BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya seluruh fungsi dan aktivitas tubuh melibatkan listrik. Tubuh manusia menghasilkan sinyal listrik dari hasil aksi elektrokimia sel-sel tertentu dan listrik yang dihasilkan di dalam tubuh akan digunakan untuk mengontrol dan mengoperasikan syaraf, otot, dan organ. Jantung merupakan salah satu organ penting dalam sistem peredaran darah manusia. Syaraf dan otot jantung dapat dianggap sebagai sumber listrik tertutup alam suatu konduktor listrik, yaitu tubuh. Tegangan listrik (beda potensial) terjadi disebabkan oleh adanya sumber pembangkit tenaga listrik. Jantung dikatakan sebagai sumber pembangkit listrik yang tertutup di dalam dada dan perut (Webster, 1978). Gambar 1.1. Potensial permukaan tubuh (Sumber: Clark Jr, 2010). Hubungan antara pemompaan jantung dan potensial listrik pada kulit ditunjukkan oleh gambar 1.1. Arus listrik yang dihasilkan tubuh menyebabkan terjadinya penurunan potensial listrik seperti halnya pada resistor. Dada dianggap sebagai beban hambatan untuk generator jantung. Jadi, potensial yang terjadi pada dinding dada disebabkan oleh arus yang mengalir melalui resistansi tubuh. Titik A dan B adalah titik pada permukaan tubuh. R T1 dan R T2 merupakan resistansi dada. R AB adalah resistansi antara titik A dan B. Beda potensial yang terukur diantara titik A 1
dan B sebesar Φ AB. Beda potensial yang dihasilkan oleh jantung dan di permukaan tubuh menimbulkan aktifitas listrik di jantung. Aktifitas listrik jantung akan menghasilkan aktifitas mekanik yang berkaitan langsung dengan otot jantung. Aliran listrik yang berasal dari jantung dapat dideteksi dan direkam melalui elektroda yang diletakkan di permukaan kulit pada posisi tertentu dan digunakan sebagai informasi diagnostik. Hasil rekaman perubahan beda potensial listrik yang menyertai siklus jantung ini disebut elektrokardiogram (EKG), alat yang digunakan untuk merekam sinyal EKG dinamakan elektrokardiograf, dan ilmunya disebut elektrokardiografi. Normal tidaknya aktivitas listrik jantung dapat diketahui dari gambaran EKG. Jika aktivitas listrik jantung tidak normal, menunjukkan mungkin juga jantung tidak normal ( Alim, 2008). Elektrokardiograf adalah salah satu tes noninvasif yang dapat dipakai sebagai pemeriksaan awal untuk mendeteksi kelainan jantung, serangan jantung atau irama yang tidak normal serta untuk mengetahui kondisi jantung secara keseluruhan. Hasil analisis elektrokardiogram dapat memberikan interpretasi status jantung, yang kemudian dijadikan referensi untuk tindakan medik selanjutnya. Keberadaan elektrokardiograf menjadi penting, sebab penyakit jantung memiliki morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi, segi pembiayaan yang besar diakibatkan oleh lama perawatan dan biaya pengobatan penyakit jantung, serta biaya pemeriksaan penunjangnya. Keberhasilan pengobatan sangat bergantung kepada kecepatan penanganan penyakit. Oleh karena itu, upaya pencegahan penyakit jantung sangat bermanfaat karena lebih murah dan lebih efektif (Anis, 2006). Selain itu, penyakit Kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab kematian utama di berbagai negara maju dan tampak adanya kecenderungan meningkat sebagai penyebab kematian diberbagai negara berkembang (Hatma, 2012). Berdasarkan laporan WHO pada September 2011, penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian utama secara umum. Diperkirakan 17,3 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008, mewakili 30% dari semua kematian global dan dari kematian ini, 2
diperkirakan 7,3 juta karena penyakit jantung koroner dan 6,2 juta adalah akibat stroke (Patil, dkk. 2012). Grup Riset Fisika Citra (GRFC) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada, mengembangkan alat Elektrokardiograf 12 sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4. Alat elektrokardiograf 12 sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4 telah dikalibrasi dan diuji kinerja fungsionalnya serta dibandingkan hasilnya dengan gold standard menggunakan EKG komersial (Hidayat, 2014). Sebagian besar yang digunakan dalam aplikasi klinis adalah elektrokardiograf 12 sadapan dengan 10 elektroda yang diletakkan pada permukaan tubuh. Standar Elektrokardiograf 12 sadapan menjadi salah satu pilihan alat dan paling sering digunakan untuk mendiagnosa penyakit jantung, meskipun beberapa modalitas pemeriksaan yang berbeda di bidang kardiologi telah dikembangkan selama bertahun-tahun. Saat ini elektrokardiograf telah mengalami perkembangan baik dari segi komponen maupun bentuk. Perekaman sinyal EKG klinis dilakukan dalam kondisi pasien tenang dan jauh dari peralatan elektronik dan radiasi. Posisi berbaring terlentang adalah posisi yang selama ini digunakan dalam perekaman sinyal EKG agar meminimalisir pergerakan tubuh pasien. Gerakan tubuh merupakan salah satu yang mengganggu kestabilan dan memunculkan artefak pada tampilan sinyal EKG. Tetapi perekaman sinyal EKG dalam kondisi tertentu misanya untuk monitoring, justru dilakukan dalam kondisi berlari. Permasalahan terjadi ketika harus merekam sinyal EKG pada pasien yang tidak dapat berbaring terlentang dengan baik karena ganguan kesehatan di punggung atau tulang belakang. Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang hasil rekam sinyal EKG dalam posisi tubuh selain berbaring terlentang. Perubahan posisi tubuh yang akan dipilih adalah posisi tubuh duduk dan berdiri yang kemudian akan dibandingkan dengan hasil rekam sinyal EKG pada posisi berbaring terlentang. Kesalahan lain yang sering terjadi dalam perekaman sinyal EKG adalah pergeseran penempatan elektroda dari posisi standar. Prosedur penempatan elektroda 3
telah memiliki acuan standar internasional, tetapi dilaporkan bahwa 36% penempatan elektroda prekordial diposisikan lebih dari 1,25 inci dari posisi yang direferensikan (Wenger dan Kligfield, 1996). Kesalahan lain yang sering terjadi adalah penempatan posisi V1 dan V2 yang terlalu tinggi, ditempatkan di intercostal ketiga dan bahkan di intercostal kedua, yang seharusnya di ruang intercostal keempat, serta penempatan V4 dan V5 yang terlalu rendah dan terlalu lateral (Kerwin dkk, 1960). Penempatan elektroda juga sangat penting diperhatikan, karena penempatan yang salah akan menghasilkan pencatatan yang berbeda sebab tidak mudah untuk mengidentifikasi dengan pasti anatomi tubuh manusia, terdapat perbedaan jenis kelamin, ukuran tubuh, usia, dan bersifat subyektif tergantung kepada tenaga medis yang merekam sinyal EKG tersebut. Bond dkk., (2012) menemukan bahwa penempatan elektroda yang salah dapat menyebabkan diagnosis yang salah dalam 17-24 % pasien. Sadapan prekordial lebih sulit untuk keakuratan penempatan, penelitian telah dilakukan oleh Herman dkk.(1991) menunjukkan bahwa pergeseran penempatan elektroda prekordial sejauh 2 cm secara vertikal menghasilkan perubahan lebih dari 25% pada amplitudo gelombang R. Kania dkk.,(2014) juga melaporkan bahwa hasil rekaman sinyal EKG akibat dari kesalahan penempatan elektroda dapat menyebabkan salah tafsir atau bahkan kesalahan pengenalan infark anterior, infark anteroseptal, dan hipertrofi ventrikel. Berdasarkan uraian di atas, telah dilakukan verifikasi secara fisis hasil rekam sinyal EKG untuk mengetahui sejauh mana perubahan posisi tubuh dan pergeseran penempatan elektroda dari posisi standar menyebabkan perubahan terhadap amplitudo, durasi, dan bentuk gelombang sinyal EKG dapat mengakibatkan kesalahan interpretasi diagnostik. Dalam penelitian ini, posisi berbaring terlentang dengan elektroda yang dipasang sesuai prosedur acuan standar International Electrotecnical Commision (IEC) (2011), digunakan menjadi posisi referensi. Verifikasi sinyal EKG ini diharapkan dapat memberikan informasi sejauh mana jarak perpindahan elektroda masih dapat diterima tanpa mengubah interpretasi 4
diagnostik dan memberikan referensi mengapa selama ini posisi berbaring terlentang dipilih sebagai prosedur saat perekaman sinyal EKG. Meskipun penelitian tentang pengaruh perubahan posisi tubuh dan penempatan elektroda telah banyak dilakukan, tetapi belum ada batasan jelas seberapa jauh perubahan-perubahan tersebut boleh dilakukan. Pemakaian suatu alat elektronik tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus dilakukan secara teliti, tidak terkecuali penggunaan elektrokardiograf. Prosedur pemakaian elektrokardiograf adalah tata cara pemakaian atau penggunaan atau pengoperasian alat secara benar dan terarah. Prosedur ini bertujuan agar diperoleh hasil perekaman data sinyal EKG sesuai dengan kondisi pasien. Apabila proses ini dilakukan dengan tidak benar, dapat menimbulkan kesalahan diagnosa. Oleh karena itu, untuk mengurangi berbagai kesalahan maka diperlukan prosedur pelaksanaan atau Standar Of Procedure (SOP) untuk setiap alat EKG. Dari hasil verifikasi tersebut di atas, maka disusun Standar of Procedure (SOP) untuk alat elektrokardiograf 12 sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4, yang telah dikembangkan oleh Group Riset Fisika Citra (GRFC) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah pengaruh perubahan posisi tubuh pada proses perekaman data sinyal EKG menggunakan Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4 terhadap bentuk gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T? 2. Bagaimanakah pengaruh perubahan penempatan elektroda dari posisi referensi pada proses perekaman data sinyal EKG menggunakan Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4 terhadap bentuk gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T? 5
3. Apakah posisi terlentang adalah posisi terbaik dibandingkan posisi duduk dan berdiri, selama perekaman data sinyal EKG menggunakan Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4? 4. Bagaimanakah Standar Of Procedure (SOP) sebagai acuan penggunaan alat Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4? 1.3 Batasan Masalah Batasan permasalahan dalam penelitian ini antara lain: 1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4 yang dikembangkan oleh Group Riset Fisika Citra, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2. Subyek penelitian diambil acak tanpa memperhatikan kondisi jantung, anatomi tubuh, intra individualitas, ukuran tubuh, usia, dan jenis kelamin. 3. Perekaman sinyal EKG dilakukan pada subyek dengan suhu tubuh normal dan suhu ruangan diatur dalam kondisi yang disesuaikan dengan kenyamanan subyek. 4. Perekaman sinyal EKG dilakukan saat subyek berada dalam kondisi klinis stabil, tidak sedang mengalami gejala iskemia atau infark. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh perubahan posisi tubuh pada perekaman data sinyal EKG terhadap bentuk gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T, menggunakan Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4. 2. Mengetahui pengaruh perubahan penempatan elektroda dari posisi referensi pada perekaman data sinyal EKG terhadap bentuk gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T menggunakan Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4. 6
3. Memperoleh Standar Of Procedure (SOP) sebagai acuan penggunaan alat Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4. 1.5 Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, adalah: perubahan posisi tubuh dan penempatan elektroda menyebabkan perubahan bentuk gelombang, amplitudo, dan durasi sinyal EKG. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Didapatkan informasi tentang pengaruh perubahan posisi tubuh dan penempatan elektroda selama proses perekaman data sinyal elektrokardiogram (EKG). 2. Diperoleh suatu referensi posisi tubuh yang dapat digunakan selama proses perekaman data sinyal elektrokardiogram (EKG). 3. Diperoleh Standar Of Procedure (SOP) sebagai pedoman penggunaan alat Elektrokardiograf 12 Sadapan berbasis mikrokontroler Atmega 32U4. 7