MASA DEPAN KAJIAN KEISLAMAN DI PTAI Mujiburrahman. Abstrak. Kata-kata kunci: Kajian keislaman PTAI, normatifitas, dan globalisasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

Peran PTAIN Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Riau dalam bahasa Ingris adalah Staed Islamic University of Sultan Syarif Kasim

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi ini persaingan bukan hanya hak monopoli bidang

BAB III HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Subjek, Objek dan Lokasi Penelitian

SEKOLAH AGAMA Oleh Nurcholish Madjid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah dan Penegasan Judul

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan sistem pendidikan yang dibuat pemerintah kolonial Belanda.

Paradigma Pengembangan Keilmuan di UIN Malang

Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi sekolah erat hubungannya dengan masyarakat. dan didukung oleh lingkungan masyarakat. 1

Menjadikan Jurusan Syari`ah sebagai institusi pendidikan Tinggi yang berkualitas serta berorientasi pada keilmuan dan pasar kerja. C.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari belum mengerti sampai mengerti agar lebih maju dan handal dalam

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia

BAB IV ANALISIS DATA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1

BAB IV GAMBARAN UIN SUSKA. Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 tertanggal 4 Januari Keputusan Menteri Agama RI No. 194 Tahun 1970.

Buku ini diawali dengan puisi "Bulan, Apa Betul itu, Kau Sulit Dilihat" katya Tauflq Ismail, yang dapat menambah semangat dalam membaca buku ini.

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

Urgensi, Strategi, dan Implikasi Perubahan IAIN Menjadi UIN

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT

KURIKULUM PROGRAM STUDI S.1 MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI) FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG TAHUN AKADEMIK

BAB I PENDAHULUAN. rangka mewujudkan dinamika peradaban yang dinamis.

Pendahuluan. Ainol Yaqin. Pertemuan ke-1 M E T O D O L O G I S T U D I I S L A M

BAB 1 PENDAHULUAN. mengembangkan pola kehidupan bangsa yang lebih baik. berorientasi pada masyarakat Indonesia seutuhnya, menjadikan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah perannya sebagai seorang mahasiswa. Ada banyak sekagli pekerjaan,

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran

PENDAFTARAN PROGRAM BEASISWA SANTRI BERPRESTASI 2018

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB I PENDAHULUAN. di hampir semua aspek kehidupan manusia. Di satu sisi perubahan itu bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik)

BAB I PENDAHULUAN. adalah suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses Islamisasi kehidupan masyarakat. Pada proses perjalanan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bahwa bangsa yang berada dalam tahap pembangunan dan perkembangan,

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok

DIREKTORAT PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM DEPARTEMEN AGAMA RI TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. bersaing di era globalisasi dan tuntutan zaman. Perkembangan ilmu


Madrasah Dalam Sistem Pendidikan Nasional MADRASAH DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. Kata Kunci: Madrasah, Sistem dan Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Lia Nurul Azizah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas

BAB V ANALISIS. melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan

BAB I PENDAHULUAN. (Perserikatan Bangsa-Bangsa). (Yusuf dan Anwar, 1997) dalam menjawab tantangan zaman di era globalisasi. Pembelajaran bahasa Arab

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan akan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang dapat berkompetisi di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

BAB I PENDAHULUAN. berkembang melalui penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (BNSP, 2006: 5).

BAB I PENDAHULUAN. Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dila Farida Nurfajriah, 2013

PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan sudah ada. mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kebaikan.

PENINGKATAN MUTU PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA) YANG PROFESIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Pembinaan SMA Departemen Pendidikan Nasional sebagai sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah ialah karena dirasakan tidak efektifnya lembaga-lembaga. reformulasi ajaran dan pendidikan Islam.

BAB I PENDAHULUAN. masuknya budaya asing di Indonesia membuat masyarakat melupakan

KETETAPAN SENAT AKADEMIK INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Nomor : 023/SK/K01-SA/2002 TENTANG HARKAT PENDIDIKAN DI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. dicapai demi tercapainya tujuan. Masalah pendidikan telah disebutkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran yang berorientasi pasar merupakan kebutuhan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

PANDUAN HIBAH PENULISAN BUKU ISLAM DALAM DISIPLIN ILMU

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia

PANCASILA PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. perguruan tinggi sudah sangat dirasakan perlu, termasuk untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan semakin jauhnya dari ajaran-ajaran suci agama.

BAB 1 PENDAHULUAN. mensosialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu. mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis. 3

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan harkat dan martabatnya. Seiring dengan perputaran waktu. normatif yang lebih baik dan mampu menjawab tantangan zaman.

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (Studi Tentang Kebijakan Departemen Agama Pada Masa A. Mukti Ali) Fendi Teguh Cahyono

BAB I PENDAHULUAN. antara lain pemerintah, guru, sarana prasarana, dan peserta didik itu sendiri.

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Muhammad Khoerudin, 2016

BAB I PENDAHULUAN. peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Diantara elemen tersebut adalah instruktur atau pendidik, materi ajar, metode, tujuan

BAB I PENDAHULUAN. pada hakikatnya sudah dikenal sejak lama sebelum kebudayaan tulis atau

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik

I. PENDAHULUAN. makhluk individu dan makhluk sosial, sehingga siswa dapat hidup secara

PENDAHULUAN. Sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang, pondok pesantren merupakan

KURIKULUM SEJARAH PERADABAN ISLAM. Oleh Budi Sulistiono 1

BAB I PENDAHULUAN. Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (Q.S. al-hijr/15: 9).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Islam merupakan agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Mengingat mutu pendidikan adalah hal yang penting, pembelajaran pun harus

PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN

Transkripsi:

MASA DEPAN KAJIAN KEISLAMAN DI PTAI Mujiburrahman Abstrak Tulisan ini berawal dari persoalan tiga masalah yakni komitmen PTAI pada agama Islam sebagai dasar normatif bagi pendidikan yang dilaksanakannya di satu sisi, dan keharusannya untuk tanggap terhadap dinamika perubahan sosial, budaya, politik dan ekonomi di masyarakat di sisi lain. Dua hal ini menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam meletakkan pada posisi yang tepat dan proporsional jika PTAI ingin dapat terus bertahan menghadapi perubahan zaman Kata-kata kunci: Kajian keislaman PTAI, normatifitas, dan globalisasi A. Pendahuluan Istilah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mencakup Universitas Islam Negeri (UIN) atau Universitas Islam swasta yang memiliki fakultas agama, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang memiliki beberapa fakultas agama dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), baik negeri atau swasta, yang memiliki satu atau dua jurusan kajian keislaman. PTAI secara kelembagaan berkembang pesat, seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia sejak awal abad ke-20. Di abad ke-21 ini, ketika perubahan sosial, budaya dan politik semakin intens di tingkat lokal, nasional dan global, maka PTAI mau tidak mau harus dapat menghadapi segala tantangan perubahan tersebut. Karena itu, upaya melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan oleh PTAI di satu sisi, dan menganalisis berbagai perubahan yang terjadi di sisi lain, amatlah penting. Ada beberapa masalah yang tengah dihadapi PTAI. Pertama adalah masalah tujuan pelaksanaan kajian keislaman itu sendiri. Apakah PTAI adalah lembaga dakwah atau lembaga akademis, atau kedua-duanya? Meskipun sebagai lembaga pendidikan tinggi PTAI jelas bersifat akademis, tetapi perannya di masyarakat seringkali

berhubungan erat dengan dakwah. Kedua, apakah kajian-kajian keislaman yang telah dilembagakan di PTAI sudah benar-benar memperhatikan kebutuhan masyarakat sehingga jika orang kuliah di lembaga ini maka ia memiliki harapan masa depan yang jelas? Ketiga, agar kajian keislaman berkembang dinamis dan mampu menghadapi tantangan zaman, metodologi kajian keislaman seperti apa yang harus dikembangkan? Tiga masalah tersebut tidak terlepas dari dua hal yang saling berhubungan erat, yaitu komitmen PTAI pada agama Islam sebagai dasar normatif bagi pendidikan yang dilaksanakannya di satu sisi, dan keharusannya untuk tanggap terhadap dinamika perubahan sosial, budaya, politik dan ekonomi di masyarakat di sisi lain. Dua hal ini harus dapat diletakkan pada posisi yang tepat dan proporsional jika PTAI ingin dapat terus bertahan menghadapi perubahan zaman. B. Selayang Pandang Sejarah PTAI Kalau kita perhatikan asal mula sejarah berdirinya pendidikan tinggi Islam di Indonesia, kita dapat melihat dengan jelas bahwa tokoh-tokoh Muslim di paruh pertama abad ke-20 semakin menyadari betapa kajian keislaman di negeri ini perlu ditingkatkan ke level perguruan tinggi. Pada tahun 1938, M. Natsir misalnya mengatakan bahwa Sekolah Tinggi Islam (STI) perlu didirikan karena pendidikan pesantren dan madrasah baru dapat menciptakan manusia yang beriman dan berakhlak mulia, tetapi tidak tanggap dengan persoalan-persoalan dunia. Pada tahun yang sama, Satiman Wirjosandjojo menulis bahwa pendidikan tinggi Islam diperlukan antara lain agar dapat menandingi tokoh-tokoh agama Kristen yang mendapat pendidikan akademis dalam tradisi Barat. Selanjutnya, pada tahun 1945, Bung Hatta lebih jauh menggagas bahwa pendidikan tinggi Islam perlu didirikan agar agama ini tidak dipelajari secara dogmatis belaka, melainkan diperkaya dengan filsafat, sejarah dan sosiologi. Hatta juga mengatakan bahwa perguruan tinggi Islam tidak hanya mempelajari hukum Islam, tetapi juga hukum negara agar keduanya dapat berinteraksi secara dinamis. Inisiatif Hatta mendirikan STI di Jakarta tahun 1945 dapat terwujud. Tetapi karena agresi militer Belanda, pada tahun 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta. Perpindahan ini kemudian berujung pada perubahan STI menjadi Universitas Islam

Indonesia (UII), nama yang secara formal ditetapkan tahun 1948. Di UII kemudian dibuka beberapa fakultas seperti Hukum, Ekonomi, Pendidikan dan Agama. Ini berarti kajian keislaman secara khusus ditempatkan di satu fakultas, yakni Fakultas Agama. Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pandangan Natsir, Satiman dan Hatta dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam mengikuti pendidikan Barat. Mereka menyadari bahwa pola pendidikan Barat memiliki banyak keunggulan yang dalam batas tertentu dapat diadopsi untuk pendidikan tinggi Islam. Keinginan Natsir agar tokoh agama Islam mengerti persoalan-persoalan dunia, kekhawatiran Satiman dengan kualitas ulama pesantren yang kalah dengan pendeta-pendeta Kristen karena yang terakhir mendapatkan pendidikan tinggi ala Barat, serta keinginan Hatta memasukkan pelajaran filsafat, sejarah, sosiologi dan hukum dalam kajian Islam di perguruan tinggi, semua ini menunjukkan adanya pengaruh pendidikan Barat dalam gagasan mereka.(jabali, Fuad dan Jamhari, 2002:60). Tetapi sejarah rupanya bergerak ke arah yang berbeda. Pada tahun 1950 Fakultas Agama UII ditetapkan pemerintah menjadi lembaga tersendiri yang disebut Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN). Pada tahun 1951, PTAIN memiliki tiga fakultas yaitu Fakultas Tarbiyah, Qadha dan Dakwah. Maka berbeda dengan posisinya sebagai salah satu fakultas di UII, di PTAIN kajian-kajian keislaman dirinci dalam beberapa fakultas. Besar kemungkinan bahwa pembagian fakultas-fakultas tersebut dipengaruhi oleh model perguruan tinggi di Timur Tengah, khususnya Mesir, yang telah memiliki kontak budaya dan politik yang cukup dekat dan lama dengan bangsa Indonesia. Selanjutnya, pemerintah RI di tahun 1950-an mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta dengan tiga fakultas: Pendidikan Agama, Bahasa Arab, dan Guru Agama Militer. Pada tahun 1960, pemerintah kemudian menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi satu dengan nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan Fakultas Syariah dan Ushuluddin di Yogyakarta, dan Fakultas Tarbiyah dan Adab di Jakarta. Kemudian pada 1963, IAIN Yogyakarta dan Jakarta ditetapkan berdiri sendiri, masing-masing dengan nama IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN Syarif Hidayatullah. Sejak pertengahan 1960-an kemudian sejumlah IAIN didirikan di berbagai provinsi di luar

jawa. Selanjutnya, mulai abad ke-21 ini, sejumlah IAIN diubah menjadi UIN di mana fakultas-fakultas umum dibuka. Perubahan dimulai dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2002, kemudian disusul UIN Alauddin Makassar, UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan UIN Sultan Syarif Kasim Pekan Baru pada tahun 2004. Sejarah singkat PTAI di atas menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, sejak semula ada keinginan untuk mengembangkan kajian keislaman secara akademis di perguruan tinggi dengan bercermin pada tradisi akademik Barat. Tetapi keinginan ini kemudian agak berubah arah ketika kajian keislaman berdiri sendiri, terpisah dari universitas yang memiliki fakultas-fakultas umum. Pembagian dan penamaan fakultasfakultas di PTAIN, IAIN dan STAIN jelas menunjukkan adanya pengaruh model Timur Tengah. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, IAIN malah diperluas menjadi UIN. Di UIN ilmu-ilmu umum yang dalam bentuk mutakhirnya banyak berkembang di Barat tidak lagi sekadar pelengkap kajian keislaman, melainkan berdiri sendiri dalam berbagai fakultas. Berdrinya UIN tentu mengingatkan kita pada UII dulu, meskipun tidak sepenuhnya sama. Yang jelas, ada kesan bahwa roda sejarah berputar kembali ke titik semula. Kedua, meskipun model UII cenderung kepada Barat dan model IAIN cenderung pada Timur Tengah, dalam proses pengembangan kurikulum IAIN, kita dapat saksikan adanya usaha-usaha untuk memperkaya kajian keislaman dengan ilmuilmu sosial dan humaniora yang tentu saja kebanyakan berasal dari Barat. Maka model kajian keislaman yang berkembang di IAIN menjadi sebuah upaya sintesis antara pendekatan Timur Tengah dan Barat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengiriman dosen-dosen IAIN untuk studi lanjut ke Timur Tengah dan ke Barat selama ini. Memang harus diakui bahwa upaya membuat sintesis itu tidaklah mudah dan sejauhmana usaha tersebut berhasil tidak mudah pula diukur. Ketiga, mengingat PTAI sebagian besar didirikan dengan bantuan pemerintah, maka tak dapat dihindari adanya kepentingan negara dalam proses penyelenggaraan pendidikan tersebut. Selama ini kebanyakan alumni PTAI meniti karir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Agama. Ini berarti pendidikan akademis di PTAI antara

lain memiliki tujuan pragmatis pula. Yang menjadi masalah kadangkala tujuan pragmatis tersebut semakin kelihatan menonjol ketimbang tujuan-tujuan akademis sehingga sejumlah fakultas di PTAI seperti Ushuluddin, Adab dan Dakwah menderita kelangkaan peminat. (H.A Soetjipto, dan Agussalim Sitompul, 1986:60). Ketiga poin penting yang ditarik dari sejarah singkat PTAI tersebut jelas mempengaruhi perkembangannya dari dulu hingga sekarang dan akan datang. Tiga masalah utama yang dihadapi PTAI, seperti yang telah disebutkan di bagian awal tulisan ini yaitu masalah tujuan, kelembagaan dan metodologi, tidak bisa terlepas dari akar-akar historis tersebut. C. Tujuan PTAI: Akademis dan Dakwah Kajian agama, termasuk kajian keislaman, pada mulanya adalah kajian yang dilakukan oleh para pemeluk agama yang bersangkutan sebagai upaya mencari petunjuk dan pegangan hidup. Dalam hal ini, agama dipelajari sebagai kumpulan ajaran dan praktik yang kebenarannya sudah diterima apa adanya. Ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari itu kemudian diharapkan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan pada gilirannya disebarluaskan, atau dalam bahasa agama, didakwahkan, kepada masyarakat yang belum mengetahuinya. Kajian keislaman yang berwatak normatif ini dapat kita temukan di berbagai majelis taklim, ceramah para ulama di radio dan televisi, dan juga dalam bentuk karya-karya tulis. Yang menjadi soal adalah, ketika agama dikaji secara akademis, apakah ia berwatak normatif pula? Apakah kajian keislaman di PTAI sama saja dengan ceramah di majelis taklim atau berbeda? Meskipun secara teoritis barangkali dapat ditarik garis yang tegas antara kajian keislaman yang bersifat normatif dan yang bersifat akademis, dalam kenyataannya, kajian-kajian keislaman di PTAI menunjukkan suatu persinggungan antara keduanya. Kadangkala kecenderungan pada satu sisi terkesan mengabaikan sisi yang lain. Tetapi kedua unsur itu tetap sulit dipisahkan, terutama karena bagaimanapun juga kajian keislaman di PTAI haruslah memperhatikan relevansinya bagi perkembangan zaman.

Yang menjadi soal selama ini tampaknya bukan karena adanya ketegangan atau konflik antara orientasi akademis dan orientasi dakwah, melainkan kekurangmampuan kita dalam menempatkan PTAI pada kedua orientasi tersebut secara tepat dan proporsional. Sebagian dosen di PTAI malah masih mengajar laksana seorang penceramah. Apalagi kalau yang bersangkutan memang dikenal sebagai penceramah kondang. Di sisi lain, adapula dosen yang tak mau atau tak pandai berceramah, dan lebih suka memaparkan kajian keislaman secara deskriptif dan kering tanpa keterlibatan. Ia seolah berperan seperti seorang orientalis yang memperlakukan Islam laksana tubuh yang sudah mati. Apakah kiranya jalan yang kita pilih agar orientasi dakwah dan akademis tersebut dapat dipadukan secara harmonis? Sebagai lembaga pendidikan tinggi, PTAI memang harus mengembangkan kajian keislaman yang bersifat akademik dalam arti mencoba memahami berbagai pemikiran dan fenomena sosial keagamaan sebagaimana adanya secara kritis, empiris dan rasional. Semua aliran dan gerakan dalam Islam, bahkan agama-agama lain, sedapat mungkin dipelajari secara obyektif. Dengan orientasi akademis ini, maka para sarjana PTAI diharapkan memiliki wawasan yang luas, lapang dada terhadap beragam pendapat, dan dapat memahami dinamika keagamaan yang terjadi di masyarakat. Tetapi jika kajian keislaman di PTAI hanya terbatas pada orientasi akademis murni, maka sumbangannya bagi kehidupan nyata masyarakat tidak akan benar-benar terasa. Kajian keislaman akan menjadi elitis, berada di menara gading, yang hanya dapat dijangkau oleh orang-orang tertentu. Karena itu, agar kajian keislaman itu memiliki nilai guna bagi masyarakat, maka hasil-hasil kajian ilmiah atas berbagai pemikiran dan fenomena sosial keagamaan hendaknya dijadikan pijakan bagi pengembangan dakwah Islam di masyarakat. Dakwah di sini tentu tidak sekadar berarti menyampaikan pesanpesan Islam secara eksklusif, melainkan juga bagaimana agar kajian-kajian akademis keislaman itu dapat memberikan sumbangan positif bagi kehidupan seluruh bangsa. (Mujiburrahman. 2003:54-57). Selama ini cukup banyak kajian ilmiah keislaman yang dihasilkan PTAI, baik kajian yang memfokuskan pada pemikiran atau pada fenomena sosial keagamaan, yang

telah dipublikasikan sehingga dapat dibaca oleh masyarakat luas. Tetapi karya-karya tersebut umumnya masih terlalu tinggi untuk dapat dipahami oleh mereka yang tidak menekuni bidang kajian keislaman sebagai keahlian. Karena itu, karya-karya akademis di bidang keislaman yang telah dipublikasi masih belum begitu berhasil menyentuh khalayak yang luas. Apalagi kita juga mengetahui bahwa sejumlah hasil penelitian PTAI hanya dicetak terbatas dan di simpan di perpustakaan sendiri tanpa banyak diketahui orang luar. Untuk menghindari agar kajian keislaman di PTAI tidak menjadi elitis dan berada di menara gading, diperlukan upaya-upaya menjembatani antara perguruan tinggi dan masyarakat. Sebagai contoh, hasil-hasil penelitian yang dianggap berbobot dapat diseminarkan secara terbuka dengan mengundang tokoh-tokoh masyarakat, para ulama dan para pejabat yang memiliki wewenang membuat kebijakan publik. Dengan cara ini, keberadaan PTAI akan benar-benar terasa artinya bagi masyarakat. Apalagi jika hasilhasil penelitian itu dapat disampaikan kepada publik yang lebih luas, dengan bantuan media massa, dalam bahasa dan istilah yang lebih populer. Selain itu, melalui dialog dengan pihak-pihak di luar kampus, PTAI akan mendapatkan banyak informasi dan saran untuk pengembangan kajian keislaman lebih lanjut. Di sisi lain, kita harus pula mengakui bahwa tradisi penelitian ilmiah di PTAI masih memiliki banyak kelemahan, baik dari segi penguasaan metodologi ataupun dari segi kesungguhan dalam melaksanakan atau membimbing suatu penelitian. Banyak skripsi dan tesis bahkan disertasi yang diproduksi setiap tahun, tetapi berapakah di antaranya yang benar-benar berbobot? Manakah yang dibimbing dengan sungguhsungguh oleh dosen? Di antara penelitian dosen-dosen sendiri, manakah yang benarbenar dikerjakan serius dan menunjukkan hasil yang memuaskan? D. Perombakan Kelembagaan? Seperti telah disinggung di atas, salah satu persoalan yang dihadapi PTAI adalah bentuk kelembagaan yang dikembangkan. Pada mulanya adalah Sekolah Tinggi, kemudian menjadi salah satu fakultas di Universitas, lalu berubah menjadi Institut dan akhirnya berubah lagi menjadi Universitas dengan cara menambah fakultas-fakultas

umum dan tetap mempertahankan fakultas-fakultas agama yang telah ada. (Mujiburrahman. 2008:64). Lantas, ke manakah arah PTAI di masa depan? Para petinggi STAIN banyak yang ingin mengubah lembaganya menjadi IAIN, sedangkan para petinggi yang terakhir banyakpula yang ingin mengubah lembaganya menjadi UIN. Seolah ketiga jenis kelembagaan ini merupakan tahap berjenjang naik yang harus diikuti semua pihak. Dalam kenyataannya, harus diakui bahwa arah pengembangan UIN-UIN yang ada masih belum begitu jelas (kecuali bahwa bangunan gedungnya mentereng), sementara sejumlah STAIN dan IAIN juga mengalami krisis mahasiswa, khususnya di Fakultas Adab, Dakwah dan Ushuluddin, dan beberapa jurusan di Fakultas Syariah. Menyadari akan hal ini, maka sudah sepantasnya kita meninjau ulang masalah kelembagaan di PTAI. Persoalan mendasar yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kiranya pengembangan kajian keislaman di PTAI dapat memenuhi tujuan akademis sekaligus pragmatis. Tujuan akademis adalah tujuan pengembangan keilmuan, sedangkan tujuan pragmatis adalah orientasi kerja masa depan alumni. Membludaknya mahasiswa di Fakultas Tarbiyah di seluruh PTAI menunjukkan bahwa tujuan pragmatis amatlah penting. Tetapi jika PTAI hanya melayani tujuan pragmatis, maka dia akan berfungsi laksana Sekolah Dinas belaka, atau bahkan sekadar Pusat Pendidikan dan Latihan. Saya kira sekarang sudah saatnya kita merombak struktur kelembagaan di PTAI agar dapat memenuhi kedua tuntutan tersebut. Pertama, untuk tujuan yang bersifat pragmatis, PTAI selayaknya mengembangkan fakultas khusus yang menaungi sejumlah jurusan, yang secara spesifik disiapkan untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di birokrasi Departemen Agama. Fakultas ini adalah sejenis pendidikan kejuruan di mana para alumninya diharapkan akan dapat membuat birokrasi Departemen Agama menjadi lebih efisien, bersih dan berwibawa. Selama ini, birokrasi DEPAG diisi oleh alumni fakultas-fakultas agama yang umumnya tidak secara khusus disiapkan untuk menjalankan tugas-tugasnya sehingga ketika masuk kerja, mereka masih perlu dididik dan dilatih lagi. Ini akhirnya membuat birokrasi kita kurang efesien dan cenderung amburadul.

Mengatakan bahwa di PTAI perlu dikembangkan pendidikan yang berorientasi pragmatis tentu saja tidak berarti bahwa kajian-kajian keislaman tidak diberikan dalam pendidikan tersebut. Kajian-kajian keislaman yang sifatnya mendasar seperti tafsir, hadis, fiqh dan tasawuf, tentu tetap diberikan sebagai ciri khas pendidikan di PTAI. Apalagi jika kajian keislaman itu secara khusus terkait dengan jurusan yang diambil. Misalnya kita membuka jurusan pengelolaan ibadah haji. Maka perihal fiqh, tasawuf dan falsafah haji harus menjadi mata kuliah wajib. Demikianpula, mereka yang akan ditempatkan membina kerukunan umat beragama, tentu wajib mendalami perbandingan agama. Demikianpula mereka yang akan bekerja sebagai guru agama dan hakim agama, harus mendalami materi-materi keislaman yang diperlukan. Yang kedua adalah kajian keislaman yang secara khusus berorientasi akademis. Untuk jenis kajian semacam ini, orang-orang yang masuk akan diseleksi lebih ketat. Mereka diharapkan akan menjadi akademisi-akademisi kajian keislaman yang handal, baik sebagai dosen, peneliti atau pemikir. Agar bergengsi, pendidikan jenis ini sangat dibatasi jumlahnya, dan kalau bisa semua mahasiswa diberikan beasiswa hingga program S-2, dan jika prestasinya bagus, dilanjutkan ke S-3. Mereka yang berprestasi juga diberi jaminan akan diangkat menjadi dosen atau peneliti di PTAI. Ini juga sebagai persiapan ke depan bahwa dosen dan peneliti harus berpendidikan S-3, sebagaimana yang sudah berlaku baik di Barat ataupun di Timur Tengah, bahkan di beberapa negara Asia Tenggara. (Azyumardi Azra dan Saiful Umum, 1998:70). Dengan cara ini, maka kajian keislaman yang amat penting seperti tafsir, hadis, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, hukum Islam, sejarah Islam dan sastra Islam, akan tetap diminati masyarakat karena memberikan kejelasan masa depan. Selain itu, kita akan dapat memperoleh bibit-bibit unggul melalui seleksi yang ketat, adil dan transparan. Adapun kondisi yang dihadapi sekarang ini justeru terbalik. Anak-anak yang cemerlang justeru kebanyakan memilih fakultas yang lebih berorientasi pragmatis seperti Fakultas Tarbiyah, sementara anak-anak yang tidak begitu cerdas akhirnya malah terlempar ke Fakultas Ushuluddin dan Adab yang sesungguhnya memerlukan orang-orang yang mampu berpikir mendalam.

Saya kira dua jenis kajian di atas perlu dijadikan dasar pijakan bagi perombakan fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan di PTAI. Untuk sederhananya, mungkin lebih mudah kita bagi dua fakultas saja, yakni Fakultas Kejuruan Keagamaan dan Fakultas Kajian Islam. Yang pertama lebih bersifat pragmatis, sedangkan yang kedua lebih berorientasi akademis. Untuk jurusan-jurusan di dalamnya, dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Perombakan ini mungkin terkesan radikal, tetapi saya kira pilihan ini lebih realistis dan menjanjikan dibanding jika kita terus berkutat dengan status qou seperti kondisi sekarang ini. Adapun fakultas-fakultas umum yang sudah dibuka di UIN, tetap akan dipertahankan dan terus dikembangkan dengan mengacu pada apa yang sudah dilakukan oleh universitas umum. Tentu saja sebagai universitas Islam, para mahasiswa di fakultasfakultas umum UIN harus diberikan dasar-dasar ilmu keislaman yang kuat, meskipun mereka tidak perlu menjadi ahli kajian Islam. E. Metodologi dan Cakupan Kajian Keislaman Seperti telah disinggung di atas, tradisi keilmuan yang dikembangkan di PTAI, termasuk pelembagaannya di beberapa fakultas, telah dipengaruhi oleh dua tradisi ilmiah, yakni Timur Tengah dan Barat. Kiranya tidak salah kalau kita katakan bahwa PTAI sebenarnya berusaha untuk membuat semacam sintesis terhadap dua tradisi ilmiah, yang barangkali diharapkan akan melahirkan tradisi kajian keislaman yang khas Indonesia. Tetapi kalau kita cermati lebih serius, sesungguhnya dikotomi antara tradisi Timur Tengah dan Barat dalam kajian keislaman tidaklah bersifat hitam-putih. Kajiankajian keislaman di Barat, terutama kajian teks, sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan kajian-kajian keislaman klasik yang berkembang di Timur Tengah. Apalagi kalau kita cermati kajian filsafat Islam dan tasawuf. Persentuhan tradisi Barat dan Timur Tengah sangat kentara sekali, terutama karena keduanya sama-sama mengambil unsurunsur penting dari Filsafat Yunani. Memang harus diakui pula, bahwa kajian keislaman yang berkembang di Barat, khususnya sejak abad ke-18, banyak sekali dipengaruhi oleh bias kepentingan penjajahan

dan pengaruh pandangan negatif Kristen terhadap Islam. Kajian-kajian keislaman di Barat tersebut, yang oleh Edward W. Said disebut Orientalism (1979) kemudian berkembang menjadi stigma yang sulit dihapus. Stigmatisasi itu biasanya muncul manakala terjadi perbedaan penafsiran suatu ajaran agama yang bernuansa politis yang menyangkut konflik kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat. Maka tuduhan sebagai antek Barat dan murid orientalis pun menyeruak. Ketika sebuah buku diberi judul Ada Permutadan di IAIN (2005) sepertinya stigmatisasi itu sudah begitu parah. (Hartono Ahmad. 2005:30). Jelas stigmatisasi tidak positif bagi perkembangan kajian keislaman yang bersifat akademis. Kalau kita perhatikan sejarah perkembangan PTAI di atas, jelas bahwa para pendirinya berusaha untuk mengembangkan kajian keislaman di lembaga ini dengan sikap terbuka kepada aneka macam pendapat dan pendekatan. Memang di awal tahun 1950-an PTAI akhirnya berdiri sendiri sebagai pusat kajian ilmu-ilmu keislaman. Tetapi kalau kita teliti kurikulumnya, ternyata ilmu-ilmu sosial dan humaniora juga dimasukkan sebagai mata kuliah yang harus dipelajari. Dengan sikap yang terbuka inilah, kajian keislaman di PTAI terus berkembang dinamis. Maka persoalan yang kita hadapi bukanlah bagaimana agar kajian keislaman di PTAI bisa diselamatkan dari pemurtadan atau dibersihkan dari noda-noda orientalisme, melainkan bagaimana meningkatkan penguasaan dan pengembangan metodologi kajian keislaman itu sendiri. Kajian-kajian yang berbasis pada teks, seperti kajian tafsir, hadis dan pemikiran Islam klasik, memerlukan pengembangan metodologi yang lebih baik agar kajian-kajian tersebut tidak menjadi mandul, sekadar mengulang-ngulang apa yang sudah ada. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti sosiologi, antropologi, sejarah, hukum dan filsafat, tentu amat berguna di sini. Sebaliknya, kajian-kajian sosial keagamaan, seperti kajian tentang gerakan keagamaan, politik keagamaan dan budaya keagamaan, semuanya akan semakin berbobot jika diperkaya oleh pemahaman akan teks-teks keagamaan yang relevan. Mengkaji sebuah gerakan Islam radikal misalnya, tanpa memahami bagaimana ideologi mereka dirumuskan berdasarkan teks-teks yang otoritatif, tentu akan menghasilkan pemahaman dan analisis yang dangkal.

Kelemahan kajian keislaman di PTAI selama ini antara lain karena kajian teks sepertinya tidak bertemu dengan kajian sosial empiris. Orang-orang yang berasal dari pesantren dan memiliki kemampuan Bahasa Arab yang baik, biasanya lebih menyukai kajian-kajian teks, sementara mereka yang lemah Bahasa Arab tetapi bagus Bahasa Inggrisnya (atau kedua-duanya lemah), biasanya lebih menyukai kajian sosial. Masingmasing kemudian bergerak di dunianya sendiri. (Hadi Daeng Mapuna, et.al., 1999: 30). Kalau gagasan saya tentang pembagian lembaga PTAI menjadi dua (Fakultas Kejuruan Keagamaan dan Fakultas Kajian Islam) di atas diterima, maka seharusnya pengembangan metode kajian keislaman yang lebih komprehensif dan interdisiplin akan lebih mudah dikembangkan. Alasannya adalah karena kajian keislaman yang semacam ini diutamakan untuk mereka yang kuliah di Fakultas Kajian Islam, yang telah diseleksi ketat secara akademis. Ini berarti mereka yang terseleksi diharapkan tidak memiliki kendala bahasa asing lagi. Sementara untuk mereka yang di Fakultas Kejuruan Keagamaan, kajian mereka lebih diarahkan kepada kajian yang berorientasi praktis. Maka masa depan kajian keislaman di PTAI harus bersifat interdisiplin, khususnya dalam bentuk perpaduan antara analisis pemikiran keagamaan yang kebanyakan ditemukan pada teks, dan analisis sosial, budaya, ekonomi dan politik yang menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Untuk ini, kita harus mau terbuka dan belajar kepada tradisi ilmiah manapun, Timur Tengah atau Barat, selama ia bermanfaat bagi kita. Kajian-kajian antropologi, sosiologi dan politik tentang Islam saat ini sangat berkembang pesat. Perkembangan yang pesat itu tidak hanya terjadi di Barat, tetapi juga di Asia Tenggara, seperti di Singapura, Malaysia, dan tentu saja di Indonesia. Orangorang PTAI akan menjadi hebat jika mereka dapat memadukan kajian ini dengan pemahaman yang mendalam terhadap pemikiran keagamaan yang relevan. (Edward W. Said, 1979: 95). Selain itu, yang juga penting adalah upaya mengembangkan cakupan kajian keislaman agar lebih relevan dengan isu-isu aktual yang terjadi di masyarakat. Berbagai persoalan aktual yang tengah terjadi di tingkat global seperti gerakan keagamaan transnasional, atau yang terjadi di tingkat nasional seperti perkembangan demokrasi di negeri kita, semua ini harus menjadi perhatian kajian keislaman di PTAI. Kajian agama dan

media, atau lebih khusus, agama dan film misalnya, masih jarang sekali terdengar. Sementara kalangan yang bergumul di fakultas umum sebagian memang tertarik pada masalah-masalah ini, namun kadang mereka tidak bisa membuat analisis yang lebih tajam karena kurang memahami pemikiran dan tradisi agama yang bersangkutan. Di samping isu-isu global dan nasional, kita tentu amat perlu mengkaji isu-isu keislaman yang bersifat lokal. Bahkan kajian-kajian keislaman yang bersifat lokal inilah yang akan menunjukkan keunikan dari berbagai PTAI yang tersebar di seluruh Nusantara. Teks-teks keagamaan hingga berbagai gerakan keagamaan lokal masih banyak sekali yang belum tersentuh oleh kajian ilmiah. Padahal, kajian-kajian lokal itu akan sangat berguna, tidak hanya bagi masyarakat di daerah tersebut, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia. F. Kesimpulan Masa depan kajian keislaman di PTAI akan tergantung kepada keputusan yang kita ambil terhadap tiga masalah pokok yang telah dibahas di atas, yaitu: masalah tujuan, kelembagaan, dan metodologi. Tujuan akademis dan tujuan dakwah, selayaknya dapat dipertemukan secara harmonis, bukannya dipertentangkan. Pertemuannya terletak pada usaha mengembangkan kajian-kajian keislaman yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik kaum Muslim sendiri ataupun seluruh bangsa bahkan umat manusia. Sementara itu, agar PTAI dapat berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka kelembagaan di PTAI harus diubah, yakni satu lembaga yang berorientasi pragmatis, dan satu lagi yang berorientasi akademis. Dengan pembagian ini, diharapkan minat masyarakat akan terus tinggi untuk belajar di PTAI tanpa harus mengorbankan bobot kajian keislaman itu sendiri. Akhirnya, metodologi kajian keislaman di PTAI sebaiknya dikembangkan ke arah pendekatan inter-disiplin dengan upaya memadukan analisis pemikiran yang berbasis pada kajian teks, dengan analisis sosial yang melihat agama sebagai kenyataan kemasyarakatan. Saya kira, ini semua adalah arah yang tepat bagi masa depan PTAI.

DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi dan Umum, Saiful. 1998. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS, PPIM dan Libang DEPAG RI. Jabali, Fuad dan Jamhari. 2002. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos. Jaiz, Hartono Ahmad. 2005. Ada Pemurtadan di IAIN. Jakarta: Pustaka al-kautsar. Mapuna, Hadi Daeng et.al. Dulu IAIN, Kini UIN Alauddin. Makassar: Alauddin Press. Mujiburrahman. 2003. Dilema IAIN sebagai Lembaga Akademis PERTA Vol.6 No.2; 54-57. Mujiburrahman. 2008., Berbagi Pengalaman: Dari IAIN Hingga Negeri Kincir Angin. Yogyakarta: Buah Pena. Said, Edward W. 1979. Orientalism. New York: Vantage Book. Soares, Benjamin dan Osella, Filippo. 2009. Islam, Politicsm Antropology Journal of the Royal Anthropological Institute, S1-S23. Soetjipto, H.A dan Sitompul, Agussalim. 1986. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Institut Agama Islam Negeri al-jami ah. Yogyakarta: LPM IAIN Sunan Kalijaga.