Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

MAKALAH UU ITE DI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN, PERTANGGUNG JAWABAN PERS, PENCEMARAN NAMA BAIK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK [LN 2008/58, TLN 4843]

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha


KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

Muatan yang melanggar kesusilaan

No. Aturan Bunyi Pasal Catatan 1. Pasal 156 KUHPidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

SURAT EDARAN Nomor: SE/ 06 / X /2015. tentang PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 84/PUU-IX/2011 Tentang Ketentuan Pidana Bagi Akuntan Publik

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 2/PUU-XVI/2018 Pembubaran Ormas

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

TINJAUAN PUSTAKA. Kebebasan berekspresi telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK. Oleh: Muchamad Ali Safa at

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015

Balikpapan, 19 Agustus

I. PENDAHULUAN. dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis,

Keamanan Sistem Informasi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA WEBSITE PORNO RAFIKA DURI / D

Bab 2 Etika, Privasi

PENUNJUK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet yang dapat

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014

Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 52/PUU-XI/2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCURIAN DANA NASABAH BANK MELALUI MODUS PENGGANDAAN KARTU ATM (SKIMMER) DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 363 AYAT (5) KITAB UNDANG-

Makalah Kejahatan E-Commerce "Kasus Penipuan Online" Nama : Indra Gunawan BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK 1 Oleh: Deisi A. Bawekes 2

JURNAL ILMIAH TINJAUAN TENTANG CYBER CRIME YANG DIATUR DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 49/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

Ringkasan Putusan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 46/PUU-XIV/2016 Perbuatan Perzinaan, Perkosaan, dan Pencabulan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DATA ELEKTRONIK

Ancaman UU ITE terhadap Pengguna Media Sosial

PUSAT TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN (PUSTEKKOM KEMENDIKBUD)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 46/PUU-XIV/2016 Perbuatan Perzinaan, Perkosaan, dan Pencabulan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pembahasan penelitian pada bab sebelumnya, diperoleh. kesimpulan penting sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

I. PENDAHULUAN. kebosanan, serta dapat berfungsi juga sebagai media menyuarakan aspirasi,

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR:SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG - UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE

POIN PENTING DALAM UU ITE

UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN [LN 1992/33, TLN 3474]

Hal: Kesimpulan Para Pemohon terhadap Perkara No 2/PUU- VII/2009

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

PERKEMBANGAN RUMUSAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN KARYA JURNALISTIK DALAM RUU KUHP. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran

BAB II KEJAHATAN PEMBOBOLAN WEBSITE SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

Transkripsi:

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka dengan ini, Saya memberikan keterangan lebih lengkap dan secara tertulis. Berikut uraiannya: 1. Bahwa kehormatan dan nama baik seseorang merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi negara dengan peraturan yang berlaku. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Meskipun demikian, peraturan yang berlaku sepatutnya bersifat adil, tidak multitafsir, tidak tumpang tindih, dan menimbulkan kepastian hukum. 2. Pasal 27 ayat (3) UU ITE seperti pedang bermata dua. Selain dimaksudkan melindungi kehormatan dan nama baik orang, pasal tersebut dapat pula memenjarakan orang yang tidak bersalah, dapat menimbulkan diskriminasi, ketakutan, dan ketidakadilan bagi pengguna Teknologi Informasi. Padahal saat ini, Pemerintah lewat Depkominfo gencar mendorong masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan Teknologi Informasi, sementara Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE justru menimbulkan ketakutan dengan ancaman pidana penjara dan/atau denda yang sangat berat, yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 3. Untuk selengkapnya, pembahasan tentang kelemahan Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan diuraikan sebagai berikut: a. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak memuat pengaturan yang baru atau lebih khusus/teknis menyangkut aspek teknologi terkait dengan penyaluran informasi bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Substansi yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sudah tertuang dalam 1

KUHP. Hal ini menimbulkan peraturan yang ganda, yang dapat dipilih secara subjektif sehingga memungkinkan terjadi diskriminasi. Aparat penegak hukum dapat saja menggunakan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE dengan sanksi pidana yang berat, atau menggunakan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP dengan sanksi pidana yang lebih ringan. b. Seseorang yang menyalurkan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat saja dijerat dengan pasalpasal penghinaan dalam KUHP, karena informasi elektronik telah diakui sebagai alat bukti hukum yang sah. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menegaskan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian, sepatutnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE dibatalkan, karena selain substansi muatannya sudah tertuang dalam KUHP, juga Pasal 5 ayat (1) UU ITE memberi kekuatan hukum bagi penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam berbagai peraturan yang ada seperti KUHP. c. Rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat kabur dan sempit. Bersifat kabur karena dalam Pasal 27 ayat (3) tidak ditemukan perbuatan apa yang diklasifikasikan sebagai penghinaan. Bersifat sempit karena tidak memuat penggolongan penghinaan. Dengan demikian, penerapan pasal 27 ayat (3) UU ITE akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Meskipun demikian, pengertian dan penggolongan penghinaan dapat saja menunjuk pada ketentuan Bab XVI buku II KUHP tentang penghinaan, bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dapat digolongkan atas: pencemaran, pencemaran tertulis, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, dan persangkaan palsu. d. Celakanya, jika kita menggunakan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE dan menunjuk/merujuk pada KUHP untuk penggolongan penghinaan, maka akan menimbulkan kebingungan tentang berapa batas maksimum sanksi pidana penjara atau denda untuk tiap golongan 2

penghinaan (pencemaran, pencemaran tertulis, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, dan persangkaan palsu) menurut UU ITE? Jelas tidak ada jawaban, karena UU ITE sendiri tidak memuat penggolongan penghinaan. Yang dapat terjadi adalah kemungkinan aparat penegak hukum menentukan atau mengestimasi sendiri batas maksimum sanksi pidana penjara dan/atau denda untuk tiap golongan penghinaan, tentunya tidak melampaui batas maksimum sanksi pidana dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Jika hal ini terjadi, merupakan pertanda buruk bagi penerapan hukum di Indonesia yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya, batas maksimum sanksi pidana penjara atau denda diatur dalam suatu peraturan, bukan ditentukan secara subjektif oleh aparat penegak hukum. Akar masalahnya terletak pada rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang tidak konsisten dengan KUHP, seharusnya dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE diuraikan pula penggolongan penghinaan disertai batas maksimum sanksi pidana penjara atau denda. e. Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak ditemukan pengertian mendistribusikan, mentransmisikan, sementara istilah tersebut bersifat teknis dan tidak baku, sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Dalam Pasal 1 UU ITE mengenai ketentuan umum, tidak ditemukan satu pun kata mendistribusikan, mentransmisikan, justru yang ditemukan kata menyebarkan. Apalagi, istilah mendistribusikan, mentransmisikan tidak digunakan secara konsisten ke dalam pasal-pasal tentang Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE. Contoh, Pasal 28 ayat (2) UU ITE justru menggunakan istilah menyebarkan, hal ini akan menimbulkan ambiguitas dan kerumitan penafsiran. Multitafsir dan ambiguitas mengakibatkan ketidakpastian hukum i. Pasal 27 ayat (3) UU ITE Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi 3

elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ii. Pasal 28 ayat (2) UU ITE Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). f. Multitafsir yang timbul dari istilah mendistribusikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat mengakibatkan penerapan hukum yang tidak adil ditinjau dari pemberian sanksi pidana penjara dan/atau denda. Misalnya, perbedaan penafsiran mengenai Apakah kata mendistribusikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyangkut offline atau offline & online? Contoh kasus: Seseorang menyebarkan video dalam compact disk yang memuat penghinaan terhadap seorang pejabat. Video tersebut digandakan menggunakan komputer dan disebarkan secara offline (berpindah tangan) kepada sebagian masyarakat. Tafsiran 1 : Kata mendistribusikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mencakup penyaluran informasi elektronik secara offline (manual) & online maka kasus tersebut menggunakan UU ITE. Bila terbukti memenuhi unsur Pasal 27 ayat (3) maka dikenakan sanksi pidana menurut UU ITE (sanksi pidana maksimum lebih berat) Tafsiran 2 : Kata mendistribusikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mencakup penyaluran informasi elektronik secara online maka kasus tersebut tidak dapat menggunakan UU ITE, berarti menggunakan KUHP. Bila terbukti memenuhi unsur pasal-pasal penghinaan maka dikenakan sanksi pidana menurut KUHP (sanksi pidana maksimum lebih ringan) g. Frasa membuat dapat diaksesnya dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan frasa yang tidak tepat, dengan penjelasan sebagai berikut: 4

i. Frasa membuat dapat diaksesnya dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan pengertian akses dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE. Pertentangan ini menimbulkan ambiguitas yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE, frasa membuat dapat diaksesnya menunjuk pada pengaksesan informasi elektronik. Sementara, akses dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE menunjuk pada pengaksesan sistem elektronik. Berikut kutipan Pasal 1 angka 15 UU ITE: Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan. Dalam pengetahuan tentang Teknologi Informasi, pengertian yang benar tentang akses seperti dinyatakan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE yaitu mengakses sistem elektronik. Dengan demikian, frasa membuat dapat diaksesnya dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas salah/keliru. ii. Frasa membuat dapat diaksesnya memiliki maksud memberi kemampuan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik. Bila menggunakan contoh : sistem elektronik berupa website, maka frasa membuat dapat diaksesnya berarti menyiarkan, menunjukkan informasi elektronik tentang letak/alamat/nama domain dari suatu website. Pengertian tersebut bertentangan dengan Pasal 310 ayat (2) KUHP. Berikut penjelasannya: Pasal 310 ayat (2) KUHP: Pencemaran secara tertulis dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum. Berarti: Yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan adalah tulisan yang menghina atau mencemarkan nama baik orang, bukan yang disiarkan atau ditunjukkan letak/lokasi tulisan itu. Sementara, Pasal 27 ayat (3) UU ITE, melalui frasa membuat dapat diaksesnya menunjukkan bahwa Yang disiarkan, 5

iii. ditunjukkan adalah lokasi/letak keberadaan tulisan yang menghina atau mencemarkan nama baik orang Dari kedua point di atas, jelas menunjukkan bahwa Pasal 310 ayat (2) KUHP menunjuk pada tulisan bertentangan dengan maksud Pasal 27 ayat (3) menunjuk pada letak/lokasi/alamat dari tulisan. Pertentangan ini menimbulkan ambiguitas yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Seharusnya, peraturan di luar KUHP konsisten dengan prinsipprinsip dalam KUHP. Membuat link (taut) dari suatu website ke website yang lain merupakan perbuatan membuat dapat diakses website yang ditautkan. Celakanya, dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, seseorang yang tidak bersalah dapat dipidana penjara atau denda, karena orang tersebut tidak mampu membuktikan ketidaksengajaan dalam membuat dapat diakses website yang memuat informasi penghinaan. Penjelasannya sebagai berikut: Bahwa informasi dalam suatu website bersifat dinamis, artinya dapat diubah setiap saat oleh pemilik website sebagai pengendali, bukan orang yang membuat link (taut) ke website tersebut. Membuat Link (taut) ke suatu website merupakan kebiasaan (tradisi) dalam penyaluran informasi di dunia maya. Kegiatan ini pula yang membantu penyebaran ilmu pengetahuan secara cepat dan dalam jangkauan yang luas. Sayangnya, orang yang membuat link (taut) ke suatu website bukan sebagai pengendali website yang di-tautkan. Pengendalinya berada pada pemilik website, yang kadangkadang tanpa kejelasan identitas pemilik atau menggunakan identitas samaran. Contoh kasus : Si Nona memiliki website bernama Nona.com dan didalamnya terdapat link (taut) ke website abcde.com (tanpa kejelasan identitas pemilik). 6

Website Nona.com Website abcde.com Nona Link : abcde.com Pemerintah sangat mendorong program belajar IT di sekolah dasar Pada waktu berikut, pemilik abcde.com mengubah informasi dalam website itu menjadi informasi penghinaan Website Nona.com Website abcde.com Nona Link : abcde.com (Informasi menjadi bermuatan penghinaan & caci maki) Si Nona jelas tidak mampu membuktikan bahwa dia tidak sengaja membuat dapat diaksesnya informasi bermuatan penghinaan dalam website abcde.com, karena perubahan informasi dalam website abcde.com tidak berada dalam kontrol atau kendali si Nona. Dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, si Nona (yang sebenarnya tidak bersalah) dapat dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) UU 7

ITE (pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah) sementara si pemilik website abcde.com tidak dapat dijerat karena mungkin kesulitan melacak keberadaan si pelaku. Dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan banyak pengguna Teknologi Informasi khususnya pengguna internet terancam untuk dipidanakan, sehingga menimbulkan rasa tidak aman, ketakutan untuk berbuat sesuatu dalam menyalurkan informasi sebagai hak asasi. 4. Kesimpulan Akhir : a. Pasal 27 ayat (3) UU ITE menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, diskriminasi, ketakutan, rasa tidak aman dalam menyalurkan informasi sebagai hak asasi. b. Muatan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 F, Pasal 28 G ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (2). c. Pasal-pasal penghinaan dalam KUHP dapat digunakan untuk menjerat pelaku penyebaran informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, karena Pasal 5 ayat (1) UU ITE sudah menyatakan bahwa informasi elektronik menjadi alat bukti hukum yang sah. d. Pasal 27 ayat (3) UU ITE seharusnya dibatalkan karena mengandung banyak kelemahan dan menimbulkan terjadinya peraturan yang ganda dimana substansi yang dimaksudkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sudah tertuang dalam pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Demikian keterangan yang sebenarnya sesuai keahlian saya. Makassar, 19 Maret 2009 8

Ronny, M.Kom, M.H 9