Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta

dokumen-dokumen yang mirip
KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta 2

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi?

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

SEARCH : Fisik dan Lingkungan Alam Geomorfologi Indonesia

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI

STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

INTEGRASI DATA PENGINDERAAN JAUH CITRA LANDSAT 8 DAN SRTM UNTUK IDENTIFIKASI BENTUK LAHAN DOME KULONPROGO

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

KARAKTERISTIK SESAR KALI PETIR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II KERANGKA GEOLOGI

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel

BAB II GEOLOGI REGIONAL

NILAI KARAKTER PADA MATERI GEOMORFOLOGI. Oleh. Dr. Deasy Arisanty, M.Sc

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH CIPEUNDEUY KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : Muhammad Abdurachman Ibrahim

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

Geomorfologi Sungai Klawing Daerah Bobotsari, Kabupaten Purbalinggga, Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1).

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI GEOLOGI DAERAH HAMBALANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN CITEUREUP DAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta Salahuddin Husein Srijono Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta corresponding email: shddin@gmail.com I. Pendahuluan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki letak geomorfologis yang sangat menarik. Berada di bagian selatan Pulau Jawa, propinsi ini berada pada transisi dua mandala geologi, yaitu Jawa Tengah Jawa Timur (van Bemmelen, 1949). Bagian selatan mandala geologi Jawa Timur dicirikan oleh munculnya Pegunungan Selatan yang dibangun oleh batuan volkanik laut ditutup oleh batuan karbonat yang melampar ekstensif dengan kemiringan landai ke arah selatan. Sebaliknya, bagian selatan mandala geologi Jawa Tengah dicirikan tidak munculnya Pegunungan Selatan ke permukaan. Daerah tinggian selatan Jawa Tengah dibangun oleh serangkaian batuan sedimen volkanik laut yang terlipat kuat membentuk Pegunungan Serayu Selatan. Ke arah timur di Propinsi Yogyakarta, Pegunungan Serayu Selatan dibatasi oleh kompleks Kulon Progo. Pertemuan kedua pegunungan tersebut di Yogyakarta membentuk depresi atau rendahan yang dikenal dengan nama Cekungan Yogyakarta terisi oleh endapan Gunung Merapi sebagai produk geologi yang berumur paling muda. Keragaman informasi geomorfologi tersebut diatas, terutama yang terkait dengan proses geologi pembentuknya, idealnya dapat dipresentasikan dalam wujud peta yang mudah dibaca dapat menjadi acuan berbagai pihak yang terkait membutuhkan. Hingga saat ini peta geomorfologi untuk Propinsi D.I. Yogyakarta baru dibuat oleh McDonald & Partners (1984). Meski demikian, informasi yang diberikan peta tersebut masih bersifat umum tanpa memberikan gambaran proses geologi secara lengkap, terkait dengan skalanya yang kecil. Padahal berbagai kajian ilmu kebumian yang bersifat ilmiah maupun terapan sangat membutuhkan suatu peta geomorfologi yang baik bersifat standar. Suatu pemetaan geomorfologi dilakukan untuk menyajikan gambaran sistematik dari bentuklahan fenomena lain yang berhubungan. Perkembangan kajian geomorfologi dewasa ini menunjukkan peta sistem ITC mampu menampilkan berbagai aspek geomorfologi secara utuh, jelas mudah dibaca, serta mampu menghimpun informasi geologi dasar berupa litologi struktur geologi (van Zuidam, 1983). Metode sistem pemetaan ITC, yang dikembangkan oleh Institute for Aerial Survey and Earth Sciences, Enschede, Belanda, dimaksudkan untuk tujuan analisis geomorfologi dengan menyertakan aspek-aspek morfometri, morfografi, morfogenetik morfokronologi (Verstappen, 1970; Verstappen & van Zuidam, 1975; van Zuidam & van Zuidam-Cancelado, 1979; van Zuidam, 1983). Perhatian juga ditujukan pada aspek litologi proses perubah bentuklahan. Upaya penerapan kajian geomorfologi dengan sistem ITC telah pernah diterapkan oleh Srijono & Untung (1981) pada daerah yang sempit di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, Srijono, dkk. (2008) pada mandala Pegunungan Selatan bagian barat. Kedua kajian tersebut menunjukkan bahwa metode ITC mudah diterapkan memberikan hasil yang memuaskan. Tulisan ini berupaya untuk membuat peta geomorfologi dengan sistem serupa, dengan luasan daerah kajian ~32.000 km 2 mengikuti batas mengikuti wilayah administratif Provinsi D.I. Yogyakarta. Diharapkan bahwa tulisan ini mampu menghasilkan peta geomorfogi Provinsi D.I. Yogyakarta yang bersifat standar, serta menjadi model bagi penerapan kajian serupa di daerah lain. II. Geologi Propinsi D.I. Yogyakarta Yogyakarta merupakan suatu depresi atau cekungan yang dibatasi di bagian utara oleh Gunung Merapi yang berumur Kuarter; bagian timurnya dibatasi oleh Pegunungan Selatan bagian baratnya dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo, dimana keduanya disusun oleh batuan berumur Tersier; serta bagian selatannya dibatasi oleh Samudera India (Gambar 1). Batuan berumur Tersier yang ada di Pegunungan Selatan Pegunungan Kulon Progo terdiri dari serial batuan klastik produk purba ( Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Nglanggran, Wuni Sambipitu) dengan kisaran umur sekitar 57 18 juta tahun lalu, yang ditumpangi oleh serial batuan karbonat produk pengendapan laut gkal (, Jonggrangan, Kepek Sentolo) dengan kisaran umur sekitar 20 1.6 juta tahun silam. Pengangkatan Pegunungan Selatan Pegunungan Kulon Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 1

Progo pada sekitar 1.6 juta tahun lalu telah menciptakan sebuah cekungan atau depresi diantara keduanya, yang diberinama geografis sebagai Cekungan Yogyakarta. Gunungapi Merapi kemudian muncul di sebelah utara mengisi Cekungan Yogyakarta dengan endapan volkaniknya, yang sebagian besar dibawa oleh sungai-sungai yang berhulu di lereng tersebut. Ketebalan endapan volkanik Merapi tersebut dapat mencapai lebih dari 100 m (Hendrayana, 1993). Hingga saat ini, proses sedimentasi oleh sungai masih terus mendominasi di Cekungan Yogyakarta, mengendapkan kerikil, pasir, lanau lempung di sepanjang lembah alirannya. Di sepanjang pesisir selatan, pasir halus yang kaya unsur besi yang telah dibawa oleh sungai-sungai tersebut ke laut diendapkan kembali oleh angin sebagai gumuk-gumuk pasir. Suatu sistem patahan yang terletak diantara Cekungan Yogyakarta Pegunungan Selatan berhasil dikenali dari survey gaya berat (Untung dkk., 1973). Patahan tersebut dikenal dengan nama Patahan Opak dengan blok bagian baratnya relatif turun terhadap blok bagian timur (Gambar 1; Rahardjo dkk., 1995). Kertapati dkk. (1992) menginterpretasikan Patahan Opak sebagai patahan aktif namun tidak diketahui jenis pergerakannya. Sudarno (1997) melengkapi sistem Patahan Opak mengidentifikasi berbagai patahan berarah utara selatan baratlaut tenggara di sekitar Patahan Opak. MacDonald & Partners (1984) dengan pemboran geoteknik survey geolistrik telah menginterpretasikan sistem patahan yang tertimbun endapan volkanik Merapi yang berarah utara selatan timur barat yang merupakan kelanjutan dari Patahan Opak ke arah Cekungan Yogyakarta. III. Pemetaan Geomorfologi Sistem ITC Geomorfologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mencakup banyak aspek terkait dengan bentuklahan (landforms) perkembangannya. Aspek-aspek tersebut tidak selalu dapat dipresentasikan dalam bentuk kalimat, terutama menyangkut bentuk, ukuran posisi. Untuk alasan tersebut, fenomena geomorfologi dapat digambarkan dengan sangat baik melalui medium peta. Secara umum, peta geomorfologi dikelompokkan menjadi kategori umum terapan. Konsep kajian geomorfologi dewasa ini menyebutkan peta geomorfologi kategori umum sebagai peta analitis yang dihasilkan dari telaah monodisiplin mendalam, peta geomorfologi kategori terapan sebagai peta sintetis yang dihasilkan dari telaah multidisiplin dengan mempertimbangkan aspek ekologis (Van Zuidam, 1983). Meski berbeda pendekatan antara kedua kategori peta tersebut, kajian geomorfologi sintetis yang bersifat terapan membutuhkan kemampuan telaah mendalam yang mampu mengupas berbagai aspek geomorfologi sebagai suatu monodisiplin. Terdapat empat aspek penting dalam kajian geomorfologi analitis (Van Zuidam, 1983), yaitu (i) morfologi atau tampilan relief, mencakup (a) morfografi atau aspek deskriptif geomorfologi suatu wilayah, (b) morfometri atau aspek kuantitatif suatu wilayah; (ii) morfogenesa atau asalmula perkembangan proses yang membentuk suatu bentuklahan, meliputi (a) morfostruktur pasif atau jenis batuan, (b) morfostruktur aktif atau jenis struktur geologi akibat tektonik volkanisme, (c) morfodinamik atau proses-proses eksogenik yang bekerja di permukaan bumi; (iii) morfokronologi atau penentuan urutan proses terbentuknya berbagai bentuklahan; (iv) morfoaransemen atau hubungan spasial berbagai bentuklahan prosesnya. Suatu peta geomorfologi yang baik akan memuat semua atau sebanyak mungkin aspek-aspek tersebut diatas. Perkembangan kajian geomorfologi dewasa ini menunjukkan peta sistem ITC mampu menampilkan keempat aspek secara utuh, jelas mudah dibaca, serta telah menghimpun informasi geologi dasar berupa litologi struktur geologi (Van Zuidam, 1983; Gambar 2). Peta geomorfologi sistem ITC menggunakan beberapa tingkatan dalam menyajikan informasi bentuklahan, yaitu: (i) lapis pertama berupa morfogenesa disajikan dalam simbol warna wilayah; (ii) lapis kedua berupa litologi ditampilkan dalam warna mono terang; (iii) lapis ketiga berupa morfologi yang ditampilkan dengan simbol alfabet dalam warna mono terang; (iv) lapis keempat berupa morfokronologi yang ditampilkan dengan simbol alfabet warna hitam; (v) lapis terakhir bila diinginkan untuk memuat aspek morfodinamik. Peta geomorfologi disajikan dalam skala tertentu, dimana skala yang terpilih ditentukan oleh mempengaruhi pada jenis pekerjaan lapangan yang dilakukan (Van Zuidam, 1983). Secara umum, ada dua kelompok peta berdasarkan skalanya, yaitu: (i) peta skala besar medium, terdiri dari dua kelas, yakni (a) peta skala detail 1:10.000 1:25.000 yang harus dicek secara penuh di lapangan tidak ada atau sangat sedikit generalisasi, (b) peta skala semi-detail 1:25.000 1:250.000 yang dilakukan dengan cek lapangan secara umum ekstrapolasi generalisasi diperkenankan.; (ii) peta skala kecil, juga terbagi Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 2

dua kelas, yakni (a) peta skala kecil normal 1:250.000 1:5.000.000 yang hanya dilakukan cek lapangan secara kasual dilakukan dengan generalisasi ekstrapolasi yang sangat besar, (b) peta rekonaisans skala > 1:500.000 yang dikompilasi dari peta-peta skala besar medium serta sangat digeneralisasi. IV. Metode Penelitian Pada tulisan ini, pemetaan geomorfologi sistem ITC dilakukan dengan menggunakan Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1999) sebagai peta dasar, Peta Geologi Lembar Yogyakarta skala 1:100.000 (Rahardjo dkk., 1995) Peta Geologi Lembar Surakarta skala 1:100.000 (Surono dkk., 1992) sebagai referensi geologi regional, serta citra satelit radar SRTM Jawa Tengah sebagai panduan interpretasi. Adapun tahapan pemetaan meliputi: (i) pembuatan peta geologi tentatif Provinsi D.I. Yogyakarta pada skala 1:50000, (ii) dari peta geologi tentatif, dilakukan ekstraksi data morfogenesa, litologi, morfologi, morfokronologi, morfodinamik, berikut pembuatan peta tematik untuk masing-masing lapisan data tersebut, (iii) pengecekan lapangan untuk verifikasi peta tematik, (iv) overlay peta tematik menjadi peta geomorfologi Provinsi D.I. Yogyakarta dengan sistem ITC pada skala 1:50000. V. Peta Geomorfologi D.I. Yogyakarta Hasil pemetaan pada skala 1:50.000 mengacu pada aspek morfogenesa, dijumpai lima bentangalam genetik utama yang berkembang di Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu bentukan asal volkanik,, karst, fluvial, eolian (Gambar 2). Berikut ini pemaparan masing-masing bentukan asal tersebut, resumenya disajikan dalam Tabel 1. a. Bentangalam volkanik Bentangalam volkanik hadir cukup dominan di Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut dapat dipahami karena aktivitas volkanisme telah bekerja semenjak Tersier hingga saat ini. Pada akhir Paleogen, volkanisme telah menghasilkan andesit tua Bemmelen di Pegunungan Kulon Progo Kebobutak di Pegunungan Selatan. Pada Zaman Kwarter, volkanisme modern hadir di sebelah utara melalui aktivitas G. Merapi. Dengan demikian, bentukan morfologi volkanik muncul dari bentuknya yang masih aktif hingga bentukan sisa pada bekas-bekas volkanisme Tersier. Secara umum, pelamparan unit-unitnya berubah secara teratur dari yang terbesar dimiliki oleh tubuh volkanik aktif hingga yang terkecil dimiliki oleh leher volkanik sisa dari volkanisme Tersier. Bentangalam volkanik terdiri dari 6 unit morfologi, yaitu morfologi kerucut seg, kerucut kuat, lereng seg, kaki seg, sisa, leher. b. Bentangalam Bentangalam dapat dikenali dalam 10 unit berbeda, mendominasi bagian utara Pegunungan Selatan, bagian barat Pegunungan Kulon Progo, serta Perbukitan Sentolo. Pelamparan yang luas kompleksitas bentukan mengindikasikan pengaruh tektonik yang dominan terhadap Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut dapat dipahami bahwa letak Provinsi D.I. Yogyakarta yang berada di depan busur volkanik (fore-arc) pada saat ini senantiasa berhadapan dengan jalur penunjaman Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Benua Eurasia semenjak terbentuknya cekungan pengendapan, membuat daerah ini mengalami sejarah tektonik yang berulang (multi-fase) kompleks. Sebagian bentangalam tersusun oleh litologi batuan piroklastik epiklastik yang tersesarkan secara kuat, kedua hal inilah yang membedakannya dengan bentangalam volkanik. Di Pegunungan Selatan, bentangalam hadir secara khas di bagian utara, dimana lajur-lajur sesar yang bersifat memanjang dikontrol oleh kehadiran tubuh volkanik modern menghasilkan rangkaian pegunungan Kambengan, Plopoh Baturagung, yang bersifat memanjang relatif berarah timur-barat. Pola serupa juga dapat diamati di bagian barat pada Lajur Baturagung yang dikontrol oleh kehadiran sistem Sesar Opak yang berarah relatif timurlaut-baratdaya membatasinya dengan Dataran Rendah Yogyakarta. Di Pegunungan Kulon Progo, bentangalam hadir di Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 3

bagian tepi (periperal) dengan pola sesar yang cenderung bersifat radial. Batas utara Pegunungan Kulon Progo merupakan suatu sesar melengkung (arcuate) berarah relatif Timur-Tenggara Barat- Baratlaut, menyerupai sesar-sesar batas utara Pegunungan Selatan. Sebagian bentangalam tersusun pula oleh litologi yang tersesarkan terlipatkan secara lemah, tersebar di Perbukitan Sentolo bagian tengah Pegunungan Selatan. Perbedaan derajat deformasi antara batuan produk volkanik Tersier Awal Tersier Akhir lebih disebabkan pada umur, dimana batuan volkanik mengalami lebih banyak sejarah tektonik dibandingkan dengan. Bentangalam terdiri dari 10 unit morfologi, yaitu morfologi perbukitan kuat, perbukitan seg, pegunungan seg, pegunungan kuat, teras lemah, teras sturuktural seg, teras kuat, perbukitan terisolasi, kuesta, cekungan denudasional. c. Bentangalam kars Bentangalam kars berkembang secara eksklusif di bagian selatan Pegunungan Selatan, menempati kawasan yang dikenal sebagai Gunung Sewu. Dibatasi di bagian barat oleh bentangalam yang memisahkannya dengan Dataran Rendah Yogyakarta, bagian utara oleh Depresi serta Pegunungan Panggung. Kehadiran bentangalam ini yang mensyaratkan aya endapan yang cukup tebal menandakan sejarah genang laut daerah tersebut pada Tersier Akhir yang lebih lama dibandingkan bagian utara, serta aya periode pengangkatan yang episodik yang memberikan kesempatan tahapan-tahapan karstifikasi untuk bekerja dengan baik. Secara stratigrafis, bentangalam kars Gunung Sewu tersusun oleh terumbu, berlapis bersifat tufan napalan, yang dikelompokkan kedalam formasi (Surono dkk., 1992; Rahardjo dkk., 1995). Selain di Pegunungan Selatan, bentangalam kars juga berkembang, meski tidak dominan, pada Pegunungan Kulon Progo. Di daerah Jonggranan, bentangalam ini dibangun oleh terumbu napalan dari Jonggrangan (Rahardjo dkk., 1995), hadir sebagai kerucut kars membulat yang dikelilingi oleh dataran tepi kars. Segkan di daerah Paingan, kerucut kars membulat hadir pada daerah yang sempit tersusun oleh kalkarenit Sentolo (Rahardjo dkk., 1995). Bentangalam kars dikelompokkan menjadi dari 5 unit morfologi, yaitu kars konikal membulat, kars konikal memanjang, kars konikal trapesoid, dataran tepi kars, lembah kering kars. d. Bentangalam fluvial Bentangalam fluvial berkembang secara terpisah-pisah diantara bentangalam-bentangalam lainnya, sehingga secara umum dapat dikatakan sebagai suatu cekungan antar pegunungan yang aktif saat ini sebagai tempat deposisi sedimen yang berasal dari tinggian di sekitarnya. Penyusun utama bentangalam ini adalah pasir lempungan pasir kerikilan, di beberapa tempat dijumpai sebagai endapan rawa. Hal tersebut mengindikasikan aya perubahan fasies yang cepat dari fluvial menjadi lakustrin akibat aya pengaruh tektonik yang mengontrol perkembangan geomorfologi. Di Pegunungan Selatan, bentangalam ini diidentifikasi pada dua lokasi, yaitu di sepanjang kaki utara gawir Lajur Baturagung, serta di daerah Imogiri pada kaki barat gawir Lajur Baturagung. Di Pegunungan Kulon Progo, bentangalam fluvial hadir secara luas pada kaki selatan perbukitan Sentolo, dimana batas selatannya disusun oleh bentangalam eolian yang membentuk pesisir selatan Yogyakarta. Pada batas kedua pegunungan tersebut, yaitu Pegunungan Selatan Pegunungan Kulon Progo, terhadap Dataran Rendah Yogyakarta, berkembang dua sungai besar, yaitu Sungai Opak Sungai Progo. Kedua sungai tersebut memiliki morfologi tubuh sungai yang dapat dikenali pada skala pemetaan ini. Ada empat unit morfologi bentangalam fluvial yang dapat dikenali, yaitu morfologi dataran banjir, dataran banjir antar pegunungan, kipas aluvial non aktif, tubuh sungai. e. Bentangalam eolian Bentangalam eolian hanya berkembang di bagian baratdaya daerah kajian sebagai unit gumuk pasir, menempati sepanjang pesisir selatan Dataran Rendah Yogyakarta hingga ke arah barat menerus mencapai perbatasan provinsi. Tersusun oleh sedimen pasir yang dibawa oleh aliran tiga sungai utama Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 4

yang mengalir ke Samudera Hindia, yaitu sungai Opak, Progo, Serang, serta diendapkan kembali oleh proses gelombang serta dibentuk oleh proses angin membentuk morfologi gumuk-gumuk pasir. Jenis gumuk pasir yang dijumpai bervariasi, dari tipe transversal di tepi pantai diatas morfologi berm, kemudian berkembang menjadi tipe parabola ke arah darat selanjutnya menjadi tipe longitudinal. VI. Kesimpulan Dalam kajian ini, pemetaan geomorfologi metode ITC dapat memberi arahan yang cepat cukup akurat dalam membuat keluaran peta skala tinjau. Meskipun tidak menggunakan foto udara sebagaimana yang dianjurkan, peta topografi standar skala 1:50.000 skala 1:25.000 yang dipergunakan dalam kajian ini dapat dimanfaatkan secara efektif dalam mengidentifikasi mendelineasi unit-unit morfogenesa serta tingkatan morfologinya. Hubungan antar unit morfologi dalam konteks geologi regional juga dapat dilakukan dengan cepat berdasarkan pada pola pelamparan masing-masing unit. Pada penelitian ini, dijumpai lima bentangalam genetik utama yang berkembang di Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu bentukan asal volkanik,, karst, fluvial, eolian. Daftar Rujukan Rahardjo, W., Sukandarrumidi, H.M.D. Rosidi (1977) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, Pusat Penelitian Pengembangan Geologi, Bandung. Rahardjo, W., Sukandarrumidi, H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, edisi ke- 2, Pusat Penelitian Pengembangan Geologi, Bandung. Surono, B. Toha, I. Sudarno (1992), Peta Geologi lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Pusat Penelitian Pengembangan Geologi, Bandung. Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology. Martinus Nyhoff, The Hague. Van Zuidam, R.A. (1983) Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation and Mapping. Section of Geology and Geomorphology ITC, Enschede, The Netherlands, 324 pp. Van Zuidam, R.A., and F.I. van Zuidam-Cancelado (1979) Terrain Analysis and Classification using Aerial Photographs. ITC Textbook of Photo-interpretation, vol. VII-6, 348 pp. Verstappen, H.Th. (1970) Introduction to the ITC-system of Geomorphological Survey. KNAG Geografisch Tijdschrift, vol. 4(1), pp. 85-91. Verstappen, H.Th., and R.A. van Zuidam (1975) ITC-system of Geomorphological Survey. ITC Textbook of Photo-interpretation, vol. VII-2, 52 pp. Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 5

Gambar 1. Diagram 3 dimensi kondisi geologi Yogyakarta (Setijadji et al., 2007; dimodifikasi dari Rahardjo dkk., 1995). Garis putusputus merupakan batas administratif Provinsi Yogyakarta. Garis tebal adalah patahan, dimana garis tebal putus-putus adalah Patahan Opak. Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 6

Tabel 1. Uraian karakteristik klasifikasi bentangalam Provinsi D.I. Yogyakarta MORFOGE NESA Bentangala m VOLKANIK STRUKTUR AL MORFOLOGI GEOLOGI PROSES Morfografi Simbo l unit /Sat uan Batuan utama Tektonik GEOMORFIK (eksisting) kerucut seg kerucut kuat lereng seg kaki seg sisa leher perbukitan kuat perbukitan seg pegunungan seg V 1 V 2 V 3 V 4 V 5 V 6 S 1 S 2 S 3 endapan Merapi muda endapan Merapi tua endapan Merapi muda endapan Merapi muda, aluvium Nglanggran, andesit, Semilir, Wuni Nglanggeran Kebobutak Oyo Sentolo andesit tua Bemmelen, Semilir, Nglanggran, Sambipitu, tuf, abu,, leleran lava tak terpisahkan, aglomerat leleran lava, termasuk andesit basal mengandung olivin tuf, abu,, aglomerat tuf, abu, pasir, kerakal, kerikil, lanau, lempung, aliran, andesit,, lava andesit-basal, lava andesit-basal perselingan tuf, aglomerat napal tufan, tuf andesitan, batupasir napalan andesit, tuf, tuf lapili, lava andesit, tuf, batuapung,, perlipatan, fluvial fluvial fluvial fluvial fluvial fluvial fluvial fluvial, gerakan massa, pelarutan

pegunungan kuat teras lemah teras sturuktural seg teras kuat perbukitan terisolasi S 4 S 5 S 6 S 7 S 8 kuesta S 9 cekungan denudasional S 10 Oyo, andesit tua Bemmelen, Semilir, Nglanggran, Sambipitu, Jonggrangan Nanggulan Sentolo Semilir Semilir Nglanggran Nanggulan, andesit tua Bemmelen, Semilir Kebobutak, Semilir, Nglanggran, aluvium napal tufan, terumbu, kalkarenit andesit, tuf, tuf lapili, lava andesit, tuf, batuapung, napal tufan, terumbu, kalkarenit napal pasiran,, batupasir napalan perselingan batupasirbatulempung tufan, tuf andesit, tuf, tuf lapili, lava andesit, napal pasiran, andesit, tuf, tuf lapili, perselingan batupasirbatulempung tufan perselingan tuf, andesit, tuf, tuf lapili terumbu, kalkarenit,, perlipatan, perlipatan, perlipatan,, fluvial, gerakan massa, pelarutan fluvial fluvial fluvial fluvial fluvial fluvial pelarutan

KARST FLUVIAL kerucut kars membulat kerucut kars memanjang kerucut kars trapesoid dataran tepi karst lembah kering K 1 K 2 K 3 K 4 K 5 Jonggrangan Jonggrangan dataran banjir F 1 aluvium dataran banjir antar pegunungan kipas aluvial tidak aktif F 2 F 3 aluvium aluvium tua tubuh sungai F 4 aluvium EOLIAN gumuk pasir A 1 aluvium pasir lempungan terumbu terumbu terumbu terumbu terumbu kerakal, kerikil, pasir, lanau, lempung kerakal, kerikil, pasir, lanau, lempung konglomerat, pasir, lanau lempung kerakal, kerikil, pasir, lanau, lempung pasir, lanau, lempung - fluvial - fluvial - fluvial - fluvial - eolian pelarutan fluvial pelarutan fluvial pelarutan fluvial pelarutan fluvial pelarutan fluvial

Gambar 2. Peta geomorfologi Propinsi D.I. Yogyakarta.