I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN,PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN

BAB I PENDAHUALUAN. dengan gerakan pembangunan nasioanal. Pembangunan nasional merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan secara proporsional, artinya pelimpahan tanggung jawab akan diikuti

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH BETRIXIA BARBARA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

ARAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN ANGGARAN 2016

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 02 TAHUN 2007

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 02 TAHUN 2007

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, AGUSTUS 2010

Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Provinsi Kalimantan Tengah

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR 5 TAHUN 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH AGUSTUS 2012

BUPATI SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

STATISTIK KEPENDUDUKAN KALIMANTAN TENGAH 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

- 1 - PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNG MAS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I LATAR BELAKANG. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia saat ini semakin

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR : 09 TAHUN 2004

- 1 - BUPATI GUNUNG MAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNG MAS NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH AGUSTUS 2014

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BUPATI SERUYAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 05 TAHUN 2014 T E N T A N G

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 PROVINSI KALIMANTAN TENGAH (ANGKA SEMENTARA)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah, dan kurang melibatkannya stakeholder di daerah. Kondisi

Perkembangan Pagu dan Realisasi APBN dan Dana Transfer Triwulan III 2015 di Provinsi Kalimantan Tengah

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

PEMERINTAH KABUPATEN SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 07 TAHUN 2004

PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

f. Pembangunan Bandara, Tahap Studi AMDAL g. Pembangunan Jembatan Timbang di Jalan Negara Trans Kalimantan, Desa Purwareja Kecamatan Sematu Jaya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BUPATI SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Tengah Agustus 2017

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG DANA CADANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

*) Bekerja di BPS Provinsi Kalimantan Tngah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN KATINGAN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 7 TAHUN 2011 TENTANG

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUKAMARA (REVISI)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 02 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 01 TAHUN 2009 T E N T A N G RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN LAMANDAU TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PENETAPAN KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (SKPD)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

BAB I PENDAHULUAN. maka daerah akan lebih paham dan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 03/PMK.07/2007 TENTANG

RKPD KABUPATEN LAMANDAU TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 27 TAHUN 2004 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menjadi cakupan Provinsi Kalimantan Selatan. Provinsi Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Menurut Said (2004), sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk sektor-sektor penting di daerah. Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Undang-

2 Undang No. 25 Tahun 1999, konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya sendiri (desentralisasi), termasuk menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna mendukung penyerahan wewenang tersebut. Menurut Alm (2001), apabila desentralisasi berhasil diterapkan di Indonesia, maka Indonesia merupakan salah satu negara paling desentralistik yang sebelumnya berasal dari salah satu negara besar paling sentralistik di dunia. Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan), yaitu berupa: (1) peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, (2) peningkatan dana alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan Instruksi presiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus. Sistem bagi hasil yang terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak merupakan instrumen untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Sedangkan dana alokasi khusus merupakan dana untuk membantu membiayai kebutuhan khusus pada tiap daerah yang kebutuhannya tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dana alokasi

3 umum. Peningkatan dana transfer ini menyebabkan penerimaan daerah meningkat signifikan. Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut (Sidik, 2002). Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena: (1) pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, dan (3) persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbesar ketiga di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur dengan luas 153 564 km 2, atau 1.5 kali luas

4 pulau Jawa. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah belum dimanfaatkan secara maksimal di mana 87.87 persen wilayahnya masih berupa hutan dan pertanahan lainnya. Perekonomian Kalimantan Tengah masih bertumpu pada sektor pertanian. PDRB Kalimantan Tengah tahun 2005 (1996=100) sebesar Rp 5.55 triliun, meningkat sebesar 0.6 persen dari tahun sebelumnya dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian sebesar 45.97 persen. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap pada tahun yang sama adalah sebesar 825.4 ribu jiwa meningkat 3.84 persen dengan rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 59.61 persen. Tabel 1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun Dasar 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Penerimaan Penerimaan PAD Dana Perimbangan Tahun Nominal Tumbuh Nominal Rasio Nominal Rasio (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) Sebelum Desentralisasi Fiskal 1995 268 799.28 10 764.61 4.00 241 159.74 89.72 1996 264 542.38-1.58 11 817.98 4.47 240 950.67 91.08 1997 256 649.64-2.98 11614.14 4.53 231 680.75 90.27 1998 252 302.76-1.69 7 433.98 2.95 238 977.77 94.72 1999 272 895.43 8.16 8 308.50 3.04 251 842.35 92.29 2000 272 037.55-0.31 17 125.91 6.30 245 685.22 90.31 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 641 877.01 135.95 72 436.99 11.29 543 753.68 84.71 2002 640 040.22-0.29 42 998.81 6.72 528 762.32 82.61 2003 920 104.06 43.76 41 997.92 4.56 749 164.32 81.42 2004 967 845.80 5.19 42 470.59 4.39 770 669.84 79.63 2005 1 018 351.12 5.22 50 838.69 4.99 823 251.04 80.84 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun) Desentralisasi fiskal menyebabkan Kalimantan Tengah memiliki kesempatan yang besar untuk meningkatkan pendapatan melalui pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Menurut Aswin (2005), Kalimantan Tengah mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat besar, namun baru sebagian

5 yang dieksploitasi. Selain itu provinsi ini memiliki wilayah yang luas yang masih belum digunakan secara maksimal. Dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan daerah seperti yang digambarkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Kontribusi terbesar penyusun penerimaan daerah adalah dana perimbangan dimana lebih dari 80 persen pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Semakin besarnya dana perimbangan mengindikasikan bahwa semakin banyak dana dari pusat yang ditransfer ke Kalimantan Tengah. Peningkatan penerimaan daerah ini merupakan instrumen desentralisasi fiskal guna membiayai peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah. 1.2. Permasalahan Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan Kalimantan Tengah meningkat signifikan. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti dengan keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian untuk tiap daerah berbeda-beda tergantung dari kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kalimantan Tengah secara

6 komprehensif haruslah dilakukan penelitian lebih lanjut. Dari uraian di atas, dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah? 3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah? 4. Bagaimanakah dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. 3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah. 4. Menganalis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.

7 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan panel data (pooled data) 13 kabupaten dan satu kota tahun 1995-2005. Kinerja perekonomian yang akan diteliti adalah PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Sebelum ada pemekaran wilayah pada tahun 2002, Kalimantan Tengah memiliki lima kabupaten dan satu kota. Setelah terjadi pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002, terjadi penambahan delapan kabupaten baru seperti terlihat pada Tabel 2. Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan menggabungkan kabupaten pemekaran baru ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan. Tabel 2. Nama-Nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah Kabupaten/kota Induk Kabupaten pemekaran Kabupaten/kota Setelah Pemekaran 1. Kota Palangka Raya 1. Kota Palangka Raya 2. Kab. Kotawaringin Barat Kab. Lamandau Kab. Sukamara 2. Kab. Kotawaringin Barat 3. Kab. Lamandau 3. Kab. Kotawaringin Timur Kab. Katingan Kab. Seruyan 4. Kab. Sukamara 5. Kab. Kotawaringin Timur 6. Kab. Katingan 4. Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau 5. Kab Barito Utara Kab. Murung Raya 6. Kab. Barito Selatan Kab. Barito Timur Sumber: Kalimantan Tengah dalam Angka (2006) 7. Kab. Seruyan 8. Kab. Kapuas 9. Kab. Gunung Mas 10. Kab. Pulang Pisau 11. Kab Barito Utara 12. Kab. Murung Raya 13. Kab. Barito Selatan 14. Kab. Barito Timur

8 Fokus penelitian ini hanya pada dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, dimana kinerja perekonomian dibatasi pada PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan desentralisasi fiskal tidak lepas dari kinerja pemerintah daerah, tetapi dalam penelitian ini tidak dibahas masalah kinerja pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.