PERLINDUNGAN HUKUM HAK PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang adalah pembangunan disegala bidang kehidupan.

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

Hubungan Industrial, Outsourcing dan PKWT

BAB IV PENUTUP. atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. Wahyu Septyan dan PT

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

PENERAPAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MK NO. 27/PUU-IX/2011

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI INDONESIA. Oleh :

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 9 (2014) Copyright 2014

BAB I PENDAHULUAN. terperinci dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar baik dalam

PENERAPAN SISTEM OUTSOURCING DI PERUSAHAAN SWASTA DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK PEKERJA KONTRAK

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

Volume 2, Nomor 1, Pebruari 2016 ISSN :

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYAWAN OUTSOURCING JIKA PERUSAHAAN TIDAK MEMBERIKAN TUNJUNGAN HARI RAYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan outsourcing (= alih daya) di Indonesia. Bahkan aksi ini disambut aksi serupa

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. cepat membawa dampak baik yang bersifat positif maupun negatif. Era globalisasi

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. jasa tenaga kerja atau sering disebut dengan perusahaan outsourcing.

Kedudukan Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011

A. MAKNA DAN HAKIKAT PENYEDIAAN TENAGA KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP SISTEM OUTSOURCHING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 27/PUU-X/2011

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016

RINGKASAN PERBAIKAN KEDUA PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 27/PUU-IX/2011 Tentang Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (Outsourching)

Langkah Strategis Pelaksanaan Permenakertrans NO. 19 Tahun 2012 Terkait Outsourcing

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Salah satunya UU No.

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG

Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan jasa penyedia tenaga kerja menjadi tren di tengah. perkembangan persaingan bisnis yang semakin kompetitif.

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011 TENTANG HAK-HAK PEKERJA OUTSOURCING DI INDONESIA PENULISAN HUKUM

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA OUTSOURCING PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING PT.

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING 1 Oleh: Nicky E.B Lumingas 2

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG

Miftakhul Huda, S.H., M.H

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA HARIAN LEPAS DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai karyawannya. Ditengah-tengah persaingan ekonomi secara global, sistem

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

OUTSOURCING, DAN BERBAGAI MASALAHNYA. SOLUSINYA? Untuk ICHRP

BAB I PENDAHULUAN. organisasi pekerja melalui serikat pekerja/serikat buruh. Peran serikat

BENTUK PERJANJIAN YANG DIBUAT ANTARA PEKERJA TOKO DAN PENGUSAHA PEMILIK TOKO DI DENPASAR

KOMPETENSI dan INDIKATOR

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN. Oleh:

TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN (THR) BAGI PEKERJA YANG DI PHK OLEH PENGUSAHA

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

BAB III UPAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB III PENUTUP. Upaya hukum yang dilakukan pekerja outsourcing dalam. negosiasi terhadap atasan atau pengusaha PT. Vidya Rejeki Tama.

Undang-undang No 13 tahun 2003 POKOK-POKOK KETENTUAN NORMATIF HUBUNGAN INDUSTRIAL KETENAGAKERJAAN DAN SERIKAT PEKERJA

BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA. Buku

BAB I PENDAHULUAN. yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum ketenagakerjaan merupakan keseluruhan peraturan baik tertulis

INVENTARISASI PUTUSAN/KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DALAM BIDANG KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi Tiap-tiap warga negara. pernyataan tersebut menjelaskan bahwa negara wajib memberikan

Dinamika Ketenagakerjaan Di Indonesia: Penghapusan Sistem Outsourching (Kajian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

BAB I PENDAHULUAN. 2 Hadi Setia Tunggul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, Harvarindo, 2009, hal. 503

BAB III PENUTUP. Swalayan 24 Jam tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, pelaksanaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

Forum HRD Bekasi 25 Oktober 2013 Hotel Sahid Jaya Lippo Cikarang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh

BAB I PENDAHULUAN. Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya di dalam kehidupan nyata.

BAB II PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA. jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

ANALISIS PERMASALAHAN OUTSOURCING (ALIH DAYA ) DARI PERSPEKTIF HUKUM DAN PENERAPANNYA

KUASA HUKUM Dra. Endang Susilowati, S.H., M.H., dan Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 September 2013.

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

SKRIPSI OLEH SUHARI NPM :

Pasal 88 s.d pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN BUPATI KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

BAB I PENDAHULUAN. menyambung hidupnya.untuk bisa mendapatkan biaya tersebut setiap orang

KAJIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR 19 TAHUN 2012

Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB V PENUTUP. 1. Kekuatan Mengikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Yang Dilakukan. Melalui Transaksi Elektronik Ditinjau dari UU Ketenagakerjaan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Hubungan Industrial. Pemogokan dan Penutupan Perusahaan serta Tindakan Pengusaha dan Pekerja dalam Upaya Pencegahannya. Rizky Dwi Pradana, M.

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Transkripsi:

PERLINDUNGAN HUKUM HAK PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Syarifa Mahila, SH.MH Abstract Outsourcing in Indonesia's labor law is defined as the contracted work and the provision of labor law regulation outsourcing in Indonesia under the Employment Act Ps. 64, 65, 66 and Kepmenakertrans. Kep 101/Men/VI/2004 2004. In its development, because they do not provide assurance work, trade unions / labor unions filed a resistance to the legalization of outsourcing and unspecified time employment agreement system by putting forward a judicial (judicial review) to the Constitutional Court. In the legal considerations, the Court offered two models pelaksananaan outsourcing are:the first model, outsourcing is done by applying an unspecified time employment agreement in writing.the second model, applying the principle of the transfer of protective measures for workers / laborers (Transfer of Undertaking Protection of Employment or Tupe).Court Decision on Outsourcing expected to anticipate the irregularities that employ workers with unspecified time employment agreement in writing continuously in order to avoid compliance with labor rights. Key Note : Outsourcing, Workers' rights A. Latar Belakang Pengesahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan, merupakan landasan hukum bagi pelegalan sistem outsourcing yang menguntungkan pihak penguasa modal dan sebaliknya merugikan kaum buruh. Berbagai aksi protes menentang sistem outsourcing merupakan salah satu bentuk dari resistensi terhadap kepitalisme. Dalam persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi peningkatan kelayakan hidup mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan lain sebagainya adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh yang mencederai human rigth. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Syarifa Mahila, SH.MH adalah Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi dan Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 48

Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagai Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain. Pengaturan tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 5 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 2 Tahun 1993. Melihat subtansi Bab IX UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai PKWT, pembentuk undang-undang mengadopsi isi dari dua Permenaker di atas. Dalam perkembangannya, karena dianggap tidak memberikan jaminan kepastian bekerja, tidak lama setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan atas legalisasi sistem outsourcing dan PKWT ini. Caranya dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana teregistrasi dengan permohonan No 12/PUU-I/2003. Ada beberapa pasal yang diuji, termasuk Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal outsourcing. Saat itu, MK menolak permohonan atas ketiga ketentuan tersebut. Salah satu pertimbangan dalam putusan No 12/PUU-I/2003 mengatakan, sistem outsourcing tidak merupakan perbudakan modern modern slavery ) dalam proses produksi. Upaya buruh melawan sistem outsourcing dan kerja kontrak seakan tidak pernah berhenti. Buktinya, tuntutan untuk menghapus sistem outsourcing dan buruh kontrak kembali memasuki gedung MK. Dalam register permohonan No 27/PUU-IX/2011 tercatat Didik Supriadi mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI) mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Lembaga pengawal konstitusi itu mengabulkan permohonan Didik Supriadi untuk sebagian dan menolak permohonan atas Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Secara eksplisit MK menyatakan kedua ketentuan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- IX/2011 tanggal 17 Januari 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin, kata Menakertrans Muhaimin Iskandar, sebagaimana dikutip dalam artikel Kemenakertrans Terbitkan Aturan Outsourcing dan PKWT. Berdasarkan uraian diatas penulis ingin mengkaji tentang outsourcing pasca putusan MK dengan judul Perlindungan Hukum Hak Pekerja Outsoursing Pasca Putusan MK. B. Perumusan Masalah 49

Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Ketenagakerjaan. Untuk itu penulis membatasi perumusan masalah dalam makalah ini yaitu : Bagaimana Perlindungan Hukum Hak Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi?. C. Pembahasan. 1. Pengertian Outsourcing Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Outsourcing ( Alih Daya) dan diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan defenisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak ( Imam Sjahputra Tunggal: 2009). Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan peluang kepada perusahaan untuk menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan, kepada perusahaan lainnya melalui : 1) pemborongan pekerjaan, atau 2) Perusahaan Penyedia Jasa Pekerjaan (PPJP). Kedua kegiatan dimaksud dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat dimaksud antara lain bahwa perjanjiannya wajib dilaksanakan secara tertulis Pengertian Outsourcing ( Rajagukguk, 2002: 79) adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja. Pada hubungan kerja ini ditemukan tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja ( penyedia ), perusahaan pengguna tenaga kerja (pengguna), dan tenaga kerja. Menurut Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja secara tertulis melalui dua cara yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan, atau penyediaan jasa pekerja. Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A 50

dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan harus memenuhi ketentuan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan. Secara Yuridis (Abdul Hakim:2007:74) pembuatan perjanjian pemborongan pekerjaan harus: a. Dibuat dalam bentuk tertulis, tidak boleh secara lisan ( tidak tertulis ). b. Untuk jenis dan sifat pekerjaan yang tidak memenuhi ketentuan PKWT (pasal 59 UU Ketengakerjaan ) dibuat dengan perjanjian kerja waktu tidak tentu (PKWTT). Jadi tidak boleh menggunakan PKWT, karena tidak memenuhi ketentuan PKWTT. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pengaturan sebagai berikut: Tidak boleh mempergunakan pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi adalah jelas bukan kegiatan penunjang dalam suatu perusahaan. Yang termasuk kegiatan penunjang antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning servis), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman ( security ), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja (Abdul Hakin: 2007:75 ). Sedangkan penyedia jasa pekerja harus memenuhi syarat-syarat : a. Adanya hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja. b. Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditanda tangani kedua pihak, melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu jika memenuhi persyaratan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja. d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan. 2. Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah adanya uji materi (judicial review) terhadap Pasal 59 dan Pasal 64 UUK, dan kemudian melahirkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, tertanggal 17 Januari 2012, maka selanjutnya terbitlah Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Berdasarkan Surat Edaran tersebut yang dihubungkan dengan pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, hubungan kerja antara Perusahaan Outsourcing dengan 51

pekerja/buruh dapat dilakukan/diperjanjikan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/Pekerjaan Tetap ( PKWTT ) atau melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/Kontrak ( PKWT ). Apabila hubungan kerja diperjanjikan dengan PKWT, pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE), apabila terjadi pergantian perusahaan pemberi kerja atau perusahaan outsourcing. Di dalam pertimbangan hukum, MK menawarkan dua model pelaksananaan outsourcing yaitu: Model pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara opsional. Model kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Kata sepanjang dan seterusnya dalam amar di atas berlaku sebagai syarat bila pengusaha menggunakan sistem PKWT. Pengusaha dapat menerapkan sistem outsourcing dengan status PKWT sepanjang PKWT memuat klausul yang memberi jaminan perlindungan hak pekerja/buruh bahwa hubungan kerja pekerja/buruh yang bersangkutan akan dilanjutkan pada perusahaan berikutnya, dalam hal objek kerjanya tetap ada. Bila objek pekerjaan itu tetap ada sedangkan syarat pengalihan perlindungan hak tidak diatur di dalam PKWT, hubungan kerja pekerja/buruh berupa PKWTT. Secara teknis, syarat PKWT bisa diatur pada bagian penutup perjanjian. Pada akhirnya, klausul itu berfungsi sebagai alat ukur untuk menilai bentuk hubungan kerja, apakah berbentuk PKWT atau PKWTT; Amar putusan MK tidak secara eksplisit menyatakan perjanjian kerja pekerja/buruh dalam lingkungan perusahaan outsourcing harus dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Di dalam pertimbangan hukumnya MK menawarkan PKWTT sebagai salah satu model outsourcing. Sesuai uraian di atas, MK tidak mengharuskan perusahaan menerapkan PKWTT. Status PKWTT dalam perusahaan hanya terjadi bila: (a) PKWT tidak mensyaratkan pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada; atau (b) perusahaan sejak awal menerapkan PKWTT. 52

Dalam pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing tesebut. 3. Perlindungan Hak Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK. Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 27/PUU-IX/2011 dan Penjelasan Pasal 66 ayat (2) huruf (c) UU Ketenagakerjaan, pekerja yang bekerja pada perusahaan outsourcing sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, memperoleh hak (yang sama) atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul, dengan pekerja di perusahaan pemberi kerja (fair benefits and welfare). Dengan demikian, pekerja yang bekerja di perusahaan pemberi kerja melalui perusahaan outsourcing, baik dengan PKWTT maupun PKWT, berhak mendapatkan upah dan kesejahteraan yang sama seperti pekerja yang bekerja pada perusahaan pemberi kerja yang tidak melalui perusahaan outsourcing. Perlindungan upah dan kesejahteraan tersebut harus dimasukkan atau dimuat dalam klausul perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing. Apabila tidak dimuat dalam perjanjian kerja, maka perlindungan tersebut merujuk pada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Apabila dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama juga tidak diatur, maka perlindungan upah dan kesejahteraan merujuk pada ketentuan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (3) UUK, perlindungan terhadap upah pekerja/buruh meliputi : a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya. Sedangkan, mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Jamsostek ), adalah hak sekaligus jaminan perlindungan yang diberikan terhadap pekerja, yang wajib didaftarkan oleh perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang atau lebih, atau membayar upah pekerja paling sedikit Rp1.000.000,- (satu juta rupiah). Ketentuan mengenai Jamsostek dan pelaksanannya diatur di dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( UU Jamsostek ) dan PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( PP Jamsostek ), yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan PP No. 84 Tahun 2010, serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans). Oleh karenanya, baik pekerja yang bekerja berdasarkan PKWTT maupun PKWT, berhak untuk didaftarkan dalam program Jamsostek. 53

Mengenai Tunjangan Hari Raya (THR), maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER- 04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan ( Permen No.04 Tahun 1994 ), bahwa Tunjangan Hari Raya ( THR ) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Di dalam Pasal 1 huruf (c) Permen No.04 Tahun 1994 dinyatakan bahwa yang dimaksud pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut, maka THR diberikan kepada pekerja tanpa membedakan apakah pekerja tersebut adalah pekerja tetap (PKWTT) atau pekerja kontrak (PKWT), dengan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Permen No.04 Tahun 1994, yaitu apabila pekerja yang di-phk maksimum 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan pekerja tetap berhak mendapatkan THR. Sedangkan untuk pekerja PKWT/kontrak, apabila masa kontraknya berakhir paling lama 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, maka pekerja tersebut tidak berhak atas THR. D. Kesimpulan UU Ketenagakerjaan memberi peluang terjadinya Outsourcing yang memang dibutuhkan oleh pengusaha untuk efisiensi usaha demi kelangsungan hidup dari perusahaan tersebut. Kelangsungan hidup perusahaan juga sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan keja yang pada akhirnya juga untuk kelangsungan hidup masyarakat Indonesia yang tidak semua mampu untuk berusaha sendiri. Pengaturan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan sebenarnya tidak merugikan pekerja jika dalam penerapan UU tersebut juga memperhatikan dan mengikuti peraturan pelaksananya. Namun karena dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara tegas tentang jenjang persyaratan pekerja PKWT dapat menjadi pekerja dengan PKWTT, sehingga terjadi peluang pekerja dengan PKWT tetapi pekerja yang sama juga, sehingga pekerja dengan PKWT tidak akan berubah statusnya menjadi pekerja dengan PKWTT. Dengan demikian hak-hak pekerja menjadi tidak terpenuhi. Putusan MK tentang Outsourcing diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya penyimpangan yang mempekerjakan pekerja dengan PKWT secara terus menerus dengan tujuan untuk menghindari pemenuhan hak-hak pekerja. E. Daftar Pustaka Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan Undang-Undang Nonor 13 Tahun 2003. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2007. FX.Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Sinar Grafika, 2008. HP.Rajagugkguk, Peranserta Pekerja Dalam Pengelolaan Perusahaan Kerja Bersama ( Co-determination), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002. 54

Tunggal Imam Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2010;; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Waktu Kerja Lembur; Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012. Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 55