BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun permukiman, lahan pertanian dan perkebunan. Jumlah penduduk yang semakin bertambah menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal tersebut dapat menyebabkan masyarakat melakukan eksploitasi terhadap lahan. Eksploitasi yang dilakukan secara terus menerus akan mengancam keberadaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang terancam keberadaannya adalah hutan. Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, baik manfaat yang dapat dirasakan secara langsung seperti penyedia kayu, obat-obatan, dan satwa, maupun manfaat tidak langsung seperti manfaat pengatur tata air, penghasil oksigen dan pencegah erosi. Keberlanjutan daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa, dan tumbuhan salah satunya ditentukan oleh tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan. Manusia seringkali lupa bahkan tidak tahu pentingnya sumberdaya alam untuk kelangsungan hidup. Manusia hanya berpikir untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan untuk saat ini tanpa 1
memperhatikan kelestarian sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya alam tanpa memperhatikan keseimbangan ekologi merupakan ancaman terbesar terhadap keberlangsungan suatu ekosistem. Seperti halnya dalam pemanfaatan lahan. Menurut Supriatna (2008), pemanfaatan lahan untuk berbagai sektor secara langsung tidak selalu memperhitungkan akibat pada keuntungan tak langsung (lingkungan hidup) untuk semua pihak. Memang harus diakui bahwa keuntungan tak langsung ini sukar untuk segera dirasakan manfaatnya, seperti berbagai manfaat tumbuhan sebagai pengatur air, tutupan tanah, dan penjaga kualitas udara. Pertumbuhan populasi penduduk dan tekanan penduduk yang berkaitan dengan kebutuhan lahan akan menyebabkan penurunan luasan hutan sehingga perlu adanya pengendalian dalam pemanfaatan agar sumberdaya alam yang ada agar dapat terjamin kelestariannya. Sumberdaya alam harus dikelola sebaikbaiknya untuk kesejahteraan masyarakat seperti yang terkandung dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 33 yang berbunyi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama antara pemerintah, instansi terkait dan masyarakat dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam maka dibuat beberapa model kawasan perlindungan hutan yang pengelolaannya diatur oleh negara, yaitu hutan konservasi dan hutan lindung. Hutan konservasi meliputi Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Peletarian Alam, dan Taman Buru. Kawasan Hutan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan Kawasan 2
Hutan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Hutan konservasi DIY terdiri dari Cagar Alam Imogiri, Cagar Alam Gunung Gamping, Suaka Margasatwa Paliyan, Suaka Margasatwa Sermo, Taman Nasional Gunung Merapi, dan Taman Hutan Raya Bunder. Penetapan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi akan membatasi akses masyarakat yang tinggal di sekitar hutan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena tersebut terjadi di kawasan Suaka Margasatwa Paliyan Gunung Kidul, DIY. Suaka Margasatwa (SM) Paliyan merupakan kawasan yang masih berhutan dengan luas 434,6 ha, hampir keseluruhan kawasan telah dirambah penduduk sekitar menjadi lahan garapan pasca reformasi tahun 1998. Kawasan yang masih berhutan dengan tegakan yang cukup rapat hanya terdapat di sisi timur jalan besar depan PUSLATPUR dengan jenis tanaman jati. Fungsi hutan sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa adalah hutan produksi, kelas perusahaan jati, sistem tebang habis dan permudaan buatan (Djuwadi dalam Pramada, 2010). Pada tahun 2000, terdapat perubahan fungsi kawasan dari kawasan hutan produksi berubah menjadi Suaka Margasatwa Paliyan. Keputusan pemerintah menunjuk kawasan hutan tersebut sebagai suaka margasatwa diduga menyebabkan adanya perubahan pola hubungan antara hutan dan masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan SK Menhutbun No. 171/Kpts-II/2000 kawasan hutan 3
Paliyan berubah fungsi kawasannya dari kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan suaka margasatwa (Djuwadi dalam Pramada, 2010). Perubahan fungsi kawasan tersebut diduga mengakibatkan akses masyarakat atas sumberdaya hutan semakin terbatas, mengakibatkan perubahan pengelolaan hutan, serta mengakibatkan perubahan kondisi ekologis kawasan. Permasalahan yang muncul akibat perubahan kebijakan ini yaitu konflik lahan, hal ini disebabkan karena masyarakat sekitar kawasan Suaka Margasatwa Paliyan ini adalah petani miskin yang tidak memiliki lahan atau lahannya amat rendah atau dapat dikatakan masyarakat lapar lahan. Sebagian besar masyarakat merupakan petani yang rata-rata memiliki lahan garapan di hutan Paliyan sejak statusnya masih sebagai hutan produksi (Djuwadi dalam Pramada, 2010). Suaka Margasatwa termasuk dalam kawasan suaka alam. Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Selain itu, disebutkan pula bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Hal tersebut berarti bahwa dalam kawasan suaka margasatwa tidak diperbolehkan adanya campur tangan manusia. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam 4
kawasan Suaka Margasatwa Paliyan banyak terjadi pemanfaatan lahan untuk budidaya pertanian. Permasalahan dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti konflik lahan dan perambahan sudah sering terjadi. Permasalahan tersebut seringkali melibatkan masyarakat sekitar kawasan. Hal itu dapat disebabkan karena tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan masih tergolong rendah. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan seperti tingkat pendidikan, umur, luas lahan pertanian yang dimiliki, dan pendapatan dapat mempengaruhi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan konservasi. Kondisi sosial ekonomi tiap petani tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, perlu diketahui gambaran tipologi masyarakat sekitar kawasan sehingga akan dapat ditentukan solusi dalam menangani permasalahan tersebut. Masyarakat sekitar kawasan konservasi berpotensi sebagai pendukung upaya pelestarian sekaligus berpotensi pula sebagai ancaman. Masyarakat akan mendukung pelestarian kawasan jika kawasan konservasi tersebut dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, namun masyarakat dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian kawasan jika kawasan konservasi tidak mendatangkan manfaat atau mengurangi pendapatan masyarakat. 5
1.2. Rumusan Masalah Suaka Margasatwa (SM) Paliyan merupakan kawasan yang masih berhutan dengan luas 434,6 ha, hampir keseluruhan kawasan telah dirambah penduduk sekitar menjadi lahan garapan pasca reformasi tahun 1998. Fungsi hutan sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa adalah hutan produksi, kelas perusahaan jati, sistem tebang habis dan permudaan buatan. Berdasarkan SK Menhutbun No. 171/Kpts-II/2000 kawasan hutan Paliyan berubah fungsi kawasannya dari kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan suaka margasatwa. Permasalahan yang muncul sebagai akibat perubahan kebijakan ini yaitu konflik lahan, hal ini disebabkan karena masyarakat sekitar kawasan Suaka Margasatwa Paliyan ini adalah petani miskin yang tidak memiliki lahan. Sebagian besar masyarakat merupakan petani yang rata-rata memiliki lahan garapan di hutan Paliyan sejak statusnya masih sebagai hutan produksi. Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, di dalam kawasan suaka margasatwa tidak diperbolehkan adanya campur tangan manusia yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan lahan masih banyak terjadi. Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan lahan pertanian akan semakin bertambah, sedangkan lahan untuk budidaya pertanian tidak mengalami penambahan sehingga akan menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan di Suaka Margasatwa Paliyan. Untuk menentukan solusi dari permasalah tersebut perlu disusun kebijakan pengelolaan yang dapat membantu 6
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimanakah tipologi petani penggarap lahan di Suaka Margasatwa Paliyan? Bagaimanakah tekanan petani penggarap terhadap lahan di Suaka Margasatwa Paliyan? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui tipologi petani penggarap lahan di Suaka Margasatwa Paliyan. 2. Mengukur tekanan petani penggarap terhadap lahan di Suaka Margasatwa Paliyan. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk : - Manfaat bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai tipologi petani penggarap lahan, sebab-sebab petani melakukan penggarapan dan besarnya tekanan petani penggarap terhadap lahan di Suaka Margasatwa Paliyan. - Bagi pihak pengelola, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Suaka Margasatwa Paliyan. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran bagi penelitian selanjutnya. 7