BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin eosin (HE), folikel-folikel folikel ovarium tersebut meliputi folikel primer, sekunder, tersier, de graff, ovulasi, corpus luteum dan atresia dapat dilihat pada gamba dibawah ini. 1. Folikel Primer b Gambar 15. Fotomikrograf folikel primer (HE, 40x). Keterangan : (a). Oosit (b). Granulosa 56 a
2. Folikel Sekunder c b a Gambar 16. Fotomikrograf folikel sekunder (HE, 40x). Keterangan : (a) Oosit (b) Granulosa (c) Zona Pelucida 57
3. Folikel Tersier b a c Gambar 17. Fotomikrograf folikel tersier (HE, 40x). Keterangan : (a) Oosit (b) Atrum (c) Granulosa 58
4. Folikel De Graff b c a Gambar 18. Fotomikrograf folikel de graff (HE, 40x). Keterangan: (a) Oosit (b) Granulosa (c) Cairan folikuler 59
5. Ovulasi a b Gambar 19. Fotomikrograf folikel yang mengalami ovulasi (HE, 40x). Keterangan : (a) Cairan folikuler (b) Granulosa 60
6. Corpus luteum a b Gambar 20. Fotomikrograf Corpus luteum (HE, 40x). Keterangan : (a) Corpus luteum (b) Granulosa 61
7. Folikel Atresia a a a a Gambar 21. Fotomikrograf Atresia (HE, 40x). Keterangan : (a) Folikel atresia Data hasil penelitian yang didapatkan dari judul penelitian pengaruh ekstrak daun kenari (Canarium ( indicum, L) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih betina (Rattus ( norvegicus,, L) diperoleh hasil seperti dibawah ini. 62
Tabel 4. Hasil rata-rata jumlah folikel ovarium tikus putih P0 P1 P2 P3 Nilai signifikansi (Kontrol) (200mg) (300mg) (400mg) P- value = H Folikel Primer Folikel Sekunder Folikel Tersier Folikel De Graff 5,25 6,50 10,25 8,50 H= 0,120 (p 0,05) 1,25 3,25 5,25 4,75 H= 0,327 (p 0,05) 2,25 5,25 8,75 5,50 H= 0,045 (p 0,05) 1,25 2,30 7,50 10,25 H= 0,079 (p 0,05) Ovulasi 3,00 4,00 6,75 11,25 H= 0,020 (p 0,05) Corpus luteum Folikel Atresia 4,25 15,00 15,75 5,50 H= 0,009 (p 0,05) 3,25 10 10,25 1,25 H= 0,007 (p 0,05) 1. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari (Canarium indicum, L.) terhadap perkembangan folikel primer Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata folikel primer tikus putih betina pada dosis P0 (kontrol) yaitu 5,25 buah. Pada dosis P1 (200 mg) ekstrak 63
daun kenari menunjukkan hasil 6,50 buah yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan P0 (kontrol). Pada dosis P2 (300mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 10,25 buah. Hasil tersebut menujukkan bahwa folikel primer pada dosis P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P0 dan P1. Pada dosis P3 (400mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 8,50 buah. Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P2 tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P0 dan P1. 12 10 8 6 4 primer 2 0 Kontrol P1 (200mg) P2 (300 mg) P3 (400mg) Gambar 22. Grafik rata-rata jumlah folikel primer Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel primer maka dilakukan uji noparametrik Kruskal-Wallis Test diperoleh nilai signifikansi H=0,120. Nilai signifikansi yaitu p 0,05 maka menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel primer. Hal ini berarti data yang dihasilkan antara perlakuan dan kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. 64
2. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari (Canarium indicum, L.) terhadap perkembangan folikel sekunder Pada tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata folikel sekunder tikus putih betina pada dosis P0 (kontrol) yaitu 1,25 buah. Pada dosis P1 (200mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 3,25 buah yang berarti menujukkan hasil P1 lebih banyak meimiliki folikel sekunder dibandingkan dengan dosis P0. Pada dosis P2 (300mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 5,25 buah. Hasil tersebut menujukkan bahwa folikel sekunder pada dosis P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P0 dan P1. Pada dosis P3 (400mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 4,75 buah. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P0 dan P1 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P3. 6 5 4 3 2 Jumlah Folikel sekunder 1 0 Kontrol P1 (200mg) P2 (300 mg) P3 (400mg) Gambar 23. Grafik rata-rata jumlah folikel sekunder Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel sekunder maka dilakukan uji noparametrik Kruskal-Wallis Test diperoleh nilai signifikansi H=0,327. Nilai signifikansi 65
yaitu p 0,05 maka menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel sekunder. Hal ini berarti data yang dihasilkan antara perlakuan dan kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. 3. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari (Canarium indicum, L.) terhadap perkembangan folikel tersier Pada tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata folikel tersier tikus putih betina pada dosis P0 (kontrol) yaitu 2,25 buah. Pada dosis P1 (200mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 5,25 buah yang berarti menujukkan hasil P1 lebih banyak meimiliki folikel tersier dibandingkan dengan dosis P0. Pada dosis P2 (300mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 8,75 buah. Hasil tersebut menujukkan bahwa folikel tersier pada dosis P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P0 dan P1. Pada dosis P3 (400mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 5,50 buah. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P2 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P0 dan P1. 10 8 6 4 Jumlah Folikel Tersier 2 0 Kontrol P1 (200mg) P2 (300 mg) P3 (400mg) Gambar 24. Grafik rata-rata jumlah folikel tersier 66
Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel tersier maka dilakukan uji noparametrik Kruskal- Wallis Test diperoleh nilai signifikansi H=0,045. Nilai signifikansi yaitu p 0,05 maka menunjukkan ada pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel tersier. Hal ini berarti data yang dihasilkan antara perlakuan dan kontrol menunjukkan ada perbedaan nyata. 4. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari (Canarium indicum, L.) terhadap perkembangan folikel de graff Pada tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata folikel de graff tikus putih betina pada dosis P0 (kontrol) yaitu 1,25 buah. Pada dosis P1 (200mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 2,30 buah yang berarti menujukkan hasil P1 lebih banyak memiliki folikel de graff dibandingkan dengan dosis P0. Pada dosis P2 (300mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 7,50 buah. Hasil tersebut menujukkan bahwa folikel primer pada dosis P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P0 dan P1. Pada dosis P3 (400mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 10,25 buah. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P0, P1 dan P2. 67
12 10 8 6 4 2 Jumlah Folikel De grafff 0 Kontrol P1 (200mg) P2 (300 mg) P3 (400mg) Gambar 25. Grafik rata-rata jumlah folikel De Graff Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel De Graff maka dilakukan uji noparametrik Kruskal- Wallis Test diperoleh nilai signifikansi H=0,075. Nilai signifikansi yaitu p 0,05 maka menunjukkan ada pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel De Graff. Hal ini berarti data yang dihasilkan antara perlakuan dan kontrol menunjukkan ada perbedaan nyata. 5. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari (Canarium indicum, L.) terhadap ovulasi Pada tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata ovulasi tikus putih betina pada dosis P0 (kontrol) yaitu 3,00 buah. Pada dosis P1 (200mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 4,00 buah yang berarti menujukkan hasil P1 lebih banyak yang mengalami ovulasi dibandingkan dengan dosis P0. Pada dosis P2 (300mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 6,75 buah. Hasil tersebut menujukkan bahwa ovulasi pada dosis P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P0 dan P1. Pada dosis P3 (400mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 11,25 68
buah. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P0, P1 dan P2. 12 10 8 6 4 Jumlah ovulasi 2 0 Kontrol P1 (200mg) P2 (300 mg) P3 (400mg) Gambar 26. Grafik rata-rata jumlah ovulasi Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah folikel de graff maka dilakukan uji noparametrik Kruskal-Wallis Test diperoleh nilai signifikansi H=0,020. Nilai signifikansi yaitu p 0,05 maka menunjukkan ada pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah ovulasi. Hal ini berarti data yang dihasilkan antara perlakuan dan kontrol menunjukkan ada perbedaan nyata. 6. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari (Canarium indicum, L.) terhadap corpus luteum Pada tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata corpus luteum tikus putih betina pada dosis P0 (kontrol) yaitu 4,25 buah. Pada dosis P1 (200mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 15,00 buah yang berarti menujukkan hasil P1 lebih banyak yang corpus luetum dibandingkan dengan dosis P0. Pada dosis P2 (300mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 22,00 buah. Hasil tersebut 69
menujukkan bahwa corpus luteum pada dosis P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P0 dan P1. Pada dosis P3 (400mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 5,50 buah. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P0, tetapi lebih rendah dibandingkan P1 dan P2. 25 20 15 10 5 0 Kontrol P1 (200mg) P2 (300 mg) P3 (400mg) Gambar 27. Grafik rata-rata jumlah corpus luteum Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah corpus luetum maka dilakukan uji noparametrik Kruskal-Wallis Test diperoleh nilai signifikansi H=0,020. Nilai signifikansi yaitu p 0,05 maka menunjukkan ada pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah corpus luteum. Hal ini berarti data yang dihasilkan antara perlakuan dan kontrol menunjukkan ada perbedaan nyata. 7. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari (Canarium indicum, L.) terhadap folikel atresia Pada tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata folikel atresia pada tikus putih betina pada dosis P0 (kontrol) yaitu 3,25 buah. Pada dosis P1 (200mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 10,00 buah yang berarti menujukkan 70
hasil P1 lebih banyak yang mengalami atres dibandingkan dengan dosis P0. Pada dosis P2 (300mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 10,25 buah. Hasil tersebut menujukkan bahwa atersia pada dosis P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P0 dan P1. Pada dosis P3 (400mg) ekstrak daun kenari menunjukkan hasil 1,25 buah. Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang di dapat dari P0, P1 dan P2. 12 10 8 6 Jumlah folikel atresia 4 2 0 Kontrol P1 (200mg) P2 (300 mg) P3 (400mg) Gambar 28. Grafik rata-rata folikel atresia Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap folikel atresia maka dilakukan uji noparametrik Kruskal-Wallis Test diperoleh nilai signifikansi H=0,007. Nilai signifikansi yaitu p 0,05 maka menunjukkan ada pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah ovulasi. Hal ini berarti data yang dihasilkan antara perlakuan dan kontrol menunjukkan ada perbedaan nyata. 71
B. Pembahasan Berdasarkan hasil interprestasi data, ekstrak daun kenari berpengaruh nyata pada folikel tersier, folikel yang mengalami atresia, folikel yang mengalami ovulasi dan korpus luteum berturut-turut adalah 0,045 ; 0,007 ; 0,020 ; 0,009. Hal ini menunjukan bahwa adanya pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap folikel tersier, folikel yang mengalami atresia, folikel yang mengalami ovulasi dan korpus luteum. Penyebab dari hasil tersebut adalah karena adanya kandungan fitoestrogen jenis flavonid pada ekstrak daun kenari. Senyawa flavonoid terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya yaitu estrogenik. Menurut Biben (2012) gugus OH merupakan salah satu faktor pendukung adanya aktifitas fitoestrogen seperti yang terdapat pada estradiol sehingga memiliki aktifitas estrogenik. Fitoestrogen mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang menghasilkan efek estrogenik yang mirip estrogen endogen. Kandungan fitoestrogen pada ekstrak daun kenari yang telah diberikan pada tikus putih sampai dosis 400 mg/ekor/ hari dapat memberikan efek estrogenik, sehingga berpengaruh terhadap jumlah folikel ovarium tikus putih. Fitoestrogen yang diberikan mengikat reseptor estrogen yang tidak berikatan sehingga dapat berikatan dan meningkatkan seluler. Menurut Eddy (2006:6) cara kerja dari fitoestrogen adalah meniru aktivitas hormon estrogen didalam tubuh. Estrogen merupakan hormon yang memiliki fungsi sebagai molekul sinyal, prosesnya dimulai dari masuknya molekul estrogen melalui aliran daran ke dalam sel dari bermacam-macam jaringan yang merupakan target estrogen. 72
Didalam sel target, molekul estrogen mencari reseptor estrogen untuk kemudian berintegrasi. Reseptor estrogen memiliki tempat spesifik yang hanya estrogen atau molekul lain yang memiliki struktur mirip dengan estrogen seperti fitoestrogen dapat mengikatnya. Molekul estrogen yang mengikat reseptor protein, membentuk suatu ikatan ligand-hormon receptor. Peristiwa tersebut dimungkinkan terjadi karena molekul esstrogen dan reseptornya memiliki bentuk yang sama untuk berikatan. Ikatan tersebut dapat memicu proses seluler yang spesifik, sehingga mengaktifkan gen spesifik. Gen tersebut kemudian berfungsi untuk memicu pembentukan protein untuk metabolisme sel. Contoh respon yang terjadi yaitu perkembangan folikel ovarium. Perubahan konfirmasi ini menyebabkan komplek fitoestrogen-reseptor menjadi aktif sehingga mampu berikatan dengan tempat pengikatan (site binding) pada rantai DNA, khususnya pada sisi akseptor. Interaksi antara komplek fitoestrogen-reseptor dengan sisi akseptor DNA menyebabkan ekspresi gen menjadi meningkat. Ekspresi gen ini dikatalisis oleh enzim RNA polymerase yang menyebabkan peningkatan mrna. Pada sisi lain sintesis trna juga akan meningkat sehingga pada akhirnya sintesis materi sel menjadi meningkat yang mendukung aktivitas proliferasi sel. Fitoestrogen harus menembus sel masuk ke dalam sitoplasma, kemudian akan berikatan dengan reseptor estrogen di sitoplasma membentuk ikatan hormon-reseptor pada Estrogen Responsive Element (ERE) yang kemudian bergerak menuju inti sel untuk berikatan dengan DNA, setelah berikatan dengan DNA maka akan terjadi proses transkripsi sel untuk membentuk protein-protein khusus yang 73
diperlukan dalam pembelahan sel. Ketika proses transkipsi sinstesis protein, komplek fitoestrogen-reseptor estrogen tidak hanya berikatan dengan ERE namun juga berikatan dengan co-regulator. Co-regulator terdiri dari coaktivator yang berfungsi untuk menginduksi terjadinya proses transkipsi gen dari ikatan komplek fitoestrogen-reseptor estrogen, sehingga dapat diproduksinya suatu messenger-rna (mrna) yang mengakibatkan terjadinya sintesis protein sesuai dengan karakterisitik hormon, sedangkan co-reseptor akan bekerja sebaliknya yakni menghambat proses transkripsi gen. Gonadotropin releasing hormon (GnRH) disekresikan dari hipotalamus merangsang pelepasan FSH (folicle stimulsting hormone) dan LH (Luteinizing hormone) dari pituitari anterior. FSH dan LH merupakan hormon gonadotropin. FSH merangsang perkembangan folikel ovarium. Dimana FSH berpengaruh dalam perkembangan folikel ovarium yang bekerja di dalam sel folikel yakni sel granulosa dan sel teka interna, dan memiliki reseptor untuk FSH di dalam sel granulosa tersebut. Dengan adanya FSH merangsang sel granulosa dan sel teka interna yang sedang tumbuh mensekresikan estrogen. Estrogen yang dihasilkan kemudian merangsang perkembangan sel folikel lainnya (Campbell,2004:164). Struktur flavonoid pada daun kenari mirip dengan estrogen endogen tikus putih sehingga flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang berada di folikel sehingga dapat menghasilkan lebih banyak fitoestrogen mempengaruhi folikel ovarium. Sekresi estrogen ke dalam folikel menyebabkan sel-sel granulosa membentuk reseptor FSH semakin banyak sehinga menyebabkan suatu efek 74
umpan balik positif terhadap FSH yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Peningkatan jumlah estrogen dan folikel serta peningkatan LH dari kelenjar hipofisis anterior bekerja sama untuk menyebabkan proliferasi sel-sel teka folikular dan juga meningkatkan sekresi folikular (Guyton and Hall, 1286). Peningkatan konsentasi LH yang disebabkan oleh peningkatan sekresi estrogen dari folikel yang tumbuh menginduksi pematangan akhir folikel tersebut dan terjadi ovulasi sekitar 1 hari setelah terjadi lonjakan kadar LH. Setelah ovulasi LH merangsang transformasi jaringan folikel yang tertinggal di ovarium untuk membentuk corpus luteum. Dibawah perangsangan yang secara terus-menerus oleh LH selama fase luteal siklus ovarium, corpus luteum mensekresikan estrogen dan hormon steroid kedua, yaitu progesteron. Corpus luteum umumya mencapai perkembangan maksimal sekitar 8-10 hari setelah ovulasi. Setelah kadar estrogen dan progesteron meningkat mengakibatkan umpan balik negatif pada hipotalamus dan pituitari sehingga menghambat sekresi LH dan FSH. Mendekati akhir fase luteal, corpus luteum akan lisis, sehingga konsentrasi hormon estrogen dan progesteron menurun. Penurunan kaaar hormo ovarium tersebut membebaskan hipotalamus dan pituitari dari pengaruh yang bersifat menghambat dari hormon-hormon tersebut (Campbell,2004:164). Hasil analisis (kruskal wallis) pada folikel primer, folikel senkuder, folikel de graff adalah 0,120 ; 0,327 ; 0,079 yang artinya tidak signifikan, tidak ada perbedaan pengaruh yang nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Efek flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun kenari diduga 75
belum mempengaruhi pada perkembangan folikel primer dan sekunder dengan sifat estrogeniknya. Hal ini dikarenakan pengaruh FSH pada fase folikel primer dan sekunder masih sangat sedikit, sehingga efek dari flavonoid tidak begitu berperan dalam pembentukan folikel primer dan sekunder. Menurut Guyton and Hall (2007:1282), mengatakan bahwa banyaknya folikel yang tumbuh pada fase-fase perkembangan tetapi hanya sedikit yang bisa menjadi matang, berarti hanya sedikit hormon yang dibutuhkan untuk memulai perkembangan dibandingkan dengan mempertahankan folikel yang lebih besar sampai mendekati ovulasi. Menurut partodiharjo (1982:182) sifat estrogenik dari flavonoid mempengaruhi produksi hormon estrogen dalam folikel ovarium. Estrogen dalam jumlah yang sedang dapat mempengaruhi folikel dengan menekan gonadotropin pituitari, sedangkan dalam dosis yang kronis mampu mempengaruhi sistem kerja neuendokrin menjadi terganggu. Estrogen dengan kadar tinggi dapat menyebabkan pencegahan produksi FSH sehingga terhambatnya perkembangan folikel sekunder ke folikel tersier. Fitoesrogen dalam daun kenari pada dosis tinggi mampu menghalangi estrogen endogen untuk berikatan dengan reseptor, sehingga memicu negative feedback pada hipotalamus. Hipotalamus menghambat kerja hipofise anterior untuk tidak mengeluarkan FSH sehingga perkembangan folikel terhambat. Folikel tersier ditandai dengan lebih banyak sel-sel granulosa sehingga folikel tampak lebih besar, letaknya lebih jauh dari permukaan dan adanya atrum. Hasil penelitian dan analisis (kruskal wallis) menunjukkan bahwa pada 76
folikel tersier memiliki nilai signifikansi 0,045 artinya terjadi perbedaan pengaruh yang nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan FSH sehingga estrogen disekresikan kedalam folikel dan menyebabkan sel-sel granulosa membentuk jumlah reseptor FSH semakin banyak, keadaan ini menyebabkan suatu efek umpan balik positif karena estrogen membuat sel-sel granulosa jauh lebih positif terhadap FSH yang disekresikan oleh hipofisis anterior (Guyton and Hall, 2007:1286-187). Proses pertumbuhan folikel dipengaruhi oleh hormon progesteron dan estrogen. Pada kadar tinggi estrogen akan memberikan memberikan umpan balik negatif terhadap seksresi FSH yang sebenarnya unuk memacu pertumbuhan folikel. Adanya penurunan jumlah folikel yang menjadi matang sebagai akibat perlakuan dosis ekstrak daun kenari yang mengakibatkan meningkatnya sekresi terjadinya umpan balik positif terhadap LH disamping umpan balik negatif oleh progesteron tetap berlangsung. Mekanisme ini tidak sepenuhnya menghambat terhadap sekresi LH karena masih ada folikel yang bisa berovulasi. Hal ini diduga karena masih banyaknya folikel yang berkembang dalam ovarium tikus putih. Menurut Fitriyah (2009:65), pertumbuhan folikel dipengaruhi kadar FSH yang ada di dalam ovarium, sehingga folikel-folikel primer, sekunder, dan tersier dapat berkembang dengan baik. Hal ini dapat dipahami karena pada saat awal perkembangan folikel diperlukan FSH dalam jumlah yang cukup untuk mendorong perkembangan folikel menuju fase selanjutnya. Terjadinya hambatan terhadap sekresi FSH berarti kadar FSH dalam folikel sedikit. Pada perkembangan folikel primer dan 77
sekunder belum membutuhkan kadar FSH yang tinggi tetapi penggunaan kadar FSH yang tinggi yang diperlukan dalam perkembangan pada folikel de graff. Kadar estrogen yang tinggi dalam darah akibat pengaruh oemberian ekstrak daun kenari mengakibatkan penurunan sekresi FSH sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan folikular untuk menjadi dewasa. Daun kenari mengandung senyawa yang bersifat estrogenik, yaitu flavonoid, selain itu juga mengandung senyawa polifenol, tanin dan saponin. Flavonoid memiliki struktur yang mirip dengan estrogen, shingga apabila kadarnya tinggi maka akan menekan pengeluaran FSH pada tingkat hipofise melalui pembuluh darah yang ada pada hipotalamus leh bersifat antagonis FSH. Hasil penelitian dan pengamatan preparat struktur histologi ovarium pada fase folikel de graff tidak terdapat perbedaan pengaruh antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada penelitian ini tidak terlihat penurunan jumlah folikel de graff dalam tiap perlakuan, tetapi jumlah yang diperoleh lebih sedikit dibanding dengan folikel yang lain dan dengan adanya hasil analisis yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pengaruh yang nyata maka terlihat bahwa penelitian ekstrak daun kenari yang mempunyai zat aktif flavonoid tidak berpengaruh besar dalam perkembangan folikel de graff. Hal ini dikarenakan kurangnya dukungan hormonal untuk folikel mengalami perkembangan hingga saat berovulasi, akibat dari kadar estrogen yang terlalu tinggi dalam darah karena pemberian ekstrak daun kenari sehingga mengakibatkan penurunan 78
sekresi FSH sehingga perkembangan folikular untuk menjadi dewasa dan siap ovulasi terganggu. Pada folikel atresia hasil analisis kruskal wallis menunjukkan nilai signifikansi 0,007 artinya terdapat pengaruh antara kelompok kontrol dan kelompok perlakaun. Terbentuknya folikel atresia merupakan akibat dari terhentinya proses perkembangan pada folikel yang sedang tumbuh atau folikel yang sedang mengalami pematangan oosit. Peristiwa tersebut sangatlah wajar terjadi pada saat tikus dalam keadaan sehat ataupun normal. Adanya perlakuan pemberian ekstrak daun kenari menunjukkan jumlah folikel atresia semakin rendah pada dosis yang tinggi. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari diduga akan menekan sekresi gonadotropin sehingga sekresi FSH dan LH akan menurun dan mengakibatkan proses ovulasi menjadi terhambat. Terjadinya penurunan jumlah folikel atresia bisa saja dikarenakan tidak sesuainya dosis perlakuan yang diberikan pada tikus putih. Pemberian ekstrak daun kenari yang mengandung flavonoid dapat mengganggu mekanisme kerja hormon LH melalui penghambat ikatan LH dengan reseptornya sehingga efek seluler dari LH tidak terjadi. Tidak adanya efek selular dari LH menyebabkan tidak terjadinya ovulasi sehingga tidak terbentuk corpus lueum. Korpus luteum adalah jaringan tubuh yang paling banyak menghasilkan progesteron. Apabila korpus luteum tidak terbentuk maka tidak dihasilkan progesteron. Kadar LH dalam darah yang meningkat dapat menyebabkan ovulasi. Ovulasi diikuti terbentuknya kawah bekas folikel dan dalam kawah inilah terbentuknya korpus luteum. Sel-sel korpus luteum 79
dibentuk oleh sel-sel granulosa yang merupakan dinding dalam folikel. Korpus luetum selanjutnya dibawah pengaruh LH berfungsi sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan estrogen dan progesteron (Partodiharjo, 1987:116) Ovulasi pada tikus terjadi secara spontan selama fase estrus (Nalbandov, 1990:50). Pada tikus terdapat lebih dari satu folikel yang mengalami ovulasi dan menghasilkan 4-14 sel telur yang memungkinkan kelahiran multiple (smith & mangkoewdjoj. 1988:53). Setelah ovulasi terjadi dan terbentuk lekukan pada ovarium dan dilepaskan isinya kemudian terisi darah dan cairan. Bagian folikel yang pecah dan tertaut kembali, selanjutnya darah membeku dan direabsorbsi dan terjadi lutenisasi sel-sel ganulosa dan sel teka interna sehingga terbentuk korpus lueum (Partodiharjo, 1980 : 30). Hasil analisis kruskal wallis pada ovulasi menunjukkan nilai signifikansi 0,020 yang artinya adanya pengaruh yang nyata antar kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Korpus luteum ditandai dengan adanya pecahan oosit dari kantung folikel, dalam hal ini folikel mulai ovulasi. Pada hasil analisis kruskal wallis, korpus luteum memiliki nilai signifikansi 0,009 artinya berpengaruh nyata antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Akibat dari adanya peningkatan LH yang diakibatkan oleh peningkatan sekresi estrogen dari folikel yang tumbuh menginduksi pematangan akhir folikel tersebut dan ovulasi terjadi setelah satu hari terjadi lonjakan kadar LH, setelah ovulasi LH merangsang transformasi jaringan folikel yang tertinggal di ovarium untuk membentuk korpus luteum yaitu suatu struktur kelenjar. Dibawah 80
perangsangan secara terus-menerus oleh LH selama fase luteal siklus ovarium, korpus luetum mensekresikan estrogen dan hormon steroid kedua yaitu progesteron Pemberian ekstrak daun kenari pada perlakuan kontrol sampai dengan perlakuan kedua dengan dosis 300mg/hari/tikus putih mengalami peningkatan jumlah korpus luteum, namun pada perlakuan ketiga dengan dosis 400mg/hari/tikus putih mengalami penurunan jumlah korpus luteum. Berdasarkan hasil penelitian hampir semua perlakuan mengalami kerusakan folikel atau banyak terjadi folikel-folikel yang mengalami kegagalan dan bisa juga folikel belum mulai tumbuh dalam perkembangannya pada tikus putih yang diberi perlakuan ekstrak daun kenari. Folikel yang tidak mampu berkembang baik pada fase folikel primer sampai folikel yang matang disebut dengan folikel atresia. 81