PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN. Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB II LANDASAN TEORI

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

PENDAHULUAN. perubahan dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal sebagai krisis

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

SKRIPSI. TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Kasus Putusan No:44/Pid.B/2012/PN.Jo) OLEH:

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA MEMBUKA RAHASIA NEGARA SOAL UJIAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Pengakkan hukum yang terjadi

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

Transkripsi:

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Tindak Pidana Penggelapan Secara Berlanjut (Studi Kasus Putusan Nomor 55/Pid.B/2010/PN.Palu), dengan identifikasi masalah bagaimanakah penerapan hukum pidana materil dalam perkara tindak pidana penggelapan yang dilakukan secara berlanjut dan bagaimana Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Tindak Pidana Penggelapan Secara Berlanjut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil dalam perkara tindak pidana penggelapan yang dilakukan secara berlanjut dan untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Tindak Pidana Penggelapan Secara Berlanjut. Lokasi penelitian ini bertempat di Pengadilan Negeri Palu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fakta-fakta dan alat bukti yang terungkap dipersidangan maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sesuai yang dijatuhkan Majelis hakim, dengan menjalani pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Penggelapan secara berlanjut sebenarnya bukan suatu hal yang baru dalam masyarakat. Modus operandi seperti ini umumnya terjadi dalam ruang lingkup keluarga, perusahaan, ataupun instansi-instansi pada umumnya. Kata Kunci : Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum. Penegasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai Negara hukum Negara menjamin setiap warga negara Indonesia berkedudukan yang sama di dalam hukum. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi : Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Di setiap negara hukum, pelaku penyimpangan norma hukum diharuskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena norma hukum dibuat untuk dipatuhi sehingga apabila dilanggar maka dikenakan sanksi. Seperti halnya Negara Indonesia yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Atas Dasar Hukum dan tidak berdasar kekuasaan belaka. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga segala tingkah laku warga negaranya harus berpedoman pada norma hukum yang ada. Pelaku penyimpangan negara hukum diharuskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Norma hukum dibuat untuk dipatuhi, sehingga apabila dilanggar maka dikenakan sanksi. Dengan konsekuensi pemerintah harus menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat dalam arti bila ada warga negara yang merasa dirinya tidak aman, maka ia berhak meminta perlindungan hukum kepada yang berwajib atau pemerintah. Oleh karenanya dalam menegakkan atau menjamin untuk keamanan dan ketertiban masyarakat, maka diperlukan sanksi sedangkan sanksi ada bila ada hukum yang mengaturnya. 1

Ruang lingkup hukum pidana berorientasi pada kepentingan umum. Apabila terjadi pelanggaran norma hukum dalam pergaulan hidup maka akan terjadi goncangan, sehingga perlu upaya-upaya untuk menegakkan hukum yaitu dengan menindak si pelaku itu sendiri sesuai dengan hukum yang berlaku. Upaya penegakan hukum yang telah maupun sedang berlangsung kadang-kadang menimbulkan persoalan yang tidak terselesaikan karena bersamaan dengan realitas pelanggaran hukum yang berupa kejahatan yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran hukum masyarakat yang kurang. Kejahatan merupakan hasil reaksi sosial, sungguh pun demikian perlu diketahui pula kejahatan, penjahat dan reaksi sosial merupakan kesatuan yang mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Perbuatan pidana bertentangan dengan norma hukum, salah satu perbuatan pidana yang akhir-akhir ini mengalami peningkatan adalah kejahatan harta benda. Oleh karena itu pencurian juga termasuk perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum, sehingga dilarang oleh Undang-undang. Namun demikian pelaku kejahatan termasuk pencurian tetap saja melakukan perbuatan pidana, walaupun perbuatan tersebut diancam dengan sanksi. Salah satu perbuatan melawan hukum yang sering muncul dalam masyarakat adalah perbuatan penggelapan. Penggelapan berasal dari kata gelap atau juga disebut kelam artinya tidak terang, atau dalam arti belum jelas, atau dalam arti rahasia, sesuatu yang tidak terangterangan atau juga dalam arti tidak halal atau tidak sah, menggelapkan artinya menjadikan gelap atau dalam arti mencuri atau memakai barang yang dipercayakan kepadanya. Penerapan hukum terhadap seseorang yang melakukan satu kali tidak pidana penggelapan adalah hal yang umum. Dalam penggelapan secara berlanjut seseorang melakukan delik penggelapan lebih dari satu kali dan adanya beberapa perbuatan dalam penggelapan secara berlanjut akan menimbulkan masalah tentang penerapan hukumnya. Adapun studi kasus yang dibahas dalam penulis skripsi ini berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan yaitu kasus yang kronologisnya sebagai berikut: Semenjak tahun 2009 sampai dengan 2010 terdakwa Erul telah melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya tetapi kemudian terdakwa mulai berlaku curang dengan menjual beberapa barang berupa Rokok Remaja Klasik dan Makanan Ringan (snack) milik UD. Sejahtera Jaya ke toko-toko di daerah Poso dan Morowali. Kepada UD. Sejahtera Jaya terdakwa melaporkan bahwa barang tersebut akan dibayar secara kredit oleh toko-toko yang mengambilnya disertai nota fiktif yang dibuat sendiri oleh terdakwa. Berdasarkan keterangan para pemilik toko tersebut diatas, bahwa nota tersebut tidak benar bahkan beberapa toko selalu membayar lunas pengambilan barangnya kepada terdakwa, namun uang hasil pembayaran barang-barang tersebut malah digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya. Akibat perbuatan terdakwa UD. Sejahtera Jaya mengalami kerugian sebesar Rp. 62.387.000,- (enam puluh dua juta tiga ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) atau sekitar jumlah tersebut. Terdakwa Khaerul Manna alias Erul dihadapkan ke depan persidangan dengan dakwaan melanggar Pasal 374 Jo 64 ayat (1) KUHP. Berdasarkan hal ini penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir bermaksud melakukan penelitian terhadap salah satu jenis perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara berlanjut, dengan judul : Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penggelapan Secara Berlanjut (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Palu nomor 55/Pid.B/2010/PN.Palu). B. Rumusan Masalah 1) Bagaimanakah penerapan hukum pidana materil dalam perkara tindak pidana penggelapan yang dilakukan secara berlanjut? 2) Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjahtuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana penggelapan yang dilakukan secara berlanjut? 2

II. PEMBAHASAN A. Delik Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut 1. Pengertian delik. Istilah delik dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh beberapa sarjana hukum secara berbeda-beda, misalnya Rusli Effendy menggunakan istilah peristiwa pidana, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, sedangkan H.J. Van Scravendijk menggunakan istilah perbuatan yang boleh dihukum. Wirjono Prodjodikoro, Soesilo, dan S.R. Sianturi menggunakan istilah tindak pidana. Sementara itu Andi Zainal Abidin Farid, dan Satochid Kartanegara menggunakan istilah delik. Penggunaan beberapa istilah oleh para ahli hukum di atas disertai dengan alasan pertimbangan. Menurut Moeljatno beralasan bahwa : digunakannya istilah perbuatan pidana karena kata Perbuatan sudah lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari seperti kata perbuatan cabul, kata perbuatan jahat, dan kata perbuatan melawan hukum. 1 Lebih lanjut Moeljatno menegaskan bahwa perkataan perbuatan menunjuk pada yang melakukan dan kepada akibatnya, dan kata perbuatan berarti terjemahan dari strafbaarfeit. 2 Lebih jelasnya, Moeljatno menyatakan sebagai berikut : Kata recht, sudah lazim dipakai istilah hukum : maka dihukum berarti : berecht, diadili yang sama sekali tidak mesti berhubungan dengan straf dipidana: karena perkara-perkara perdata pun di-berecht, maka saya memilih untuk terjemahan strafbaar adalah istilah pidana sebagai singkatan dari yang dapat dipidana. Perkataan perbuatan berarti oleh seseorang yang menunjukkan baik pada yang 1 Sianturi, Pengantar Asas-Asas Hukum Indonesia, Liberti, Yogyakarta, 1986, hlm. 207 2 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 56 melakukan maupun akibatnya. Sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjuk bahwa yang melakukan adalah handeling atau gatraging seseorang mungkin juga berarti langkah baru dan tindak tanduk atau tingkah laku. 2. Unsur-unsur Delik. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsurunsur subyektif dan unsur-unsur obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsurunsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 3 B. Pengertian dan Unsur-Unsur Penggelapan. 1. Pengertian Penggelapan. Penggelapan adalah digelapkannya suatu barang yang harus ada dibawah kekuasaan si pelaku, dengan cara lain dari pada dengan melakukan kejahatan. Jadi barang itu oleh yang punya dipercayakan kepada si pelaku. Pada pokoknya si pelaku tidak memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang. Istilah penggelapan sebagaimana yang lazim dipergunakan untuk menyebut jenis kejahatan yang di dalam buku II Bab XXIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu adalah suatu terjemahan dari perkataan verduistering dalam bahasa Belanda Delik berkualifikasi atau yang bernama penggelapan ini diatur dalam Pasal 372. Banyak unsurunsur yang menyerupai delik pencurian, hanya saja beradanya barang yang dimaksud untuk dimiliki ( zich toeegenen ) itu di tangan pelaku 3 Sianturi, Pengantar Asas-Asas Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 27 3

penggelapan bukanlah karena seperti halnya pencurian. Pengertian pemilikan juga seperti di dalam pencurian. Perbedaan pencurian dan penggelapan terletak pada siapa yang secara nyata menguasai barangnya. Pencurian tidaklah mungkin terhadap suatu barang yang sudah berada dalam kekuasaan hukum kekuasaan nyata pelaku. Pengambilan barang secara melawan hukum dengan persetujuan si pemegang adalah pencurian. Barang yang ada dalam kekuasaannya adalah barang yang dikuasai oleh pelaku, tidak peduli apakah dikuasai olehnya sendiri atau oleh orang lain, termasuk juga barang yang dipercayakan olehnya kepada orang lain yang menyimpan barang itu untuknya. Menguasai Barang berarti bahwa pelaku berada dalam hubungan langsung dan nyata dengan barang itu. Beradanya barang ditangan pelaku yang bukan karena kejahatan itu misalnya semula pelaku dititipi untuk diangkut, dijualkan atau disimpan tetapi kemudian si pelaku mempunyai maksud yang berbeda daripada maksud keberadaan barang itu ditangannya, melainkan menjadi dengan maksud secara melawan hukum untuk bertindak sebagai pemilik. Penggelapan juga mempunyai pemberatan (berkualifikasi) jika ada hubungan kerja tertentu, ada masalah upah, dan penggelapan ringan jika nilai obyeknya maksimal Rp.250,-, kecuali seperti halnya pencurian terdapat juga penggelapan dalam keluarga. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan. Berdasarkan rumusan Pasal 372 KUHP, maka unsur-unsur tindak pidana penggelapan adalah sebagai berikut: a. Unsur-unsur objektif, yang meliputi: 1) Unsur mengakui sebagai milik sendiri (menguasai), Adami Chazawi menerangkan bahwa perbuatan memiliki adalah berupa perbuatan menguasai suatu benda seolaholah ia pemilik benda itu. Dengan pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa pelaku dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Oleh karena sebagai unsur tindak pidana penggelapan unsur ini mempunyai kedudukan yang berbeda dengan unsur yang sama dalam tindak pidana pencurian sekalipun dengan pengertian yang sama. 4 Pada penjelasannya mengenai unsur mengakui sebagai milik sendiri (menguasai), Tongat menyebutkan : Dalam tindak pidana pencurian unsur menguasai ini merupakan unsur subjektif, tetapi dalam tindak pidana penggelapan unsur tersebut merupakan unsur objektif. Dalam hal tindak pidana pencurian, menguasai merupakan tujuan dari tindak pidana pencurian. Dalam hal ini unsur tersebut tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan yang dilarang (yaitu mengambil barang itu) selesai. Dalam hal itu hanya harus dibuktikan, bahwa pelaku mempunyai maksud untuk menguasai barang itu untuk dirinya sendiri, tanpa perlu terbukti barang itu benar-benar jadi miliknya. Sementara dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan menguasai tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang, maka tidak ada penggelapan apabila perbuatan menguasai tersebut belum selesai. 5 Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam tindak pidana penggelapan dipersyaratkan, bahwa perbuatan menguasai itu harus sudah terlaksana atau selesai. Misalnya, barang tersebut telah dijual, dipakai sendiri, ditukar, dan sebagainya. 2) Unsur sesuatu barang, Perbuatan menguasai suatu barang yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas, tidak mungkin dapat dilakukan pada barang-barang yang sifat kebendaannya 4 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm. 72. 5 Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Universitas..Muhammadiyah Malang, Malang, 2006, helm. 59. 4

tidak berwujud. Karena objek penggelapan hanya dapat ditafsirkan sebagai barang yang sifat kebendaannya berwujud, dan atau bergerak. Menurut Adami Chazawi, dalam penjelasannya mengenai unsur ini, menerangkan bahwa : Pengertian barang yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan barang itu, yang menjadi indikatornya ialah, apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda yang berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi terhadap benda-benda tidak berwujud dan tetap. 6 3) Unsur yang seluruh atau sebagian milik orang lain, Unsur ini memberikan kita pemahaman bahwa barang yang dikuasai oleh pelaku penggelapan bukanlah miliknya sendiri melainkan milik orang lain atau badan hukum. Lebih lanjut Adami Chazawi memberikan penegasannya bahwa: Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun tidak dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/ bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan atau pencurian. 7 Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. 4) Unsur barang itu harus sudah ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, Selanjutnya unsur barang itu harus sudah ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan merupakan unsur pokok didalam tindak pidana penggelapan. Apabila suatu barang berada dalam kekuasaan orang bukan karena kejahatan, tetapi karena sesuatu perbuatan yang sah misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan sebagainya. Adami Chazawi (2006:80) menegaskan : Ciri khusus dalam kejahatan penggelapan ini jika dibandingkan dengan pencurian adalah terletak pada unsur beradanya benda dalam kekuasaan petindak ini. Adalah tidak wajar seseorang untuk disebut sebagai mencuri atas benda milik orang lain yang telah berada dalam kekuasaannya sendiri. 8 5) Unsur secara melawan hukum. Suatu benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang dapat oleh sebab perbuatan melawan hukum (suatu kejahatan) maupun oleh sebab perbuatan yang sesuai dengan hukum. Adami Chazawi menjelaskan bahwa: Sebagai syarat dari penggelapan ini adalah barang yang berada dalam kekuasaan petindak haruslah oleh sebab perbuatan yang sesuai dengan hukum seperti karena penitipan, pinjaman, perjanjian sewa, penggadaian, dan sebagainya. 9 Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan penggelapan. b. Unsur subjektif yaitu, dengan sengaja. Unsur ini merupakan unsur kesalahan dalam tindak pidana penggelapan. Adami Chazawi mengklasifikasikan kesengajaan pelaku dalam penggelapan berarti: 6 Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 77. 7 Ibid, hlm. 78. 8 Ibid, hlm. 80. 9 Ibid, hlm. 80 5

1) Petindak mengetahui, sadar bahwa perbuatan memiliki benda milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya itu sebagai perbuatan yang melawan hukum, suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau bertentangan dengan hak orang lain; 2) Petindak dengan kesadaran yang sedemikian itu menghendaki untuk melakukan perbuatan memiliki; 3) Petindak mengetahui, menyadari bahwa ia melakukan perbuatan memiliki itu adalah terhadap suatu benda, yang disadarinya bahwa benda itu milik orang lain sebagian atau seluruhnya. 4) Petindak mengetahui, menyadari bahwa benda milik orang lain berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. 10 C. Perumusan Penggelapan Dalam jabatan. Penggelapan dengan pemberatan diatur didalam Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP sebagaimana dengan tindak pidana yang lain, tindak pidana penggelapan dengan pemberatan ini adalah tindak pidana penggelapan dengan bentuknya yang pokok oleh karena ada unsurunsur lain yang memberatkan ancaman pidananya menjadi diperberat. Istilah yang dipakai dalam bahasa hukum adalah penggelapan yang dikualifikasi. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah penjabaran Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP, yaitu : 1. Penggelapan dengan pemberatan dalam Pasal 374 KUHP sebagai berikut: Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : a. Semua unsur penggelapan dalam bentuk pokok (Pasal 372); b. Unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya benda dalam kekuasaan 10 Ibid, hlm. 83. petindak disebabkan oleh : karena adanya hubungan kerja, karena mata pencaharian, dan karena mendapatkan upah untuk itu. 1) Hubungan Kerja (zijne persoonlijke diensbetrekking) Zijne persoonlijke dienbetrekking atau hubungan kerja pribadi (Kartanegara) adalah hubungan kerja yang bukan hubungan kepegawaian negeri (ambt), akan tetapi hubungan pekerjaan antara seorang buruh dengan majikannya, atau seorang karyawan/pelayan dengan majikannya. Hubungan kerja adalah suatu hubungan yang mengenai keadaan atau kualitas pribadi seseorang. Orang yang dapat melakukan penggelapan ini hanyalah bagi orang yang memiliki kualitas pribadi yang demikian. Berhubung dengan kemungkinan terjadinya penyertaan dalam suatu tindak pidana, maka timbul persoalan tentang bagaimana bila terjadi seseorang yang mempunyai kualitas pribadi yang demikian melakukan penggelapan dengan orang yang tidak memliki kualitas hubungan kerja? Contohnya seorang pekerja toko menjual barang yang diperintahkan oleh majikannya untuk diserahkan pada pelanggannya bersama dengan orang lain yang bukan sesama pekerja toko. Menurut hemat saya, buka pekerja toko itu dapat saja dipersalahkan telah terlibat serta, baik sebagai pelaku penyuruh, pelaku peserta, pelaku penganjur maupun pelaku pembantu dalam penggelapan, dengan alasan bahwa dalam hal pekerja toko tersebut menggelapkan benda tadi dimana ada orang lain yang ikut terlibat, maka orang lain ini bukan sebagai dader (petindak atau pembuat tunggal). Karena bukan dader, maka mereka tidak perlu memenuhi syarat bagi berkualitas sebagai ada hubungan kerja. Syarat harus ada hubungan kerja diperlukan hanyalah bagi seorang dader, dan tidak untuk yang bukan petindak. Sedangkan untuk pelaku pelaksana (plegen), walaupun termasuk kelompok penyertaan yang disebut dalam Pasal 55 (1) 6

KUHP, lain sifatnya dengan yang diterangkan diatas. Pelaku pelaksana tetap harus berkualitas pribadi demikian, dengan alasan karena syarat untuk mewujudkan tindak pidana bagi pelaku pelaksana adalah sama dengan perbuatan seorang petindak. Bahwa perbedaannya adalah hanya bagi pelaku pelaksana ada orang lain yang ikut terlibat (bisa sebagai pelaku peserta, pelaku penganjur maupun pelaku pembantu). Sedangkan pada petindak tidak demikian, ia mewujudkan tindak pidana secara pribadi. 11 Bagi orang-orang yang berkualitas kedua lainnya, yakni sebagai adanya hubungan mata pencaharian maupun mendapat upah untuk itu juga dapat terjadi sebagaimana diutarakan diatas. 2) Mata Pencaharian (beroep) Selain diterjemahkan sebagai mata pencaharian, beroep adakalanya diterjemahkan sebagai karena jabatan atau dengan pekerjaan, adalah suatu mata pencaharian atau jabatan tertentu dimana seorang itu melakukan pekerjaan secara terbatas dan tertentu. 3) Mendapatkan Upah Khusus untuk itu (tegen geldelijke vergoeding) Maksud dari mendapat upah untuk itu, adalah seseorang mendapat upah tertentu berhubung dengan ia mendapat kepercayaan karena sesuatu perjanjian atau lain-lain oleh sebab diserahi sesuatu benda. Jadi kesimpulannya bahwa unsur yang memberatkan dalam pasal ini adalah unsur hubungan kerja dimana hubungan kerja disini adalah hubungan yang terjadi karena adanya perjanjian kerja baik secara lisan maupun secara tertulis. Oleh karena itu, kepadanya dapat dilakukan pemberatan pidana sesuai dengan Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya adalah : Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan 11 Pasal 55 ayat 1 KUHP kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. 12 Selanjutnya, Adami Chazawi menegaskan mengenai pemberatan pidana ini, yaitu : Perbuatan ini juga termasuk melakukan tindak pidana dengan menggunakan jabatan sebagai alatnya karena kadangkala memiki suatu waktu yang tepat untuk melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, apabila kesempatan ini disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana itu maka dia dipidana dengan dapat diperberat sepertiganya dari ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam tindak pidana yang dilakukannya tadi. 13 Perlu diperhatikan bahwa penggelapan dengan pemberatan melalui Pasal 52 KUHP hanya dapat dilakukan oleh subjek hukum yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja. 2. Penggelapan dengan pemberatan dalam Pasal 375 KUHP yang menyatakan: Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. 14 III. PENUTUP A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian-uraian pada Bab-bab sebelumnya maka saya mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penerapan hukum pidana materiil terhadap penggelapan dalam jabatan yang dilakukan secara berlanjut dalam perkara putusan nomor 55/Pid.B/2010/PN.PL didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dipersidangan serta diperkuat dengan adanya alat bukti dan semua itu dapat 12 Pasal 52 KUHP 13 Ibid, hlm. 74 14 Pasal 375 KUHP 7

dipandang saling berhubungan satu sama lain. Maka terdakwa Khaerul Manna alias Erul telah terbukti melakukan tindak pidana penggelapan dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu berupa Rokok Remaja Klasik dan Makanan Ringan (snack) dengan harga keseluruhannya sekitar Rp. 62.387.000,- (enam puluh dua tiga ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) yang seluruhnya atau sebahagian adalah kepunyaan orang lain yaitu milik UD. Sejahtera Jaya. Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, sesuai dengan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis hakim, dengan menjalani pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. 2. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana penggelapan yang dilakukan secara berlanjut bahwa sanksi yang yang diberikan sudah tepat jika dilihat dari halhal yang memberatkan dan meringankan dari terdakwa, yang mana perbuatan terdakwa megakibatkan kerugian kepada UD. Sejahtera Jaya dan juga toko-toko para pelanggan. Berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada kemudian dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum, maka Hakim dapat memperoleh fakta-fakta, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar Hukum Majelis Hakim menjatuhkan putusan. Dengan pemberian hukuman penjara oleh hakim yang telah tepat, maka diharapkan dan dimungkinkan terdakwa tidak dapat mengulangi perbuatannya dikemudian hari. 8

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Sianturi, Pengantar Asas-Asas Hukum Indonesia, Liberti, Yogyakarta, 1986. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 2002. Sianturi, Pengantar Asas-Asas Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1986. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia Publishing, Malang, 2006. Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2006. B. Peraturan Perundang-Undangan UUD NRI 1945 KUHP 9

BIODATA RISKA YANTI, Lahir di...,... Alamat Rumah Jalan..., Nomor Telepon +62..., Alamat Email... 10