BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian kredit oleh bank dilakukan berdasarkan perjanjian. Berhubung perjanjian kredit bank belum diatur secara khusus maka prinsip dan asas hukum perjanjian dalam hukum perdata berlaku saat melakukan perjanjian kredit. Saat debitur akan mengajukan kredit maka debitur harus memperhatikan klausulklausul yang terdapat dalam perjanjian kredit. Dalam perjanjian kredit dengan bank, biasanya terdapat klausul baku. Hal ini tidak dilarang karena faktor kehatihatian yang dijalankan oleh bank namun kadang tidak sesuai dengan harapan debitur. Selain itu harus diingat, bahwa bank juga mencari keuntungan dari pemberian kredit melalui bunga hutang yang harus dibayar oleh debitor (peminjam) kepada bank. Sebagaimana kita ketahui bahwa perbankan nasional tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab untuk mendukung pembangunan nasional di bidang perumahan rakyat.proses pemberian kredit pada umumnya diawali dengan transaksi antara penjual dan pembeli.sementara itu kebutuhan pembiayaan tidak dapat dipenuhi oleh semua debitur dengan membeli secara tunai, oleh karena itu dibutuhkan lembaga keuangan dalam hal ini bank yang menyediakan / menyalurkan dana dalam bentuk kredit,guna membiayai pemenuhan kontrak antara penjual dan pembeli. Melalui fasilitas pinjaman, baik dari bank pemerintah maupun bank swasta nasional, membuktikan bahwa bank pemerintah maupun 1
bank swasta nasional memberikan kontribusi besar bagi penyediaan pendanaan kepada masyarakat. Pemberian kredit bagi perbankan memang merupakan salah satu kegiatan yang utama, karena pendapatan terbesar dari perbankan bersumber dari sektor tersebut, misalnya pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pemberian kredit secara keseluruhan menempati 90% dari total pendapatan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pada tahun 2016 1. Besarnya kredit yang disalurkan, dibarengi dengan kolektibilitas kredit yang baik akan menentukan kesinambungan usaha bank. Oleh karena itu pemberian kredit harus dilakukan dengan perencanaan yang matang, mengingat setiap pemberian kredit merupakan kegiatan yang mengandung risiko tinggi terjadinya wanprestasi terhadap perjanjian kredit, oleh karena itu dalam melakukan kegiatan tersebut, perbankan diwajibkan untuk selalu memegang teguh prinsip kehati-hatian. Kredit merupakan aktiva berisiko bagi bank karena asset bank itu dikuasai pihak luar bank yaitu para debitur. Setiap bank menginginkan dan berusaha keras agar kualitas aktiva berisiko ini sehat dalam arti produktif dan memiliki status lancar yang dicerminkan dari kemampuan debitur untuk membayar bunga dan pokok pinjaman. Namun kredit yang diberikan kepada para debitur selalu memiliki risiko berupa kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya yang dinamakan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank karena bank tidak mungkin terhindarkan sepenuhnya dari kredit bermasalah. Bank hanya berusaha 1 Laporan keuangan konsolidasi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, periode Desember 2016 2
menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan. 2 Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional, pada Bab II Pasal 4 ayat 2.d Tentang Bank Dalam Pengawasan Intensif, disebutkan bahwa Bank Indonesia menetapkan bank dalam pengawasan intensif jika dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika memenuhi salah satu kriteria yaitu rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan) secara netto lebih dari 5% dari total kredit. Dengan demikian batas maksimal rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara netto adalah 5% dari total kredit. Tingginya NPL pada perbankan seharusnya tidak menghambat untuk tetap menyalurkan kredit pembiayaan, asalkan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam proses pemberian kreditnya dan didukung konstruksi hukum yang memadai baik bagi bank maupun bagi debitur. Dari dimensi agunan, secara konsep pemberian kredit harus memberikan keamanan bagi perbankan, mengingat bank juga menggunakan dana pihak ketiga yang harus dikembalikan berdasarkan suatu perjanjian simpanan dan pinjaman. Kredit harus memiliki agunan baik kepemilikannya, jelas lokasinya dan telah dibebani hak tanggungan, dengan demikian apabila terjadi debitur wanprestasi, maka bank dapat melakukan eksekusi terhadap agunan, sehingga kredit macet dapat diatasi. 2 Sutarno, 2014, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, CVAlfabeta, Bandung,hlm 263 3
Bank disisi lain menghadapi permasalahan didalam konstruksi pemberian kredit dimana pemulihan aset dalam kepailitan sangat rendah dan menunjukkan recovery rate kepailitan di Indonesia kurang dari 15% dengan waktu pemberesan rata-rata mencapai. Profesionalisme kurator, kreditur, debitur dan hakim pengawas menjadi kunci didalam situasi ini. Fred B.G. Tumbuan, konsultan hukum, mengungkapkan implementasi hukum kepailitan di Indonesia selama ini bukannya bertambah baik, malah yang terjadi justru sering masing-masing pihak, baik kurator, debitor, kreditor maupun hakim pengawas memiliki argumentasi tidak sejalan. Jadi, tak mengherankan kalau hukum kepailitan di Indonesia belum berjalan secara efektif di suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum di Jakarta. UU Kepailitan yang ada saat ini telah memberikan perangkat dan pranata yang diperlukan dalam proses kepailitan secara adil, cepat, terbuka dan efektif. UU Kepailitan, memberikan fasilitas bagi kurator dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kreditor untuk mempertahankan hak-haknya serta debitor pailit untuk memperoleh keadilan dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.termasuk pula kepastian perolehan pembayaran maksimal atas tagihan sesuai dengan jumlah tagihannya (asset recovery). Keprihatinan terlihat dari masih rendahnya tingkat pemulihan aset yang seharusnya merupakan indikator dasar berhasil atau tidaknya hukum kepailitan di sebuah negara. Penelitian Pusat Pengkajian Hukum (PPH)mengungkapkan bahwa rata-rata penyelesaian kasus kepailitan rata-rata 41 bulan atau 3 tahun 5 bulan. 3 3 Pusat Pengkajian Hukum (PPH), 2007, Temuan Awal Asset Recovery Dalam Kepailitan, Jakarta. 4
Sebelumnya, World Bank dalam surveinya bertajuk Doing Business 2006 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat recovery rate hanya 11,8%. Sedang waktu pemberesan rata-rata mencapai 5,5 tahun dengan tingkat biaya kepailitan 18% dari total budel alias harta pailit. Dari hasil penelitian PPH ternyata setiap tahun masih banyak kasus yang belum terselesaikan. Untuk tahun 2005 saja ada 20 kasus, lalu 2004 (13 kasus), 2003 (9 kasus), 2002 (7 kasus), 2001 (11 kasus) dan 2000 (23 kasus). Dalam lima tahun terakhir, kecenderungannya meningkat terus.sedangkan dari sisi recovery rate, hasil wawancara PPH mencatat antara 0-60% pada umumnya. Para kreditur justru mendapat prosentase kecil, 14,45% bagi mereka yang memegang hak agunan dan 13,58% bagi yang tak memegang agunan. Sedangkan hak buruh maupun pajak bisa mencapai 100% jika negosiasinya lancar. Selain itu, PPH juga mengungkapkan masih rendahnya integrasi antara hukum kepailitan dengan sistem hukum lainnya, misalnya Hukum Acara Perdata, Hukum Pidana dan hukum publik, sebagai penyebab rendahnya pencapaian asset recovery. Dalam beberapa hal sifat dasar kepailitan sebagai sita umum dan konsekuensi yang timbul terhadap status debitur (khususnys debitur individu) sering tidak diindahkan. Akibatnya, muncul tindakan yang bisa masuk ke tindak pidana namun disamarkan dengan istilah debitur fiktif atau kreditur tidak kooperatif, yang selalu diklaim tidak dapat diselesaikan. 5
Asset recovery dalam praktek tidak selalu tergantung pada kinerja kurator. Namun, juga tergantung pada keberadaan infrastruktur sistem hukum lainnya di antaranya registrasi hukum jaminan dan sistem lelang. Tanpa infrastruktur yang memadai, pencapaian asset recovery akan sangat sulit untuk dicapai. Selama ini sarana yang dimiliki kurator untuk melaksanakan banyak hal terkait dengan kepailitan sangat minim. Misalnya, upaya paksa badan yang jarang dikabulkan konon karena tidak jelas prosedurnya, akses terhadap informasi perbankan yang terbentur ketentuan kerahasian bank, serta actio paulina jarang dikabulkan dan sulit pembuktiannya. Buruknya kerjasama dengan pihak perbankan terkait dengan pemblokiran rekening milik debitur pailit juga sering jadi permasalahan dengan alasan yang selalu digunakan pihak bank berkaitan dengan kerahasian bank. Para kurator mengalami kesulitan karena jika tidak mengajukan pemblokiran, pasti akan ditegur Bank Indonesia dan terancam sanksi pidana. Di satu sisi, UU Kerahasian Bank jika dilanggar bank pasti akan terancam sanksi pidana. Sehingga bank harus hati-hati melaksanakan pemblokiran tersebut. Dalam praktek perbankan saat ini, kepailitan belum bisa menjadi pranata hukum prioritas untuk mencapai asset recovery. Pada dasarnya, bank itu sudah menjadi secured crediturs atau kreditur yang punya hak istimewa berdasarkan perjanjian kredit pada umumnya. Meskipun perbankan dihadapkan pada situasi untuk semakin mentaati dan melaksanakan UU Kepailitan di samping UU Perbankan. Begitu ada debitur yang diumumkan secara terbuka dan luas di media massa dinyatakan pailit, pihak bank seharusnya responsif. Salah satunya, dengan 6
memblokir rekening debitur pailit. Tujuannya agar si debitur pailit tidak bisa memindahkan uangnya atau membuat rekening baru. Jika bank tidak menjalankan hal tersebut bisa dituntut pidana sesuai KUH Perdata dan KUHPidana dengan hukuman 7 tahun. Bank juga menghadapi itikad tidak baik dari debitur sehingga harus mengetahui kredibilitas atau karakter debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Tidak jarang begitu diketahui adanya permohonan pernyataan pailit, umumnya debitur langsung memindahkan harta-harta bergerak termasuk rekening-rekeningnya yang ada di bank. Tujuannya untuk menghindari penguasaan harta oleh kurator. Khusus untuk harta debitur yang berbentuk badan hukum yang pemilikannya atas nama pribadi tetap dipertahankan atas nama pemegang saham. Sering dilakukan perikatan-perikatan tertentu dengan pihak lain secara back dated disertai adanya kreasi transaksi-transaksi utang-piutang back dated dengan pihak ketiga rekanan kreditor yang akan memberi dukungan kepada debitur dalam rapat-rapat kreditur maupun voting rapat kreditur. Transaksi semacam ini mudah terjadi karena lemahnya law enforcement ketentuan UU Wajib Daftar Perusahaan, khususnya kewajiban penyampaian laporan keuangan audit tahunan.sangat mudah bagi debitur melakukan 'kreasi teman-teman debitur' dengan memecah tagihan 'inter company loan' dengan menggunakan ketentuan cessie dari Pasal 613 KUH Perdata. Selanjutnya jika itu sudah dilaksanakan, pihak advokat debitur akan bersikap over protected terhadap debitur dan harta debitur. Cara lain yang biasa dilakukan, yakni debitur melakukan pendekatan kepada kreditur tertentu dengan kompensasi tertentu. Misalnya, pembayaran sebagian 7
utang atau tagihannya akan diambil alih oleh perusahaan terafiliasi. Tujuannya agar memberikan dukungan voting dalam rapat kreditur. Debitur juga tak jarang meminta kreditur atau pemegang sahamnya atau afiliasinya agar membeli tagihan kreditur melalui Special Purpose Vehicle (SPV) dengan harga tertentu. Selanjutnya SPV tersebut akan menjadi kreditur 'baru' yang akan hadir dalam rapat kreditur. Cara-cara seperti ini terjadi atas tagihan yang timbul dari surat berharga atas unjuk yang tidak tercatat dalam pembukuan debitur. Cara-cara di atas akan makin menyulitkan efektivitas pembentukan Panitia Kreditur mengingat Panitia Kreditur diisi oleh rekanan kreditur dari debitur. Cara di atas sulit dideteksi oleh pihak kurator atau jika kurator mengetahuinya, terdapat keengganan kurator untuk melakukan actio pauliana. Padahal, UU Kepailitan memberikan sarana bagi kurator untuk mencegah ataupun membatalkan tindakantindakan sebagaimana dipaparkan di atas. Dalam tesis ini, penulis melakukan penelitian terkait dengan pemberian kredit korporasi bagi usaha perbankan dengan mengajukan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut : B. Permasalahan 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya wanprestasi debitur terhadap suatu pemberian kredit korporasi pada Bank X? 2. Bagaimana upaya Bank X dalam menyelesaikan kredit korporasi bermasalah? 8
C. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengindentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi debitur kredit korporasi pada Bank X. 2. Dari penelitian ini dapat menjelaskan upaya Bank X dalam menyelesaikan kredit korporasi bermasalah. D. Manfaat Yang Diharapkan 1. Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu hukum di bidang perbankan dan khususnya syarat dan ketentuan kredit yang akan dituangkan dalam perjanjian kredit. b. Melalui upaya Bank X dalam menyelesaikan debitur kredit korporasi bermasalah, maka bank dan debitur lebih terlindungi dalam proses pemberian kredit yang ada maupun selanjutnya. 2. Praktis a. Meningkatkan pemahaman pemutus kredit terhadap proses pemberian kredit. b. Mengenal faktor-faktor pendorong terjadinya wanprestasi debitur korporasi, sehingga memberikan masukan terhadap pembuat kebijakan pemberian kredit. 9
c. Menetapkan langkah antisipatif bank untuk menghindari wanprestasi debitur terhadap perjanjian kredit berikut alternatif penyelesaian kredit bermasalah E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan dan penelusuran pada beberapa kepustakaan yang ada di Universitas Gadjah Mada, dapat dikemukakan bahwa belum ada suatu penelitian yang membahas tentang faktor penyebab maupun upaya penyelesaian kredit korporasi bermasalah. Skripsi maupun tesis berkaitan dengan kredit bermasalah di perbankan berkaitan dengan kredit bermasalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Perjanjian KPR dan Upaya Penyelesaian Kredit Macet (Studi Pada BTN Cabang Yogyakarta), oleh Wahyu Adi MP tahun 2016. Rumusan permasalahan untuk melihat penyebab kredit macet dan langkah penyelesaian kredit macet dalam rangka menurunkan NPL. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan perjanjian kredit yang konsisten dibarengi dengan upaya penjualan yang intensif menjadi kata kunci keberhasilan penyelesaian kredit macet. 2. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah dan Upaya Penyelesaian Kredit Macet Dengan Hak Tanggungan di Bank Sumsel Babel Palembang, oleh Putra Rehobot tahun 2015. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang menjadi yang perlu diperhatikan di dalam suatu perjajina kredit. Hasil penelitian menunjukkan bentuk eksekusi jaminan Hak Tanggungan merupakan langkah penyelesaian kredit paling dominan. 10
3. Upaya Penyelesaian Kredit Akibat Terjadinya Keadaan Memaksa (Overmacht) Pada Perjanjian KPR di Bank Mandiri Cabang Yogyakarta, oleh Hadiyanto tahun 2007. Rumusan permasalahan penelitian untuk memahami dasar hukum dan jenis keadaan memaksa. Hasil penelitian menunjukkan pemahaman perjanjian kredit memudahkan penyelesaian kredit. 4. Tinjauan yuridis kedudukan jaminan dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit sebagai upaya penyelamatan kredit bermasalah di BRI Karanganyar, oleh Rizky Nasution tahun 2011. Rumusan permasalahan penelitian untuk menentukan bagaimana restrukturisasi kredit sebagai suatu upaya perbaikan kualitas kredit. Hasil penelitian pemahaman jenis restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit berpengaruh pada kualitas kredit. 5. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah dan Tatacara Penyelesaian Jika Terjadi Kredit Macet di BRI Cabang Sidoarjo, oleh Imam Syafii Thoha tahun 2006. Rumusan permasalahan penelitian adalah untuk menentukan faktor penyebab debitur wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati. Hasil penelitian menunjukkan eksekusi agunan merupakan langkah lebih efektif dibandingkan dengan restrukturisasi kredit. 11