BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

Oleh: Mochammad Nasichin ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB I PENDAHULUAN. mutlak diperlukan dan sebagai syarat terbentuknya suatu keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika :

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. serta membutuhkan manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin. 1 Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. sudah barang tentu perikatan tersebut mengakibatkan timbulnya hakhak

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

Psl. 119 BW jo. Psl. 124 BW

PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI (STUDI DI PENGADILAN AGAMA BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. orang lain yang bergantung hidup kepadanya. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

BAB I PENDAHULUAN. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhuk pribadi sekaligus makhluk

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut senada dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan yang jelas tentang pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang sering disebut dengan Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun asas monogami yang ada dalam Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya tidak bersifat mutlak, artinya asas monogami hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Poligami di masyarakat merupakan kenyataan hukum yang sering terjadi dan sering menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pada dasarnya poligami merupakan suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menerangkan bahwa asas monogami dalam perkawinan hanya bersifat limitatif saja, dalam 1

2 ketentuan tersebut disebutkan bahwa pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Sehingga berdasarkan ketentuan ini terdapat kemungkinan seorang suami di negara kita untuk melakukan poligami dengan izin pengadilan. Pertimbangan terhadap adanya kesempatan untuk dapat melakukan poligami bagi seorang suami mengacu pada aturan agama yang dianut oleh masyarakat karena terdapat agama yang membolehkan untuk melakukan poligami. Mengingat sebagian besar dari masyarakat Indonesia beragama Islam dan agama Islam membolehkan untuk melakukan poligami. Sesuai dengan dasar Pasal 51 ayat (1) dalam Kompilasi Hukum Islam seorang suami yang hendak melakukan poligami harus mendapatkan izin dari pengadilan agama. Sehingga apabila seorang suami tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan dengan alasan yang dibenarkan maka suami tersebut dapat melakukan poligami. Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anakanaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, di samping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat

3 ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak sah secara hukum. Pengadilan Agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Di samping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu : 1. Adanya persetujuan dari istri 2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya. 3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anakanaknya. Tentang persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan pada sidang pengadilan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebabsebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.

4 Menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang harta benda dalam perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama dibagi antara suaml istri dengan pembagian yang sama. Dalam hal seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari seorang maka akan timbul suatu sengketa mengenai harta bersama tersebut, sehingga diperlukanlah suatu aturan yang jelas mengenai pembagian harta tersebut. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini akan mengangkat permasalahan yang terkait dengan pembagian warisan dalam perkawinan poligami. Untuk itu dalam penelitian ini diberi judul : TINJAUAN TERHADAP PEMBAGIAN WARISAN PADA PERKAWINAN POLIGAMI (Studi Kasus Putusan Nomor : 36/Pdt.G./1997.PN.Skh). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

5 1. Bagaimana pembagian harta warisan pada perkawinan poligami yang ada pada Putusan Nomor : 36/Pdt.G./1997.PN.Skh? 2. Bagaimanan upaya mengatasi permasalahan yang muncul dalam pembagian harta warisan pada perkawinan poligami yang ada pada Putusan Nomor : 36/Pdt.G./1997.PN.Skh? C. Keaslian Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian terdahulu yang membahas tentang permasalahan yang sama dengan yang ada dalam penelitian ini. Seperti Penelitian yang dilakukan oleh Djoko Karsono (2008) yang berjudul Pelaksanaan Pembagian Harta Perkawinan Sebagai Akibat Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang meneliti tentang bagaimana pelaksanaan pembagian harta perkawinan dan hambatan yang ditimbulkan sebagai akibat perceraian bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam praktek di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 1 Dari hasil penelitian ini menerangkan bahwa dalam Pelaksanaan pembagian harta perkawinan akibat perceraian bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam KUHPerdata. 1 Djoko Karsono, 2008, Pelaksanaan Pembagian Harta Perkawinan Sebagai Akibat Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tesis Program Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Univesitas Diponegoro, Semarang.

6 Hambatan yang timbul dalam pelaksaanaan pembagian harta perkawinan akibat perceraian bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tidak dilaksanakannya oleh para pihak kesepakatan bersama atau putusan pengadilan yang telah menetapkan pembagian harta perkawinan. Penelitian yang lain tentang pelaksanaan pembagian warisan dalam perkawinan poligami dapat diketahui bahwa harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Pemilikan harta bersama dalam perkawinan poligami dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Istri pertama dari suami yang berpoligami mempunyai hak atas harta gono-gini yang dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua dan seterusnya berhak atas harta gono-gininya bersama dengan suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Kesemua istri memiliki hak yang sama atas harta gono-gini tersebut. Namun, istri istri yang kedua dan seterusnya tidak berhak terhadap harta gono-gini istri yang pertama. Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligamu untuk kasus cerai mati dibagi menjadi 50 : 50. Berdasarkan Pasal 97 KHI dinyatakan bahwa, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Hal yang menjadi hambatan dalam pembagian harta bersama, khususnya menyangkut masalah pembuktian harta bersama tersebut. Hal ini dapat terjadi apabila penentuan harta bersama dalam perkawinan poligami semata-mata disandarkan pada ketentuan Pasal 94 di atas.

7 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain diantaranya yaitu: 1. Hasil keputusan terhadap kasus ini dalam penelitian ini berbeda dengan dengan kasus-kasus yang ada dalam penelitian terdahulu. 2. Penelitian yang menyangkut masalah pembagian harta warisan perkawinan poligami pada penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Sukoharjo selama ini belum pernah dilakukan dalam suatu penelitian, sementara itu penelitian terdahulu berada di daerah lain. Dari hasil perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu, maka dapat dipastikan bahwa penelitian ini adalah asli. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut. 1. Untuk menganalisis pelaksanaan pembagian harta perkawinan dalam perkawinan poligami setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang ada pada Putusan Nomor : 36/Pdt.G./1997.PN.Skh. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terdapat dalam pembagian harta perkawinan dalam perkawinan poligami dan upaya penyelesaiannya yang ada pada Putusan Nomor : 36/Pdt.G./1997.PN.Skh. E. Manfaat Penelitian

8 Manfaat yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini diantaranya yaitu : 1. Manfaat Teoritis Dari penelitian ini diharapkan dapat membantu penulis dalam memahami perbedaan-perbedaan yang terjadi antara konsep/teori dengan praktek pembagian harta perkawinan poligami. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk perencanaan, pelaksanaan, pengambilan keputusan dan evaluasi kinerja dalam praktek pembagian harta perkawinan poligami. F. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teoritis Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban. Tentang bentuknya, maka perkawinan harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan undangundang. Kalau ini dipenuhi, maka perkawinan adalah sah, meskipun di dalam arti pisik tidak ada perkawinan. Perkawinan yang memenuhi syaratsyarat dalam hal bentuk, adalah sah. Ali Afandi, membagi Hukum Perkawinan ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu Hukum Perkawinan dan Hukum Kekayaan. 2 Dalam perkawinan Pengadilan Agama mempunyai 2 Ali Afandi, 2000, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet. 4, Jakarta : PT. Rineka Cipta. hal. 95.

9 kompetensi absolut yang diatur dalam Pasar 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 3 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ataupun rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perkawinan adalah persatuan seorang lelaki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama-sama. Hidup bersama-sama ini dimaksudkan untuk berlangsung selama-lamanya. Hal yang demikian ini tidak dengan tegas bisa dibaca di dalam salah satu pasal, tetapi dapat disimpulkan dari ketentuan yang mengenai perkawinan. J. Satrio menjelaskan bahwa hubungan yang erat antara hukum Harta Perkawinan dengan Hukum Keluarga. 4 Hukum Harta Perkawinan menurut J. Satrio, adalah sebagai berikut : Peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami isteri yang telah melangsungkan perkawinan. Hukum Harta Perkawinan disebut juga hukum harta benda perkawinan, yang merupakan terjemahan dari kata huwelijksgoederenrecht. Sedangkan Hukum Harta Perkawinan sendiri merupakan terjemahan dari huwelijksmogensrecht. 5 3 Abdul Ghofur Nashori, 2007, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No 3 Tahun 2006, Yogyakarta, UII Press. 4 J. Satrio, tth, Hukum Harta Perkawinan, Cet. 4, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 26. 5 Ibid, hal. 27

10 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa : Harta benda dalam perkawinan Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang pihak tidak menentukan lain. 6 Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Bahkan pada asasnya di sini, di dalam suatu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta. Harta Kekayaan Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah berdasarkan ketentuan Pasal 119 KUH Perdata, apabila calon suami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan tidak dibuat perjanjian kawin, dalam mana persatuan (campuran) harta kekayaan dibatasi atau ditiadakan sama sekali, maka demi hukum akan ada persatuan (campuran) bulat antara harta kekayaan suami isteri, baik yang mereka bahwa dalam perkawinan maupun yang mereka akan peroleh sepanjang perkawinan. Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang membedakan harta benda perkawinan menjadi 2 (dua) yaitu harta bersama dan harta bawaan. 6 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 31, Jakarta : PT PradnyaParamita, hal. 548.

11 2. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan pedoman operasional yang akan memudahkan pelaksanaan proses penelitian. Di dalam penelitian hukum normatif maupun empiris dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsional tersebut, sekaligus merumuskan definisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. 7 Demi memperoleh penjelasan yang relevan bagi pemahaman pengkajian ilmiah di dalam penulisan ini, maka terdapat istilah-istilah yang dijumpai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Harta Bawaan adalah harta yang sudah dimiliki suami atau isteri pada saat perkawinan dilangsungkan. 8 b. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan baik dari hasil pendapatan suami atau isteri selama tenggang waktu antara saat perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik putus karena kematian salah saeorang di antara suami isteri maupun karena perceraian. 9 c. Hibah dan warisan sepanjang tidak ditentukan lain, maka akan menjadi harta pribadi masing-masing suami dan istri. d. Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 12. 8 J. Satrio, Op. Cit, hal. 189. 9 Loc. Cit.

12 untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. 10 e. Suami adalah kepala dalam persatuan suami-isteri. 11 f. Isteri adalah ibu rumah tangga. 12 g. WNI keturunan Tionghoa adalah golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa atau orang-orang Timur Cina atau warga negara Indonesia keturunan Cina. 13 h. Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturanperaturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan isteri di dalam perkawinan. 14 i. Percampuran Kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva baik yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan. 15 j. Persatuan Bulat Harta Kekayaan atau Persatuan Harta Kekayaan adalah meliputi harta kekayaan suami dan isteri, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sekarang maupun yang terkemudian, termasuk juga yang diperoleh dengan cuma-cuma (warisan, hibah); segala beban suami dan isteri yang berupa hutang suami dan isteri, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan. 16 10 R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1961, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Tirtamas, hal. 57. 11 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit, hal. 26. 12 Indonesia (b), Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 31 ayat (3). 13 Subekti, 2003, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. 31, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 10. 14 Ali Afandi, Op. Cit, hal. 95. 15 Subekti, Op. Cit, hal. 32. 16 Ibid, hal. 167.

13 k. Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. 17 l. Hukum Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan. 18 G. Sistematika Penulisan Penulisan ini terbagi dalam empat bab yang saling berkaitan antara satu bab dengan bab-bab lainnya dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga lebih mengarah dan sistematis. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini diawali dengan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan umum tentang Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Tinjauan Umum Harta Kekayaan dalam Perkawinan, Tinjauan Umum tentang Perceraian dan Tinjauan tentang Poligami. 17 Ibid, hal. 42 18 Ali Afandi, Op. Cit, hal. 95

14 BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, lokasi penelitian, narasumber, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini dijelaskan dan dianalisis mengenai hasil penelitian dan pembahasannya yang relevan dengan penelitian ini. BAB V : PENUTUP Di dalam bab ini merupakan penutup yang memuat simpulan dan saran dari hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN