PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG HAK MENYATAKAN PENDAPAT DPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN Oleh : Hermayanti,SH.,MH. 1 Abstract The existence of the constitutional court which determines the requirements of the exercise stating the number Quarum Parliament from 1 / 4 to 2 / 3 through the decision of a judicial review against Article 184 of Law No. 27 of 2009, has opened the space for the Parliament to be able to use the right declare a previous opinion is very difficult to implemented. the use of this right can lead to the impeachment against the president and vice president if there is no indication in violation of law, so there is the assumption that the more easily use the right opinion, will also simplify the process of Presidential impeachment and / or vice president. in this case can be said that the use of our opinion does not necessarily make it easier on the impeachment, and not solely based on the opinion of the House of Representatives concerning any alleged violation of law, but also must involve the judiciary are the Constitutional Court and the People's Consultative Assembly, and also based upon considerations for the broader interests of the nation Key Note : Right to express opinions and their implications A. Pendahuluan Salah satu perubahan penting di bidang ketatanegaraan melalui perubahan UUD 1945 adalah adanya pemisahan kekuasaan dan prinsip cek and balances antar masing-masing kekuasaan Negara. Sebelumnya, system yang dianut adalah system pembagian kekuasaan dengan prinsip supremasi MPR, yang menempatkan MPR pada posisi tertinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya dan mendistribusikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga yang ada di bawahnya. Dengan system tersebut, semua lembaga Negara berada di bawah MPR sebagai lembaga Negara tertinggi. Dengan demikian, tidak ada mekanisme cek and balances antar lembaga Negara, karena semuanya berpusat kepada MPR sebagai lembaga tertinggi Negara. Dengan prinsip cek and balances, semua lembaga Negara ditempatkan pada posisi yang sejajar atau sederajat, sehingga bisa saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lainnya. Dengan demikian diharapkan penyelenggaraan Negara akan berjalan lebih baik, karena penyimpangan-penyimpangan kekuasaan oleh suatu lembaga, bisa diawasi dan diimbangi oleh kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga Negara lainnya. 1 Hermayanti, SH,.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 72
Dianutnya prinsip cek and balances ini sangat penting dalam penyelenggaraan Negara. Hal ini beranjak dari kelemahan-kelemahan dari system yang dianut sebelum amandemen UUD 1945. Yang paling menonjol dapat dilihat pada kekuasaan presiden yang demikian besar, namun tidak dimbangi dengan adanya mekanisme control dari lembaga-lembaga lainnya. Akibatnya kekuasaan cenderung disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Meskipun Presiden berada dibawah MPR sebagai lembaga tertinggi negara, namun karena system keanggotaan dan mekanisme pengisian keanggotaan MPR yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan Presiden, mengakibatkan lemahnya fungsi control terhadap pemerintah. Adanya mekanisme cek and balances ini melalui perubahan UUD 1945 antara lain dapat dilihat dari penguatan fungsi DPR dalam melakukan fungsi control parlemen terhadap kebijakan pemerintah, dan fungsi pengujian undang-undang terhadap ketentuan UUD 1945 oleh Mahkamah Kontitusi. DPR sebagai lembaga legislative mempunyai fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan oleh presiden, sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman mempunyai fungsi pengawasan terhadap kekuasaan DPR dalam membentuk UU, dimana MK berwenang melakukan pengujian terhadap suatu UU dan membatalkannya jika dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pelaksanaan fungsi control DPR tersebut dilaksanakan oleh DPR melalui penggunaan hak-hak DPR, salah satunya adalah hak menyatakan pendapat. Hak ini berkenaan dengan hak DPR untuk menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melanggar hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hak menyatakan pendapat ini dapat menjadi ancaman bagi pemerintah karena dapat bermuara pada pemberhentian presiden dan/atau wakil dalam masa jabatannya, atau yang sekarang populer dengan istilah pemakzulan. Namun demikian, penggunaan hak menyatakan pendapat oleh DPR ini, tidak mudah untuk direalisasikan. Hal ini terganjal oleh ketentuan UU yang mengatur pelaksanakaan hak menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam pasal 184 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ketentuan ini dianggap menghambat pelaksanaan hak menyatakan pendapat DPR, akibatnya fungsi cek and balance DPR terhadap pemerintah kurang berjalan. Hal ini dapat dilihat dari terkatung-katungnya penyelesaian kasus century, meskipun sebagian besar fraksi-fraksi di DPR dalam melaksanakan hak angketnya menyatakan ada pelanggaran hukum, namun hak angket ini tidak bermuara kepada penggunaan hak menyatakan pendapat. Sulitnya pelaksanaan hak menyatakan pendapat tersebut, dianggap sebagai upaya mempersulit kemungkinan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. Meskipun sudah ada dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan. 73
Sehubungan adanya gugatan terhadap pasal 184 UU Nomor 27 tahun 2009 oleh tiga orang anggota DPR yaitu Bambang Sosetio, Lily Wahid dan Akbar Faisal kepada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan suatu terobosan hukum, dengan menetapkan ketentuan yang lebih mempermudah pelaksanaan hak menyatakan pendapat. Adanya putusan MK tersebut, menimbulkan anggapan bahwa dengan lebih mudahnya persyaratan hak menyatakan pendapat dapat berimplikasi pada upaya mempermudah upaya pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. B. Permasalahan Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba membahas tentang bagaimanakah mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat DPR menurut Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009, serta bagaimanakah implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang mempermudah pelaksanaan hak menyatakan pendapat DPR terhadap kemungkinan pemakzulan presiden dan/ atau wakil presiden. C. Mekanisme Penggunaan Hak Menyatakan Pendapat Menurut UU Nomor 27 Tahun 2009 Hak Menyatakan Pendapat merupakan salah satu hak DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945. Berdasarkan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang_Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Sebelumnya hak ini belum diatur dalam konstitusi. Adanya hak ini dalam rangka penguatan fungsi control parlemen terhadap pemerintah sebagai salah satu wujud dari penerapan prinsip cek and balances, sehingga kekuasaan yang dijalankan pemerintah tidak melenceng dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan lebih lanjut tentang penggunaan ketiga hak tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan dan ketiga hak DPR tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) sebagai berikut : 1. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyeledikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas : 74
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia Internasional; b. Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket DPR; atau c. Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan ketentuan diatas, hak menyatakan pendapat ini merupakan hak DPR yang paling kuat dibandingkan dengan hak interpelasi dan hak angket. Hak ini lebih banyak dimaknai sebagai hak DPR untuk menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melanggar hukum baik berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya penggunaan hak menyatakan pendapat ini dapat mengancam kedudukan presiden dan/atau wakil presiden, karena dapat bermuara pada pemberhentian presiden dan/atau wakil dalam masa jabatannya. Namun penggunaan hak menyatakan pendapat ini terganjal oleh beratnya persyaratan dalam mekanisme penggunaannya sebagaimana diatur Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Adapun mekanisme dari penggunaan hak menyatakan pendapat ini sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 adalah sebagai berikut : 1. Hak menyatakan pendapat diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR. 2. Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya : a. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat; b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf b; atau c. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c. 4. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir. 75
Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (4) di atas terlihat jelas bahwa persyaratan penggunaan hak menyatakan pendapat DPR sangat berat. Hak menyatakan pendapat hanya dapat dilakukan apabila quarum sidang paripurna untuk menggunakan hak menyatakan pendapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya oleh ¾ dari jumlah anggota DPRdan disetujui oleh sekurang-kuranganya ¾ dari jumlah anggota DPR yang hadir. Persyaratan jumlah quarum sebesar ¾ dari jumlah anggota DPR jelas sulit dicapai. Ketentuan ini mengakibatkan DPR tidak bisa menjalankan fungsi cek and balance terhadap kebijakan pemerintah, sehingga fungsi control DPR terhadap pemerintah menjadi terhambat. Contohnya, meskipun DPR sudah menggunakan hak angket dalam kasus century dan sebagian besar fraksi di DPR menyatakan ada pelanggaran hukum dalam kasus tersebut, tapi hak angket tersebut tidak ditindaklanjuti dengan hak menyatakan pendapat, akibatnya penyelesaian kasus tersebut sampai sekarang tidak ada kejelasan. Kesulitan mencapai angka tersebut karena komposisi partai politik di parlemen saat ini dikuasai oleh partai pendukung pemerintah. Seperti diketahui partai democrat sebagai partai pengusung presiden dan wakil presiden merupakan partai terbesar di parlemen dengan jumlah kursi sebanyak 148 kursi, ditambah lagi dengan jumlah kursi pendukung pemerintah dari partai PAN dan PKB, sehingga jumlah keseluruhannya melebihi 1/3 jumlah anggota DPR. Dengan komposisi tersebut, jelas jumlah ¾ (tiga permepat) sebagai syarat penggunaan hak menyatakan pendapat tidak akan tercapai. Besarnya persyaratan yang ditentukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 ini ternyata juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berkenaan dengan mekanisme pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, dimana menurut ketentuan tersebut, persyaratan jumlah quarum yang harus dipenuhi hanyalah sebesar 2/3 dari jumlah anggota DPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir. Atas dasar itulah akhirnya tiga orang anggota DPR kemudian mengajukan gugatan uji materil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi, yang akhirnya gugatan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstirusi dan membatalkan ketentuan syarat ¾ quarum. Persyaratan quarum untuk hak menyatakan pendapat cukup dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam siding paripurna tersebut. Dengan demikian, cukup mayoritas sederhana untuk mengefektifkan hak tertinggi yang dimiliki DPR itu. D. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Kemungkinan Pemakzulan Terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden Keputusan MK yang mengabulkan gugatan pemohon dan membatalkan ketentuan syarat ¾ quarum dalam sidang paripurna persetujuan hak menyatakan 76
pendapat ini dinilai mengembalikan kekuatan anggota DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa harus dibelenggu kekuatan mayoritas. MK berpendapat dengan adanya pengaturan quarum ¾ menyebabkan tidak efektif bagi DPR untuk mengontrol atau mengawasi presiden karena syarat tersebut terlalu berat. Syarat quarum menyebabkan DPR tidak dapat efektif melakukan pengawasan sehingga tidak sejalan dengan prinsip cek and balances dengan pengaturannya, sehingga berpotensi tidak efektif dalam mengontrol pemerintah. Sehubungan putusan Mahkamah Konstirusi tesebut, maka jika sebelumnya persyaratan quarum hak menyatakan pendapat harus ¾ atau sebanyak 420 orang anggota DPR harus hadir dalam siding paripurna DPR, maka dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, quarum hanya membutuhkan 2/3 atau 373 anggota DPR. Apakah dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini, juga akan berimplikasi pada lebih mudahnya upaya melakukan tindakan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden. Untuk itu perlu dikaji tentang mekanisme pemakzulan atau pemberhentian presiden dan wakil presiden. Mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden diatur dalam Pasal 7B perubahan ketiga UUD 1945, yang secara lengkap berbunyi : (1) Usul pemberhentian presiden dan/ wakil presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstirusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan rakyat bahwa Presiden telah pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstirusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam siding paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama tiga puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahmakah Konstirusi (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan 77
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan siding untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus dimabil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Berdasarkan ketentuan di atas, hak menyatakan pendapat oleh DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum memang merupakan langkah awal untuk adanya tindakan pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Apalagi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang lebih memudahkan persyaratan jumlah quarum sidang paripurna DPR untuk hak menyatakan pendapat dari ¾ menjadi 2/3, tentu juga lebih memudahkan langkah untuk menuju tindakan pemakzulan. Namun untuk sampai pada tindakan pemakzulan bukanlah hal yang mudah, karena melewati proses yang sangat panjang dan harus melewati proses hukum terlebih dahulu. Perlu diketahui, bahwa tindakan pemakzulan terhadap presiden harus dilandasi oleh banyak pertimbangan-pertimbangan, selain didasarkan pertimbangan adanya pelanggaran hukum, juga harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih penting yaitu mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas, seperti mempertimbangkan keamanan negara, pertimbangan ekonomi, dan sebagainya. Jika DPR memang menggunakan hak menyatakan pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum, dugaan ini terlebih dahulu harus diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengadili pendapat DPR tersebut. Dalam hal ini, bisa saja keputusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan pendapat DPR. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan lain, tentu saja DPR tidak dapat melanjutkan usul untuk melakukan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR. Sebaliknya, jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa dugaan DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melanggar hukum memang terbukti benar, maka DPR kembali harus melakukan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian tersebut kepada MPR. Seperti dinyatakan dalam Pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) di atas, bahwa keputusan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden berada di tangan MPR. Dalam hal ini MPR diberi waktu memutuskannya melalui sidang paripurna MPR dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari 78
sejak menerima usulan tersebut. Dalam proses ini, tentu banyak sekali kemungkinan yang terjadi, lobi-lobi politik dari partai yang kuat mendorong upaya pemakzulan harus berusaha ekstra keras, sebaliknya juga akan ada upaya yang sangat keras dari partai politik pendukung pemerintah agar tidak terjadi upaya pemakzulan. Jumlah quarum sidang paripurna MPR yang harus dipenuhi untuk mengambil keputusan atas usul pemberhentian tersebut juga cukup berat, yaitu sebanyak ¾ dari jumlah anggota MPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Jumlah yang cukup besar yang dipersyaratkan ketentuan UUD 1945 tersebut, bukanlah angka yang sedikit yang dapat dicapai. Sehingga dengan ini upaya pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden bukanlah upaya yang mudah dilakukan. Apalagi di MPR, juga ada anggota yang berasal dari anggota DPD, yang kemungkinan besar berbeda pandangan dengan anggota MPR yang berasal dari anggota DPR yang mempunyai banyak kepentingan-kepentingan politik. Meskipun keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau wakil presiden terbukti benar adanya, namun dalam hal ini bukanlah suatu keharusan bagi MPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, karena seperti dijelaskan sebelumnya pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus dilandasi oleh banyak sekali pertimbangan-pertimbangan, tidak semata-mata pertimbangan hukum tapi juga didasarkan pada pertimbangan kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Jadi dalam mekanisme pengadilan tata negara yang khusus ditujukan terhadap pelanggaran hukum bagi presiden dan/atau wakil presiden, meskipun perbuatannya dinyatakan terbukti melanggar hukum, tapi belum menjadi alasan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Contoh nyatanya dapat kita lihat pada pengadilan yang pernah dilakukan terhadap Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, yang meskipun dinyatakan terbukti telah melakukan tindakan tidak tercela dalam kasus dengan Monica Loewinsky, namun ternyata itu tidak menjadi alasan untuk menjatuhkan Bill Clinton dari kursi kepresidenannnya. Ia hanya diperintahkan untuk mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada keluarga dan rakyat Amerika. Dengan demikian jika mencermati proses diatas, adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan quarum sidang paripurna DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat dari ¾ menjadi 2/3 tersebut, menurut penulis tidaklah berimplikasi langsung pada kemudahan melakukan pemberhentian atau pemakzulan terhadap presiden dan atau wakil presiden, apalagi jika hanya didasarkan atas kepentingan-kepentingan politik tertentu saja. Karena itu, hak menyatakan pendapat tidak selalu berujung pada pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Keputusan MK tersebut hanya berkorelasi pada kemudahan menggunakan hak menyatakan pendapat bagi DPR. Sehingga lebih memudahkan DPR 79
melaksanakan cek and balancesnya terhadap pemerintah. Karena hak menyatakan pendapat ini, selain bisa berujung pada adanya dakwaan terhadap pemerintah, juga dapat berujung pada perintah terhadap presiden. Hal ini berarti mengembalikan kekuatan fungsi control DPR terhadap kebijakan pemerintah, sehingga dengan begitu pemerintah akan lebih berhati-hati mengeluarkan kebijakan, agar tidak melenceng dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, jika dihubungkan dengan kondisi yang melanda bangsa Indonesia saat ini, jika DPR nantinya menggunakan hak menyatakan pendapatnya dan prosesnya berjalan sesuai mekanisme yang telah diuraikan, keputusan melakukan pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden dapat menjadi suatu keniscayaan. Keputusan ini dipicu oleh selain adanya pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah, juga disertai desakan publik yang luar biasa besarnya yang menuntut pemerintah mundur karena dianggap telah melakukan kebohongan publik serta tidak dinilai tidak mampu mengatasi persoalan besar yang tengah dihadapi, seperti kasus century yang tidak kunjung ada kejelasannnya, mafia hukum yang merajalela dan melibatkan semua jajaran unsur penegak hukum, dan yang sangat mengejutkan adalah kasus mafia pajak yang menjadi sorotan publik, ditambah lagi kesulitan ekonomi yang menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat. Hal ini nantinya dikhwatirkan bisa menjadi pemicu adanya tindakan pemakzulan. E. Penutup 1. Kesimpulan a. Mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat DPR yang menentukan jumlah quarum sebesar ¾ dari jumlah anggota DPR harus hadir dalam sidang paripurna DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 sangat memberatkan bagi DPR dalam melaksanakan fungsi control terhadap pemerintah, dan bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang menetukan jumlah quarum hanya 2/3 dari jumlah anngota DPR. Karena itu melalui gugatan yang diajukan oleh anggota DPR dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa jumlah quarum hak menyatakan pendapat DPR cukup 2/3 dari anggota DPR sesuai ketentuan UUD 1945. b. Implikasi Keputusan mahkamah Konstitusi berkenaan dengan hak menyatakan pendapat DPR, tidak serta merta memudahkan jalan untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden dan/atau wakil presiden, karena prosesnya yang sangat panjang dan pertimbangannya tidak hanya semata-mata pertimbangan hukum saja, tapi adalah pertimbangan kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Keputusan MK hanya berkorelasi pada kemudahan bagi DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat dalam rangka melakukan cek and balances terhadap kebijakan pemerintah. c. 80
2. Saran a. Agar keputusan Mahkamah Konstitusi yang mempermudah pelaksanaan hak menyatakan pendapat DPR, dapat memperlancarkan pelaksanaan fungsi cek and balance DPR terhadap pemerintah. Sehingga fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Khusus dalam kasus century yang tidak kunjung ada kejelasannya, diharapkan segera ada kejelasannya. b. Agar pelaksanaan hak menyatakan pendapat oleh DPR tidak semata-mata dan bertujuan untuk menjatuhkan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Tapi semata-mata agar penyelenggaraan pemerintahan tidak keluar dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. F. Daftar Pustaka Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003 Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2003 Nikmatul Huda, Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD http://hukumonline.com, MK Hapus Syarat Kuroum Hak Menyatakan Pendapat, 12 Januari 2011 81