II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan menggunakan

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

Dewantari EO, Taruna A, Angraini DI, Dilangga P. Medical Faculty of Lampung University ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, VOLUME 2, NO. 2, APRIL 2015:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB I PENDAHULUAN. Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi dari 2-3 bulan hingga tahun (Price dan Wilson, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

PENELITIAN PENGARUH HEMODIALISIS TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DM. Elya Hartini *, Idawati Manurung **, Purwati **

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis reguler

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB 4 HASIL. 2,3 (0,3-17,5) Jenis Kelamin Pria 62 57,4 Wanita 46 42,6

BAB I PENDAHULUAN. (penting untuk mengatur kalsium) serta eritropoitein menimbulkan keadaan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun.

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana S-1. Disusun oleh : ELYOS MEGA PUTRA J FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar

HEMODIALYSIS PADA ANAK. Tatik Dwi Wahyuni, SKep Ns RSUP Dr Sardjito Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. GFR < 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan dengan atau tanpa

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 -

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang bersifat progresif dan irreversibel yang menyebabkan ginjal kehilangan

HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN NABATI DAN HEWANI DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS RAWAT JALAN DI RSUP

PGK dengan HD IDWG BIA PHASE ANGLE

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. untuk menyingkirkan substansi yang tidak diinginkan dari darah sementara

BAB I PENDAHULUAN. fungsi ginjal dengan cepat sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. serta terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. multipel. Semua upaya mencegah gagal ginjal amat penting. Dengan demikian,

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis?

KEBUTUHAN NUTRISI PADA ANAK. ANITA APRILIAWATI, Ns., Sp.Kep An Pediatric Nursing Department Faculty of Nursing University of Muhammadiyah Jakarta

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK)mempunyai risiko lebih besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PengertianDrug Related Problems Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I PENDAHULUAN. bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1. Definisi Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Brenner & Lazarus, 2012). Kriteria penyakit ginjal kronik adalah: a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) b. Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2010).

8 2. Etiologi Penyebab PGK yang menjalani hemodialisis di Indonesia menurut Penefri tahun 2003 adalah: a. Glomerulonefritis 46,39% b. Diabetes Mellitus 18,65% c. Obstruksi dan infeksi 12,85% d. Hipertensi 8,46% e. Sebab lain 13,65% Penyebab lain adalah: infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipersensitif, gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan herediter, gangguan metabolisme, nefropati toksik, nefropati obstruksi dan intoksikasi obat. 3. Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut (KDIGO, 2012): Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik. Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m²) G1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90 G2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 89 G3a Kerusakan ginjal dengan LFG ringan-sedang 45 59 G3b Kerusakan ginjal dengan LFG sedang-berat 30 44 G4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 29 G5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

9 4. Patofisiologi Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan pada perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan ini diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth Factor β (TGF-β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas. Selain itu progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia (Price & Wilson, 2006) Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan ginjal (renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat dan dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 60%, masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum pada pasien. Pada LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia,

10 lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan LFG dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2010). 5. Terapi Terapi untuk penyakit penyebab tentu sesuai dengan patofisiologi masingmasing penyakit. Pencegahan progresivitas penyakit ginjal kronik bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain restriksi protein, kontrol glukosa, kontrol tekanan darah dan proteinuria, penyesuaian dosis obat-obatan dan edukasi. Pada pasien yang sudah mengalami penyakit ginjal dan terdapat gejala uremia, hemodialisis atau terapi pengganti lain bisa dilakukan (Brenner & Lazarus, 2012).

11 B. Hemodialisis 1. Definisi Hemodialisis (HD) adalah suatu proses menggunakan mesin HD dan berbagai aksesorisnya dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air secara pasif melalui darah menuju kompartemen cairan dialisat melewati membran semi permeabel dalam dializer (Price & Wilson, 2006). Hemodialisis ini bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat terlarut yang tidak diinginkan dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (O callaghan, 2009). 2. Prinsip Kerja Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah filtrasi, difusi, osmosis dan ultra filtrasi. Filtrasi adalah proses lewatnya suatu zat melalui filter untuk memisahkan sebagian zat itu dari zat yang lain. Difusi merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai tercapai kondisi seimbang melalui membran semipermeabel. Proses terjadinya difusi dipengaruhi oleh suhu, visikositas dan ukuran dari molekul. Osmosis terjadi berdasarkan prinsip bahwa zat pelarut akan bergerak melewati membran untuk mencapai konsentrasi yang sama di kedua sisi, dari daerah dengan konsentrasi lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi. Dengan ini zat-zat terlarut tidak ikut melewati membran. Ini merupakan proses pasif. Saat darah dipompa melalui dialiser maka membran akan mengeluarkan tekanan positifnya, sehingga

12 tekanan diruangan yang berlawanan dengan membran menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran kecil bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah (tekanan hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik tersebut maka cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel. Proses ini disebut dengan ultrafiltrasi (O callaghan, 2009). Ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisis yaitu alat dialyzer, cairan dialisat dan sistem penghantaran darah. Dialyzer adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi membran semi permeabel (Depner, 2005). Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik limbah-limbah tubuh dari darah. Sementara sebagai buffer umumnya digunakan bikarbonat, karena memiliki risiko lebih kecil untuk menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan buffer natrium. Kadar setiap zat di cairan dialisat juga perlu diatur sesuai kebutuhan. Sementara itu, air yang digunakan harus diproses agar tidak menimbulkan risiko kontaminasi (Septiwi, 2010). Sistem penghantaran darah dapat dibagi menjadi bagian di mesin dialisis dan akses dialisis di tubuh pasien. Bagian yang di mesin terdiri atas pompa darah, sistem pengaliran dialisat, dan berbagai monitor. Sementara akses juga bisa dibagi atas beberapa jenis, antara lain fistula, graft atau kateter. Prosedur yang

13 dinilai paling efektif adalah dengan membuat suatu fistula dengan cara membuat sambungan secara anastomosis (shunt) antara arteri dan vena. Salah satu prosedur yang paling umum adalah menyambungkan arteri radialis dengan vena cephalica, yang biasa disebut fistula Cimino-Breschia. (Carpenter & Lazarus, 2012). C. Adekuasi Hemodialisis 1. Definisi Adekuasi hemodialisis merupakan kecukupan dosis hemodialisis yang direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis (NKF-K/DOQI, 2000). 2. Tujuan Pencapaian adekuasi hemodialisis diperlukan untuk menilai efektivitas tindakan hemodialisis yang dilakukan. Hemodialisis yang adekuat akan memberikan manfaat yang besar dan memungkinkan pasien gagal ginjal tetap bisa menjalani aktivitasnya seperti biasa (Septiwi, 2010). Chen et al. (2012) melakukan penelitian prospektif selama 6 bulan pada 77 pasien dialisis, dan hasil menunjukan bahwa pasien yang dialisisnya adekuat memiliki perbaikan fungsi fisik yang signifikan dibanding dengan pasien yang dialisisnya inadekuat.

14 Penelitian terkait yang dilakukan oleh Taruna dkk (2013) di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan diantara pasien dengan hemodialisis yang adekuat dan inadekuat terhadap jumlah leukosit (p=0,027), hemoglobin (p=0,047), kalium (p=0,038) dan konsentrasi PCR (p=0,048) maupun total protein serum (69+4,63 p<0,0001) dan albumin (38+2,99; p= 0,047). Berdasarkan uji korelasi Pearson terbukti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar protein serum dengan adekuasi hemodialisis (r=0,2; p=0,0446). 3. Dosis Hemodialisis yang tidak adekuat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bersihan ureum yang tidak optimal, waktu dialisis yang kurang, dan kesalahan dalam pemeriksaan laboratorium (Septiwi, 2010). Untuk mencapai adekuasi hemodialisis, maka besarnya dosis yang diberikan harus memperhatikan hal-hal berikut (Pernefri, 2003; Daugirdas et al., 2007) : a. Time of Dialisis Adalah lama waktu pelaksanaan hemodialisis yang idealnya 10-12 jam per minggu. Bila hemodialisis dilakukan 2 kali/minggu maka lama waktu tiap kali hemodialisis adalah 5-6 jam, sedangkan bila dilakukan 3 kali/minggu maka waktu tiap kali hemodialisis adalah 4-5 jam (Pernefri, 2003).

15 b. Interdialytic Time Adalah waktu interval atau frekuensi pelaksanaan hemodialisis yang berkisar antara 2 kali/minggu atau 3 kali/minggu. Idealnya hemodialisis dilakukan 3 kali/minggu dengan durasi 4-5 jam setiap sesi, akan tetapi di Indonesia dilakukan 2 kali/minggu dengan durasi 4-5 jam, dengan pertimbangan bahwa PT ASKES hanya mampu menanggung biaya hemodialisis 2 kali/minggu (Gatot, 2003). c. Quick of Blood (Blood flow) Adalah besarnya aliran darah yang dialirkan ke dalam dialiser yang besarnya antara 200-600 ml/menit dengan cara mengaturnya pada mesin dialisis. Pengaturan Qb 200 ml/menit akan memperoleh bersihan ureum 150 ml/menit, dan peningkatan Qb sampai 400 ml/menit akan meningkatkan bersihan ureum 200 ml/menit. Kecepatan aliran darah (Qb) rata-rata adalah 4 kali berat badan pasien, ditingkatkan secara bertahap selama hemodialisis dan dimonitor setiap jam (Septiwi, 2010). d. Quick of Dialysate (Dialysate flow) Adalah besarnya aliran dialisat yang menuju dan keluar dari dialiser yang dapat mempengaruhi tingkat bersihan yang dicapai, sehingga perlu di atur sebesar 400-800 ml/menit dan biasanya sudah disesuaikan dengan jenis atau merk mesin. Daugirdas et al. (2007) menyebutkan bahwa pencapaian bersihan ureum yang optimal dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah (Qb), kecepatan aliran dialisat (Qd), dan koefisien luas permukaan dialiser.

16 e. Clearance of dialyzer Klirens menggambarkan kemampuan dialiser untuk membersihkan darah dari cairan dan zat terlarut, dan besarnya klirens dipengaruhi oleh bahan, tebal, dan luasnya membran. Luas membran berkisar antara 0,8-2,2 m². KoA merupakan koefisien luas permukaan transfer yang menunjukkan kemampuan untuk penjernihan ureum. Untuk mencapai adekuasi diperlukan KoA yang tinggi yang diimbangi dengan Qb yang tinggi pula antara 300-400 ml/menit (Septiwi, 2010). f. Tipe akses vascular Akses vaskular cimino (Arterio Venousa Shunt) merupakan akses yang paling direkomendasikan bagi pasien hemodialisis. Akses vaskular cimino yang berfungsi dengan baik akan berpengaruh pada adekuasi dialisis (Septiwi, 2010). g. Trans membrane pressure Adalah besarnya perbedaan tekanan hidrostatik antara kompartemen dialisis (Pd) dan kompartemen darah (Pb) yang diperlukan agar terjadi proses ultrafiltrasi. Nilainya tidak boleh kurang dari -50 dan Pb harus lebih besar daripada Pd serta dapat dihitung secara manual dengan rumus: TMP=(Pb Pd) mmhg (Pernefri, 2003). 4. Penghitungan Hemodialisis dinilai adekuat bila mencapai hasil sesuai dosis yang direncanakan. Untuk itu, sebelum hemodialisis dilaksanakan harus dibuat

17 suatu peresepan untuk merencanakan dosis hemodialisis, dan selanjutnya dibandingkan dengan hasil hemodialisis yang telah dilakukan untuk menilai keadekuatannya. Adekuasi hemodialisis diukur secara kuantitatif dengan menghitung Kt/V yang merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu hemodialisis dengan volume distribusi urea dalam cairan tubuh pasien (Eknoyan et al., 2000; Cronin & Henrich, 2010; Jindal & Chan, 2006). Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisis dapat dicapai dengan jumlah dosis hemodialisis 10-15 jam perminggu. Pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali/minggu diberi target Kt/V 1,2, sedangkan pasien yang menjalani hemodialisis 2 kali/minggu diberi target Kt/V 1,8. K/DOQI (2006) merekomendasikan bahwa Kt/V untuk setiap pelaksanaan hemodialisis adalah minimal 1,2 dengan target adekuasi 1,4. Penghitungan Kt/V dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Daugirdas sebagai berikut: (NKF-K/DOQI, 2000) Kt/V = -Ln(R 0,008t)+(4 3,5R)x(BB pre dialisis BB post dialisis) BB post dialisis Keterangan: K: Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam ml/menit Ln: Logaritma natural R: Ureum post dialisis/ureum pre dialisis t: lama dialisis (jam)

18 V: volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65% BB/berat badan dan wanita 55% BB/berat badan) Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa adekuasi hemodialisis diukur secara berkala setiap bulan sekali atau minimal setiap 6 bulan sekali. Secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat bila keadaan umum pasien dalam keadaan baik, merasa lebih nyaman, tidak ada manifestasi uremia dan usia hidup pasien semakin panjang. D. Status Gizi 1. Definisi Gizi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses yang terlibat dengan asupan dan penggunaan bahan-bahan makanan. Gizi yang cukup dibutuhkan untuk pertumbuhan, perbaikan dan perawatan aktivitas-aktivitas dalam tubuh (Rospond, 2008). Gizi yang tidak memadai dapat diakibatkan dari kurangnya makanan. Namun yang lebih umum, malnutrisi diakibatkan dari penggunaan nutrien yang tidak mencukupi oleh karena penyakit akut atau kronik dan perawatannya. Sebagai akibat dari malnutrisi, individu-individu terpapar pada resiko morbiditas dan mortalitas yang meningkat dari perubahan-perubahan pada fungsi organ akhir. Secara umum, keadaan defisiensi gizi dapat dikategorikan sebagai keadaan

19 yang melibatkan malnutrisi energi protein atau keadaan yang diakibatkan dari kekurangan mikronutrien (Rospond, 2008). Nutrisi pada hemodialisis penting untuk menurunkan komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Gunes, 2013). Status gizi memiliki peran yang penting pada kualitas hidup pasien dialisis. Studi menekan bahwa ada hubungan antara parameter antropometri dan penanda nutrisi dengan adekuasi hemodialisis (Stolic et al., 2010). Malnutrisi adalah faktor utama terjadinya morbiditas dan mortalitas pada pasien hemodialisis. Penelitan di Kairo tahun 2005 melaporkan bahwa 20-60% pasien hemodialisis mengalami malnutrisi (Azar et al., 2007). Penelitian lain yang dilakukan pada pasien di rumah sakit Riyadh Al Kharj tahun 2004 menunjukan hasil bahwa 45% pasien yang memiliki BMI<23,6 menunjukan adanya resiko mortalitas yang tinggi (Al Makarem, 2004). Data dari konsensus Eropa juga menunjukan bahwa terdapat hubungan yang erat antara malnutrisi dengan adanya kormobiditas dan inflamasi pada pasien dialisis (Locatelli et al., 2002). Malnutrisi energi protein adalah komplikasi malnutrisi tersering pada pasien hemodialisis (Galland et al., 2001). Penelitian Al-Saedy dan Al Kahichy (2011) pada 86 pasien hemodialisis di lima rumah sakit di Baghdad menunjukan bahwa dialisis dengan waktu 6,4±1,9 jam/minggu dengan nilai Kt/V 1,02±0,2 mengakibatkan malnutrisi

20 pada 63,5% pasien dengan 45,9% mengalami malnutrisi sedang dan 17,6% mengalami malnutrisi berat. 2. Tujuan Tujuan-tujuan dari pengkajian status gizi adalah (Rospond, 2008): a. Menyediakan data untuk mendesain rencana asuhan gizi yang akan mencegah dan atau mengurangi malnutrisi; b. Menciptakan data patokan awal untuk mengevaluasi kebehasilan asuhan gizi; c. Mengidentifikasi individu-individu yang kurang terawat atau berada pada resiko terbentuknya malnutrisi. 3. Pengukuran Pengukuran status gizi didefinisikan oleh American Society of Enteral and Parenteral Nutrition sebagai evaluasi komprehensif untuk mendefinisikan status gizi, termasuk riwayat medis, riwayat diet, pemeriksaan fisik, pengukuran-pengukuran antropometri dan data-data laboratorium. NKF-K/DOQI (2000) merekomendasikan pengukuran antropometri sebagai alat pengukur status gizi pasien hemodialisis. Pengukuran antropometri tersebut meliputi pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT), Skinfold Thickness, dan Lingkar Lengan Atas (LLA).

21 Pengukuran berat badan dan tinggi badan dimaksudkan untuk mendapatkan data status gizi. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan cara alternatif untuk menentukan kesesuaian rasio berat:tinggi seorang individu. IMT mungkin lebih obyektif dalam keadaan obesitas, tetapi tidak dapat membedakan antara berat berlebih yang diproduksi oleh jaringan adiposa, muskularitas, atau edema (Balitbangkes, 2010; Supariasa dkk., 2002). - Berat Badan Berat badan yang diukur pada pasien hemodialisis adalah berat badan kering atau berat badan sesudah hemodialisis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kerancuan pengukuran akibat cairan yang terakumulasi saat predialisis. - Tinggi Badan Tinggi (atau perawakan) umumnya diukur dalam posisi berdiri untuk anak-anak berusia lebih dari 2 tahun dan orang dewasa. - Indeks Massa Tubuh (IMT) Untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus: Dengan batas ambang sesuai dengan Tabel 2. sebagai berikut: Tabel 2. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut WHO untuk populasi Asia (Hartono, 2006). Underweight Normal Overweight Kategori Penjelasan IMT Kekurangan BB BB proporsional dengan TB Kelebihan BB <18,5 18,5-23,0 >23,0

22 4. Asupan Makan a. Asupan Energi Energi merupakan asupan utama yang sangat diperlukan oleh tubuh. Kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin, dan mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk beberapa fungsi metabolisme tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR (Basal Metabolic Rate), kecepatan pertumbuhan, komposisi tubuh, dan aktivitas fisik (Arisman, 2007). Energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari energi kimia yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Energi diukur dalam satuan kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat 4 kkal/gram (Baliwati, 2004 dalam Khairina, 2008). Menurut NKF-K/DOQI (2000) asupan energi untuk pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah 35 kkal/kgbb/hari untuk pasien yang berusia kurang dari 60 tahun dan 30-35 kkal/kgbb/hari untuk pasien yang berusia 60 tahun atau lebih. Asupan energi yang melebihi energi yang digunakan disimpan sebagai cadangan makanan dalam tubuh. Karbohidrat disimpan menjadi glikogen hati dan otot. Sedangkan lemak sebagai cadangan tenaga tubuh terbesar disimpan sebagai trigliserida dalam jaringan adiposa (Rospond, 2008).

23 b. Asupan Protein Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Fungsi utama protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Fungsi lain protein adalah menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme, mengatur keseimbangan air, dan mempertahankan kenetralan asam basa tubuh. Pertumbuhan, kehamilan, dan infeksi penyakit meningkatkan kebutuhan protein seseorang (Rospond, 2008). Sumber makanan paling banyak mengandung protein berasal dari bahan makanan hewani, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sedangkan sumber protein nabati berasal dari tempe, tahu, dan kacangkacangan (Arisman, 2007). Merurut NKF-K/DOQI (2000) asupan protein untuk pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah 1,2 gram/kgbb/hari. Asupan protein yang tinggi pada pasien hemodialisis yang tinggi bertujuan untuk mengompensasi kehilangan protein sebanyak 10-12 gram tiap sesi hemodialisis. Apabila asupan protein justru melebihi kebutuhan, maka protein akan disimpan oleh tubuh sebagai protein viseral dan protein somatik. Cadangan protein viseral meliputi protein plasma, hemoglobin, beberapa komponen pembekuan, hormon, dan antibodi. Cadangan protein somatik

24 meliputi cadangan pada otot rangka dan polos. Cadangan protein sangat penting untuk berbagai fungsi fisiologis dasar, sehingga berkurangnya cadangan protein berakibat pada berkurangnya fungsi tubuh yang esensial (Rospond, 2008). c. Penilaian Asupan Makan Kuantitatif Penilaian kuantitatif dapat diselesaikan lewat rekam makanan melalui metode mengingat kembali (Food Recall) 24-jam atau 3-hari. Food Recall 24-h diselesaikan melalui wawancara. Pewawancara harus memeriksa deskripsi lebih spesifik dari semua makanan dan minuman yang dikonsumsi, termasuk metode-metode memasak dan nama merk apabila memungkinkan (Rospond, 2008). Untuk mendapatkan data kuantitatif maka perlu ditanyakan penggunaan URT. Sebaiknya Food Recall dilakukan minimal dua kali dengan tidak berturut-turut. Apabila dilakukan satu kali, kurang dapat menggambarkan kebiasaan makan seseorang (Supariasa dkk., 2002) Kualitatif Menurut Cameron & Van Staveren dalam Herviani (2004) Food Frequency Questionnaire (FFQ) merupakan metode atau cara kualitatif untuk menggambarkan frekuensi konsumsi per hari, minggu atau bulan. Metode FFQ yang telah dimodifikasi dengan

25 memperkirakan URT dalam gram dan cara memasak dapat dikatakan dengan metode yang kuantitatif (FFQ semi kuantitatif / SQFFQ). Metode FFQ san SQFFQ umumnya digunakan untuk survei konsumsi tingkat individu. Dalam metode ini, responden diminta untuk menjelaskan seberapa sering mengonsumsi setiap jenis makanan yang tercantum dalam kuesioner selama 1 bulan, 3 bulan atau 1 tahun terakhir dengan kemungkinan jawaban yaitu berapa kali per hari, berapa kali per minggu, berapa kali per bulan, berapa kali per 3 bulan, berapa kali per 6 bulan atau berapa kali per 1 tahun (Zuraida & Angraini, 2012). Pada SQFFQ, skor zat gizi yang terdapat di setiap subyek dihitung dengan cara mengalikan frekuensi relatif setiap jenis makanan yang dikonsumsi yang diperoleh dari data komposisi makanan yang tepat (Van Steveren et al., 1986 dalam Gibson & Rosalind, 2005). Selain dapat mengetahui pola makan, metode ini dapat pula melihat asupan rata-rata responden (Zuraida & Angraini, 2012). Interpretasi nilai gizi: Kelebihan metode SQFFQ antara lain: relatif murah, sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak memerlukan latihan khusus

26 dan dapat membantu menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan. Kekurangan metode ini antara lain: membuat pewawancara bosan, dan responden harus jujur serta memiliki motivasi tinggi (Supariasa dkk., 2002). Metode SQFFQ dapat membantu menghitung skor zat gizi berupa konsumsi karbohidrat, lemak, dan protein (Roselly, 2008). Berkaitan dengan malnutrisi energi protein yang terjadi pada pasien hemodialisis, maka penghitungan kecukupan energi protein dapat dilakukan dengan metode tersebut. d. Penghitungan Zat Gizi Riwayat asupan makan yang diperoleh secara kuantitatif maupun kualitatif dapat dihitung zat gizinya. Penghitungan zat gizi yang terkandung dalam bahan makanan dilakukan dengan menganalisis bahan makanan tersebut menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Adapun rumus penghitungan zat gizi yang terkandung dalam bahan makanan adalah sebagai berikut: (Zuraida & Angraini, 2012). Angka kecukupan gizi (AKG) seseorang diperhitungkan berdasarkan kelompok umur dan berat badan. Namun untuk penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, NKF-K/DOQI (2000) menganjurkan

27 asupan energi sebesar 35 kkal/kgbb/hari dan asupan protein sebesar 1,2 gram/kgbb/hari sehingga apabila dikalikan dengan berat badan maka akan diperoleh angka kecukupan gizi masing-masing individu. Setelah Angka Kecukupan Gizi (AKG) tiap-tiap individu ditentukan, maka Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) dapat ditentukan dengan membandingkan asupan zat gizi yang dimakan masing-masing individu terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang bersangkutan. Adapun rumus penghitungan Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) individu sebagai berikut (Zuraida & Angraini, 2012): Dari penghitungan Tingkat Kecukupan Gizi (TKG), individu dapat dikelompokkan menjadi Gizi Cukup (TKG 80%) dan Gizi Kurang (TKG < 80%) (Supariasa dkk., 2002)

28 E. Kerangka Teori Kadar Ureum Waktu hemodialisis Berat Badan Asupan Makan Pasien GGK Hemodialisis Adekuasi Keadaan Umum Aktivitas fisik Status Gizi Fungsi Tubuh Kadar Ureum darah Informasi Subyektif Informasi Obyektif Riwayat Medis Penilaian Diet Kuantitatif Kualitatif SQ FFQ Pemeriksaan Fisik dan klinis Pemeriksaan Laboratorium Antropometri Lingkar Lengan Atas Indeks Massa Tubuh Berat Badan Tinggi Badan Tebal Lipatan Lemak Lebar Siku Underweight Normal Overweight Gambar 1. Kerangka Teori.

29 F. Kerangka Konsep Variabel Bebas - Adekuasi hemodialisis Variabel Tergantung - Asupan Energi - Asupan Protein - Indeks Massa Tubuh (IMT) Gambar 2. Kerangka Konsep Hubungan Adekuasi Hemodialisis dengan Asupan Makan dan Indeks Massa Tubuh Pasien Gagal Ginjal Kronik. G. Hipotesis Terdapat hubungan adekuasi hemodialisis dengan asupan makan dan indeks massa tubuh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.