Mengetahui tingkat stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat Dr. Sardjito Yogyakarta. b) Mengetahui tingkat burnout pada perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Untuk mengetahui adanya hubungan antara stres kerja dengan burnout pada perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti. Menambah pengetahuan peneliti mengenai hubungan antara stres kerja dengan burnout pada perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. b. Bagi rumah sakit. Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat menjadikan alternatif kebijakan dalam memanajemen tenaga perawat di Instalasi Gawat Darurat agar tidak menimbulkan stres yang tinggi dan menghindari burnout pada perawat. c. Bagi Perawat. Dapat menambah pengetahuan perawat mengenai faktorfaktor yang dapat menimbulkan stres ketika bekerja di Instalasi Gawat Darurat
9 sehingga dapat mengantisipasi sejak dini agar tidak mengalami burnout saat bekerja. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hubungan antara tingkat stres kerja dan burnout pada perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang terkait antara lain : Tabel 1. Keaslian Penelitian Pengarang Kusumawati (2007) Tyas (2004) Jenis Penelitian cross sectional cross sectional Hasil ada hubungan yang negatif dan bermakna antara tingkat kecerdasan emosional dengan tingkat stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dengan nilai korelasi r = - 0,465 dan p = 0,019. ada hubungan anatara tingkat stres kerja dan tingkat empati pada perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta dengan nilai koefisiensi korelasi spearman r = -0,511. Perbedaan Penelitian lokasi, populasi, sampel, instrumen yang digunakan dan variabel yang akan diukur penulis mengenai hubungan stres kerja dan burnout. lokasi, populasi, sampel, instrumen yang akan digunakan dan variabel yang akan diukur penulis mengenai hubungan stres kerja dan burnout. Hamdi (2004) Damayanti (2007) cross sectional cross sectional ada hubungan negatif yang signifikan kepuasan kerja dengan burnout pada faktor kelelahan fisik dengan koefisien korelasi r = -0,214, p < 0,01, terdapat hubungan negatif yang signifikan kepuasan kerja dengan burnout pada faktor kelelahan emosional koefisien korelasi r = -0,464, < 0,01, terdapat hubungan negatif yang signifikan kepuasan kerja dengan burnout pada faktor kelelahan mental koefisien korelasi r = -453, p < 0,01, terdapat hubungan negatif yang signifikan kepuasan kerja dengan burnout pada faktor rendahnya penghargaan diri emosi koefisien korelasi r = -0,406, p < 0,01. tidak terdapat hubungan antara tingkat stres kerja dengan tingkat resiko perilaku bunuh diri pada perawat, jiwa di Unit Rawat Inap RS Grhrasia Yogyakarta. lokasi, populasi, sampel, instrumen dan variabel yang akan diukur penulis mengenai hubungan stres kerja dan burnout. lokasi, populasi, sampel, instrumen yang akan digunakan dan variabel yang akan diukur penulis mengenai hubungan stres kerja dan burnout.