BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

5 KINERJA REPRODUKSI

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

Oleh: drh. Adil Harahap (dokadil.wordpress.com)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973)

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Sapi Brahman Cross (BX)

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Potong Tropis Bangsa sapi potong tropis adalah merupakan bangsa sapi potong yang berasal

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi potong merupakan jenis sapi yang diarahkan untuk memproduksi daging, oleh karena itu penggemukan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai bobot badan secara maksimal (Darmono, 1993). Produk utama peternakan sapi potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut dipengaruhi oleh faktor genetis ternak itu sendiri dan faktor lingkungan. Sapi tipe pedaging memiliki ciri-ciri antara lain tubuh dalam, besar dan berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum dan mudah untuk dipasarkan, laju pertumbuhannya cepat dan cepat mencapai dewasa serta efisiensi pakannya tinggi. Siregar (2010) menyatakan, sapi jantan maupun sapi betina dapat digunakan sebagai bakalan dalam usaha penggemukan sapi, namun sapi jantan lebih diminati dari pada sapi betina karena pertambahan bobot badannya lebih cepat dibandingkan dengan sapi betina. Selain itu, di Indonesia ada peraturan mengenai larangan memotong sapi betina produktif. Sumber sapi bakalan yang dapat digunakan untuk usaha penggemukan yaitu sapi lokal, sapi impor dan jenis sapi hasil persilangan. Penggemukan sapi potong merupakan usaha yang umumnya dilakukan dalam waktu singkat karena mempercepat perputaran modal. Menurut Siregar (2010) ada berbagai macam sistem penggemukan sapi namun yang biasa diterapkan di Indonesia adalah dry lot fattening yaitu sistem 5

6 penggemukan sapi yang di tempatkan dalam kandang sepanjang waktu dengan pemberian pakan konsentrat sebagai porsi utama ransum yang diberikan. Bangsa-bangsa Sapi Potong 1. Bangsa Sapi Tropis Menurut Sugeng, Y. B (1992), Bangsa sapi yang termasuk sapi tropis adalah zebu (Bos indicus), yang pada saat ini telah menyebar hampir ke seluruh daerah tropis di seluruh dunia terutama di benua Asia dan Afrika. Penyebaran zebu (sapi berponok) di daerah tropis, khususnya di Asia jauh lebih banyak dibandingkan dengan sapi-sapi yang berasal dari Eropa walaupun secara umum sumbangan zebu sebagai hewan ternak konsumsi dirasa masih rendah. Karena secara genetis,produksi dagingnya rendah bila dibandingkan sapi-sapi Eropa. Beberapa bangsa sapi tropis yang sudah cukup populer banyak terdapat di Indonesia sampai saat ini ialah sapi bali, sapi madura, sapi ongole, dan sapi peranakan ongole. Sapi Bali Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakan (domestikasi) berabad-abad lamanya. Banteng tersebut menurunkan hampir seluruh bangsa sapi lain, misalnya zebu yang dimasukkan ke Indonesia seperti ongole, hissar, dan gujarat ketika orang-orang Hindu datang ke Indonesia. Daerah atau lokasi penyebaran yang terutama adalah Bali. Di Bali sapi ini diternakkan secara murni. Daerah penyebaran lain adalah Sulawesi, NTB, dan NTT.

7 Sapi bali ini termasuk tipe pedaging dan kerja. Ciri-ciri yang dimilikinya, bentuk tubuh menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil akibat proses domestikasi. Dadanya dalam, badannya padat. Warna bulu pada masih pedet sawo matang atau merah bata. Akan tetapi, setelah dewasa, warna bulu pada betinanya bertahan merah bata, sedangkan jantan kehitam-hitaman. Dan pada tempat-tempat tertentu baik jantan maupun betina, di bagian keempat kakinya dari sendi kaki sampai kuku dan di bagian pantatnya berwarna putih. Kepalanya agak pendek, dahi datar. Tanduk pada jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sedangkan betina agak ke bagian dalam. Kakinya pendek sehingga menyerupai kaki kerbau. Tinggi sapi dewasa 130 cm. Berat rata-rata sapi jantan 450 kg, sedangkan betina 300-400 kh. Hasil karkas 57 persen (Sugeng, Y. B, 1992). Sapi Madura Sapi madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus. Daerah atau lokasi penyebarannya yang utama adalah pulau Madura dan Jawa Timur. Di Madura sapi tersebut diternakkan secara murni. Sapi ini termasuk tipe pedaging dan kerja. Ciri-ciri yang dimiliki sapi madura sebagai salah satu kelompok bangsa sapi tropis pada dasarnya seperti sapi bali. Namun, sapi ini memiliki ciri khas yang menonjol sehingga dengan mudah bisa dibedakan dengan sapi lainnya, khusunya sapi bali. Baik jantan maupun betina berwana merah bata dan hampir tak ada bedanya antara kedua jenis kelamin tersebut. Paha bagian belakang berwarna putih, sedangkan kaki depan berwarna merah muda. Tanduk pendek dan beragam ada yang melengkung seperti bulan sabit dan ada pula yang tumbuh agak ke samping

8 dan ke atas. Tanduk pada betina kecil dan pendek. Panjangnya kurang lebih 10 cm, jantan 15-20 cm. Panjang badan mirip sapi bali, tetapi berponok kecil. Berat badan 350 kg. Tinggi badan kira-kira 118 cm. Hasil karkas 48 persen (Sugeng, Y. B, 1992). Sapi Ongole Sapi ongole adalah salah satu varietas sapi zebu atau sapi berpunuk, sapi ongole merupakan sapi yang berasal dari India tetapi banyak ditemukan di Indonesia. Sapi ongole umunya berwarna putih dan keabu-abuan, sapi ongole memiliki ciri punuk yang besar dan badan yang agak bergelambir dengan bobot badan sekitar 450 kg, kualitas daging ongole sebenarnya tidak terlalu baik dibandingkan jenis sapi lain tetapi harga daging sapi ongole terbilang relatif murah membuat sapi ini laku dipasaran masyarakay Indonesia. Sapi ongole banyak dikawinkan dengan sapi jawa sehingga ada istilah sapi PO (peranakan ongole) yang mirip dengan ongole walaupun agak sedikit kecil (Anonimus, 2016). Sapi PO (Peranakan Ongole) Sapi ini adalah salah satu jenis sapi lokal asli Indonesia atau biasa disebut sapi jawa/sapi putih. Sapi ini hasil persilangan antara sapi ongole dari India dengan sapi jawa. Selain sebagai sapi pedaging juga dijadikan sapi pekerja biasanya dipakai untuk membajak sawah. Ciri khas sapi ini berpunuk dan gelambir besar menggantung tapi tidak sebesar sapi ongole. Bulu sapi PO putuh keabu-abuan. Berat sapi PO mulai 200 kg sampai 600 kg (Anonimus, 2016).

9 2. Bangsa Sapi Sub Tropis Menurut Sugeng, Y. B (1992), apabila kita bandingkan dengan sapi tropis, maka kedua kelompok tersebut masing-masing memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda akibat pengaruh genetis. Bangsa sapi subtropis memiliki ponok. Ujung telinga berbentuk tumpul atau bulat. Kepala pendek, dahi lebar. Kulit tebal yang rata-ratanya 7-8 mm.timbunan lemak pada sapi dewasa cukup tebal. Garis punggung lurus dan rata. Tulang pinggang lebar dan menonjol keluar. Rongga dada berkembang baik. Bulu panjang dan kasar. Kaki pendek sehingga gerakannya lamban. Sapi ini cepat menjadi dewasa karena umur 4 tahun bida dicapai pertumbuhan maksimal. Sapi ini tidak tahan terhadap suhu tinggi, relatif lebih banyak minum, dan kotorannya basah. Sapi yang sudah dewasa tumbuh besar, sapi jantan bisa mencapai 900 kg. Beberapa contoh sapi subtropis yang juga banyak diternakkan di Indonesia misalnya shorthorn, charolais, simental dan limousin. Sapi Shorthorn Sapi ini berasal dari Inggris. Tipenya adalah sapi potong. Ciri-ciri yang dimiliki sapi ini dalah kepala pendek dan lebar. Tanduk pendek, menjurus ke arah samping, dan berujung melengkung ke depan. Warnanya merah tua sampai muda, atau kombinasi merah dan putih, atau merah kelabu. Bentuk tubuh segi empat. Sisi badan sapi betina sekitar 750 kg dan jantan 1.000 kg. Sapi ini termasuk tipe potong yang terberat di antara bangsa sapi yang berasal dari Inggris (Sugeng, Y. B, 1992).

10 Sapi Charolais Sapi ini berasal dari Perancis. Tipenya adalah tipe potong. Ciri-ciri yang dimiliki sapi ini adalah warnanya krem muda atau keputihan. Tubuhnya besar dan padat, tetapi kasar. Berat badan sapi betina sekitar 750 kg dan jantan 1.000 kg (Sugeng, Y. B, 1992). Sapi Simmental Sapi ini berasal dari Swiss, sapi ini pertama muncul karena persilangan dari sapi jerman yang berperawakan besar dan sapi swiss yang memiliki bobot kecil. Di Indonesia popularitas sapi ini juga tidak kalah dengan sapi lainnya. Sapi betina memiliki rata-rata bobot badan sekitar 900 kg sedangkan sapi jantan memiliki rata-rata bobot badan sekitar 1300 kg (Anonimus, 2016). Sapi Limousin Sapi limousin ini berasal dari Perancis, tipenya adalah sapi potong. Sapi ini tinggal didaerah yang sangat dingin dan jarang ditumbuhi rerumputan, namun sapi limousin ini dapat tumbuh dengan baik. Berat rata-rata sapi limousin betina sekitar 650 kg sedangkan berat rata-rata sapi limousin jantan sekitar 1000 kg (Anonimus, 2016). Inseminasi Buatan (IB) Menurut Hafez (1993), Inseminasi Buatan (IB) adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel

11 kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoa. Potensi seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, terutama yang unggul, dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina. Keberhasilan IB pada ternak ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kualitas semen beku (straw), keadaan sapi betina sebagai akseptor IB, ketepatan IB, dan keterampilan tenaga pelaksana (inseminator). Faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga rendah (Toelihere, 1997). Menurut Ihsan (1992), saat yang baik melakukan IB adalah saat sapi betina menunjukkan tanda-tanda birahi, petani ternak pada umumnya harus mengetahui tingkah laku ternak yang sedang birahi yang dikenal dengan istilah : 4A, 2B, 1C. 4A yang dumaksud adalah abang, abuh, anget, dan arep artinya alat kelamin yang berwarna merah membengkak kalau diraba terasa anget dan mau dinaiki, 2B yang dimaksud adalah bengak-bengok dan berlendir artinya sapi betina sering mengeluh dan pada alat kelaminnya terlihat adanya lendir transparan atau jernih, IC yang dimaksud adalah cingkrak-cingkrik artinya sapi betina yang birahi akan menaiki atau diam jika dinaiki sapi lain. Menurut Ihsan (1992), keuntungan IB sangat dikenal dan jauh melampaui kerugian-kerugiannya jika tidak demikian tentu perkembangan IB sudah lama terhenti dan keuntungan yang diperoleh dari IB yaitu : 1. Daya guna seekor pejantan yang genetik unggul dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

12 2. Terutama bagi peternak-peternak kecil seperti umumnya ditemukan di Indonesia program IB sangat menghemat biaya disamping dapat menghindari bahaya dan juga menghemat tenaga pemeliharaan pejantan yang belum tentu merupakan pejantan terbaik untuk diternakkan. 3. Pejantan-pejantan yang dipakai dalam IB telah diseleksi secara teliti dan ilmiah dari hasil perkawinan betina-betina unggul dengan pejantan unggul pula. 4. Dapat mencegah penyakit menular. 5. Calving Interval dapat diperpendek dan terjadi penurunan jumlah betina yang kawin berulang. Menurut Ihsan (1992), selain manfaat dari IB ini sangat banyak terutama dalam meningkatkan mutu hasil ternak, akan tetapi juga diperhatikan kerugiankerugian yang diakibatkan oleh teknik IB ini. Kerugian-kerugiannya adalah : 1. Pelaksanaan yang terlatih baik dan terampil diperlukan dalam mengawasi atau melaksanakan penampungan, penilaian, pengenceran, pembekuan dan pengangkutan semen dan inseminasi pada ternak betina untuk mencegah penyebaran penyakit-penyakit kelamin menular yang dapat menjangkiti kelompok-kelompok ternak. 2. Kemungkinan besar IB dapat menjadi alat penyebar abnormalitas genetik seperti pada sapi, diantaranya cystic ovary, konformasi tubuh yang buruk terutama pada kaki-kakinya, dan kekurangan libido. Belum banyak penelitian tentang meningkatnya kejadian cystic ovary pada sapi yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan IB secara meluas.

13 3. Apabila persediaan pejantan unggul sangat terbatas, peternak tidak dapat memilih pejantan yang dikehendaki untuk mengikuti program peternakan yang diinginkannya. Dengan penggunaan seekor pejantan secara terusmenerus, kemungkinan besar akan terjadi inbreeding yang merugikan. 4. IB masih diragukan manfaatnya dalam mengatasi semua infeksi atau abnormalitas saluran kelamin betina, kalaupun ada, jarang terjadi. 5. Inseminasi intrauterine pada sapi yang bunting dapat menyebabkan abortus. 6. IB tidak dapat digunakan dengan baik pada semua jenis hewan. Pada beberapa spesies masih harus dilakukan penelitian sebelum IB dapat dipakai secara praktis. Dalam praktek prosedur IB tidak hanya meliputi deposisi atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin betina, tetapi juga tak lain mencakup seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengankutan semen, inseminasi, pencatatan dan juga penentuan hasil inseminasi pada hewan betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak (Ihsan, 1992). Penilaian Hasil Inseminasi Buatan Feradis (2010) menyatakan, untuk memperoleh informasi secepat mungkin, perlu digunakan teknik-teknik penentuan fertilitas yang walaupun kurang sempurna, tetapi telah terbukti dapat memberi gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan IB sebagai dasar penentuan kebijakan selanjutnya. Di Indonesia sistem penilaian keberhasilan IB umumnya berdasarkan pada nilai

14 angka konsepsi atau conception rate (CR) dan nilai inseminasi per konsepsi atau service per conception (S/C). Angka Konsepsi Conception Rate (CR) Conception Rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ini ditentukan dengan pemeriksaan kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina, kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010). Rumus Conception Rate (CR) : Menurut Ismaya (2010), nilai CR biasanya dihitung pada IB pertama, IB kedua, dan IB ketiga. Pada sapi nilai CR yang diharapkan 55 sampai 70 %. Semakin tinggi nilai CR semakin baik, sehingga efisiensi reproduksinya semakin baik pula. Kesulitan menghitung nilai CR di lapangan disebabkkan karena kurangnya tenaga pemeriksaan kebuntingan (PKB) sehingga induk ternak yang telah di-ib belum tentu dilakukan PKB setelah dua bulan sejak perkawinannya. Seharusnya setiap 5-6 inseminator didampingi oleh seorang ahli PKB. Bila perlu seorang inseminator sekaligus ahli PKB, sehingga data CR di lapangan lebih valid. Suatu pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi program pemuliabiakan ternak. Kesanggupan untuk menentukan kebuntingan secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap dokter hewan atau petugas pemeriksaan kebuntingan. Ihsan dan Wahjuningsih (2011) menyebutkan bahwa nilai CR ideal adalah 60%.

15 Service Per Conception (S/C) Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individu-individu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau perhitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai ini barulah berarti apabila dipergunakan semen dari pejantan yang berbeda-beda dan apabila betinabetina yang steril turut diperhitungkan dalam membandingkan kesuburan populasi ternak (Feradis, 2010). Rumus S/C : Menurut Dwiyanto (2007), nilai S/C yang ideal berkisar antara 1,6 dan 2,0. Makin rendah nilai S/C makin subur sapi tersebut, sebaliknya nilai S/C yang tinggi menunjukkan rendahnya tingkat kesuburan sapi tersebut. Direktorat Jenderal Peternakan (2010), memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) dengan memberikan nilai standart CR 62,5% dan service per conception (S/C) 1,6, Waktu Untuk Inseminasi Menurut Hardijanto dkk. (2010), waktu inseminasi pada sapi yang tepat adalah beberapa jam sebelum ovulasi terjadi. Oleh karena itu saat ovulasi yang tepat sulit ditentukan, maka penentuan saat inseminasi yang dilakukan pada awal

16 terlihatnya gejala birahi pertama. Periode birahi sapi potong biasanya terjadi lebih pendek daripada sapi perah. Gejala birahi sapi potong umumnya susah diamati. Waktu paling baik untuk melakukan IB pada sapi dimulai pertengahan estrus sampai dengan ± 6 jam setelah estrus berakhir. Saat ovulasi sapi rata-rata terjadi 12 jam setelah birahinya berakhir. Keadaan birahi ini dapat ditentukan dengan cara palpasi rektal. Angka kebuntingan (CR) yang tinggi bisa dicapai bila inseminasi dilakukan pada pertengahan sampai akhir masa birahi. Bila inseminasi dilakukan 6 jam setelah akhir atau dari awal masa birahi akan menghasilkan nilai CR yang rendah. Nilai CR yang tinggi dapat diperoleh dengan memberikan inseminasi ulangan dalam satu masa birahi dengan interval 10-24 jam. Tetapi cara ini kurang ekonomis bila ditinjau dari sudut komersil, karena membutuhkan dana dan tenaga yang lebih besar. Walaupun spermatozoa mampu hidup 2-4 hari, tetapi biasanya akan kehilangan daya hidup membuahi sel telur antara 12-24 jam setelah ia tiba di tuba falopii. Hardijanto dkk. (2010) melaporkan bahwa IB pada awal, pertengahan dan akhir masa birahi sapi memberikan nilai CR 44 persen, 82 persen, 75 persen. Sedang IB yang dilakukan pada : Tabel 1. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Waktu IB Persentase Keberhasilan 6 jam sesudah akhir birahi 62,5 % 12 jam sesudah akhir birahi 32,0 % 18 jam sesudah akhir birahi 28,0 % 24 jam sesudah akhir birahi 12,0 % 36 jam sesudah akhir birahi 8,0 % 48 jam sesudah akhir birahi 0,0 % Sumber : Hardijanto, dkk (2010)

17 Birahi Siklus birahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan jenis. Siklus birahi pada sapi berkisar 18-22 hari (Partodiharjo, 1992). Interval antara timbulnya satu periode birahi ke periode berikutnya disebut sebagai satu siklus birahi. Siklus birahi pada dasarnya dibagi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Hafez, 2000; Marawali, 2001; Sonjaya, 2005). Berdasarkan perubahan-perubahan dalam ovaria siklus estrus dapat dibedakan menjadi 2 fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase luteal, meliputi akhir metestrus dan diestrus. Fase 1. Proestrus (Prestanding Events). Fase ini hanya berlangsung 1-2 hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan., berusaha menaiki temantemannya, menjadi gelisah, agresif dan mungkin akan menanduk, melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta vulva mulai membengkak (Bindon ; Piper, 2008). Fase 2. Estrus (Standing Heat). Pada fase ini hewan betina diam bila dinaiki oleh temannya. Tetapi juga perlu diperhatikan hal lain seperti seringkali gelisah, mencoba untuk menaiki teman-temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar lendir jernih dari vulva, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba (Bindon ; Piper, 2008). Fase 3. Metestrus (Pasca Birahi). Periode ini berlangsung selama 3-4 hari setelah birahi, sedikit darah mungkin keluar dari vulva induk atau dara beberapa jam setelah standing heat berakhir. Biasanya 85 persen dari periode birahi pada sapi dara dan 50 persen pada sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari

18 vulva induk (untuk cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut pendarahan metestrus ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah birahi. Pendarahan ini biasanya akan berhenti sendiri setelah beberapa saat. Yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua siklus birahi pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila diinseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus birahi (Bindon ; Piper, 2008). Fase 4. Diestrus. Berlangsung selama 12-18 hari setelah periode metestrus sampai periode proestrus berikutnya dan alat reproduksi praktis tidak aktif selama periode ini karena dibawah pengaruh progesteron dari korpus luteum. Dengan tidak adanya kehamilan pada fase diestrus berakhir dengan regresi korpus luteum (Bindon ; Piper, 2008). Birahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum folikelfolikel ovarium. Manifestasi psikologi birahi ditimbulkan oleh hormon seks betina, yaitu estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Pada sapi betina seringkali terjadi birahi tenang semua fenomena histologi dan fisiologis yang normal dapat teramati, termasuk ovulasi tetapi respon untuk perkawinan tidak tampak, untuk beberapa individu kebutuhan estrogen mungkin lebih besar dibanding yang lainnya dan birahi tenang mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam mensekresi estrogen dalam jumlah yang cukup besar untuk menimbulkan respon perkawinan. Tanda-tanda sapi birahi antara lain vulva nampak lebih merah

19 dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali diangkat bila sapi ada di padang rumput sapi yang sedang birahi tidak suka merumput, kunci untuk menuman yang mana diantara sapi-sapi yang saling menaiki. Birahi adalah sapi betina yang tetap tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila didalam kandang nafsu makannya jelas berkurang (Anonimus, 2011). Penyebab Terjadinya Tanda-Tanda Birahi Terjadinya tanda-tanda birahi abang, aboh, anget disebabkan karena hormon. Ismudiyono dkk. (2010) menyatakan bahwa pada masa periode proestrus atau yang disebut juga periode persiapan akan ditandai dengan pemacuan pertumbuhan folikel oleh FSH. Folikel yang sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel yang mengandung hormon estrogen yang lebih banyak. Hormon estrogen inilah yang akan mempengaruhi suplai darah ke saluran alat kelamin dan meningkatkan pertumbuhannya. Vulva agak membengkak dan vestibulum menjadi berwarna kemerahan karena adanya kongesti pembuluh darah. Bagian vagina dan serviks membesar karena pembengkakan sel-sel mukosa dan dimulailah sekresi lendir dari saluran serviks. Proestrus pada sapi berlangsung selama 1-2 hari. Pada periode ini biasanya sapi akan menolak bila dinaiki pejantan maupun sesama betinanya, tetapi akan berusaha menaiki betina yang lainnya (Jumping heat). Menurut Ismudiyono dkk. (2010), periode estrus ditandai dengan manifestasi birahi secara fisik. Sapi akan sering menguak dan biasanya tidak

20 tenang, nafsu makan dan memamah biak menurun vulva makin membengkak dan mukosa vulva berwarna merah tua, terlihat jelas pengeluaran lendir yang terang tembus. Selama periode ini folikel terus berkembang dengan cepat. Gejala fisik yang jelas tampak dari luar dan sudah diketahui oleh peternak adalah 3A (abang, abuh dan anget). Pada pemeriksaan vaginal, mukosa vagina merah dan oedematous. Lendir birahi yang cukup banyak 50-100 ml yang terdapat di dalam vagina berasal dari sel-sel selaput lendir serviks di bawah pengaruh estrogen. Lama Birahi Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina resesif terhadap jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Achyadi, 2009). Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12-18 jam. Variasi terlihat antar individu selama siklus estrus, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Selama atau segera setelah periode ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar serta ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadiya ovulasi (Frandson, 1996).

21 Tabel 2. Siklus Estrus Pada Sapi Karakteristik Keterangan Pubertas* 12 (8 18 bulan) Proestrus* 3 4 hari Metestrus* 2 hari Diestrus* 15 hari sampai musim kawin Anestrus** 16 (6 20 jam) Panjang siklus estrus** 12 (2 26 jam) Saat ovulasi** 35 (16 90 hari) Birahi setelah melahirkan** Sumber : McDonald, 1969 ; widiyono, 2008 Lamanya birahi bervariasi pada tiap-tiap hewan dan antara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi pada saat estrus, terutama pada sapi dengan periode birahinya yang terpendek diantara semua hewan mamalia. Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa kebuntingan telah terjadi (Achyadi, 2009). Tabel 3. Lama Periode Siklus Birahi pada Ternak Ternak Progesteron Estrus Metestrus Diestrus (hari) (hari) (hari) (hari) Sapi 3 12 24 jam 3 5 13 Kuda 3 4 7 3 5 6-10 Babi 3 2 4 3 4 9-13 Domba 2 1 2 3 5 7 10 Sumber : Marawali, 2001 Angka Intensitas Birahi (AIB) Selama birahi, sapi betina menjadi sangat tidak tenang, kurang nafsu makan dan kadang-kadang menaiki sapi betina lain dan akan diam berdiri bila dinaiki. Vulva tersebut akan membengkak, memerah dan penuh sekresi mucus

22 transparan yang menggantung dari vulva atau terlihat di pangkal ekor (Achyadi, 2009). Tampilan birahi pada masing-masing individu ternak berbeda, demikian juga antar breed pada sapi. Jimenez dkk. (2011) melaporkan bahwa sapi dari Bos indicus cenderung menunjukan intensitas birahi yang rendah dan durasi birahi yang pendek dibandingkan dengan breed sapi lainnya. Galina dan Orihuela (2007) menyatakan deteksi birahi akan sulit dilakukan pada sapi dengan intensitas birahi yang rendah. Ketidaktepatan dalam melakukan deteksi birahi menyebabkan kegagalan pelaksanaan perkawinan pada ternak. Hal tersebut disebabkan oleh waktu pelepasan ovum (ovulasi) atau waktu yang subur untuk perkawinan sapi. Untuk meningkatkan keberhasilan implementasi teknologi reproduksi pada sapi, dibutuhkan suatu kajian tentang intensitas birahi. Intensitas birahi dapat diamati dengan memberi nilai (skor) berdasarkan gejala klinis seperti vulva bengkak dan merah, adanya lendir, menaiki, dan diam dinaiki, gelisah, dan nafsu makan menurun. Informasi akurat tentang perubahan yang terjadi selama siklus birahi normal dapat dihubungkan dengan konsep dasar proses ovulasi, regresi korpus luteum, kebutuhan hormon untuk manifestasi birahi, kebuntingan, dan kelahiran (Guilbault dkk., 1991). Intensitas merupakan tingkatan birahi yang meliputi waktu mulainya birahi dengan memperlihatkan gejala birahi sebagai bentuk respon. Adapun respon birahi yaitu gejala-gejala birahi yang muncul pada ternak : (1) vulva merah, (2) vulva bengkak, (3) berlendir, (4) menaiki temannya (Marawali dkk., 2001). Skoring dilakukan berdasarkan gejala birahi yang muncul :

23 Skor 4 = keempat gejala berahi muncul Skor 3 = tiga dari empat gejala berahi yang muncul Skor 2 = dua dari empat gejala berahi yang muncul Skor 1 = satu dari gejala berahi yang muncul Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa intensitas birahi dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi, maka secara tidak langsung angka intensitas birahi (AIB) juga sangat dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu sendiri. Intensitas birahi atau tingkatan birahi dilihat dari gejala birahi yang ada. Selanjutnya menurut Suharto (2003) pemberian ransum dengan kualitas yang baik dapat meningkatkan kejelasan penampilan estrus (Ferning, kebengkakan labia vulva, suhu vagina, ph lendir serviks, warna mukosa vagina dan kelimpahan lendir). HIPOTESIS Adanya hubungan antara angka intensitas birahi (AIB) pada sapi potong terhadap tingkat keberhasilan inseminasi buatan (IB). Angka intensitas birahi tertinggi ada pada score 4 maka, apabila IB dilakukan pada waktu score 4 akan menghasilkan hasil IB terbaik (kemungkinan tingkat keberhasilannya tinggi).