FORMAT KELEMBAGAAN DAN POLA HUBUNGAN MPR DENGAN DPR DAN DPD PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945

dokumen-dokumen yang mirip
FORMAT KELEMBAGAAN DAN POLA HUBUNGAN MPR DENGAN DPR DAN DPD PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

MAKALAH. Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia. Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

Makalah Mengenai Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Ketatanegaraan Indonesia BAB I PENDAHULUAN

BAB III PENUTUP. dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan. kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum, yang kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat.

Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD, Hak dan Kewajiban Anggotanya Serta Kelemahan dari DPD Dalam UUD 1945

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB V. Kesimpulan. lahir dalam amandemen ketiga. Secara de facto DPD RI baru ada pada tanggal 1

BIKAMERALISME SETENGAH HATI

KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM KELEMBAGAAN LEGISLATIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 MOH. DERMAWAN / D

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam BAB VIIA Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI Berdasarkan

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Prinsip Checks And Balances Dalam Struktur Lembaga Perwakilan Rakyat Di Indonesia (Studi Terhadap Usulan Perubahan Kelima UUD NRI Tahun 1945)

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Perubahan Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD Tahun 1945, Dillema. Menghidupkan Kembali Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB III. A. Urgensi Amandemen Undang Undang Dasar tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN RI (PASCA AMANDEMEN UUD 1945)

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERM OF REFERENCE (TOR) SEMINAR NASIONAL SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

KEWENANGAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM REFORMASI KELEMBAGAAN PERWAKILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DAN HUBUNGANNYA DENGAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Masa transisi Indonesia menuju demokrasi merupakan salah satu tahapan

Jurnal Independent Vol. 2 No. 1 Page 1

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Salah Satu Lembaga Legislatif Dalam Membuat Suatu Peraturan Perundang-Undangan

LEMBAR PERSETUJUAN REVITALISASI PERANAN DPD DALAM SISTEM PARLEMEN DI. INDONESIA (Kajian Yuridis UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22C Dan 22D

: Abdul Qadir Amir Hartono, SE.,SH., MH. : Abdul Qadir / Gus Anton (Panggilan di Daerah)

Bab II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai peran kamar kedua dalam

MENYOAL KELEMAHAN DPD. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1. DPD kembali mengalami gesekan dengan saudara tuanya, yaitu DPR.

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

KEWENANGAN DPD DALAM PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS

Hubungan antara MPR dan Presiden

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan

REFLEKSI DAN PROSPEK DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM ADMINISTRASI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Paradigma Baru Ketatanegaraan Pasca Perubahan UUD 1945 Jumat, 09 Pebruari 2007

Rekonstruksi Kelembagaan MPR

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

ASPEK SOSIOLOGIS POLITIK KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD NRI TAHUN Oleh: Dr. Suciati, SH., M. Hum

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

PERTAMA: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD

MPR sebelum amandemen :

Sejarah Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah Hasil Penelitian. 50

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan,

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Transkripsi:

FORMAT KELEMBAGAAN DAN POLA HUBUNGAN MPR DENGAN DPR DAN DPD PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 INSTITUTIONAL FORMAT AND PATTERN OF RELATIONS WITH PARLIAMENT AND COUNCIL ASSEMBLY AFTER THE AMENDED CONSTITUTION OF 1945 Yusdar, 1 Aminuddin Ilmar, 1 Hamzah Halim 2 1 Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, 2 Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Alamat Korespondensi : Yusdar, S.H. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 085242567747 Email : yusdar.law@gmail.com 1

Abstrak Format Kelembagaan dan Pola Hubungan MPR dengan DPR DPD Pasca Amandemen UUD Tahun 1945. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui format kelembagaan MPR pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945, serta pola hubungan antara MPR dengan DPR dan DPD pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945. Analisis terhadap pengolahan data adalah dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bikameral dengan ciri khas bikameral sedang (medium strength bicameralism) dan pola hubungan antara MPR, DPR, dan DPD merupakan pola hubungan yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945. Kata Kunci : Amandemen, Format Kelembagaan, Pola Hubungan. Abstract Institutional format and pattern of relations with Parliament and Council Assembly after the amended Constitution of 1945. This study aims to determine the institutional format of the MPR and the pattern ofrelations between the DPR and DPD MPR after the amendment to the Constitution of 1945 NRI. Analysis of the processing is to use a qualitative descriptive analysis. These results indicate that Indonesia adopt a representative system with a bicameral representative system is the hallmark of a bicameral (medium strength bicameralism) and the pattern ofthe relationship between MPR, DPR and DPD is the pattern of relationships that are mandated by the Constitution of 1945 NRI. Keywords : Amendments, Institutional Format, Patterns Relations. 2

PENDAHULUAN Politik selalu menyisakan harapan dan tumpukan obsesi. Politik membawa kita untuk melakukan sejumlah kebijakan, tetapi juga menciptakan kegagapan demi kegagapan. Politik berjalan secara terus menerus, dan tidak seorang pun yang mampu menghalangi arahnya kemana melangkah. Dengan demikian, agar politik tidak mendekonstruksi nilai, maka mesti ditata dengan aturan hukum. Itulah fungsi hukum, untuk menciptakan keteraturan di saat kegagapan menghinggap dalam setiap episode perjalanan politik. Cuplikan episode ketatanegaraan Indonesia membentangkan secuil fakta normatif, bahwa era reformasi memberi harapan besar (big expectation) akan terjadinya pembaharuan dalam penyelenggaraan negara, untuk dapat mengantarkan Negara Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan reformasi yang dikemukakan oleh berbagai komponen masyarakat, yang sasaran akhirnya adalah tercapainya tujuan negara dan cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang ditegaskan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Salah satu tuntutan reformasi adalah amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945. Tuntutan terhadap pelaksanaan amandemen UUD NRI Tahun 1945 adalah tuntutan yang mempunyai dasar pemikiran teoritis konseptual dan berdasarkan pertimbangan empiris yaitu praktik ketatanegaraan Indonesia selama setengah abad. Kelemahan-kelemahan UUD NRI Tahun 1945 secara konseptual memberi peluang lahirnya pemerintahan otoritarian. Penyelenggaraan negara berlawanan arah dari asas kedaulatan rakyat, asas negara berdasarkan atas hukum ditambah lagi dinamika sosial, politik dan ekonomi yang berkembang ke arah yang berlawanan dari konsep dasar yang di tetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat tahun telah membawa implikasi yang fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 merupakan sebuah gebrakan dari gerakan reformasi yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik yang didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD NRI Tahun 1945 belum cukup memuat landasan yang tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, belum terakomodirnya aspek-aspek pemberdayaan masyarakat serta rendahnya penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia (Ibrahim, 1998). Pasca amandemen, lembaga perwakilan MPR telah mengubah sikap politik mereka yang sebelum reformasi tidak akan mengubah UUD NRI Tahun 1945, tetapi setelah reformasi mencabut pernyataan-pernyataan politik yang telah ditetapkan dalam berbagai produk hukumnya. MPR telah mereduksi kekuasaannya sendiri dan mengubah kedudukan MPR 3

sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara yang kedudukanya sederajat dengan lembaga negara lainya. Hal ini menyebabkan semua lembaga negara yang diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945 berkedudukan sama, sejajar dan sederajat. MPR sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945 merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sistem rekruitmen anggotanya mengandalkan tiga pilar perwakilan, yaitu melalui prosedur perwakilan politik (politik representation), utusan daerah (perwakilan daerah = regional representation), dan utusan golongan (perwakilan fungsional = functional representation). Namun, pasca amandemen, MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan, yaitu perwakilan politik melalui DPR, dan perwakilan daerah melalui DPD, sebagaimana dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang. Dengan susunan MPR yang demikian, memunculkan wacana baru mengenai format parlemen Indonesia apakah menganut unikameral atau bikameral atau bahkan trikameral. Dari prespektif kelembagaan, sturuktur parlemen Indonesia ada yang berpendapat cenderung dikategorikan sebagai bikameral, tetapi apabila dilihat secara fungsional dalam pembuatan perundang-undangan, sistem keparlemenan Indonesia cenderung dikategorikan sebagai unikameral, karena fungsi itu hanya dimiliki oleh DPR dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Menganalisis fenomena tersebut kemudian dikaitkan dengan tugas dan fungsinya, maka struktur parlemen Indonesia tidak bisa dinamakan trikameral mengingat MPR bukanlah badan yang berdiri sendiri karena keanggotaan MPR itu juga adalah anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian sistem perwakilan Indonesia dilihat dari satu sisi dapat dikatakan tiga kamar sederhana (soft trikameralisme) atau dapat disebut menganut sistem bikameral berciri soft trikameral, dengan syarat ada penguatan kewenangan kepada DPD yang seimbang dengan kewenangan DPR, agar terwujud prinsip check and balances. Permasalahan inilah yang penulis hendak teliti dengan tujuan untuk menelaah dan mengkaji serta menjelaskan format parlemen Indonesia pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 serta mendeskripsikan pola hubungan MPR dengan DPR serta DPD pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945. 4

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian berjenis deskriptif kualitatif. Adapun bahan pustaka yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, metode pendekatan yuridis politis, metode komperatif. Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan yaitu suatu metode pengumpulan bahan hukum dengan cara membaca, menganalisis atau mengkaji buku-buku dan sumber-sumber kepustakaan lainya yang berhubungan dengan obyek penelitian. HASIL Format Parlemen Indonesia Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggungjawab kepada rakyat. Berbeda pada masa sebelum amandemen, pembagian kekuasaan (distribution of power) merupakan prinsip yang di anut oleh Indonesia. Keanggotaan MPR hanya terdiri dari DPR yang merepresentasikan kepentingan rakyat secara umum yang di kenal dengan sebutan prinsip political representation dan anggota DPD sebagai penampung aspirasi daerah yang merupakan cerminan dari prinsip regional representation. Perubahan atas Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah menghapuskan keberadaan utusan golongan dan utusan daerah di MPR. Penghapusan kedua unsur tersebut lebih didorong oleh kepentingan pragmatik dari pada konseptual. Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang mengangkat. Perubahan sistem utusan golongan daerah dimaksudkan agar lebih demokratik dan meningkatkan keikutsertaan daerah dalam penyelenggaraan praktik kenegaraan dan pemerintahan, disamping sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah (Manan, 2005) Perubahan kedudukan dan susunan keanggotaan MPR pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 menunjukkan bahwa parlemen Indonesia menuju pada sistem bikameral. Namun menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa Indonesia menganut trikameral karena melihat ketentuan : Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945, MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan undang-undang dasar; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar; (3) memilih Presiden dan/atau 5

Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Keempat kewenangan tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR ataupun DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan mengenai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga MPR itu merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen Indonesia, sehingga sistem parlemen Indonesia lebih cocok dinamakan sebagai sistem tiga kamar (trikameralisme). Dewasa ini, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar seperti ini. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar ini (Asshidiqie, 2007) Pada penelitian ini penulis mengangkat perbandingan hasil penelitian dari hasil survei terakhir IPU (International Parliamentary Union), Parlemen di 122 negara adalah unikameral dan di 61 negara yang menganut sistem bikameral (ditambah Indonesia menjadi 62). Sebagian besar negara di dunia yang bersifat kesatuan menganut sistem unikameral, sedangkan kebanyakan negara federal menganut sistem bikameral (Kartasasmita, 2007). Menganalisis fenomamena tersebut maka kebanyakan negara penganut paham kesatuan menerapkan sistem unikameral, namun bentuk negara bukanlah rumus dalam menentukan konsep parlemen negara tersebut. Hasil penelitian IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). mengenai sistem perwakilan di 54 negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, diperoleh beberapa kesimpulan : (a) Sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok. (b) Semua negara federal memiliki dua majelis; sedangkan di negara-negara kesatuan terbagi seimbang, sebagian memilih sistem unikameral dan sebagian lainnya bikameral (dari sampel yang diteliti, 22 negara memilih sistem unikameral dan 20 negara memilih sistem bikameral, selebihnya tidak diperoleh datanya), (Kartasasmita, 2007) Menganalisis hasil penelitian IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), jelas bahwa pilihan untuk mengadopsi sistem bikameral sebagai model perwakilan di Indonesia sebagai negara demokrasi menemukan relevansinya karena dalam praktek justru sistem inilah yang lebih cocok untuk diterapkan dibanyak negara penganut paham demokrasi. Walaupun tidak ada keharusan bagi suatu negara termasuk Indonesia untuk menganut atau mengadopsi model parlemen yang diterapkan di banyak negara karena hal tersebut sangatlah dipengaruhi oleh kondisi politik, sosial, dan aspek sejarah dari masingmasing negara. 6

Mempelajari spektrum negara-negara ASEAN. Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masing-masing Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidangsidang MPR, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu diantara lima negara dengan sistem bikameral tersebut (Jurnal Majelis, 2009). Sebagai perbandingan yang penulis ambil sampel adalah Negara Malaysia yang merupakan sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan. Sistem pemerintahannya menganut sistem parlementer yaitu sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan mosi tidak percaya. Parlemen bikameral terdiri dari Senat atau Dewan Negara (70 kursi, 44 ditunjuk oleh raja, 26 dipilih oleh 13 negara pembentuk undang-undang; masa jabatan tiga tahun) dan Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Rakyat (222 kursi; anggota dipilih melalui pemilu; masa jabatan hingga lima tahun), (Ensiklopedia Geografi, 2006). Pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 format parlemen Indonesia lebih tepat disebut bikameral sedang, karena kekuasaan DPD dan DPR yang merupakan sama-sama anggota MPR tidak simetris karena kewenangan DPD yang sangat terbatas dibandingkan dengan kewenangan DPR. Pola Hubungan MPR, DPR dan DPD MPR dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan ke MPR. Dalam hal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatan diatur dalam Pasal 38 Ayat (1), dan (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa : Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya dan Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya, sedangkan dalam hal pengambilan keputusan diatur dalam Pasal 62 huruf a, b, dan c bahwa Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila : a). dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah 7

anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b). dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden; c). dihadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Dalam kedudukan yang demikian, hakekatnya MPR merupakan majelis persidangan bersama (joint session) antara DPR dan DPD tatkala putusan-putusan harus diambil oleh anggota parlemen Indonesia sebagai anggota MPR. Karena MPR terdiri atas anggota DPD dan anggota DPR, meskipun tidak sepenuhnya DPD juga melaksanakan fungsi-fungsi MPR, seperti mengubah dan menetapkan UUD NRI Tahun 1945, serta memilih presiden dan/atau wakil presiden dalam hal terjadi kekosongan ditengah masa jabatan. Dari deskripsi tersebut jelas bahwa di satu sisi DPD dapat menjadi pengimbang bagi DPR dalam forum sidang MPR, namun nampak tersubordinasi karena jumlah anggota DPD dibatasi paling banyak sepertiga anggota DPR dan segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. Artinya kemampuan voting DPD dirancang agar tidak mampu menggganggu atau mengalahkan DPR. Sedangkan pola hubungan antara DPR dengan DPD dalam hal fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 223 ayat (1) bahwa : (a)pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; (b) ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; (c) pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan (d) pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Berkaitan pola hubungan dalam hal dengan tugas dan wewenang diatur dalam Pasal 224 ayat (1) bahwa : (a)dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; (b)ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; (b) ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; (e) menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan 8

undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; (f) menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; (g) memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan (h) ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan fenomena tersebut penulis melihat bahwa dalam konteks ketatanegaraan Indonesia DPD digagas guna meningkatkan keterwakilan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik peyelenggaraan negara dengan harapan agar tercipta integritas bangsa yang kokoh dalam bingkai NKRI. Dengan terbentuknya DPD maka aspirasi-aspirasi daerah diharapkan dapat terakomodasi, artinya kepentingan-kepentingan daerah mendapat perhatian, tinggal sejauh mana DPD dapat berperan mewakili daerah dalam pengambilan keputusan di pusat, tentunya sangat tergantung pada moralitas (komitmen) dan kualitas anggota-anggota DPD itu sendiri untuk benar-benar mengerti masalah-masalah yang ada di daerah disamping itu, sejauh mana sistem ketatanegaraan atau konstitusi menggariskan kekuasaan, tugas dan wewenang DPD dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional khususnya keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan daerah. PEMBAHASAN Dalam setiap negara, perwakalian parlemen atau dengan kata lain perwakilan rakyat secara tidak langsung, dikenal tiga prinsip perwakilan yakni representasi politik (political representation), representasi territorial (teritorial representation) dan representasi fungsional (functional representation). Representasi politik merupakan perwakilan kamar pertama dalam parlemen dipilih melalui perwakilan partai politik. Sementara perwakilan teritorial dipilih berdasarkan perwakilan teritorial. Di negara seperti Amerika Serikat, perwakilan teritorial terwakilkan melalui pemilihan senat, kedudukan senat sebagai kamar kedua memiliki kedudukan yang lebih tinggi (upper chamber/second chamber) dalam pengambilan kebijakan dan penciptaan regulasi di parlemen. Perwakilan fungsional diartikan sebagai pengangkatan wakil rakyat karena keahlian (expert) atau fungsionalisasi yang dimiliki oleh wakil tersebut. Perwakilan fungsional sebagai salah satu bentuk perwakilannya dapat diamati pada the house of lord yang diangkat dari perwakilan tuan tanah dan kelas bangsawan. 9

Berdasarkan tiga prinsip perwakilan yang banyak diterapkan oleh beberapa negara di dunia, pada akhirnya membawa pilihan bagi negara itu menerapkan hanya satu perwakilannya di parlemen yang disebut dengan unikameral (monokameral). Beda halnya, negara yang memiliki perwakilan dua kamar (perwakilan) seperti Amerika Serikat yang memilki the house of representatives dan the senate, yang mencerminkan prinsip perwakilan politik dan prinsip perwakilan teritorial, maka parlemen demikian disebut sebagai parlemen (dua kamar). Klasifikasi pemisahan kekuasaan dalam arti materil dan formil, bagi Jennings akhirnya mengubah konsep pemisahan kekuasaan untuk diterapkan dalam pelaksanaan kekuasaan negara secara aktif. Hamzah Halim mengemukakan bahwa ditinjau dari segi pembagian kekuasaan secara horizontal didasarkan pada sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara. Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan dua garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi (Halim, 2009). KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sistem perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bikameral dengan ciri khas bikameral sedang (medium strength bikameralism) dan pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 melahirkan pola hubungan baru antara MPR dan DPR, dengan DPD yakni pertama pola hubungan antara MPR dengan DPR merupakan pola hubungan yang diamanatkan oleh Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Kedua, pola hubungan antara MPR dengan DPD pada hakekatnya MPR merupakan majelis persidangan bersama antara DPR dan DPD tatkala putusan-putusan harus diambil oleh anggota parlemen Indonesia sebagai anggota MPR. Ketiga, Pola hubungan antara DPR dengan DPD pada dasarnya DPD dapat mengajukan dan ikut membahas RUU. DPD dapat mengajukan usul, ikut dalam pembahasan (yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu), memberikan pertimbangan, melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu ke DPR. Berdasarkan penelitian ini maka penulis merekomendasikan beberapa hal, pertama harus ada ketegasan terkait sistem perwakilan yang dianut di Indonesia yakni bikameral murni dengan cara memperkuat kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan di Indonesia. Kedua, Idealnya pola hubungan antara MPR dengan DPR dan DPD merupakan pola hubungan yang saling mengimbangi demi menciptakan check and balances antar lembaga perwakilan di Indonesia. 10

DAFTAR PUSTAKA Asshidiqie, Jimly. (2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer (kelompok Gramedia). Ensiklopedia Geografi untuk Pelajar Umum. (2006). Jilid 3 (Eropa Selatan, Balkan, Kaukasus, dan Asia Kecil- Asia). Jakarta : PT Lentera Abadi. Fatmawati. (2009). Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara (Disertasi). Jakarta : Universitas Indonesia. Halim, Hamzah dan Saleh, Ikhsan. (2009). Persekongkolan Rezim Politik Local. Makassar : Pukap. Ibrahim, Harmailiy. (1998). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : UI Pres. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.. Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaran Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009. LN No. 123 Tahun 2009. Jurnal Majelis. (2009). Volume. 1 No.1. Kartasasmita, Ginanjar. (2007). Kedudukan, Fungsi dan Peran DPD dalam Perspektif Ketetanegaran Indonesia (Makalah). Disampaikan pada Focus Group Disussion (FGD). Bandung : Universitas Padjadjaran. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2008). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Manan, Bagir. (2005). DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Ctk. Ketiga, Yogyakarta : FH UII Press. 11