KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

BAB I. PENDAHULUAN A.

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

TINGKAT FERTILISASI OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN WAKTU YANG BERBEDA SECARA IN VITRO

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH

(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER SECARA IN VITRO ANITA HAFID

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini berupa ovarium domba lokal umur <1 tahun 3 tahun

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN

EVALUASI OOSIT KAMBING HASIL IVM SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN DALAM AKTIVASI PARTENOGENESIS. Kholifah Holil

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat...

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PENGARUH PENAMBAHAN INSULIN TRANSFERRIN SELENIUM (ITS) PADA MEDIUM TERHADAP TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI BALI SECARA IN VITRO SKRIPSI

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

PENGARUH KONSENTRASI KRIOPROTEKTAN ETILEN GLIKOL TERHADAP TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI BALI SKRIPSI DEWI SARTIKA I

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

PETUNJUK PRAKTIKUM BIOLOGI MODUL 3 BIOPSIKOSOSIOKULTURAL FAKULTAS KEDOKTERAN

PENGARUH UKURAN DAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI TERHADAP KUALITAS OOSIT KAMBING LOKAL

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom

A. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL

Penggunaan Medium CR1aa untuk Produksi Embrio Domba In Vitro

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KARAKTERISTIK OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN PERIODE WAKTU YANG BERBEDA DHIA MARDHIA ENGCONG

KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM

Diperlukan untuk tumbuh, regenerasi, dan reproduksi

IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN OOSIT KAMBING PADA LAMA MATURASI IN VITRO YANG BERBEDA DENGAN SDS-PAGE. Nurul Isnaini. Abstrak

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium. Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

KEMAMPUAN FERTILISASI SPERMATOZOA SEXING DAN PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SECARA IN VITRO PADA SAPI ALVIEN NUR AINI

KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG DISIMPAN PADA SUHU 3-5 o C

ORGAN GENITAL EKSTERNAL DAN INTERNAL PADA HEWAN BETINA DAN PROSES OOGENESIS. drh. Herlina Pratiwi, M.Si

3 METODOLOGI PENELITIAN

POTENSI OOSIT KUALITAS C SAPI BALI MENCAPAI TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI SECARA IN VITRO SKRIPSI ANDI NURUL AIRIN ARIF I

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II.

TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di

SUPLEMENTASI FETAL BOVINE SERUM (FBS) TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO SEL FOLIKEL KAMBING PE

LAPORAN PRAKTIKUM BIOLOGI SEL DAN MOLEKULER MITOSIS AKAR BAWANG

TUGAS AKHIR - SB Oleh: ARSETYO RAHARDHIANTO NRP DOSEN PEMBIMBING : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si Ir. Ninis Trisyani, MP.

Biologi Sel

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2015, VOL.15, NO.2

LAPORAN PRAKTIKUM EMBRIOLOGI

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...

Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi α-tocopherol pada penyimpanan suhu ruang

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

URAIAN MATERI A. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel ovum (ovum) dengan inti sel

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

dr. AL-MUQSITH, M.Si

ABSTRAK. Kata Kunci : Jarak Tempuh; Waktu Tempuh; PTM; Abnormalitas; Semen ABSTRACT

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

Transkripsi:

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i

SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Kompetensi Perkembangan Oosit Domba pada Suhu dan Waktu Penyimpanan yang Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2012 Arie Febretrisana NRP. B352090021 ii

ABSTRACT ARIE FEBRETRISIANA. Development Compatence of Sheep Oocyte with Diferent Duration Time and Temperature Storage of Ovary. Under direction of MOHAMAD AGUS SETIADI and NI WAYAN KURNIANI KARJA The present study was conducted to investigate the effects of storage time and temperature of sheep ovaries on nuclear maturation of oocyte and in vitro fertilization rate of oocytes. The ovaries were stored in physiological saline for 2-4 h, 5-7 h and 8-10 h at 27-28 C, 36-37 C and 4 C respectively. There was no difference between the proportions of oocytes that underwent maturation to metaphase II when collected from ovaries stored at 27-28 C and 36-37 C for 2-7 h of slaughter (P>0.05). However, the percentages of oocytes from ovaries stored at 4 C were significantly lower than those of oocytes stored at higher temperature (69.23%, and 70.83%, 45.65%, for 27-28, 36-37 and 4 C at 2-4 h, respectively; 59.61%, and 64,58%, 36.36%, for 27-28, 36-37 and 4 C at 5-7 h, respectively) (P<0.05). The proportion of oocytes underwent meiosis to MII were significanly decreased when the ovary stored at 27-28 C and 36-37 C for 8-10 h but not in oocytes collected from ovaries stored at 4 C (24.37%, 7.84% and 45.23%, respectively) (P<0.05). There was no difference between the proportions of fertilization when collected from ovaries stored at 27-28 C, 36-37 C and 4 C for 2-7 h of slaughter (53%, 66,66% and 63%, resperctively) (P>0.05). Same phenomena showed for fertilization rate of oocyte that the ovaries storage for 5-7 h. However fertilization rate decrease when storage for 8-10 h. The prensentage of fertilization rate were 9,8%, 22,22%, 12,24% respectively for 27-28 C, 36-37 C dan 4 C. Our finding indicate that the storage of ovaries at 27 C-28 C, 36-37 C for 5-7 h is effective for maintaining the developmental competence of sheep oocytes compare with 4 C. Key words: Ovary, In vitro fertilization, sheep oocyte, temperature, time storage iii

RINGKASAN ARIE FEBRETRISIANA. Kompetensi Perkembangan Oosit Domba pada Suhu dan Waktu Penyimpanan Ovarium yang Berbeda. Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI WAYAN KURNIANI KARJA. Teknologi in vitro fertilisasi (FIV) merupakan salah satu bidang bioteknologi reproduksi yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan pada reproduksi hewan. Keunggulan teknologi ini salah satunya dapat dimanfaatkan dalam upaya penyelamatan materi genetik dari hewan yang fungsi reproduksinya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, akibat kematian atau karena penyakit. Upaya penyelamatan materi genetik sangat penting dilakukan terutama terhadap hewan-hewan langka yang sudah dikategorikan dalam status dilindungi, juga penyelamatan terhadap plasma nutfah ternak unggul di Indonesia. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan FIV, diantaranya adalah kualitas oosit yang digunakan, keberadaan hormon serta waktu transportasi dan suhu medium yang digunakan untuk membawa ovarium. Lamanya waktu dan suhu medium yang digunakan selama transportasi dapat mempengaruhi kualitas oosit. Kualitas oosit akan tetap terjaga apabila koleksi oosit dan pengerjaan proses FIV dilakukan sesegera mungkin pasca kematian hewan. Akan tetapi karena keterbatasan sarana, peralatan dan jarak yang jauh dari lokasi kematian hewan dengan laboratorium IFV menyebabkan oosit tidak dapat segera dikoleksi. Di Indonesia keberadaan laboratorium FIV jumlahnya masih sangat terbatas dan penyebarannya masih belum merata di seluruh daerah. Kondisi ini menjadi kendala tersendiri karena pada saat terjadi kematian mendadak dari hewan yang lokasinya jauh dari laboratorium FIV, akan diperlukan waktu perjalanan untuk membawa ovarium ke laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu penyimpanan ovarium terhadap tingkat maturasi inti oosit dan tingkat fertilisasi oosit secara in vitro pada domba. Ovarium dibawa dari RPH dalam medium NaCl fisiologi pada suhu yang berbeda yaitu 27-28 C, 36-37 C dan 4 C. Oosit kemudian dikoleksi dari setiap kelompok berdasarkan waktu penyimpanan yang berbeda yaitu 2-4 jam, 5-7 dan 8-10 jam setelah domba dipotong. Oosit dikoleksi di dalam medium Phosphate Buffered Saline (PBS) ditambah 0,3% Bovine Serum Albumin (BSA) (Sigma, F- 7524) dan penicillin-strepromycin 100 IU/ml. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium maturasi sebanyak dua kali dan selanjutnya dimaturasi dalam Tissue Culture Medium (TMC) 199 (Sigma, USA) ditambahkan 5% FBS, 2 IU/ml Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) (Intergonan, Intervet Deutschland GmbH), 2 IU/ml human Chorionic Gonadotrophin (hcg) (chorulon, intervet international B.V. Boxmeer-Holland), dan 10 µg/ml gentamycin (Sigma, G-1264). Oosit diletakkan ke dalam drop dari medium maturasi masing-masing 100 µl untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan mineral oil (Sigma-Aldrich. Inc, M-8410) kemudian dimaturasi dalam inkubator 5% CO 2, temperatur 38,5 o C selama 28 jam. Kompetensi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda diuji hingga tahap fertilisasi in vitro. Fertilisasi dilakukan terhadap oosit yang dikoleksi dari setiap kelompok perlakuan iv

penyimpanan ovarium pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda. Tahap fertilisasi dilakukan pada oosit yang berasal dari setiap kelompok perlakuan setelah sebelumnya dimaturasi. Tahap proses maturasi oosit dilakukan mengikuti prosedur yang sama seperti pada penelitian tahap pertama. Fertilisasi in vitro menggunakan semen beku domba garut yang berasal dari satu individu yang sama pada setiap kali IVF. Proses thawing dilakukan dengan menempatkan semen beku domba dalam air bersuhu 37 C selama 30 detik. Selanjutnya semen disentrifugasi dengan 1600 rpm selama 5 menit dalam medium fertilisasi. Setelah disentrifugasi, supernatan dibuang kemudian dilakukan penghitungan konsentrasi sperma. Tahap selanjutnya adalah menambahkan medium fertilisasi hingga mencapai konsentrasi spermatozoa yang digunakan untuk keperluan IVF yaitu sebesar 5.10 6 spermatozoa/ml. Spermatozoa yang telah disiapkan kemudian ditempatkan dalam bentuk drop masing-masing sebanyak 100 µl pada cawan petri. Kemudian persiapan juga dilakukan pada oosit yang akan difertilisasi. Oosit yang telah dimaturasi selama 24 jam kemudian dicuci dalam medium fertilisasi sebanyak dua kali. Oosit kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa, masing-masing drop untuk 10-15 oosit dan kemudian diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO 2 5%, 38,5 C. Tingkat maturasi inti dari oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada pada suhu 27-28 C tidak berbeda dengan oosit yang disimpan pada suhu 36-37 C sampai 8-10 jam dari penyimpanan ovarium (P>0,05). Tingkat maturasi dari kelompok ini mengalami penurunan secara signifikan setelah penyimpanan selama 8-10 jam (69,23%, 59,61%, 24,32% dan 70,83%, 64,58%, 7,84% berturutturut untuk penyimpanan selama 2-4 jam, 5-7 jam dan 8-10 jam) (P<0,05). Sedangkan tingkat maturasi inti dari oosit yang disimpan pada suhu 4 C tidak mengalami penurunan hingga 8-10 jam penyimpanan. Meskipun tingkat maturasi oosit pada penyimpanan 2-4 dan 5-7 jam lebih rendah masing-masing 59,61% dan 36,36% dibandingkan tingkat maturasi oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada kelompok suhu lainnya yaitu Tetapi setelah periode waktu 8-10 jam tingkat maturasi inti mencapai 45,23%, lebih tinggi dari kedua kelompok lainnya. Tingkat fertilisasi oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan selama 2-4 jam pada suhu 27-28 C mencapai 53% dan tidak berbeda nyata dengan tingkat fertilisasi baik pada penyimpanan 36-37 C (66,66%) maupun pada suhu 4 C (63%) (P>0,05). Fenomena yang sama juga terlihat pada penyimpanan ovarium selama 5-7 jam, tingkat fertilisasi oosit tidak berbeda pada ketiga kelompok. Tingkat fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 C sama dengan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 36-37 C (50%) dan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 4 C adalah sebesar 40,81% (P>0,05). Tingkat fertilisasi oosit mulai mengalami penurunan pada tiga kelompok perlakuan setelah ovarium disimpan selama 8-10 jam. Tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 27-28 C, 36-37 C dan suhu 4 C masing-masing sebesar 9,8%, 22,22%, 12,24%. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyimpanan ovarium pada suhu 27-28 C dan 36-37 C selama 5-7 jam dapat mempertahankan kompetensi oosit dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4 C. Kata kunci: ovarium, maturasi in vitro, oosit domba, suhu, periode penyimpan. v

Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. v

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 vi

Judul Tesis : Kompetensi Perkembangan Oosit Domba pada Suhu dan Waktu Penyimpanan Ovarium yang Berbeda Nama : Arie Febretrisiana NRP : B352090021 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi Ketua drh. Ni Wayan Kurniani Karja, M.P., Ph.D Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Biologi Reproduksi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 24 Januari 2012 Tanggal Lulus: vii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Iman Supriatna viii

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini mengemukakan tentang upaya menjaga kualitas oosit yang akan digunakan pada teknik fertilisasi in vitro. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Mohamad Agus Setiadi dan Drh. Ni Wayan Kurniani Karja MP., PhD selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Pimpinan dan staf Rumah Potong Hewan Kambing/Domba Kampung Cikanyong Babakan Madang, Bogor yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta keluarga dan sahabat-sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Arie Febretrisiana ix

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunung Pamela Sumatra Utara, 4 Februari 1984 dari ayah Ismail dan Ibu Rodiah. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMU) dari SMUN 1 Dolok Batu Nanggar, Sumatra Utara dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Penulis bekerja dipeternakan lebah madu JK Sukabumi hingga tahun 2009 dan kemudian berkesempatan melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana pada Program Studi Biologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. ix

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Perkembangan Folikel dan Oosit... 4 Daya Tahan Hidup Oosit... 5 Maturasi Oosit In Vitro... 6 Seleksi Oosit... 7 Fertilisasi... 9 Pengaruh Waktu dan Suhu Penyimpanan... 10 BAHAN DAN METODE... 14 Tempat dan Waktu... 14 Metode Penelitian... 14 Tingkat Maturasi Inti Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan Waktu Penyimpanan... 14 Tingkat Fertilisasi In Vitro (IVF) Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan Waktu Penyimpanan... 16 Analisis Data... 18 HASIL DAN PEMBAHASAN... 19 HASIL... 19 Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda... 19 Tingkat fertilisasi oosit domba dengan suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda... 21 PEMBAHASAN... 23 KESIMPULAN... 30 x

SARAN... 30 DAFTAR PUSTAKA... 31 LAMPIRAN... 37 xi

DAFTAR TABEL 1. Status inti maturasi oosit domba secara in vitro yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda.... 20 2. Tingkat fertilitas oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda... 22 Hal xii

DAFTAR GAMBAR Hal 1. Status inti maturasi oosit domba secara in vitro yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda.... 20 2. Tingkat fertilisasi oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda... 22 xiii

DAFTAR LAMPIRAN 1. Komposisi medium koleksi oosit (modified Phosphate Buffered Saline, m- PBS)... 38 2. Komposisi medium TCM-199 untuk maturasi oosit... 39 3. Komposisi medium fertilisasi in vitro... 40 Hal xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang Teknologi in vitro fertilisasi (FIV) merupakan salah satu bidang bioteknologi reproduksi yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan pada reproduksi hewan (Wolf & Wooten 2001). Teknik FIV memiliki kelebihan yang memungkinkan penerapan proses aspirasi dan maturasi oosit (IVM), pembuahan dengan spermatozoa (IVF), dan perkembangan embrio (IVC) dilakukan di luar tubuh hewan (Mamo 2004). Keunggulan teknologi ini salah satunya dapat dimanfaatkan dalam upaya penyelamatan materi genetik dari hewan yang fungsi reproduksinya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, akibat kematian atau karena penyakit. Upaya penyelamatan materi genetik sangat penting dilakukan terutama terhadap hewan-hewan langka yang sudah dikategorikan dalam status dilindungi, juga penyelamatan terhadap plasma nutfah ternak unggul di Indonesia. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan FIV, diantaranya adalah kualitas oosit yang digunakan, keberadaan hormon serta waktu transportasi dan suhu medium yang digunakan untuk membawa ovarium (Gordon 2003; Nakao & Nakatsuji 1992). Lamanya waktu dan suhu medium yang digunakan selama transportasi dapat mempengaruhi kualitas oosit. Kualitas oosit akan tetap terjaga apabila koleksi oosit dan pengerjaan proses FIV dilakukan sesegera mungkin pasca kematian hewan. Akan tetapi karena keterbatasan sarana, peralatan dan jarak yang jauh dari lokasi kematian hewan dengan laboratorium IFV menyebabkan oosit tidak dapat segera dikoleksi. Di Indonesia keberadaan laboratorium FIV jumlahnya masih sangat terbatas dan penyebarannya masih belum merata di seluruh daerah. Kondisi ini menjadi kendala tersendiri karena pada saat terjadi kematian mendadak dari hewan yang lokasinya jauh dari laboratorium FIV, akan diperlukan waktu perjalanan untuk membawa ovarium ke laboratorium. Setelah kematian hewan, ovarium akan kehilangan suplai oksigen dan energi akibat dari terputusnya aliran darah yang pada akhirnya menempatkan ovarium pada kondisi ischemia (Lopes et al. 2009). Hal ini memicu perubahan metabolisme aerobic menjadi anaerobic yang kemudian terjadi produksi laktat 1

dan proton. Selain hal tersebut, terjadi pula depolarisasi sel yang memicu gangguan pada keseimbangan ion yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel (Taylor 2006). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kompetensi perkembangan oosit yang terkait permasalahan waktu dan suhu penyimpanan selama transportasi menuju laboratorium FIV pada berbagai spesies hewan, namun hasil yang didapatkan sangat beragam. Wang et al. (1995) melaporkan bahwa penyimpanan ovarium sapi pada suhu 4 C atau pada temperatur kamar selama 24 jam menurunkan kemampuan oosit untuk berkembang. Matstushita et al. (2004) melaporkan bahwa penyimpanan ovarium sapi pada suhu 10-20 C selama 24 jam tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada kompetensi perkembangan oosit baik setelah maturasi maupun kemampuan embrio untuk membelah dan berkembang menjadi stadium blastosis setelah FIV. Selain itu, penelitian penyimpanan ovarium sapi juga dilakukan pada suhu 37 selama 8 jam yang secara signifikan menunjukkan pengaruh penurunkan pada tingkat pembelahan embrio dan juga pembentukan blastosis setelah IVM/IVF (Yang et al. 1990). Pada kuda, ovarium dapat disimpan selama 6-8 jam pada suhu 27-37 C selama transportasi tanpa memberikan pengaruh buruk terhadap tingkat maturasi dan integritas membran sitoplasma (Guignot 1999). Penelitian penyimpanan ovarium babi juga dilaporkan pada suhu 25-35 C selama 6 jam, dimana kompetensi perkembangan oosit masih dapat terjaga (Wongsrikeao et al. 2005). Hingga saat ini informasi pengaruh waktu penyimpanan dan sensitivitas oosit domba terhadap suhu setelah IVF masih sangat jarang. Sehingga penelitian untuk mengevaluasi waktu dan suhu yang optimal pada ovarium domba sangat penting. Penelitian ini akan membantu penanganan yang baik bagi ovarium pasca pemotongan hewan dan dapat mempertahankan tingkat pematangan oosit sehingga mampu memperoleh kompetensi perkembangan oosit yang baik. 2

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi: 1. Tingkat maturasi inti oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu medium yang berbeda masing-masing pada suhu ruang 27-28 C, suhu 36-37 C dan suhu 4 o C dan disimpan pada waktu penyimpanan yang berbeda yaitu selama 2-4 jam, 5-7 jam dan 8-10 jam. 2. Tingkat fertilisasi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu medium yang berbeda yaitu pada suhu ruang 27-28 C, suhu 36-37 C dan suhu 4 C dan disimpan pada waktu penyimpanan yang berbeda yaitu selama 2-4 jam, 5-7 jam dan 8-10 jam. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi sistem transportasi yang baik sehingga mampu mempertahankan kualitas ovarium yang optimal. Hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat menjadi model untuk hewan langka yang mati mendadak yang kekerabatannya dekat dengan domba maupun bagi domba-domba dari jenis yang unggul. 3

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama menghasilkan sel gamet betina dan juga berfungsi memproduksi hormon reproduksi. Ovarium terdiri dari dua bagian yaitu korteks (bagian lateral) dan medula (bagian medial). Bagian korteks ovarium dilapisi oleh satu lapis epitelium kuboid dan stroma yang terdiri dari jaringan ikat longgar. Sedangkan pada bagian medula terdapat pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat (Senger 1999). Oosit berada di dalam folikel yang terdapat pada bagian korteks ovarium. Perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan folikulogenesis. Folikel mengalami berbagai tahap perkembangan yang berawal dari terbentuknya folikel primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan oosit siap diovulasikan. Berdasarkan morfologinya perkembangan folikel dibedakan menjadi dua yaitu folikel preantral dan folikel antral. Folikel prentral merupakan tahapan folikel yang belum memiliki antrum sedangkan folikel antral merupakan tahapan folikel yang telah memiliki antrum. Folikel primordial merupakan bentuk awal dari folikel dan ditemukan pada hewan setelah lahir dengan jumlah oosit tertentu pada setiap spesies (Hafez & Hafez 2000). Folikel ini mengandung oosit yang diselaputi oleh selapis sel somatis berbentuk pipih (Cushman et al. 2000). Folikel primordial kemudian mengalami pertumbuhan menjadi folikel primer dan sekunder. Folikel primer ditandai dengan adanya pembesaran diameter oosit yang meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat, kemudian diikuti dengan perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari bentuk pipih menjadi kuboid (Hafez & Hafez 2000). Pembentukan folikel sekunder ditandai dengan terjadinya proliferasi sel kuboid membentuk beberapa lapisan sel granulosa dan terbentuk sebuah membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit (Cushman et al. 2000). Folikel sekunder juga dikelilingi oleh lapisan sel epiteloid yang selanjutnya membentuk sel teka interna. Folikel sekunder dengan sel teka interna disebut folikel preantral (Guerin 2003). Pada tahap akhir perkembangan folikel massa sel granulosa mensekresikan cairan folikuler yang mengandung 4

estrogen dalam konsentrasi tinggi. Penumpukan cairan ini menyebabkan munculnya antrum di dalam massa sel granulosa. Perkembangan folikel tersier ditandai dengan antrum yang semakin meluas dan sel yang ada di sekeliling zona pelusida mulai membentuk korona radiata (Chusman 2000). Diameter folikel semakin meningkat karena produksi cairan folikuli yang semakin meningkat sehingga oosit terdesak ke bagian tepi folikel, dinding folikel semakin menipis hingga akhirnya terjadi ovulasi. Pada kondisi ini, folikel disebut sebagai folikel de Graaf (Hafez & Hafez 2000). Proses folikulogenesis juga diikuti dengan proses pertumbuhan dan pematangan oosit yang disebut dengan oogenesis. Perkembangan oosit terdiri dari tiga tahap yaitu proliferasi, pertumbuhan dan pematangan. Pada tahap proliferasi terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia yang terjadi pada saat pralahir atau sesaat setelah lahir dan kemudian oogonia berdiferensiasi menjadi oosit primer dengan inti tahap profase I. Inti oosit pada tahap ini disebut germinal vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membran inti yang utuh dan nukleus yang jelas. Selanjutnya oosit akan memasuki tahap pertumbuhan dan pematangan yang berlangsung bersamaan dengan proses perkembangan folikel. Pertumbuhan oosit ditandai dengan peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari organel-organel seperti kompleks golgi, retikulum endoplasmik halus, butir lemak, peningkatan proses transkrip untuk sintesis protein. Tahap pematangan oosit ditandai dengan beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez & Hafez 2000). Daya Tahan Hidup Oosit Oosit yang telah diovulasikan dan didisposisikan di oviduk mengalami degradasi jika tidak segera difertilisasi. Hal ini disebabkan karena oosit akan mengalami proses kerusakan akibat waktu yang terlalu lama pasca ovulasi sehingga tidak akan dapat difertilisasi. Mekanisme disposal terjadi akibat dua proses yaitu nekrosis dan apoptosis (Buja et al. 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian oosit disebabkan oleh proses apoptosis (Perez et al. 1995). Proses apoptosis ditandai dari ciri morfologis pembentukan badan apoptosis dari fragmentasi inti sel dan sitoplasma dan dapat ditandai pula dari segi 5

biokimia sel yaitu kenaikan regulasi protein pro-apoptosis dan penurunan regulasi protein anti-apoptosis (Kerr et al. 1972; Zimmermann et al. 2001). Apoptosis pada oosit dapat pula disebabkan oleh ekpresi yang terlalu tinggi dari protein antiapoptosis Bcl2 di dalam ovarium (Morita et al. 1999). Seperti yang dilaporkan oleh Takese et al. (1995) dan Fujino et al. (1996) yang menyatakan bahwa apoptosis oosit berhungan erat dengan fregmentasi di dalam sitoplasma. Dilaporkan pula bahwa terjadi abnormalitas pada spindel termasuk spindel yang pendek maupun spindel yang tidak utuh (Eichenlaub et al. 1986). Penelitian secara in vivo menunjukkan bahwa kematian oosit terjadi di dalam ovidak setelah 48 jam, sedangkan secara in vitro kematian oosit pertama terdeteksi lebih lama yaitu setelah 96 jam. Hal ini menandakan bahwa beberapa faktor dan atau keadaan oviduk yang mempercepat proses kematian sel (Lim & Choi 2004). Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian Allen et al. (1998) yang menyebutkan bahwa oosit hamster, tikus, mencit, kelinci dan babi mengalami perubahan antara 6-18 jam setelah ovulasi yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk terfertilisasi. Jika oosit mengalami fertilisasi maka akan banyak menghasilkan blastosis yang abnormal. Beberapa penelitian melaporkan bahwa fertilisasi pada oosit yang telah mengalami penuaan dapat meningkatkan resiko aborsi (Guerrero & Rojas 1975; Gray et al. 1995). Maturasi Oosit In Vitro Oosit yang diperoleh dan digunakan pada produksi embrio secara in vitro adalah oosit yang belum mengalami pematangan (immature), baik pematangan inti maupun pematangan sitoplasma (Krisher et al. 2007). Tahap fertilisasi dan perkembangan embrio akan dapat terjadi setelah oosit mengalami pematangan inti dan pematangan sitoplasma. Pematangan inti meliputi berbagai perubahan kronologis tahapan meiosis (Gordon, 2003). Proses pematangan inti berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA, ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metaphase II. Membran inti akan mengadakan penyatuan dengan vesicle membentuk germinal vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti membentuk germinal vesicle breakdown (GVBD). Setelah GVBD terjadi, kromosom 6

dibungkus oleh mikrotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembelahan meiosis. Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya akan mencapai tahap metaphase I (MI). Pada oosit sapi, metaphase I terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anaphase (AI) dan telophase (TI) yang berlangsung relatif singkat (14-18 jam) setelah masa inkubasi (Chohan & Hunter, 2003; Miyano et al., 2007). Tahap metaphase II (MII) akan terjadi dan ditandai dengan terbantuknya badan kutub I dan oosit yang sudah matang siap untuk difertilisasi (Pawshe et al. 1994). Tahap pematangan sitoplasma dicapai oleh perkembangan organel dan struktur di dalam sitoplasma. Perubahan sitoplasma selama pematangan oosit masih sulit untuk di evaluasi. Pematangan sitoplasma ditandai dengan penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai perubahan struktur dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk mengekspresikan potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu mendukung pembentukan dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon, 2003). Beberapa perubahan akan terjadi selama proses pematangan sitoplasma diantaranya terjadi migrasi kortikal granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan lipid droplet yang akan menyebabkan perubahan susunan apparatus golgi dan keberadaan reticulum endoplasmic granular, aktivitas maturation promoting factor (MPF) dan metabolisme oosit (Rahman et al. 2008). Pematangan sitoplasma dapat diketahui secara tidak langsung antara lain dari terjadinya reaksi korteks, pembentukan pronukleus dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002). Seleksi Oosit Kompetensi perkembangan oosit ke tahap selanjutnya sangat dipengaruhi oleh kualitas oosit yang digunakan pada proses FIV. Oosit yang berkualitas baik tidak hanya akan berhasil mencapai tahap pematangan inti namun juga akan mampu melewati berbagai tahap dalam pematangan sitoplasma yang dibutuhkan untuk dapat mencapai tahap fertilisasi. Kualitas oosit memberikan pengaruh terhadap pematangan oosit (maturasi), perkembangan dan kemampuan embrio untuk tetap bertahan hidup dan pemeliharaan pada kebuntingan dan perkembangan fetus (Krisher et al. 2007). 7

Penentuan kualitas oosit dapat dilakukan dengan melakukan beberapa evaluasi terhadap oosit yang akan digunakan pada proses FIV. Seleksi oosit yang banyak digunakan adalah pemilihan oosit berdasarkan morfologi sel kumulus yang berada di sekitar oosit (Alvarez et al. 2009; Lonergan et al 1994). Wood dan Wildt (1997) melaporkan bahwa teknik grading dengan mengevaluasi sel-sel kumulus oosit yang kompleks dapat mengindetifikasi kualitas oosit dengan lebih mudah dan objektif. Keberadaan sel kumulus mendukung pematangan oosit sampai pada tahap metafase II dan berkaitan dengan pematangan sitoplasma yang diperlukan untuk kemampuan perkembangan setelah fertilisasi (Abeydeera 2002). Umumnya oosit dengan kumulus yang multilayer digunakan dalam produksi embrio secara in vitro (Qian et al. 2005). Menurut Gordon (2003), kriteria pemilihan oosit yang berkualitas baik dapat dilihat dari bagian ooplasma yang homogen, sel kumulus yang kompak mengelilingi zona pelusida. Oosit yang didapatkan dari proses koleksi dikategorikan dalam 4 grade berdasarkan kualitasnya. Oosit dengan grade I (A) adalah oosit yang dikategorikan sebagai oosit yang paling baik. Oosit dengan grade ini memiliki kumulus yang seragam dan kompak dengan dikelilingi oleh lima lapisan atau lebih sel kumulus. Oosit dengan grade II (B) adalah oosit dengan katogeri baik yang ditandai dengan oosit yang seragam dan memiliki sitoplasma yang gelap dengan komplemen dari korona radiata yang lengkap tetapi dikelilingi tidak lebih dari lima lapisan sel kumulus. Oosit dengan grade III (C) adalah oosit dengan kategori kurang baik yang ditandai dengan oosit yang kurang seragam dan warna sitoplasma lebih transparan dan tidak merata, korona radiata dan sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit tidak merata dan terlihat tidak kompak. Oosit dengan kategori grade IV (D) dikelompokkan sebagai oosit dengan kualitas buruk. Oosit dengan kategori ini mempunyai sitoplasma yang transparan maupun terjadi fragmentasi pada sitoplasma. Sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit terlihat sangat jarang dan bahkan beberapa oosit tidak memiliki sel kumulus (Wood dan Wildt 1996). 8

Fertilisasi Fertilisasi merupakan tahap penting dalam proses reproduksi. Pada tahap awal pembuahan, gamet yang spesifik pada tiap spesies melalui proses pengenalan dan adhesi yang diduga melibatkan suatu molekul pengenalan tertentu pada sperma dan sel telur. Protein yang berasosiasi pada sperma berinteraksi dengan zona pelusida oosit dan kemudian terjadi proses reaksi akrosom dan penetrasi sperma pada sel telur (Sun & Nagai 2003). Proses fertilisasi melibatkan dua sel gamet jantan dan betina dan masingmasing sel gamet harus melalui tahap persiapan terlebih dahulu agar dapat terjadi proses fertilisasi. Oosit yang dapat terfertilisasi adalah oosit yang telah memasuki tahap metafase II (MII), pada fase ini oosit telah mengalami pematangan inti maupun sitoplasm. Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit akan menyebabkan oosit menyelesaikan pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina dan kromatin yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi dan kemudian membentuk pronukleus jantan (Cleine 1996). Sebelum memasuki proses fertilisasi sel sperma terlebih dahulu harus melalui tahap reaksi akrosom. Reaksi akrosom adalah proses kemampuan untuk membuat enzim yang diperlukan untuk dapat terjadinya penetrasi sperma pada zona pelusida oosit. Menurut Mattioli et al. 1991, reaksi akrosom terjadi akibat adanya interaksi antara laminin yang bergabung dengan sel kumulus yang ekspand dengan integrin spesifik yang terdapat pada membran sperma. Secara in vitro, reaksi akrosom terjadi karena adanya interaksi antara progesteron dan zona pelusida (Berger et al. 1989; Melendrez et al. 1994; Barboni et al. 1995). Proses reaksi akrosom diawali dengan kenaikan tingkat Ca 2+ yang disebabkan oleh masuknya Ca 2+ melalui membran plasma sperma dan memicu terjadinya reaksi akrosom (Okamura et al. 1993; Tiwari & Cox 1995). Selain itu reaksi akrosom terjadi karena sperma mengandung bicarbonat yang penting untuk dapat terjadinya reaksi akrosom (Tardif et al. 2003). L-arginine menginduksi sintesis oksidasi nitrit dan menstimulasi kapasitasi dan reaksi akrosom ketika terdapat transport anion sperma aktif dan menghasilkan suplementasi bicarbonat (Funahashi 2002). Penghambatan phosphorilasi protein menyebabkan oosit 9

terkativasi dan kemudian terbentuk pronukleus. Setelah proses fertilisasi, mitogen-activated protein (MAP) kinase tetap aktif dalam level yang tinggi pada resume meiosis kedua dan terbentuknya polar body yang kedua. Mitogenactivated protein (MAP) kinase mulai mengalami penurunan pada saat pronukleus mulai terbentuk (Sun et al. 2001; Miyano et al. 2000). Segera setelah penetrasi spermatozoa, maka konsentrasi cytostatic factor (CSF) yang terkandung dalam oosit akan menurun dan oosit akan memasuki interfase dengan mengeluarkan badan kutub-ii dan membentuk pronukleus betina. Penurunan aktivitas Extracellular signal Regulated Kinase (ERK)1/2 mitogenactivated protein kinase (MAPK) sangat penting untuk pembentukan pronukleus setelah fertilisasi pada mencit. Hal berbeda pada babi, bahwa pembentukan pronukleus betina dapat terjadi sebelum penurunan aktivitas ERK1/2MAPK. Pengaruh Waktu dan Suhu Penyimpanan Nakao&Nakatsuji (1992) melaporkan bahwa waktu perjalanan, teknik penyimpanan ovarium dan suhu medium yang digunakan selama perjalanan juga memberikan pengaruh terhadap pematangan oosit dan tingkat keberhasilan fertilisasi oosit. Ovarium yang dipisahkan dari tubuh hewan akan mengalami pemberhentian aliran darah dan berarti bersamaan pula dengan terputusnya pasokan oksigen ke ovarium. Beberapa saat setelah penghentian oksigen ke dalam ovarium akan terjadi perubahan mekanisme ATP dan memicu perubahan metabolisme aerobic menjadi anaerobic. Perubahan ini menyebabkan terjadinya akumulasi asam sebagai hasil ikutan metabolisme sel seperti asam laktat dan asam posphor yang kemudian meningkatkan jumlah ion H +. Plasma membran oosit memiliki permeabilitas yang tinggi bagi ion H + dan tidak memiliki regulasi pada konsentrasi H + yang terjadi. Sehingga, apabila oosit berada pada lingkungan yang lebih asam dibandingkan dengan lingkungan sitoplasma maka ph oosit akan menurun mengikuti ph medium eksternal yang kemudian memicu terjadinya fragmentasi DNA oosit (Wongsrikeao et al. 2005). Setelah kematian hewan, depolarisasi sel juga terjadi dengan cepat dan memicu untuk rusaknya homeostasis ion, berbagai rangkain intaselluler lain dan asosiasi membran. Kenaikan proton dan laktat pada konsentrasi intraselluler memberikan kontribusi 10

pada kematian sel sebagai hasil dari kondisi ischemia. Dibutuhkan perhatian dan perjagaan yang baik terutama terkait dengan waktu dan suhu dalam penanganan ovarium sebelum dilakukan tahapan IVF di laboratorium (Gordon 2003). Oosit yang dikoleksi dari ovarium sapi yang disimpan pada suhu 37 o C selama 8 jam secara signifikan menunjukkan penurunan baik pada tingkat pembelahan maupun pada pembentukan blastosis (Yang et al. 1990). Tetapi hasil yang sebaliknya terjadi pada ovarium sapi yang disimpan pada suhu 10 o C 20 o C selama 24 jam, yang memperlihakan tidak terjadi penurunan pada kompetensi pematangan pada oosit (Matsushita et al. 2004). Berbeda dengan yang dilaporkan pada ovarium anjing yang menunjukkan viabilitas oosit yang baik jika ditempatkan pada medium dengan suhu mendekati suhu tubuh yakni 37 o C dan disimpan selama 8 jam bila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4 C. Kondisi tersebut dikarenakan oosit anjing sangat sensitif terhadap perubahan ph selama penyimpanan (Hanna et al. 2008). Guignot et al. (1999) mengemukakan bahwa tidak ditemukan pengaruh negatif baik pada rataan jumlah oosit yang dikoleksi, tingkat pematangan inti maupun pematangan sitoplasma jika oosit kuda ditempatkan pada suhu 37 o C-27 o C selama 6-8 jam. Lebih jauh dijelaskan bahwa penyimpanan tersebut juga tidak berpengaruh buruk pada integritas membran sitoplasma. Akan tetapi penyimpanan ovarium dalam waktu yang lebih lama berpengaruh terhadap kualitas membran. Penyimpanan oosit kambing dengan menambahkan Indole-3-axetic acid, dapat menjaga kualitas jaringan ovarium jika disimpan pada suhu 4 o C selama 24 jam (Ferreira et al. 2000). Yuge et al (2003) menyatakan bahwa sebelum dilakukan aspirasi oosit pada ovarium yang ditempatkan pada suhu lebih rendah dari 25 o C, menunjukkan pengaruh yang merugikan terhadap pematangan in vitro. Penyimpanan ovarium dalam waktu yang lama (> 12 jam) pada suhu yang hangat atau menempatkan ovarium pada suhu kurang dari 25 o C sebelum proses aspirasi oosit akan meningkatkan fragmentasi DNA pada oosit (Wongsrikeao et al. 2003). Berbeda dengan spesies lainnya, ovarium kucing memiliki keunikan tersendiri yang 11

memungkinkan kualitas dan kompetensi oositnya tetap terjaga jika disimpan pada suhu 4 o C (Naoi et al. 2007). Proses kerusakan yang terkait kondisi ischemia dimediasi oleh reaksi kimia yang terjadi. Suhu medium yang berbeda digunakan untuk upaya mempertahankan kompetensi perkembangan oosit. Suhu medium yang digunakan selama perjalanan pada umumnya menggunakan medium dengan suhu 30 C (Gordon 2003), atau suhu 35 C dan 38 C yang merupakan suhu yang mendekati suhu tubuh (Wongsrikeao et al. 2005; Naoi et al. 2006). Suhu medium yang mendekati suhu tubuh tidak akan memberikan perbedaan yang berbeda pada lingkungan oosit di dalam ovarium akan tetapi pada suhu hangat metabolisme sel akan berjalan dengan tingkat yang paling maksimal. Akibatnya akan mempercepat akumulasi berbagai hasil metabolisme sel yang akan memperburuk lingkungan oosit dan dapat menyebabkan kematian sel (Taylor 2006). Perubahan lingkungan oosit yang disebabkan oleh akumulasi hasil metabolisme dapat dicegah dengan proses pendinginan. Upaya penempatan sel pada suhu yang rendah dilakukan karena dapat memperlambat metabolisme, menurukan kebutuhan oksigen, hasil metabolisme dapat dikurangi dan dapat menghemat energi. Namun upaya ini tidak mempengaruhi semua reaksi pada tingkat yang sama (Taylor 2006). Menurut Arav et al. (1996) sensitivitas oosit terhadap pendinginan menunjukkan tingkat yang berbeda. Pada oosit yang immature, sensitivitas plasma membran terhadap pendinginan lebih tinggi dibandingkan dengan plasma membrane oosit pada tahap metaphase-ii. Sedangkan pada oosit yang mature menunjukkan kerusakan pada bagian microtubule dan microfilament Penyimpanan oosit domba pada temperature yang rendah dapat menyebabkan degenarasi struktur protein dan enzim (Özdaş et al, 2006). Pengaruh suhu medium maupun lamanya waktu perjalanan yang dialami oleh oosit berbeda-beda pada masing-masing spesies. Hal ini berkaitan dengan perbedaan metabolisme pada masing-masing oosit. Faktor yang berperan dalam pematangan oosit adalah protein pada oosit yaitu mitogen-activated protein kinase dan maturation promoting factor (MPF) cdc2-kinase. Akan tetapi jumlah protein 12

yang spesifik ini berbeda-beda pada tiap spesies sehingga terjadi perbedaan metabolisme pada tiap oosit (Gardner et al. 2004). 13

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Ovarium diperoleh dari Rumah Potong Hewan Kambing/Domba, Kampung Cikanyong Desa Citaringgul, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari hingga Agustus 2011. Metode Penelitian I. Tingkat Maturasi Inti Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan Waktu Penyimpanan Transportasi Ovarium dari RPH Menuju Laboratorium FIV Ovarium domba di koleksi dari rumah potong hewan dan ditempatkan di dalam larutan 0,9% NaCl yang ditambahkan dengan 0,06 g/l penicillin dan 0,1 g/l streptomicyn. Ovarium yang diperoleh dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan dengan suhu medium penyimpanan yaitu suhu 27-28 C, 36-37 C dan 4 C. A B C Gambar 1. Metode transportasi ovarium dari rumah potong hewan. A: Ovarium didalam larutan NaCL, B: Termos untuk membawa ovarium pada suhu 36-37 C, C: Tas untuk membawa ovarium dalam suhu 4 C Kelompok ovarium dengan suhu 27-28 C dibawa dengan menempatkan ovarium didalam plastik yang berisi cairan NaCl fisiologis dan dibawa ke laboratorium. Kelompok ovarium dengan suhu 36-37 C ovarium ditempatkan di dalam plastik yang berisi NaCl fisiologis dan dimasukkan kedalam termos yang diberi air dengan suhu 37 C. Kelompok ovarium dengan suhu 4 C dibawa dengan menempatkan ovarium didalam plastik yang berisi NaCl fisiologis dan kemudian menempatkannya didalam termos yang diberi ice gel didalamnya. Metode dan alat 14

yang digunakan untuk membawa ovarium dari RPH ke laboratorium seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Setelah tiba di laboratorium, oosit dikoleksi masingmasing dari ketiga kelompok suhu penyimpanan pada 2-4 jam setelah pemotongan hewan. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk kelompok penyimpanan selanjutnya yaitu oosit dikoleksi setelah 5-7 jam dan 8-10 jam setelah pemotongan. Penentuan 0 jam didefinisikan berdasarkan waktu awal pemotongan hewan di RPH. Koleksi dan Pematangan Oosit In Vitro Koleksi oosit dilakukan dengan metode pencacahan (slicing) menggunakan pisau bedah steril dan oosit diseleksi berdasarkan keadaan sitoplasma yang homogen dan sel-sel kumulus yang kompak. Hasil koleksi oosit dikategorikan dalam 4 kelompok berdasarkan kualitas sitoplasma dan sel-sel kumulus. Penelitian ini hanya menggunakan oosit dengan kualitas yang baik seperti yang ditunjukkan pada gambar 2A. A B Gambar 2. Oosit dengan kualitas yang baik (A), oosit dengan kualitas yang tidak baik (B) Oosit dikoleksi di dalam medium Phosphate Buffered Saline (PBS) ditambah 0,3% Bovine Serum Albumin (BSA) (Sigma, F-7524) dan penicillin-strepromycin 100 IU/ml. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium maturasi sebanyak dua kali dan selanjutnya dimaturasi dalam Tissue Culture Medium (TMC) 199 (Sigma, USA) ditambahkan 5% FBS, 2 IU/ml Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) (Intergonan, Intervet Deutschland GmbH), 2 IU/ml human Chorionic Gonadotrophin (hcg) (chorulon, intervet international B.V. Boxmeer-Holland), dan 10 µg/ml gentamycin (Sigma, G-1264). Oosit diletakkan ke dalam drop dari medium maturasi masing-masing 100 µl untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan 15

mineral oil (Sigma-Aldrich. Inc, M-8410) kemudian dimaturasi dalam inkubator 5% CO 2, temperatur 38,5 o C selama 28 jam. Pembuatan Preparat Fiksasi Oosit Oosit yang telah dimaturasi dicuci dan dihilangkan semua bagian sel kumulus dengan bantuan 0,25% enzim hyaluronidase dengan cara dipipet berulang-ulang menggunakan pipet yang disesuaikan dengan ukuran oosit. Kemudian oosit diletakkan pada drop 0,7% KCl diatas gelas objek yang sebelumnya telah direndam dalam alkohol, lalu difiksir dengan cara ditutup dengan cover glass yang memiliki bantalan paraffin dan vaselin (1:9) pada kedua sisinya. Preparat tersebut dimasukkan dalam larutan fiksasi yang mengandung asam asetat dan ethanol (1:3) selama 3 hari. Evaluasi Pematangan Inti Oosit Preparat yang telah difiksasi selama 3 hari selanjutnya diwarnai dengan pewarna 2 % aceto-orcein selama ±5 menit. Kemudian zat pewarna dibersihkan dengan 25 % asam asetat dan keempat sisi cover glass diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi dengan mikroskop fase kontras (Olympus IX 70, Japan). Evaluasi tingkat kematangan inti dinilai dengan cara menghitung jumlah oosit pada setiap tahap pembelahan meiosis. Status inti oosit dikelompokkan menjadi tahap germinal vesicle (GV), germinal vesicle break down (GVBD), metaphase I (MI), anaphase I- telophase I (AI-TI) dan metaphase II (MII). Tahap GV ditandai dengan membran inti yang masih menyatu dengan vesicle, GVBD ditandai dengan robeknya membran inti dan inti sudah tidak terlihat jelas, sedangkan MI ditandai dengan adanya kromosom homolog yang berderet di bidang ekuator serta MII ditandai dengan adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama dengan tahap MI. Oosit dikategorikan sebagai oosit yang telah matur jika telah berada pada tahap Metaphase II. II. Tingkat Fertilisasi In Vitro (IVF) Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan Waktu Penyimpanan Kompetensi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda diuji hingga tahap fertilisasi in vitro. 16

Fertilisasi dilakukan terhadap oosit yang dikoleksi dari setiap kelompok perlakuan penyimpanan ovarium pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda. Tahap fertilisasi dilakukan pada oosit yang berasal dari setiap kelompok perlakuan setelah sebelumnya dimaturasi. Tahap proses maturasi oosit dilakukan mengikuti prosedur yang sama seperti pada penelitian tahap pertama. Penyiapan Spermatozoa Fertilisasi in vitro menggunakan semen beku domba garut yang berasal dari satu individu yang sama pada setiap kali IVF. Proses thawing dilakukan dengan menempatkan semen beku domba dalam air bersuhu 37 C selama 30 detik. Selanjutnya semen disentrifugasi dengan 1600 rpm selama 5 menit dalam medium fertilisasi. Setelah disentrifugasi, supernatan dibuang kemudian dilakukan penghitungan konsentrasi sperma. Tahap selanjutnya adalah menambahkan medium fertilisasi hingga mencapai konsentrasi spermatozoa yang digunakan untuk keperluan IVF yaitu sebesar 5.10 6 spermatozoa/ml. Fertilisasi In Vitro Spermatozoa yang telah disiapkan kemudian ditempatkan dalam bentuk drop masing-masing sebanyak 100 µl pada cawan petri. Kemudian persiapan juga dilakukan pada oosit yang akan difertilisasi. Oosit yang telah dimaturasi selama 24 jam kemudian dicuci dalam medium fertilisasi sebanyak dua kali. Oosit kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa, masing-masing drop untuk 10-15 oosit dan kemudian diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO 2 5%, 38,5 C. Evaluasi Tingkat Fertilisasi In Vitro Pengamatan tingkat fertilisasi dilakukan dengan membuat preparat oosit seperti pada penelitian tahap maturasi oosit. Tingkat fertilisasi diamati dengan melihat terjadinya pembentukan pronukleus (PN). Oosit yang telah mengalami fertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus (jantan dan betina, 2 PN) atau lebih (>2 PN) dalam sitoplasma oosit. Tingkat fertilisasi merupakan perbandingan antara jumlah sel telur yang dibuahi (membentuk dua atau lebih pronukleus) dengan jumlah keseluruhan sel telur yang difertilisasi. 17

Analisis Data Penelitian ini dirancang dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Tingkat maturasi inti oosit pada masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali, sedangkan perlakuan pada tingkat fertilisasi diulang sebanyak 4 kali. Data status inti oosit yaitu tahap GV, GVBD, MI, A/T dan MII yang diperoleh dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Begitu pula dengan data tingkat fertilisasi yang didapatkan yaitu jumlah oosit dengan status 1 PN, 2 PN dan >2PN yang diperoleh juga dianalisis dengan ANOVA dan kemudian diuji lanjut dengan uji Duncan (Steel & Torrie, 1993). 18

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL I. Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 tahap yaitu GV (Germinal Vesicle), GVBD (Germinal Vesicle Break Down), M-I (Metafase I), A/T (Anafase/Telofase) dan M-II (Metafase II). Status inti maturasi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan dengan suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda seperti terlihat pada gambar 3. A B C Cromosome Plate Pb Gambar 3. Status inti sel oosit setelah maturasi in vitro: A. Germinal Vesicle (GV), B. Metaphase I (MI), C. Anaphase-Telophase (A/T), D. Metaphase II (MII), Pb: Polar body D 19

Hasil tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda disajikan pada tabel 1. Penyimpanan ovarium selama 2-4 jam tidak menunjukkan perbedaan dalam kemampuan oosit untuk mencapai tahap metaphase II antara oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 C dengan suhu 36-37 C. Tingkat maturasi oosit yang koleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 C adalah sebesar 69,23% dan 70,83% untuk oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 36-37 C (P>0,05). Akan tetapi hasil sebaliknya ditunjukkan oleh tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu 4 C yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan tingkat maturasi oosit yang disimpan pada kedua kelompok suhu lainnya yaitu sebesar 45,65% (P<0,05). Fenomena yang sama juga terlihat pada waktu penyimpanan ovarium selama 5-7 jam. Tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu 27-28 C (59,61%) dan 36-37 C (64,58%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu 4 C (36,36%) (P<0,05). Tabel 1. Status inti maturasi oosit domba secara in vitro yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda. Kelompok jlh Status inti (%) Waktu Suhu oosit (jam) ( C) GV GVBD MI A/T MII 2-4 36-37 48 1 (2,08) a 2 (4,16) a 10 (20,83) abc 1 (2,08) a 34 (70,83) a 27-28 52 1 (1,92) a 1 (1,92) a 12 (23,07) abc 0 (0,00) a 36 (69,23) ab 4 46 4 (8,69) a 4 (8,69) a 13 (28,26) bc 0 (0,00) a 21 (45,65) c 5-7 36-37 48 1 (2,08) a 3 (6,25) a 8 (16,66) ab 1 (2,08) a 31 (64,58) abcd 27-28 52 4 (7,69) a 2 (3,84) a 9 (17,30) ab 0 (0,00) a 31 (59,61) abcd 4 55 6 (10,90) a 8 (14,54) ab 14 (25,45) bc 0 (0,00) a 20 (36,36) ce 8-10 36-37 51 20 (39,21) b 17 (33,33) b 4 (7,84) a 0 (0,00) a 4 (7,84) cf 27-28 43 15 (40,54) b 11 (29,72) b 7 (18,91) abc 1 (2,70) a 9 (24,32) f 4 42 2 (4,76) a 6 (14,28) ab 14 (33,33) c 0 (0,00) a 19 (45,23) ce Ket: Germinal vesicle (GV), Germinal Vesicle Breakdown (GVBD), Metafase I (MI), Metafase II (MII), Anafase/Telofase (A/T), Metafase II (MII). Angka dengan hurup kecil superskrip berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap perlakuan (P < 0,05). Proporsi tingkat maturasi oosit domba yang disimpan selama 8-10 jam setelah pemotongan secara signifikan mulai mengalami penurunan. Tingkat 20

maturasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 C dan 36-37 C masing-masing sebesar 24,32% dan 7,48% (P<0,05). Hasil yang menarik ditunjukkan oleh tingkat oosit yang diperoleh dari ovarium yang disimpan pada suhu 4 C yang justru menunjukkan tingkat maturasi yang lebih tinggi dibandingkan dua kelompok penyimpanan suhu yang lain. Tingkat maturasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan selama 8-10 jam pada suhu 4 C mencapai 45,23%. II. Tingkat fertilisasi oosit domba dengan suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tingkat fertilisasi oosit domba diamati dengan melihat pembentukan pronukleus pada oosit (gambar 4). A B C Gambar 4. Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah proses fertilisasi. A: Oosit dengan 1 Pronukleus (1PN), B: Oosit dengan 2 pronukleus (2PN), C: Oosit dengan lebih dari 2 pronukleus (>2PN), tanda panah menunjukkan pronukleus. 21