I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Menurut Said (2004), sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk sektor-sektor penting di daerah. Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Undang-
2 Undang No. 25 Tahun 1999, konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya sendiri (desentralisasi), termasuk menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna mendukung penyerahan wewenang tersebut. Menurut Alm (2001), apabila desentralisasi berhasil diterapkan di Indonesia, maka Indonesia merupakan salah satu negara paling desentralistik yang sebelumnya berasal dari salah satu negara besar paling sentralistik di dunia. Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan), yaitu berupa: (1) peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, (2) peningkatan dana alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan Instruksi presiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus. Sistem bagi hasil yang terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak merupakan instrumen untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Sedangkan dana alokasi khusus merupakan dana untuk membantu membiayai kebutuhan khusus pada tiap daerah yang kebutuhannya tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dana alokasi
3 umum. Peningkatan dana transfer ini menyebabkan penerimaan daerah meningkat signifikan. Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut (Sidik, 2002). Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena: (1) pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, dan (3) persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbesar ketiga di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur dengan luas 153 564 km 2, atau 1.5 kali luas
4 pulau Jawa. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah belum dimanfaatkan secara maksimal di mana 87.87 persen wilayahnya masih berupa hutan dan pertanahan lainnya. Perekonomian Kalimantan Tengah masih bertumpu pada sektor pertanian. PDRB Kalimantan Tengah tahun 2005 (1996=100) sebesar Rp 5.55 triliun, meningkat sebesar 0.6 persen dari tahun sebelumnya dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian sebesar 45.97 persen. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap pada tahun yang sama adalah sebesar 825.4 ribu jiwa meningkat 3.84 persen dengan rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 59.61 persen. Tabel 1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun Dasar 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Penerimaan Penerimaan PAD Dana Perimbangan Tahun Nominal Tumbuh Nominal Rasio Nominal Rasio (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) Sebelum Desentralisasi Fiskal 1995 268 799.28 10 764.61 4.00 241 159.74 89.72 1996 264 542.38-1.58 11 817.98 4.47 240 950.67 91.08 1997 256 649.64-2.98 11614.14 4.53 231 680.75 90.27 1998 252 302.76-1.69 7 433.98 2.95 238 977.77 94.72 1999 272 895.43 8.16 8 308.50 3.04 251 842.35 92.29 2000 272 037.55-0.31 17 125.91 6.30 245 685.22 90.31 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 641 877.01 135.95 72 436.99 11.29 543 753.68 84.71 2002 640 040.22-0.29 42 998.81 6.72 528 762.32 82.61 2003 920 104.06 43.76 41 997.92 4.56 749 164.32 81.42 2004 967 845.80 5.19 42 470.59 4.39 770 669.84 79.63 2005 1 018 351.12 5.22 50 838.69 4.99 823 251.04 80.84 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun) Desentralisasi fiskal menyebabkan Kalimantan Tengah memiliki kesempatan yang besar untuk meningkatkan pendapatan melalui pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Menurut Aswin (2005), Kalimantan Tengah mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat besar, namun baru sebagian
5 yang dieksploitasi. Selain itu provinsi ini memiliki wilayah yang luas yang masih belum digunakan secara maksimal. Dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan daerah seperti yang digambarkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Kontribusi terbesar penyusun penerimaan daerah adalah dana perimbangan dimana lebih dari 80 persen pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Semakin besarnya dana perimbangan mengindikasikan bahwa semakin banyak dana dari pusat yang ditransfer ke Kalimantan Tengah. Peningkatan penerimaan daerah ini merupakan instrumen desentralisasi fiskal guna membiayai peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah. 1.2. Permasalahan Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan Kalimantan Tengah meningkat signifikan. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti dengan keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian untuk tiap daerah berbeda-beda tergantung dari kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kalimantan Tengah secara
6 komprehensif haruslah dilakukan penelitian lebih lanjut. Dari uraian di atas, dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah? 3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah? 4. Bagaimanakah dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. 3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah. 4. Menganalis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.
7 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan panel data (pooled data) 13 kabupaten dan satu kota tahun 1995-2005. Kinerja perekonomian yang akan diteliti adalah PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Sebelum ada pemekaran wilayah pada tahun 2002, Kalimantan Tengah memiliki lima kabupaten dan satu kota. Setelah terjadi pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002, terjadi penambahan delapan kabupaten baru seperti terlihat pada Tabel 2. Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan menggabungkan kabupaten pemekaran baru ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan. Tabel 2. Nama-Nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah Kabupaten/kota Induk Kabupaten pemekaran Kabupaten/kota Setelah Pemekaran 1. Kota Palangka Raya 1. Kota Palangka Raya 2. Kab. Kotawaringin Barat Kab. Lamandau Kab. Sukamara 2. Kab. Kotawaringin Barat 3. Kab. Lamandau 3. Kab. Kotawaringin Timur Kab. Katingan Kab. Seruyan 4. Kab. Sukamara 5. Kab. Kotawaringin Timur 6. Kab. Katingan 4. Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau 5. Kab Barito Utara Kab. Murung Raya 6. Kab. Barito Selatan Kab. Barito Timur Sumber: Kalimantan Tengah dalam Angka (2006) 7. Kab. Seruyan 8. Kab. Kapuas 9. Kab. Gunung Mas 10. Kab. Pulang Pisau 11. Kab Barito Utara 12. Kab. Murung Raya 13. Kab. Barito Selatan 14. Kab. Barito Timur
8 Fokus penelitian ini hanya pada dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, dimana kinerja perekonomian dibatasi pada PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan desentralisasi fiskal tidak lepas dari kinerja pemerintah daerah, tetapi dalam penelitian ini tidak dibahas masalah kinerja pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.