BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan Narkotika sebagai suatu tindak pidana telah memunculkan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

SKRIPSI. UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan narkoba ataupun dalam penyalahgunaanya merupakan masalah. perkembangan tingkat peradaban umat manusia serta mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan dan kemajuan

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BAB VI PENUTUP. penulis membuat kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

I. PENDAHULUAN. cara untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu tidak semua cara untuk memenuhi

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

Reni Jayanti B ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

RechtsVinding Online. Kelembagaan Badan Narkotika Nasional Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 2 Oktober 2015; disetujui: 7 Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemidanaan terhadap Pecandu Narkotika merupakan salah satu

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB V PENUTUP. 1. Urgensi Peran Penasihat Hukum dalam Mendampingi Terdakwa Kasus. Narkotika pada Proses Pemeriksaan di Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus

BAB I PENDAHULUAN. Pertama kalinya konferensi tentang psikotropika dilaksanakan oleh The United

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SARWIRINI. Seminar Kerjasama Badan Penanggulangan Narkotika Nasional dan Fakultas hukum Universitas Airlangga Surabaya, 24 September 2014

BAB I PENDAHULUAN. sosial, dan politik dalam dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN

I. PENDAHULUAN. 1998, dimana banyak terjadi peristiwa penggunaan atau pemakaian barang-barang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

I. PENDAHULUAN. terakhir United Nations Drugs Control Programme (UNDPC), saat ini kurang lebih

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

BAB I PENDAHULUAN. hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan dapat menangkal. tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Sedangkan pengertian hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya seharihari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang telah dilanggar 1. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak 1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Refika Aditama 2003) hal. 263

terdakwa yang diwakili penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum (UU 8 tahun 1981 Pasal 277). Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang profesional dalam memutus sebuah perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan Pembukaan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 RI. Sulit untuk mengukur keputusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam pertimbangan hukum yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya, maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Kebijakan Pemerintah di bidang pelayanan kesehatan berusaha untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk meningkatkan derajat kesehatan maka diperlukan peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan dengan upaya mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu serta melakukan upaya

pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. 2 Sebelum tahun 1976 istilah Narkotika belum dikenal dalam perundangundangan Indonesia peraturan yang berlaku waktu itu yaitu Verdovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536), yang diubah terakhir tahun 1949 (L.N. 1949 Nomor 337), bukan menggunakan istilah narkotika melainkan Obat yang membiuskan Verdovende Middelen, oleh karena itu peraturan tersebut dikenal sebagai Ordonansi Obat Bius. 3 Ketersediaan narkotika disatu sisi merupakan obat yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan namun di sisi lain menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan. Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, maka pemerintah merasa perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana, yaitu berupa: pidana penjara, pidana seumur hidup, atau pidana mati dengan Undang-Undang tentang Narkotika yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2 Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 1. 3 Andi Hamzah, Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, PT. Karya Unipress, Jakarta, 1994, hal. 13.

Undang-Undang ini juga telah mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Oleh karena itu, keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan dasar bagi penegakan hukum dalam rangka untuk menjamin ketersediaan obat guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kesehatan, dan juga untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 4 Penegakan hukum terhadap tindak pidana Narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak putusan hakim tentang tindak pidana Narkotika. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika. Tapi dalam kenyataannya, justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika tersebut. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai dasar hukum ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. 5 Hingga kini penyebaran narkotika sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkotika dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkotika yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat 4 Ibid, hal. 83. 5 O.C. Kaligis & Associates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan, Alumni, Bandung, 2002, hal. 260.

pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Tentu saja hal ini bisa membuat para orang tua, ormas, pemerintah khawatir akan penyebaran narkotika yang begitu meraja rela. Upaya pemberantas narkotikapun sudah sering dilakukan, namun masih sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan remaja maupun dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus narkotika. Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan narkotika pada anak-anak yaitu dari pendidikan keluarga. Orang tua diharapkan dapat mengawasi dan mendidik anaknya untuk selalu menjauhi narkotika. Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Sampai dengan saat ini upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh lembaga formal pemerintah (Dep. Kes, Imigrasi, Bea dan Culai, Polri, BNN, BNP, dan lain-lain) maupun oleh lembaga swadaya masyarakat lainnya masih belum optimal, kurang terpadu dan cenderung bertindak sendiri-sendiri secara sektoral. Oleh sebab itu masalah penyalahgunaan Narkotika ini tidak tertangani secara maksimal, sehingga kasus penyalagunaan Narkotika makin hari bukannya makin menurun tapi cenderung semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Disisi lain, belum ada upaya pembinaan khusus terhadap pengguna sebagai korban, karena masih beranggapan bahwa para pengguna itu adalah penjahat dan tanpa mendalami lebih jauh mengapa mereka sampai mengkonsumsi atau menyalah-gunakan Narkotika. Menurut data dari Ditjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM bahwa pada tahun 2012 dari semua Lembaga Pemasyarakatan/Rumah

Tahanan Negara yang ada di Indonesia saat ini 40 % penghuninya adalah Narapidana/Tahanan Narkotika. Tentunya para korban ini belum tentu memiliki sifat/kepribadian jahat seperti pelajar SD/SMP, santri atau anak dari keluarga baik-baik, namun secara kebetulan terpengaruh untuk melakukan penyalahgunaan Narkotika dan harus menjalani hukuman bersama dengan penjahat lain seperti pembunuh, perampok dan lain-lain, maka setelah menjalani hukuman pidana, mereka bukannya tambah baik tetapi justru dapat menjadi penjahat yang lebih besar lagi. 6 Sampai sekarangpun peran serta masyarakat dirasakan masih sangat kurang, mereka masih berpandangan bahwa pemberantasan penyalahgunaan Narkotika adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian mereka kurang peduli dan kurang berpartisipasi secara aktif dalam upaya pre-emtif, preventif dan kuratif maupun rehabilitatif. Penyalahgunaan narkotika yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun demikian dalam kenyataannya para pelaku kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya faktor penjatuhan pidana oleh hakim yang tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya. Secara umum, penjatuhan pidana oleh hakim memang cenderung lebih 6 Ditjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM, "Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Secara Holistik", Diakses melalui http://analisadaily.com/news/read/ upaya-penanggulangan-penyalahgunaan-narkoba-secara-holistik/78947/2014/11/06, Diakses tanggal 22 November 2014.

mengedepankan pada sanksi pidana yang sekiranya setimpal dengan perbuatan pelaku, dengan tujuan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Paradigma ini tentu tidak cocok saat menghadapi kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika. Sebab dalam penyalahgunaan narkotika, pelaku (pecandu narkotika) tidak hanya diposisikan sebagai pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai korban. Hal ini dikarenakan pecandu narkotika merupakan self victimizing victims (korban sebagai pelaku), karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. 7 Pecandu pada dasarnya merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala bidang. Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. 8 Dengan kata lain, penyalahguna atau pemakai yang akhirnya menjadi pecandu narkotika selain sebagai pelaku juga sekaligus menjadi korban. Sehingga dalam batas-batas tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak terlalu serius. Berbeda halnya dengan pengguna sekaligus pelaku pengedar yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun masyarakat secara umum. Selain 7 Ibid. 8 Moh. Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 50.

itu, terkait pula dengan karakteristik dari kejahatan ini yang memiliki dampak jangka panjang, khususnya ketergantungan dan toksifikatif, maka diperlukan suatu model penghukuman yang jauh berbeda dari model yang diterapkan kepada narapidana umumnya. Oleh karena itu, masalah penyalahgunaan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengambil langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dimana Undang-Undang tersebut telah memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk dapat memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, baik pecandu narkotika tersebut terbukti atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 103, yang berbunyi: (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Dengan adanya ketentuan bahwa hakim yang memeriksa perkara terhadap pecandu narkotika dapat menjatuhkan putusan (vonnis) rehabilitasi sebagaimana rumusan Pasal 103 diatas, secara implisit Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika telah merubah paradigma bahwa pecandu narkotika tidaklah selalu merupakan pelaku tindak pidana, tetapi merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial juga ditegaskan mengenai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi. Hal diatur di dalam angka 3 huruf a diatur bahwa: Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilaksanakan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, Majelis hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat setidaknya 2 (dua) jenis rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

Sedangkan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka penyusun tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Surat Dakwaan Tentang Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 (Studi Kasus Putusan No. 1948/Pid.B/2013/Pn.LP)". 1.2. Identifikasi Masalah Identifikasi adalah hal yang merupakan tolak ukur munculnya permasalahan utama. Oleh sebab itu sifat suatu identifikasi masalah pada dasarnya bersifat umum. Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Pentingnya surat dakwaan dalam pelaksanaan penuntutan perkara narkotika. 2. Dibutuhkan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan perkara narkotika. 3. Kurangnya pelaksanaan penegakan hukum dalam perkara narkotika. 1.3. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Pembahasan akan dilakukan terhadap pertimbangan hukum hakim terhadap surat dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.

2. Perkara yang akan diteliti adalah perkara narkotika. 3. Putusan yang diajukan adalah Kasus No. 1948/Pid.B/2013/Pn.LP. 1.4. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain: 1. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika? 2. Bagaimana hubungan antara penjatuhan putusan dalam perkara narkotika dihubungkan dengan aspek penegakan hukum. 1.5. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 2. Untuk mengetahui hubungan antara penjatuhan putusan dalam perkara narkotika dihubungkan dengan aspek penegakan hukum. Manfaat penelitian didalam pembahasan skripsi ditunjukkan kepada berbagai pihak terutama : 1. Secara teoritis kajian ini diharapkan memberikan kontribusi penelitian perihal pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang

Narkotika. 2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik itu pihak yang terkait langsung dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.