BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga bebas dari segala penyakit. Status gizi juga dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan (Dwienda, dkk, 2014). Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat. Masalah gizi erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga, selain itu juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Supariasa, dkk, 2011). Keadaan gizi yang baik merupakan salah satu unsur yang sangat penting. Kekurangan gizi, terutama pada bayi akan menghambat proses tumbuh kembang anak dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal untuk meningkatkan mutu kehidupan bangsa. Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap faktor tumbuh kembang anak, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik dapat disebabkan dari perkembangan janin pada saat di dalam kandungan yang kurang sempurna. Faktor lingkungan yang dimaksud merupakan lingkungan biopsikososialyang mempengaruhi individu setiap hari mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya (Purwitasari, 2009). 1
2 Status gizi pada balita dapat berpengaruh terhadap beberapa aspek. Gizi kurang pada balita, membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan fisik maupun mental, dampak yang lebih serius adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kesakitan dan percepatan kematian (Rahim, 2014). Status gizi yang baik dipengaruhi oleh jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi. Secara tidak langsung asupan zat gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah karakteristik keluarga. Karakteristi keluarga khususnya ibu yang berhubungan dengan tumbuh kembang anak. Ibu sebagai orang yang dekat dengan lingkungan asuhan anak ikut berperan dalam proses tumbuh kembang anak melalui makanan zat gizi yang diberikan. Karakteristik ibu ikut menentukan keadaan gizi anak (Satoto, 1990). Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategi For Infant And Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu pertama memberikan Air Susu Ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya Air Susu Ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara Ekslusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6-24 bulan. Dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI, 2006). World Health Organization (WHO), (2016), menyatakan bahwa setiap bayi dan anak harus mendapatkan gizi yang baik sesuai dengan Konvensi Hak Anak. Kekurangan zat gizi pada anak merupakan masalah gizi yang perlu mendapat perhatian yang serius, karena berpengaruh pada tingginya angka kematian anak.
3 WHO (2016) menyatakan bahwa masalah gizi dikaitkan dengan 45% dari kematian anak. Selanjutnya berdasarkan Data SDKI 2012 menunjukkan kematian bayi untuk periode lima tahun sebelum survei (2008-2012) adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian balita dan kematian anak masing-masing sebesar 40 dan 9 kematian per 1.000 kelahiran. (BPS, BKKBN, Macro Internasional, Kemenkes, 2013). Berdasarkan data BPS (2012), prevalensi kematian bayi sebesar 40 per 1000 kelahiran hidup dan kematian balita sebesar 52 per 1000 kelahiran hidup (Badan Pusat Statistik, 2012). Periode pertama sejak kehamilan hingga dua tahun sesungguhnya merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Masalah gizi pada 1000 HPK dapat dikelompokan dalam tiga periode yaitu masa kehamilan, 0-6 bulan, dan 7-23 bulan. Masalah kekurangan gizi yang mendapat perhatian akhir-akhir ini adalah masalah kurang gizi dalam bentuk anak pendek (stunting), kurang gizi akut dalam bentuk anak kurus (wasting). Masalah gizi tersebut terkait erat dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil, dan menyusui, bayi baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Bappenas, 2012). Menurut data UNICEF, World Health Organization (WHO) dan World Bank tren prevalensi pendek dari tahun 1990 sampai 2014 mengalami penurunan yaitu dari 39,6 persen menjadi 23,8 persen, tren prevalensi gizi lebih meningkat dari tahun 1990 sampai 2014 yaitu dari 4,8 persen menjadi 6,1 persen. Sementara itu sebanyak 1 dari 13 anak di dunia mengalami gizi kurang pada tahun 2014, prevalensinya sebesar 7,5 persen dan secara global tercatat bahwa kejadian gizi kurang paling banyak di Asia dengan prevalensi sebesar 68% (UNICEF, WHO dan World Bank, 2015).
4 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012), presentase angka status gizi buruk di Provinsi Sumatera Utara sebesar 2,8%, gizi lebih sebesar 7,5 dan status gizi baik sebesar 71,1%. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 persen pada tahun 2007 menurun menjadi 17,9 persen pada tahun 2010 kemudian meningkat lagi menjadi 19,6 persen pada tahun 2013. Beberapa provinsi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah menunjukkan kecenderungan menurun. Dua provinsi yang prevalensinya sangat tinggi (>30%) adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 persen terjadi di Bali, dan DKI Jakarta (Kemenkes, 2013). Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional 37,2 persen, bervariasi dari yang terendah di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur (<30%) sampai yang tertinggi (>50%) di Nusa Tenggara Timur. Prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia sebanyak 11,9%, hal ini menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0% pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi yang memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: (1) Lampung; (2) Sumatera Selatan; (3) Bengkulu; (4) Papua; (5) Riau; (6) Bangka Belitung; (7) Jambi; (8) Sumatera Utara; (9) Kalimantan Timur; (10) Bali; (11) Kalimantan Barat; dan (12) Jawa Tengah (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013, diantara 33 provinsi di Indonesia, 19 provinsi memiliki prevalensi balita kekurangan gizi di atas angka
5 prevalensi nasional yaitu berkisar antara 19,7% sampai dengan 33,1 persen, dan atas dasar sasaran MDG s 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi balita kekurangan gizi sudah mencapai sasaran yaitu : (1) Bali (13,2%), (2) DKI Jakarta (14,0%), (3) Kepulauan Bangka Belitung (15,1%) (Kemenkes, 2014) Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi kekurangan gizi pada balita antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila 30 persen. Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah kekurangan gizi pada balita di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat dua provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur (33,0%) (Kemenkes RI, 2014). Rahim (2014) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara pola asuh gizi yaitu pola asuh pemberian makan anak dengan status gizi. Pencernaan makanan selain Air Susu Ibu (ASI) dalam saluran cerna bayi (0-6 bulan) masih belum sempurna. Sekresi enzim yang berfungsi untuk menguraikan karbohidrat (polisakarida) seperti enzim amilase yang dihasilkan oleh pankreas belum disekresi dalam 3 bulan pertama dan hanya terdapat dalam jumlah sedikit sampai bayi usia 6 bulan. Pencernaan polisakarida yang tidak sempurna pada bayi dapat mengganggu penyerapan zat gizi lain dan dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan (Widodo et al, 2005 dalam Wirgiana. 2013). Terjadinya rawan gizi pada bayi disebabkan antara lain oleh karena ASI banyak diganti oleh susu formula atau makanan pendamping ASI dengan jumlah dan
6 cara yang tidak sesuai kebutuhan. ASI merupakan makanan yang bergizi yang mudah dicerna oleh bayi dan langsung diserap. Diperkirakan 80% dari jumlah ibu yang melahirkan mampu untuk menghasilkan ASI dalam jumlah yang cukup untuk keperluan bayinya secara penuh tanpa makanan tambahan bahkan ibu yang gizinya kurang baikpun dapat menghasilkan ASI cukup tanpa makanan tambahan tiga bulan pertama (Winarno, 1990 dalam Rizal,dkk 2013). Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian anak United Nation childrens Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan sebaiknya anak disusui hanya ASI selama paling sedikit enam bulan. Makanan padat seharusnya diberikan sesudah anak berumur 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun (WHO 2005 dalam Kemenkes, 2013). Namun, praktek pemberian Makanan Pemberian Air Susu Ibu (MP-ASI) dini sebelum usia enam bulan masih banyak dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini akan berdampak terhadap kejadian infeksi yang tinggi, seperti diare, infeksi saluran napas, alergi, hingga gangguan pertumbuhan (Brown, 1998 dalam Fitriana, 2013). ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (Kemenkes,2012). Kekurangan gizi, alergik, kolik, konstipasi (sembelit), dan obesitas (kegemukan) lebih kecil kemungkinannya terjadi pada bayi yang mengkonsumsi ASI (Hayati dan Wirda, 2009).
7 ASI sebagai makanan dan minuman utama pada bayi usia 0-6 bulan karena ASI mudah dicerna dan langsung terserap oleh bayi. Jika proses pemberian laktasi dilaksanakan dengan baik saat bayi, pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan dapat mencukupi nutrisi bayi. ASI sebagai satu-satunya nutrisi bayi sampai usia enam bulan dianggap sangat berperan penting untuk tumbuh kembang anak (Kemenkes, 2012). Prevalensi pemberian ASI meningkat di hampir semua daerah di negara berkembang, dengan peningkatan terbesar terlihat di Barat dan Afrika Tengah di mana prevalensi ASI eksklusif lebih dari dua kali lipat dari 12% pada tahun 1995 menjadi 28% pada tahun 2010, di Afrika Timur dan Afrika Selatan juga mengalami peningkatan dari 35% pada tahun 1995 menjadi 47% pada tahun 2010. Peningkatan yang terendah terdapat Asia Selatan yaitu 40% pada tahun 1995 menjadi 45% pada tahun 2010 (Danso, 2014). Dari data Susenas 2013 (Sensus Ekonomi Nasional) cakupan persentase bayi yang diberi ASI Eksklusif dari tahun 2009 2012 cenderung menurun secara signifikan, walaupun cakupan pada tahun 2013 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012, namun masih jauh dibawah pencapaian tahun 2009, sehingga belum mampu mencapai target nasional yaitu 40 persen. Kabupaten/ kota dengan pencapaian 40 persen yaitu Deli Serdang 41,4 persen, Langkat 42,7 persen, Simalungun 43,6 persen, Padang Sidempuan 43,9 persen, Samosir 45,9 persen, Pematang Siantar 46 persen, Nias Utara 49,1 persen dan Nias Selatan 49,9 persen. Terdapat lima Kabupaten/ Kota dengan pencapaian > 10 persen yaitu Nias 7,7 persen, Medan 7,6 persen, Humbang Hasunlutan 7,3 persen, Tanjung Balai 4,3 persen dan Nias Barat 2 persen.
8 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sebanyak 30.801 bayi usia 0-23 bulan di Indonesia diberi ASI dan MP-ASI (Kemenkes, 2013), dan menurut data SDKI (Kemenkes tahun 2012) menunjukkan 60 persen anak mendapat makanan pralaktasi selain ASI pada tiga hari pertama kehidupan. Makanan tambahan dan cairan diperkenalkan saat dini. Walaupun sekitar setengah anak berumur di bawah dua bulan menerima ASI saja namun persentase pemberian ASI saja menurun terus setelah dua bulan pertama. Lebih dari 7 diantara 10 anak umur 4-5 bulan sudah menerima makanan tambahan 44 persen, air putih 8 persen, susu atau cairan tambahan lainnya 8 persen sebagai tambahan dari ASI atau sepenuhnya sudah disapih 13 persen. Dari data Riskesdas 2013 menunjukkan provinsi Sumatera Utara merupakan Provinsi dengan cakupan pemberian makanan pralakteal tertinggi pada bayi yaitu 62,7 persen dan yang paling rendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 22,2 persen. Jenis makanan prelakteal yang diberikan ke bayi adalah susu formula sebesar 79, 8 persen. Cakupan makanan jenis susu formula di Indonesia yang tertinggi di Kepulauan Riau (95,5 persen) dan Bali (93,7 persen) sedangkan cakupan terendah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 40,2 persen. Masa pertumbuhan bayi berumur 6-12 bulan membutuhkan asupan gizi tidak hanya cukup dengan ASI saja, karena produksi ASI pada saat itu semakin berkurang sedangkan kebutuhan bayi semakin meningkat seiring bertambahnya umur dan berat badan, oleh karena itu bayi harus mendapat makanan pendamping selain ASI (MP- ASI) untuk menutupi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI. Pengetahuan masyarakat yang rendah tentang jenis dan cara mengolah makanan bayi dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi pada bayi (Krisnatuti, 2011).
9 Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara dini sangatlah berbahaya, apalagi jika disajikan tidak secara higienis karena menyebabkan masuknya berbagai jenis kuman. Bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum berumur enam bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek, dan panas dibandingkan bayi yang hanya mendapatkan ASI eksklusif. Selain itu pemberian makanan padat secara dini akan menyebabkan kerusakan saluran pencernaan dan menimbulkan penyumbatan saluran pencernaan (Lily L, 2011). Makanan yang ideal harus mengandung cukup energi dan zat esensial sesuai dengan kebutuhan sehari-hari. Pemberian makanan yang kelebihan akan energi mengakibatkan obesitas, sedang kelebihan zat gizi esensial dalam jangka waktu lama akan menimbulkan penimbunan zat gizi tersebut dan menjadi racun bagi tubuh. Misalnya hipervitaminosis A, hipervitaminosis D dan hiperkalemi. Sebaliknya kekurangan energi dalam jangka waktu lama berakibat menghambat pertumbuhan dan mengurangi cadangan energi dalam tubuh sehingga terjadi marasmus (gizi kurang/buruk). Kekurangan zat esensial mengakibatkan defisiensi zat gizi tersebut. Misalnya Seroftalmia (kekurangan vitamin A), Rakhitis (kekurangan vitamin D) (Irianto Koes, 2014). Beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan memberikan MP-ASI yang tidak tepat. Keadaan ini memerlukan penanganan tidak hanya penyediaan pangan, tetapi dengan pendekatan yang lebih komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat. Selain itu ibu-ibu kurang menyadari bahwa setelah bayi
10 berumur 6 bulan memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang semakin bertambah, sesuai dengan pertambahan umur bayi dan kemampuan alat cerna nya. Pemberian makanan tambahan pada bayi sebaiknya diberikan setelah usia bayi lebih dari enam bulan atau setelah pemberian ASI eksklusif karena pada usia tesebut kebutuhan gizinya masih terpenuhi dari ASI. Bayi yang lebih cepat mendapatkan makanan tambahan akan lebih rentan terhadap penyakit infeksi seperti infeksi telinga dan pernapasan, diare, resiko alergi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi (Arisman, 2004). Fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa ibu-ibu tidak memberikan ASI secara Eksklusif tetapi lebih memilih memberikan susu formula atau makanan tambahan pada bayi kurang dari enam bulan. Karena masih banyak ibu-ibu yang belum mengetahui manfaat pemberian ASI secara Eksklusif. Sebagian ibu menganggap bahwa dengan memberikan makanan tambahan akan memenuhi kebutuhan gizi bayi dan bayi tidak akan merasa kelaparan. Hal ini berbahaya dilihat dari sistem pencernaan bayi belum sanggup mencerna atau menghancurkan makanan secara sempurna (Boedihardjo, 1994). Menurut Manalu (2008) menyatakan bahwa sebagian besar anak sudah diberikan makanan tambahan sebelum umur 5 bulan yaitu sebesar 80,49% dan yang paling rendah adalah pada umur 5-7 bulan yaitu sebesar 19,51%. Adapun MP-ASI yang diberikan adalah nasi bubur dengan tambahan garam, atau nasi bubur dengan lauk, atau nasi keras dengan sayur saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi makan anak yang terbanyak adalah 2x sehari yaitu sebesar 63,41% dan
11 yang terendah adalah 1x sehari sebesar 9,76%. Dari hasil penelitian didapat bahwa anak yang frekuensi makannya sedikit memiliki status gizi yang tidak baik. Pencapaian Program ASI Eksklusif di Kota Medan pada tahun 2015 sebesar 40,1% sementara target nasional yaitu 80%. Di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala kecamatan Medan Tembung pada tahun 2015 pencapaian program pemberian ASI Eksklusif sebesar 29,3% (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan 2016).Angka tersebut masih sangat rendah dibandingkan pencapaian Propinsi Sumatera Utara maupun pencapaian Nasional. Sedangkan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan pada tahun 2015 adalah sebesar 29,3%, masih sangat rendah dibandingkan pencapaian Propinsi Sumatera maupun pencapaian Nasional (Profil Dinkes Kota Medan). Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti dari 12 orang ibu-ibu yang memiliki bayi usia 6-12 bulan, hanya 2 orang ibu yang memberikan ASI Eksklusif pada bayi nya. Sedangkan 10 orang ibu rata-rata mereka sudah memberikan MP-ASI pada bayinya pada saat umur satu atau dua bulan dengan pisang, bubur nasi, atau MP-ASI pabrikan, susu formula, alasannya mereka takut bayinya kurang kenyang dan kurang gizi karena hanya diberikan ASI saja. Data yang diperoleh dari Puskesmas Mandala jumlah bayi usia 0-59 bulan sebanyak 2148 bayi. Diketahui dari data pemantauan anak gizi kurang dan gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala pada November 2015 terdapat 49 anak yang mengalami gizi kurang dan 4 orang anak yang mengalami gizi buruk dan pada bulan Desember 2015 terdapat 6 (enam) bayi yang mengalami gizi buruk sedang mendapatkan perawatan.
12 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016. 1.2 Permasalahan Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan anak. Kekurangan zat gizi pada anak merupakan masalah gizi yang perlu mendapat perhatian yang serius, karena berpengaruh pada tingginya angka kematian anak. Kekurangan gizi lebih kecil kemungkinannya terjadi pada bayi yang mengkonsumsi ASI Eksklusif dan terjadinya rawan gizi pada bayi disebabkan antara lain oleh karena ASI Eksklusif banyak diganti oleh susu formula atau makanan pendamping ASI dengan jumlah dan cara yang tidak sesuai kebutuhan, sehingga permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut apakah ada perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016.
13 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui status gizi bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016 2. Untuk mengetahui perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif. 3. Untuk mengetahui pengetahuan ibu terhadap perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif. 4. Untuk mengetahui sikap ibu terhadap perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif. 5. Untuk mengetahui tindakan ibu terhadap perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif. 1.4 Hipotesa Penelitian Terdapat perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam memantau pemberian ASI Eksklusif pada bayi dan pola pemberian makanan selain ASI Ekslusif seperti MP-ASI pada bayi agar status gizi bayi lebih baik dan sesuai yang diharapkan.
14 2. Sebagai masukan bagi Camat dan Lurah serta jajaran yang terkait lainnya untuk mempromosikan ASI Eksklusif dan mengajarkan ibu untuk memberikan MP-ASI setelah usia bayi lebih dari 6 bulan dan MP-ASI yang diberikan harus mengandung gizi yang dibutuhkan bayi. 3. Sebagai masukan bagi Kepala Puskesmas Mandala agar memantau bidanbidan yang bertugas di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala, untuk tidak memberikan susu formula pada saat bayi baru lahir dan memantau pola pemberian MP-ASI pada bayi usia lebih dari 6 bulan.