1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen dari luas kawasan hutan tersebut atau sebesar 20,50 juta ha merupakan kawasan hutan konservasi (Baplan, Dephut, 2006). Kawasan hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang terdiri atas: kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, taman buru (UU RI No. 41/1999, Pasal 1 dan Pasal 7). Kawasan hutan konservasi merupakan bagian dari kawasan konservasi yang berada pada kawasan hutan. Kawasan konservasi di Indonesia sampai akhir Desember 2007 berjumlah 530 buah dengan luas 28.007.753 ha, yang terdiri atas cagar alam sebanyak 245 unit dengan luas 4,61 juta ha, suaka margasatwa sebanyak 77 unit dengan luas 5,43 juta ha, taman nasional sebanyak 50 unit dengan luas 16,38 juta ha, taman wisata alam sebanyak 123 unit dengan luas 1,03 juta ha, taman hutan raya sebanyak 21 unit dengan luas 332 ribu ha, dan taman buru sebanyak 14 unit dengan luas 225 ribu ha (Ditjen PHKA, Dephut, 2008). Keberadaan kawasan hutan konservasi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya yang dihasilkan oleh kawasan tersebut. Saat ini, kawasan hutan di Indonesia, termasuk kawasan hutan konservasi mengalami kerusakan hutan yang cukup besar. Baplan, Dephut (2008) menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama periode 1985-1997 tercatat sebesar 1,8 juta ha per tahun, selama periode 1997-2000 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,84 juta ha per tahun, dan selama periode 2000-2005 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha per tahun. Lebih lanjut, Baplan, Dephut (2006) menyebutkan bahwa sampai tahun 2000 diperkirakan hutan yang rusak di Indonesia lebih dari 59 juta ha, termasuk 4,69 juta ha kawasan hutan konservasi yang mengalami kerusakan. Sementara itu, Ditjen PHKA, Dephut (2007) menyebutkan bahwa kerusakan kawasan konservasi berdasarkan laporan yang masuk dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah (Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan
2 Balai Taman Nasional) sampai tahun 2005 mencapai 772.832,90 ha. Adapun kerusakan kawasan konservasi untuk setiap kategori adalah sebagai berikut: kerusakan kawasan cagar alam mencapai 15.033,5 ha, kerusakan kawasan suaka margasatwa mencapai 78.314,34 ha, kerusakan kawasan taman buru mencapai 14.612,82 ha, kerusakan kawasan taman wisata alam mencapai 150.797,15 ha, dan kerusakan kawasan taman nasional mencapai 514.075,09 ha. Terdapatnya perbedaan data kerusakan kawasan hutan konservasi tersebut, yakni data kerusakan kawasan hutan konservasi yang dikeluarkan oleh Ditjen PHKA lebih kecil apabila dibandingkan dengan data kerusakan kawasan hutan konservasi yang dikeluarkan oleh Baplan disebabkan data kerusakan kawasan yang dilaporkan oleh UPT di daerah belum seluruhnya masuk, mengingat jumlah kawasan hutan konservasi yang cukup banyak dan tersebar. Berdasarkan data tersebut dan fakta di lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar kawasan hutan konservasi di Indonesia kini mengalami kerusakan kawasan hutan yang disebabkan oleh berbagai permasalahan, seperti: perambahan hutan, penebangan liar (illegal logging), penambangan liar (illegal mining), kebakaran hutan, pengambilan hasil hutan nonkayu, dan perburuan satwaliar. Selain itu, permasalahan lainnya yang terjadi di kawasan hutan konservasi adalah terdapatnya jenis-jenis eksotik, terutama yang bersifat invasif. Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka perlu dilakukan upaya restorasi (pemulihan) kawasan hutan konservasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas dan peranan kawasan hutan konservasi bagi kehidupan makhluk hidup yang terdapat di sekitarnya dapat tetap terjaga. Namun demikian, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang secara khusus menjelaskan/mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga sangat diperlukan adanya suatu penelitian mengenai model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi. 1.2. Kerangka Pemikiran Kawasan hutan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan konservasi memiliki ciri utama berupa keaslian kondisi kawasan hutan tersebut. Namun kini, keaslian kawasan hutan konservasi mengalami gangguan (disturbance) baik karena terjadinya kerusakan
3 kawasan hutan konservasi maupun karena terdapatnya jenis-jenis eksotik di kawasan hutan konservasi tersebut. Indrawan et al. (2007) mendefinisikan jenis eksotik (exotic species) sebagai jenis yang terdapat di luar distribusi alaminya. Keberadaan jenis eksotik tersebut dikhawatirkan dapat menginvasi dan mendominasi suatu habitat karena jenis eksotik seringkali dapat beradaptasi lebih cepat daripada jenis asli (native species) atau dengan kata lain jenis eksotik seringkali dapat berkembang biak dengan baik di luar distribusi alaminya dan menjadi jenis pengganggu (invasive species). Antonio et al. (2002) menyatakan bahwa jenis eksotik yang bersifat invasif juga berimplikasi dalam meningkatkan laju erosi tanah, sebagai contoh di Afrika Selatan yang memiliki karakteristik penutupan tanah yang tipis, laju erosi terjadi lebih besar di bawah tegakan Pinus spp. yang merupakan jenis eksotik. Kerusakan kawasan hutan konservasi tersebut perlu segera diatasi melalui upaya restorasi (pemulihan) kawasan hutan konservasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas dan fungsi kawasan hutan konservasi dapat tetap terjaga, yaitu berfungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Restorasi ekologi didefinisikan sebagai suatu proses untuk membantu pemulihan ekosistem yang telah terdegradasi, mengalami kerusakan atau musnah. Restorasi ekologi harus dapat meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat masyarakat lokal, dan meningkatkan produktivitas ekosistem (SER IUCN, 2004). Oleh karena itu, maka dalam restorasi ekologi harus memperhatikan berbagai aspek yang meliputi aspek biologi (vegetasi, satwaliar, mikroba), aspek fisik (penutupan lahan, tanah, iklim, elevasi, lereng), aspek sosial-budaya (karakteristik rumahtangga, persepsi, partisipasi), dan aspek ekonomi (peningkatan kesejahteraan). Restorasi ekologi merupakan konsep yang tergolong baru dalam upaya pemulihan kondisi ekosistem yang rusak. Berbeda dengan konsep rehabilitasi hutan yang bertujuan hanya untuk memperbaiki fungsi dan produktivitas hutan tanpa harus membandingkannya dengan kondisi awal (asli) ketika hutan tersebut belum mengalami kerusakan (Wali, 1992), restorasi ekologi hutan bertujuan
4 untuk memulihkan struktur, komposisi, fungsi, dan produktivitas hutan seperti keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan (ITTO, 2002; Lamb et al., 2003). Mengingat hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang secara khusus mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi dan agar kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable), maka diperlukan suatu model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang meliputi: perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi dengan memperhatikan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi, perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, dan penentuan prioritas jenis terpilih. Dengan diperolehnya keempat model kebijakan dari hasil penelitian ini, maka diharapkan restorasi kawasan hutan konservasi dapat diimplementasikan untuk memulihkan kawasan hutan konservasi yang rusak seperti kondisi awal yang diketahui (sesuai kondisi acuan), sehingga fungsi kawasan hutan konservasi dapat tetap terjaga. Sebagai tempat untuk uji coba keempat model kebijakan dipilih Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Adapun kerangka pemikiran penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
5 Terjadinya Kerusakan Hutan Terdapatnya Jenis-jenis Eksotik Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi Kawasan Hutan Konservasi Gangguan Keaslian: Ciri Utama Kawasan Hutan Konservasi Terganggunya Fungsi Kawasan Hutan Konservasi Kawasan Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan Kawasan Pengawetan Keragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa Kawasan Pemanfaatan Secara Lestari Potensi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Restorasi Kawasan Hutan Konservasi Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi Penentuan Acuan Restorasi Penentuan Prioritas Jenis Terpilih Uji Coba Model Kondisi yang Diharapkan: Kawasan hutan konservasi dapat pulih kembali Fungsi kawasan hutan konservasi dapat tetap terjaga Biologi Fisik Sosial-Budaya Ekonomi Vegetasi Satwaliar Mikroba Penutupan Lahan Tanah Iklim Karakteristik Rumahtangga Persepsi Partisipasi Peningkatan Kesejahteraan Elevasi Lereng Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
6 1.3. Perumusan Masalah Mengingat jumlah kawasan hutan konservasi yang cukup banyak dan tersebar, pendanaan yang terbatas, dan sumberdaya manusia (SDM) yang terbatas dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi, maka perlu adanya prioritas dalam pelaksanaan restorasi kawasan hutan konservasi, baik prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, maupun penentuan prioritas jenis terpilih. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah umum yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanakah model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable)? Untuk dapat memecahkan permasalahan umum tersebut, maka terlebih dahulu perlu dibuat beberapa rumusan masalah khusus sebagai berikut: 1) Apa kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi? 2) Apa kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi? 3) Bagaimana acuan restorasi? 4) Apa jenis terpilih yang menjadi prioritas dalam restorasi? 5) Bagaimana penerapan/uji coba model tersebut? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk membuat model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable). Untuk dapat mencapai tujuan umum tersebut ditetapkan beberapa tujuan antara, yaitu sebagai berikut: 1) Merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi 2) Merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi 3) Menentukan acuan restorasi 4) Menentukan prioritas jenis terpilih 5) Menerapkan/menguji coba model
7 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, manfaat bagi pemerintah, manfaat bagi peneliti, dan manfaat bagi masyarakat lokal, yaitu sebagai berikut: 1) Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya berkaitan dengan restorasi (pemulihan) kawasan hutan konservasi. 2) Manfaat bagi pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan/acuan bagi penentuan kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi di Indonesia. 3) Manfaat bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai restorasi kawasan hutan konservasi lainnya. 4) Manfaat bagi masyarakat lokal Hasil penelitian ini apabila telah diimplementasikan di lapangan diharapkan dapat memulihkan kondisi kawasan hutan konservasi yang rusak, sehingga peranan atau manfaat kawasan hutan konservasi dapat dirasakan oleh masyarakat lokal, terutama sebagai perlindungan fungsi hidroorologis dan keanekaragaman hayati. Selain itu, diimplementasikannya restorasi kawasan hutan konservasi juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal melalui keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut, yaitu dengan bekerja sebagai tenaga penanaman dan pemeliharaan tanaman, serta penyedia bibit tanaman. 1.6. Kebaruan (Novelty) Restorasi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari preservasi (pengawetan). Restorasi ini sangat penting dalam memulihkan kawasan hutan konservasi di Indonesia yang pada umumnya mengalami kerusakan. Namun demikian, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang secara khusus mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga restorasi kawasan hutan konservasi belum memiliki aturan main yang jelas.
8 Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan suatu pengetahuan dan konsep-konsep dalam rangka memecahkan permasalahan tersebut. Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini terletak pada hasil dan metode/ pendekatan (approach) yang digunakan untuk menghasilkan model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi, yang meliputi pendekatan untuk merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, pendekatan untuk merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, pendekatan untuk menentukan acuan restorasi, dan pendekatan untuk menentukan prioritas jenis terpilih.