BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Adanya fenomena perdagangan bebas yang menciptakan struktur ekonomi global menyebabkan arus lalu lintas barang, jasa, modal dan tenaga kerja dapat berpindah dari satu negara ke negara lain tanpa adanya batasan dan rintangan. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma dari penekanan paradigma physical capital ke paradigma baru yang memfokuskan pada intellectual capital. Perubahan tersebut belum ditanggapi secara memadai oleh akuntan. (Suhendah, 2012). Pendapat mengenai pergeseran paradigm physical capital ke paradigma intellectual capital didukung oleh Bontis. Menurut Bontis Di Indonesia, pada umumnya perusahaan-perusahaan menggunakan akuntansi tradisional yang lebih menekankan pada penggunaan tangible assets, padahal seiring dengen perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tingkat kertertarikan akan intangible asset pun semakin meninggi (Bontis, 2000). Menurut Sir et al., (2010) Informasi yang terkandung dalam laporan keuangan perusahaan berperan penting dalam pasar modal, baik bagi investor secara individual, maupun bagi pasar secara keseluruhan. Bagi investor, informasi berperan penting dalam pengambilan keputusan investasi, sementara pasar memanfaatkan informasi untuk mencapai harga keseimbangan yang baru. Efficient markets hypothesis (EMH) menjadi salah satu tema yang membahas reaksi pasar terhadap informasi yang disajikan di pasar modal. EMH menyatakan 1
2 bahwa pasar saham merupakan pasar yang efisien, yaitu kondisi dimana harga sekuritas secara penuh merefleksikan semua informasi yang tersedia. Pada kondisi ini, pasar akan memproses informasi yang relevan kemudian pasar akan mengevaluasi harga saham berdasarkan informasi tersebut. Terkait dengan pentingnya informasi dalam konteks pasar efisien, pengungkapan informasi aset tidak berwujud (intangible asset) memegang peranan penting dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa unsur dari intangible asset seperti: human capital, inovasi, pelanggan, atau teknologi, yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan keuangan karena masalah identifikasi, pengakuan, dan pengukuran. Salah satu alternatif yang diusulkan adalah dengan memperluas pengungkapan intangible asset melalui pengungkapan intellectual capital, untuk memberi lebih banyak informasi komprehensif yang memungkinkan sebuah perusahaan memiliki pandangan yang sama terhadap penciptaan nilai. Pendapat mengenai pentingnya intellectual capital didukung oleh Petty dan Guthrie (2000). Menurutnya perusahaan saat ini semakin menitikberatkan akan pentingnya knowledge assets (aset pengetahuan). Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran knowledge assets (aset pengetahuan) adalah intellectual capital yang telah menjadi fokus perhatian diberbagai bidang, baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi Hal ini menimbulkan tantangan bagi para akuntan untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengungkapkannya dalam laporan keuangan (Sunarsih dan Ni Putu, 2012).
3 Intellectual capital diyakini dapat berperan penting dalam peningkatan nilai perusahaan maupun kinerja keuangan. Perusahaan yang mampu memanfaatkan modal intelektualnya secara efisien, maka nilai pasarnya akan meningkat. Appuhami (2007) menyatakan bahwa semakin besar nilai modal intelektual (VAIC TM ) semakin efisien penggunaan modal perusahaan, sehingga menciptakan value added bagi perusahaan. Physical capital sebagai bagian dari modal intelektual menjadi sumber daya yang menentukan kinerja perusahaan. Selain itu, jika modal intelektual merupakan sumber daya yang terukur untuk peningkatan competitive advantages, maka modal intelektual akan memberikan kontribusi terhadap kinerja perusahaan (Abdolmohammadi dalam Sunarsih dan Ni Putu, 2012). Bidang Intellectual Capital telah menjadi perhatian dalam dunia akuntansi sejak awal tahun 1990an. Tak hanya menarik perhatian para akademisi, intellectual capital juga menarik perhatian perusahaan dan investor. Salah satu area yang menarik perhatian meraka adalah yang terkait dengan kegunaan intellectual capital sebagai alat untuk mengukur nilai perusahaan (Ulum, 2008). Secara historis, perbedaan antara aset tidak berwujud dengan intellectual capital disamarkan, karena keduanya disebut sebagai goodwill. Hal ini dapat ditelusuri kembali ke awal 1980-an ketika pendapat umum nilai aset tak berwujud, yang sering disebut sebagai goodwill, mulai muncul dalam praktik bisnis dan di bidang akuntansi (IFA dalam Ulum, 2009). Dalam penelusuran praktik pencatatan intangible tersebut, IFA (1998) menemukan bahwa praktik akuntansi tradisional tidak menyajikan informasi
4 tentang identifikasi dan pengukuran intangible dalam organisasi, khususnya organisasi yang berbasis knowledge. Jenis intangible baru seperti kopentensi karyawan, hubungan dengan pelanggan, model-model simulasi, sistem administrasi dan komputer tidak diakui dalam model pelaporan manajemen dan keuangan tradisional. Bahkan dalam praktiknya, beberapa jenis intangible tradisional, seperti merek dagang, paten dan goodwill, masih jarang dilaporkan di dalam laporan keuangan. Kenyataannya, IAS 38 tentang intangible assets melarang pengakuan merk yang diciptakan secara internal, logo judul publikasi dan daftar pelanggan (IASB dalam Ulum, 2009). Di Indonesia, fenomena intellectual capital mulai berkembang setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang aktiva tidak berwujud. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai intellectual capital, namun lebih kurang intellectual capital telah mendapat perhatian Ulum (2009). Menurut PSAK No. 19 (revisi 2000), aktiva tidak berwujud adalah aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik yang diharapkan dapat memiliki manfaat ekonomis masa depan dari asset tesebut (Ikatan Akuntan Indonesia, 2002). Berbanding terbalik dengan meningkatnya perhatian intellectual capital di dalam mendorong nilai dan keunggulan kompetitif perusahaan, pengukuran yang tepat terhadap intellectual capital perusahaan belum dapat ditetapkan. Misalnya, Pulic (2000) tidak mengukur secara langsung intellectual capital perusahaan, tetapi mengajukan suatu ukuran untuk menilai efisiensi dari nilai tambah sebagai hasil dari kemampuan intelektual perusahaan (Value Added Intellectual
5 Coefficient VAIC ). Komponen utama dari VAIC dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA value added capital employed), human capital (VAHU value added human capital), dan structural capital (STVA structural capital value added) (Ulum, 2008). Penelitian mengenai hubungan VAIC TM dengan kinerja keuangan telah dibuktikan secara empiris oleh Firer dan Williams (2003) yang datanya diperoleh dari 75 perusahaan publik dari 4 jenis industri di Afrika Selatan. Chen et al. (2005) melakukan hal yang sama dengan menggunakan sampel publik di Taiwan tetapi menambahkan variabel R&D (research and development) dan advertising expenditure dalam penelitiannya. Mavridis (2004) dan Kamath (2007) memilih khusus sektor perbankan masing-masing di Jepang dan India sebagai sampel. Terakhir, penelitian oleh Maheran (2009) berdasarkan data dari 18 perusahaan yang berada di sektor keuangan pada tahun 2007 di Malaysia yang juga menginvestigasi efisiensi intellectual capital terhadap kinerja perusahaan (Cahyaning, 2010). Di Indonesia, pengukuran terhadap nilai pasar dan kinerja keuangan biasanya hanya dilihat dari kegiatan produksinya saja dan sistem manajemen yang dilakukan masih berbasis konvensional dimana sumber daya alam, sumber daya keuangan, dan modal fisik merupakan tolak ukur utamanya (Abidin, 2000). Adapun beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia anatara lain adalah penelitian Margaretha dan Rakhman (2006) menggunakan 13 perusahaan manufaktur terdaftar di Jakarta Stock Exchange dengan periode pelaporan selama 1999 sampai 2003 dan menggunakan VAIC TM sebagai
6 pengukur efisiensi atas komponen intellectual capital dan multiple regression model untuk menguji hubungan antara intellectual capital dan kinerja keuangan perusahaan. Kuryanto (2008) menggunakan Pulic Framework (VAIC TM ) dan data dari 73 perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia kecuali industri keuangan antara tahun 2003 hingga 2005. Selanjutnya, Ulum (2008) menggunakan data dari 130 perusahaan Indonesia yang bekerja di sektor perbankan untuk tiga tahun, 2004 hingga 2006. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh intellectual capital terhadap kinerja keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dengan menggunakan Pulic Model (VAIC TM ). Kinerja keuangan yang digunakan adalah return on equity (ROE), earnings per share (EPS), dan annual stock return (ASR). Penelitian ini dan pemilihan indikator kinerja tersebut mengacu pada penelitian (Tan et al.,2007). Sementara itu Penelitian yang dilakukan Imaninganti (2007) mengenai Pengaruh IC terhadap nilai perusahaan dengan objek penelitian perusahaan real estate & property yang terdaftar di BEI tahun 2001-2006 menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh antara intellectual capital dengan nilai pasar perusahaan. Hasil lainnya yaitu dengan menggunakan model VAIC TM agregat intellectual capital berpegaruh terhadap ROE dan EP, Sedangkan model per komponen, intellectual capital berpengaruh terhadap ROE, EP dan ATO.
7 Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis mengambil judul PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012) 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pembahasan penelitian ini akan dibatasi pada beberapa pokok permasalahan yaitu: 1. Apakah ada pengaruh positif antara intellectual capital perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012 dengan nilai perusahaan? 2. Apakah ada pengaruh positif antara value added capital employed (VACA) perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012 dengan nilai perusahaan? 3. Apakah ada pengaruh positif antara value added human capital (VAHU) perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012 dengan nilai perusahaan? 4. Apakah ada pengaruh positif antara structural capital value added (STVA) perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012 dengan nilai perusahaan?
8 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh intellectual capital (IC) terhadap nilai perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012. 2. Untuk mengetahui pengaruh value added capital employed (VACA) terhadap nilai perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012. 3. Untuk mengetahui pengaruh value added human capital (VAHU) terhadap nilai perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012. 4. Untuk mengetahui pengaruh structural capital value added (STVA) terhadap nilai perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012. 1.4 Kegunaan Penelitian Merujuk pada tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini sekurangkurangnya diharapkan dapat memberikan dua kegunaan, yaitu : 1. Manfaat teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan tentang intellectual capital sehingga dapat menjelaksan kinerja intellectual capital dalam meningkatkan nilai perusahaan. 2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi para pembuat keputusan di suatu perusahaan agar dapat mengelola sumber
9 daya manusianya secara efektif sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan dan daya saing perusahaan. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Data penunjang untuk penelitian ini diperoleh dengan browsing website di www.idx.co.id. Adapun waktu penelitian dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014.