118 IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Abstract The direction of the state is a guideline for state officials to implement the government consistently and based on Pancasila and the 1945 Constitution of the State of the Republic of Indonesia. After the amendment of the Constitution, the MPR's authority to make GBHN is abolished. This causes the national development to be not directed. Preparation of the state bow is a mandate of Pancasila, that is by realizing a fair and equitable development. Based on scientific studies conducted by the MPR, some legal experts recommend to revitalize GBHN. The later GBHN must have a clear legal form, structured decomposition and systematics and animate the values of Pancasila. Key Note : Guidenline, Pancasila, MPR Abstrak Haluan negara merupakan pedoman bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan pemerintahan secara konsisten dan berdasarkan Pancasila serta Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasca amandemen Konstitusi, kewenangan MPR untuk membuat GBHN ditiadakan. Hal ini menyebabkan pembangunan nasional menjadi tidak terarah. Penyusunan haluan negara merupakan amanah dari Pancasila, yakni dengan mewujudkan pembangunan yang adil dan merata. Berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukan oleh MPR, sebagian ahli hukum merekomendasikan untuk merevitalisasi GBHN. GBHN yang nantinya dibuat harus memiliki bentuk hukum yang jelas, penguraian dan sistematika yang terstruktur dan menjiwai nilai-nilai Pancasila. Kata kunci: GBHN, Pancasila, MPR. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini, Bangsa Indonesia harus berhadapan dengan fakta-fakta yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai sikap fanatisme terhadap agama menjadi konsumsi sehari-hari, apalagi dengan ditunjang kecanggihan teknologi internet yang memungkinkan berita beredar secara cepat dengan menembus ruang dan waktu. Berita yang belum tentu benar menjadi media untuk melakukan provokasi. Akibatnya, tindakan radikal pun tidak dapat dihindari. Konflik sosial berbasis agama menimbulkan dampak yang sangat besar dan berpotensi menjadi
119 penyebab disintegrasi bangsa. Salah satu solusi yang ditawarkan dalam mengatasi permasalahan ini adalah dengan merevitalisasikan kembali penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (selanjutnya disingkat GBHN) dengan Pengamalan Pancasila. GBHN adalah produk Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa lalu sebelum amademen UUD Negara Republik Indonesia 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri merupakan lembaga yang dilontarkan oleh Ir. Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945, sebuah keinginan untuk menjelmakan aspirasi rakyat di dalam bentuk yang berupa perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. 1 Pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 MPR memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yakni sebagai berikut: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang 1 Samsul Wahidin, 1986, MPR RI dari Masa ke Masa, Bina Aksara, Jakarta, h. 69. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 mencabut kewenangan MPR untuk menyusun GBHN, akibatnya pembangunan di Indonesia menjadi tanpa arah. Pembangunan tersebut tidak hanya mengacu pada pembangunan fisik saja, namun juga pembangunan mental dan spiritual masyarakat yang tidak lagi berjiwa Pancasila. Oleh sebab itu diperlukan penyusunan GBHN yang berlandaskan pada Pancasila. Kedudukan Pancasila Sebagai Norma Dasar Substansi teori penjenjangan norma adalah peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari
120 norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar. 2 Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur peramidal (mulai dari abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti undangundang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya. Menurut Kelsen hal ini sangat penting untuk menjadi cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbau itu dan grundnorm menjadi batu uji utama. 3 Hans Kelsen sebagai seorang ahli hukum terkemuka melontarkan pemikiran mengenai norma dasar (Grundnorm) dalam penjenjangan norma (Stufenbau). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini, negara). Kelsen sendiri tidak menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia hanya 2 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 62. 3 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Imu Perundang-undangan Dasardasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 127-128. katakan, grundnorm merupakan syarat transedental-logis bagi berlakuya seluruh tata hukum. Seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hierarkis pada grundnorm. Dengan demikian, secara tidak langsung, Kelsen juga sebenarnya membuat teori tentang tertib yuridis. 4 Dalam hukum positif, Pancasila merupakan grundnorm atau norma dasar yang menjadi pedoman dalam hukum nasional. Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan Pancasila merupakan sumber negara. segala sumber hukum Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum. 5 Dengan demikian, Pancasila menjadi energi penggerak dalam melaksanakan 4 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Yage, 2010, Teori Hukum strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 127. 5 Achmad Ali, op.cit., h. 62.
121 penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan Permusyawaratan/Perwakilan, dalam dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Haluan Negara Sebagai Pengamalan Pancasila Kaidah dasar tersebut menurut Kelsen merupakan dasar dari segenap penilaian yang bersifat yuridis yang dimungkinkan di dalam suatu tertib hukum dari negaranegara tertentu. Jadi perumusan kaidah dasar dari suatu negara dapat berbeda dari negara lainnya, karena itu tergantung dari sifat negara masing-masing. 6 Ajaran 6 Soerjono Soekanto, 2009, Pokokpokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 36-37. stufenbauheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang lebih tinggi. 7 Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Suatu haluan negara yang dibuat oleh MPR diformulasikan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri merupakan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7 Lili Rasjidi dan Ia Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 60-61.
122 Dengan demikian maka penyusunan haluan negara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai norma dasar. Dalam penyusunan GBHN, maka MPR melalui Badan Kajian MPR RI perlu mengadakan berbagai kegiatan untuk menyerap aspirasi masyarakat, mengingat GBHN yang akan disusun akan berlaku di Indonesia dengan wilayah yang luas dan diwarnai dengan berbagai keragaman. Sebagai norma dasar dalam sistem hukum nasional maka Pancasila yang terdiri dari berbagai sila harus diserap dalam substansi GBHN. Pedoman dan arah pembangunan nasional sebagaimana yang tertuang dalam haluan negara dijabarkan per sila dalam Pancasila. GBHN disusun secara abstrak, sehingga dapat diperas dalam bentuk yang konkrit dalam visi dan misi presiden. Dalam Pasal 7A Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Apabila nantinya presiden dan wakil presiden tidak melaksanakan GBHN atau menyelenggarakan negara namun menyimpang dari GBHN, maka tindakan tersebut dapat menjadi dasar pemberhentian terhadap presiden dan/ atau wakil presiden. PENUTUP Pancasila merupakan norma dasar dalam sistem hukum nasional. Sebagai norma dasar maka Pancasila harus menjadi pedoman dalam penyusunan aturan hukum di Indonesia. GBHN yang akan dibuat oleh MPR nantinya harus berpedoman pada Pancasila. GBHN disusun sesuai dengan sila-sila dalam Pancasila. Bentuk hukum dari GBHN dituangkan dalam TAP MPR. GBHN menjadi arah dalam penyelenggaraan pemerintahan, oleh sebab itu apabila presiden dan/ atau wakil presiden melakukan penyimpangan terhadap GBHN, maka tindakan tindakan tersebut dapat menjadi dasar pemberhentian
123 terhadap presiden dan/ atau wakil presiden. DAFTAR PUSTAKA BUKU : Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Yage, 2010, Teori Hukum strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta. Samsul Wahidin, 1986, MPR RI dari Masa ke Masa, Bina Aksara, Jakarta. Soerjono Soekanto, 2009, Pokokpokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Lili Rasjidi dan Ia Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Imu Perundangundangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta.