BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penggunaan obat ketika pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DI POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Semua usaha yang dilakukan dalam upaya kesehatan tentunya akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

I. PENDAHULUAN. aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kesehatan yang memadai di kalangan masyarakat. Kesehatan harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen adalah suatu proses tahapan kegiatan yang terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam

ANALISIS PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT PANTI NUGROHO SLEMAN PERIODE OKTOBER 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh rumah sakit adalah kepuasan pelanggan agar dapat bertahan, bersaing,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hal ini memerlukan suatu variabel yang dapat digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

DRUG USAGE DESCRIPTION FOR OUTPATIENT IN PKU MUHAMMADIYAH UNIT II OF YOGYAKARTA IN 2013 BASED ON WHO PRESCRIBING INDICATOR

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Unsur terpenting dalam organisasi rumah sakit untuk dapat mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian medication error (kesalahan pengobatan) merupakan indikasi

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

The Analysis of Jamkesmas Drug Planning Using Combination Methods ABC and VEN in Pharmacy Installation of RSUD Dr. M. M. Dunda Gorontalo 2013

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara umum, obat terbagi menjadi dua yaitu obat paten dan obat generik.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Penggunaan Obat di RSUD Kota Yogyakarta Berdasarkan Indikator WHO

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MAKALAH FARMASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan dan peningkatan jasa pelayanan kesehatan dalam sebuah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah (Anonim, 2004 c ). Sebagaimana yang tercantum pada pasal 34 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan ayat (3) bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, maka adalah suatu kewajiban pagi para penyedia kesehatan untuk memberikan pengobatan yang rasional. Hal ini juga sesuai dengan peraturan perundangan dalam UU 36/2009, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pharmaceutical care adalah pelayanan kefarmasian dimana seorang apoteker memiliki tanggung jawab secara langsung dalam pelayanan ini untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu dari peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian adalah menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang 1

2 rasional. Pengobatan yang rasional adalah pemberian obat berdasarkan diagnosa penyakit, bukan berdasarkan gejala yang dialami pasien dimana diberikan hanya jenis obat yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit atau mengatasi masalah kesehatan secara efektif, aman dan dalam batas-batas kemampuan dana yang tersedia (Anonim, 1989 a ). Hal ini sesuai dengan yang tercantum pada UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana perlindungan konsumen bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Menurut WHO, lebih dari 50% obat diresepkan dan dibuat dengan tidak benar, banyak obat-obatan yang diresepkan padahal tidak dibutuhkan. Penggunaan obat yang tidak rasional akan membawa risiko dan hanya membuang obat-obatan yang minim di banyak sistem pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang belum rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan dana masyarakat, efek samping berupa resistensi, interaksi obat yang berbahaya yang menurunkan mutu pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan (Anonim, 2006). Rumah sakit sebagai instansi penyedia layanan kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai jaminan sosial untuk masyarakat Indonesia yang berlaku sejak 1 Januari 2014 memerlukan suatu pantauan dan evaluasi yang berkelanjutan untuk menjaga rasionalitas pengobatan dan kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat rasionalitas pengobatan adalah dengan menggunakan indikator yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh

3 WHO sebagai metode dasar untuk menilai penggunaan obat di unit-unit rawat jalan (Anonim, 1993 a ). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian resep untuk pasien JKN pada instalasi rawat jalan di RSUD Ungaran dengan indikator peresepan WHO 1993 dan Formularium Nasional. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar untuk evaluasi dan masukan bagi rumah sakit, dokter, apoteker, serta pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan memberikan pengobatan yang rasional. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, bagaimana penggunaan obat pada pasien rawat jalan di RSUD Ungaran untuk pasien JKN periode Januari Juni 2014 berdasarkan indikator peresepan WHO, yaitu : 1. Berapa rata-rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan? 2. Berapa persentase obat dengan nama generik yang diresepkan untuk pasien rawat jalan? 3. Berapa persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat jalan? 4. Berapa persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien rawat jalan? 5. Berapakah persentase obat yang sesuai dengan formularium nasional?

4 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah menganalisis kesesuaian resep dengan indikator peresepan pada pasien rawat jalan RSUD Ungaran kabupaten Semarang pada periode Januari Juni 2014, yang meliputi : 1. Rata rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan. 2. Persentase lembar resep yang berisi obat dengan nama generik untuk pasien rawat jalan. 3. Persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat jalan. 4. Persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien rawat jalan. 5. Persentase obat yang sesuai dengan formularium nasional. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi rumah sakit : a. Sebagai salah satu informasi tentang peresepan obat pada pasien rawat jalan di rumah sakit tersebut. b. Sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. 2. Bagi pemerintah : a. Memperkaya data dan informasi tentang penggunaan obat di Indonesia. b. Sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia pada umumnya dan peningkatan pelayanan kefarmasian pada khususnya.

5 3. Bagi peneliti : Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan dan farmasi sekaligus sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh. E. Tinjauan Pustaka 1. Pengobatan yang Rasional Peresepan yang rasional adalah pemberian obat berdasarkan diagnosa penyakit bukan berdasarkan symptom atau gejala dimana diberikan hanya jenis obat yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit atau mengatasi masalah kesehaan secara efektif, aman dan dalam batas-batas kemampuan dana yang tersedia (Anonim, 1989 a ). Disebutkan dalam literatur lain bahwa penggunaan obat sesuai dengan indikasi penyakit, tersedia setiap saat dengan harga terjangkau, diberikan dengan dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat, lama pemberian yang tepat, obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin dan aman merupakan penggunaan obat yang rasional (Anonim, 1995). Istilah penggunaan obat yang rasional dalam konteks biomedis mencakup kriteria berikut : a. Obat yang benar, b. Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada pertimbangan medis yang baik,

6 c. Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan, kecocokan bagi pasien dan harga, d. Dosis pemberian dan durasi pengobatan yang tepat e. Pasien yang tepat yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan reaksi merugikan adalah minimal, f. Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang obat yang ditulis, g. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan (Siregar, 2006). Peresepan dikatakan rasional bila memenuhi kriteria tepat dosis, memilih obat yang terbaik dari pilihan yang tersedia, memberi resep dengan dosis dan waktu yang cukup serta berdasarkan pedoman pengobatan yang berlaku (Quick dkk., 1997). Peresepan irrasional dapat dikelompokkan menjadi (Quick dkk., 1997): a. Peresepan boros, yaitu pemberian obat baru dan mahal, padahal tersedia obat yang lebih murah dan sama efektif dan amannya, atau penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat generik, b. Peresepan berlebihan, yaitu yang mengandung obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu tinggi, pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih dari yang diperlukan. Terdapat beberapa jenis obat yang diberikan kepada pasien tanpa indikasi yang jelas dan tepat, c. Peresepan salah, yaitu obat diberikan dengan dosis yang keliru, obat yang dipilih untuk suatu indikasi tertentu tidak tepat,

7 d. Polifarmasi, yaitu penggunaan dua atau lebih obat, padahal satu obat sudah mencukupi atau pengobatan setiap gejala secara terpisah, padahal pengobatan terhadap penyakit primernya sudah dapat mengatasi semua gejala, dan e. Peresepan kurang, yaitu tidak memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak mencukupi, atau pengobatan terlalu singkat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola peresepan menurut Quick dkk., (1997) adalah : a. Faktor komunikasi, yaitu informasi yang tidak bias dan pengaruh industri, b. Faktor pelaku peresepan, yaitu pengetahuan yang kurang tentang kebiasaan dan pengalaman sebelumnya, c. Faktor hubungan pelaku peresepan dengan pasien, yaitu kepercayaan, kebudayaan dan tekanan pasien, d. Faktor kelompok kerja, kebijakan prosedur dan tekanan senioritas, dan faktor tempat kerja, yaitu tugas terlalu banyak dan infrastruktur yang harus mendukung. 2. Indikator Peresepan WHO Instrumen untuk memantau gambaran penggunaan obat secara umum di suatu pelayanan kesehatan pengobatan yang rasional yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh WHO (1993) sebagai metode dasar untuk menilai tingkat rasionalitas penggunaan obat di unit-unit rawat jalan. Indikator tersebut dapat digunakan untuk mengukur pelaksanaan penyediaan beberapa dimensi pokok

8 pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan obat yang dapat dilakukan secara retrospektif maupun prospektif (Handayani, 2007). Tujuan umum adanya indikator tersebut adalah untuk menyediakan beberapa cara pengukuran yang obyektif sehingga dapat mendeskripsikan keadaan penggunaan obat di suatu fasilitas kesehatan, negara, atau pada suatu kawasan. Adapun tujuan khususnya adalah : a. Mendapatkan gambaran keadaan saat tertentu atas pola penggunaan obat pada fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter, b. Membandingkan pola penggunaan obat pada fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter satu dengan yang lain, c. Penelitian berkala atas penggunaan obat spesifik, d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat. Penilaian tentang penggunaan obat di fasilitas kesehatan dapat dibedakan menjadi tiga indikator yaitu (Anonim, 1993 a ) : a. Indikator peresepan terdiri dari : i. Rata-rata jumlah obat per lembar resep, dengan nilai estimasi terbaik 1,8 2,2 item per lembar resep. ii. Persentase peresepan obat dengan nama generik, dengan nilai estimasi terbaik > 82,00%. iii. Persentase peresepan obat dengan antibiotik, dengan nilai estimasi terbaik < 22,70%. iv. Persentase peresepan obat dengan injeksi, dengan nilai estimasi terbaik yaitu seminimal mungkin.

9 v. Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium, dengan nilai estimasi terbaik yaitu 100%. b. Indikator pelayanan pasien terdiri dari : i. Rata-rata lamanya waktu konsultasi, dengan nilai estimasi terbaik 2,3 6,3 menit. ii. Rata-rata waktu peracikan obat, dengan nilai estimasi terbaik yaitu 12,5 86,1 detik. iii. Persentase obat yang benar-benar diserahkan kepada pasien, dengan nilai estimasi terbaik adalah 100 % iv. Persentase obat-obat yang telah dilabel dengan benar, dengan nilai estimasi terbaik adalah 100%. v. Pengetahuan pasien dalam memahami cara penggunaan obat yang benar, dengan nilai estimasi terbaik adalah 100%. c. Indikator fasilitas kesehatan terdiri dari : i. Ketersediaan daftar obat-obat penting atau formularium, dengan nilai estimasi terbaik adalah tersedianya obat-obat penting atau formularium. ii. Ketersediaan obat-obat kunci (drug of choice), dengan nilai estimasi terbaik adalah 100%. 3. Resep Menurut SK Menkes.No. 922/Menkes/Per/X/1993 disebutkan bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan, kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi

10 penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, salah satunya adalah menulis resep obat dan alat kesehatan, seperti yang tercantum dalam UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 35 ayat (1). Dalam PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, dijelaskan bahwa penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker. Prawitosari (2007) menyatakan bahwa yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan sedangkan yang berhak menerima resep adalah apoteker pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat digantikan Apoteker Pendamping/Apoteker pengganti atau Asisten Apoteker di bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA). Penulisan resep khususnya di rumah sakit berdasarkan Formularium Rumah Sakit dan formularium yang lain, selain itu juga mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah pasal 4 (1) yang mengatakan bahwa dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. 4. JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) Tujuan pemerintah menyelenggarakan semua pertanggungan sosial pada dasarnya adalah sama yaitu untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat. Demikian juga hal asuransi kesehatan, tujuannya adalah membayar biaya rumah

11 sakit, biaya pengobatan dan mengganti kerugian tertanggung atas hilangnya pendapatan karena cedera akibat kecelakaan atau penyakit. Asuransi kesehatan mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri out of pocket, dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang memerlukan biaya yang sangat besar. Untuk itu diperlukan suatu jaminan dalam bentuk asuransi kesehatan karena peserta membayar premi dengan besaran tetap. Dengan demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan secara orang per orang (Anonim, 2014 a ). Untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan nasional, maka dirintislah beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) sebagai badan pengelola asuransi kesehatan di Indonesia bertujuan untuk menjaga, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, beserta anggota keluarganya, dalam rangka upaya menciptakan aparatur negara yang sehat, kuat dan dinamis serta memiliki jiwa pengabdian terhadap nusa dan bangsa. Askes (Asuransi Kesehatan) adalah salah satu jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua perawatan yang ditawarkan perusahaan-perusahaan asuransi, yaitu rawat inap (in-patient treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment). Daftar Plafon dan Harga Obat (DPHO) merupakan daftar obat yang menjadi acuan bagi dokter untuk menuliskan resep bagi peserta Askes.

12 Pada perkembangannya pemerintah melalui UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dirumuskan dalam UU No.24/2011 tentang BPJS. Sehingga Askes dilebur menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian JKN yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari SJSN sedangkan BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang bertanggung jawab untuk mengelola dana jaminan sosial yang merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Untuk mendukung pelaksanaan JKN, maka disusunlah daftar obat dalam bentuk Fornas. Fornas merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi acuan untuk dokter dalam menuliskan resep bagi peserta JKN (Anonim, 2013). Pelaksanaan JKN yang masih baru dan merupakan langkah besar dalam pelayanan kesehatan di Indonesia mengundang banyak kontroversi dan masih memerlukan banyak pembenahan untuk mencapai tahap sempurna. Adanya JKN perlu diapresiasi sebagai bentuk langkah konkrit pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. 5. Obat Generik Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan oleh Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik

13 menggunakan tata nama obat yang mengacu pada International Nonpropietary Names (INN) dalam bahasa Inggris dan dicantumkan juga sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) (Anonim, 1989 b ). Sedangkan obat generik bermerek atau bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Anonim, 2010). Obat generik di Indonesia dibuat sesuai dengan standar Indonesia dan dijamin mutunya oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Jika dibandingkan dengan obat paten, obat generik memiliki harga yang jauh lebih murah karena tidak terdapat biaya promosi yang setinggi obat paten. Hal ini mengakibatkan obat generik kurang dikenal oleh masyarakat, padahal memiliki efektivitas yang sama karena bahan baku dan teknologi produksi yang sama dengan obat paten. Penetapan harga obat paten biasanya mengikuti harga pokok obat paten dari pabrik penemu obat yang sama yang memperhitungkan pengembalian investasi untuk penelitian obat baru, sedangkan obat generik tidak (Pane, 1998). Sesuai dengan indikator peresepan WHO (Anonim, 1993 a ), persentase peresepan obat generik harus lebih besar daripada penggunaan obat dengan nama dagang. Hal ini juga telah sesuai dengan peraturan perundangan dalam UU 36/2009, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

14 6. Antibiotik Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semi sintetik atau sintetik penuh (Setiabudy dan Gan, 1995). Antibiotik adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh organisme hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat secara sintetik, dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme. Pada awalnya antibiotik diisolasi dari mikroorganisme, tetapi sekarang beberapa antibiotika didapatkan dari tanaman tinggi atau binatang (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Antibiotik yang optimal untuk pengobatan suatu infeksi adalah antibiotik yang memiliki spektrum aktivitas yang paling sempit (tentu saja harus meliputi bakteri yang pasti menjadi penyakit infeksi), paling sedikit efek samping dan paling rendah toksisitasnya (Shulman dkk., 1994). Prinsipnya penggunaan antibiotik didasarkan pada dua pertimbangan utama yaitu penyebab infeksi dan faktor pasien (Anonim, 2003). Apabila kuman yang menginfeksi tidak diketahui, maka dilakukan terapi empiris yang ditujukan terhadap patogen yang berpeluang terbesar, kemudian terapi dapat disesuaikan menurut perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan laboratorium (Woodley dan Whelan, 1995). Kombinasi antimikroba yang digunakan menurut indikasi yang tepat dapat memberikan manfaat klinik yang besar, namun terapi kombinasi antimikroba yang tidak terarah akan meningkatkan biaya dan efek samping, menseleksi galur

15 kuman yang resisten terhadap banyak antimikroba, dan tidak meningkatkan efektivitas terapi (Setiabudy dan Gan, 1995). Penggunaan antibiotik yang tidak perlu harus dihindari mengingat beberapa hal seperti efek samping, reaksi alergi, biaya, pengaruhnya terhadap flora normal endogen dan induksi resistensi antibiotik (pengaruhnya terhadap penderita maupun seluruh komunitas). Seperti obat-obat yang lain penggunaan antibiotik harus mempertimbangkan untung ruginya (Shulman dkk., 1994). Oleh karena itu, kecenderungan dalam meresepkan antibiotik perlu diperhatikan sebagai salah satu bagian dari upaya penggunaan obat yang rasional (Widyakusuma, 2010). 7. Injeksi Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi dilakukan dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda (Anief, 2000). Berdasarkan indikator peresepan WHO (Anonim, 1993 a ), jumlah pemakaian injeksi di unit-unit pelayanan kesehatan berasal dari pasien rawat inap karena obat dengan sediaan injeksi hanya dapat diberikan kepada penderita di rumah sakit atau di tempat praktik dokter, oleh dokter atau perawat yang

16 kompeten. Sehingga sudah seharusnya jika tidak ada sediaan injeksi yang diresepkan untuk pasien rawat jalan. 8. Profil RSUD Ungaran RSUD Ungaran adalah Rumah Sakit Umum Daerah milik Pemerintah Kabupaten Semarang yang beralamat di Jalan Diponegoro No. 125 Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Rumah Sakit yang dikepalai oleh dr. Setya Pinardi, M.Kes., dan didirikan berdasarkan SK Menkes No. 51/Menkes/SK/II/79, SK Menkes RI : No. 1152/Menkes/SK/XIII/1993 dan ditetapkan sebagai rumah sakit tipe C dengan status akreditasi 12 Pokja Maret 2010. RSUD Ungaran berdiri di atas tanah dengan luas 6.130 m², dan luas bangunan 8.204 m², yang memiliki kapasitas 172TT + 4TT ICU. RSUD Ungaran memiliki visi menjadi pilihan utama masyarakat dalam memperoleh pelayanan rumah sakit, dan memiliki misi sebagai berikut : 1. Mewujudkan pelayanan prima. 2. Mewujudkan pelayanan rumah sakit yang komprehensif dan terjangkau serta berdaya saing. 3. Mewujudkan budaya kerja yang berlandaskan pengabdian, keikhlasan, disiplin serta profesionalisme. 4. Mewujudkan pelayanan yang bermutu dengan meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan atau kedokteran. Sedangkan tujuan RSUD Ungaran adalah :

17 1. Terwujudnya rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan medis bermutu dengan fasilitas yang memadai, memiliki sumber daya manusia yang profesional dengan biaya yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. 2. Terwujudnya kerja sama yang baik dan harmonis serta meningkatkan kesejahteraan seluruh staf dan karyawan. F. Kerangka Konsep Penelitian Resep yang masuk Instalasi farmasi Rawat Jalan RSUD Ungaran Peresepan untuk Pasien JKN Observasi peresepan obat pada pasien rawat jalan di RSUD Ungaran periode Januari Juni 2014 Indikator peresepan WHO Formularium Nasional Analisis data Sesuai standar Tidak sesuai standar Gambar 1. Kerangka konsep penelitian di RSUD Ungaran G. Keterangan Empiris Penelitian dilakukan untuk analisis penggunaan obat pada pasien rawat jalan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Ungaran Kab.Semarang pada periode Januari - Juni 2014 sesuai dengan standar acuan indikator peresepan

18 WHO (1993), meliputi rata-rata jumlah obat per resep untuk pasien rawat jalan, persentase peresepan obat dengan nama generik, persentase peresepan obat dengan antibiotik, persentase peresepan obat dengan injeksi, dan persentase peresepan yang sesuai dengan formularium.