2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

Gambar 3.1. Disain Penelitian

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatkan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

Keywords: kemampuan inkuiri, guru yang tersertifikasi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erie Syaadah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

PENGARUH LEVELS OF INQUIRY-INTERACTIVE DEMONSTRATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS X

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam

JURUSAN PENDIDIKAN IPA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. Guru sains adalah salah satu komponen penting dalam meningkatkan mutu

BAB I PENDAHULUAN. pergantian zaman, pendidikan juga mengalami perkembangan, yaitu. menyesuaikan dengan keadaan yang sedang berlangsung.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II PEMBELAJARAN INQUIRY DAN SCIENTIFIC INQUIRY LITERACY. atau pengetahuan. Secara alami, sebenarnya manusia telah sering melakukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI DITINJAU DARI ASPEK-ASPEK LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran IPA terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum 2013 dimana pembelajaran ini dikemas

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) juga. persaingan global yang dihadapi oleh setiap negara, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya teknologi sekarang ini telah memberikan dampak positif dalam

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Matematika telah

BAB I PENDAHULUAN. Pusat kajian statistik pendidikan Amerika (National Center for Educational

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. sangat banyak. Tuntutan tersebut diantaranya adalah anak membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN IPA TERPAD U TIPE INTEGRATED TERHAD AP PENGUASAAN KONSEP D AN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP PAD A TOPIK TEKANAN

PENGARUH METODE INKUIRI TERBIMBING PADA PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA DALAM PRAKTIKUM ANIMALIA

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan institusi

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

2015 PENGARUH PENGGUNAAN METODE PROBLEM SOLVING DENGAN TEKNIK MEANS-END ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hayyah Fauziah, 2013

Oleh : Adi Saputra, M.Pd Pendahuluan

PEMBELAJARAN IPA SMP MENURUT KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat pendidikan merupakan salah satu cara mencerdaskan, membudayakan, dan

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

Standards for Science Teacher Preparation

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.41 Tahun 2007

I. PENDAHULUAN. mudah dihadirkan di ruang kelas. Dalam konteks pendidikan di sekolah,

Vol. 1 No. 1 Th. Jan-Des 2016 ISSN:

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU (IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013)

KAJIAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU IPA DI SMP KOTA SEMARANG 1. Abstrak

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI SAINS DAN SIKAP CALON GURU NON IPA TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERANGKA SAINS SEBAGAI PENDIDIKAN UMUM

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fatia Indrianti,2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

IMPLEMENTASI BAHAN AJAR IPA BERBASIS INKUIRI DALAM DIKLAT INKUIRI BERJENJANG

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan metode dan kerja ilmiah (Rustaman, dkk., 2003).

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada awalnya, kemampuan dasar yang dikembangkan untuk anak didik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

KETERAMPILAN-KETERAMPILAN MENGAJAR

BAB I PENDAHULUAN. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab mewariskan nilai-nilai dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan seseorang menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari IPA tidak terbatas pada pemahaman konsep-konsep IPA, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu untuk. mengembangkan potensi diri dan sebagai katalisator bagi terjadinya

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abad 21 merupakan abad kompetitif di berbagai bidang yang menuntut kemampuan dan keterampilan baru yang berbeda. Perubahan keterampilan pada abad 21 memerlukan perhatian yang serius dalam pembelajaran, sistem penilaian dan pengembangan kurikulum (Rotherham, 2009, hlm 2). Beberapa keterampilan yang diperlukan dan dikembangkan di abad 21 dirancang dalam kerjasama dengan National Science Teacher Association (NSTA), yaitu antara lain: learning and innovation meliputi creativity and innovation, critical thinking and problem solving, communication, dan collaboration. Dalam konteks pendidikan IPA, keterampilan abad 21 menawarkan beberapa cara baru dari kerangka yang dianggap sebagai pendekatan dalam pembelajaran IPA dan beberapa ide baru untuk memperkaya penyelidikan siswa dengan model belajar lintas-disiplin. Demikian juga sebaliknya, IPA dengan karakteristiknya yang kaya akan pemikiran kritis dan kreatif, teknologi terapan, dan kerja kolaborasi dengan standar yang tinggi untuk komunikasi dan tanggung jawab pribadi, berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan keterampilan pada abad 21 di semua bidang disiplin (Windschitl, 2009, hlm. 23). Dalam peta keterampilan abad 21 dijelaskan bahwa keterkaitan antara abad 21 dan keterampilan berakar dalam hal penyelidikan (inquiry), pengetahuan proses, desain eksperimen, dan elemen kebiasaan berpikir ilmiah, seperti yang disebutkan dalam Project American Association for the Advancement of Science 2061 Benchmarks for Science Literacy, the Atlas of Science Literacy, dan the National Science Education Standards, serta ekstrapolasi dari praktek penelitian ilmiah sebagaimana mereka berubah di Abad ke-21. Ciri IPA terletak pada metode khusus yang digunakan saintis untuk mempelajari dunia. IPA dimaksudkan untuk memahami, menjelaskan, dan memprediksi dunia di tempat kita hidup (Poedjiadi, 2001). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa karakter lain yang penting dalam IPA adalah konstruksi teori. Saintis

2 tidak hanya mengumpulkan data hasil percobaan, melainkan ingin menjelaskannya dalam bentuk teori umum. Satu dari problem kunci dalam filsafat IPA adalah untuk memahami bagaimana teknik seperti eksperimen, observasi, dan konstruksi teori telah menjadikan saintis mampu mengatasi/memahami demikian banyak rahasia alam. Tugas utama dari filsafat IPA adalah menganalisis metode inkuiri yang digunakan dalam pembelajaran IPA. Untuk menjawab tantangan zaman, National Science Teacher Association (NSTA, 2011) menyatakan bahwa guru IPA SMP di Amerika Serikat harus memiliki delapan puluh persen dari kompetensi yang ada. Guru harus mempunyai penekanan yang kuat pada penyelidikan kolaboratif di laboratorium dan lapangan, melibatkan siswa secara efektif dalam melaksanakan kegiatan nyata yang akan mengarah pada pengembangan konsep yang diinginkan melalui penyelidikan dan analisis pengalaman, membantu siswa memahami mengapa IPA penting bagi mereka. Di Amerika Serikat, kompetensi pedagogi menjadi bagian penting dalam pembelajaran karena cara yang disampaikan oleh guru akan mempengaruhi apa yang siswa pelajari (NRC, 1996, hlm. 28). Guru IPA juga harus siap untuk membimbing siswa memahami di setiap wilayah konten IPA yang terjalin dalam perspektif interdisipliner. Mereka harus mampu membimbing siswa untuk memahami perbedaan antara ilmu pengetahuan, penyelidikan, dan teknologi sebagai disain, serta dampak ilmu pengetahuan dan teknologi pada diri mereka sendiri, komunitas serta kesehatan masyarakat dan cara melakukan observasi, eksperimen, pengumpulan data, dan inferensi untuk menguji ide dan membangun konsep ilmiah (NSTA, 2011). Di Indonesia, guru IPA SMP dituntut untuk memiliki kualifikasi dan kompetensi yang standar, sebagaimana disebutkan di dalam Permendiknas No 16/2007 di antaranya kompetensi pedagogi, guru mampu menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. Selanjutnya dijelaskan di dalam Permendikbud Nomor 103/2014 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah. Kenyataan menunjukkan pada umumnya guru IPA tidak cukup memiliki pemahaman tentang hakikat IPA (Rustaman, 2010). IPA harusnya dibelajarkan untuk mendidik individu yang mampu membuat pertimbangan tentang

3 pengetahuan yang dihasilkan dan cara lain untuk mengetahuinya (proses), sikap serta nilai yang dihasilkan dari suatu produk IPA. Guru IPA SMP belum memiliki kompetensi pedagogi inkuiri seperti yang dipersyaratkan oleh peraturan. Kondisi ini didukung oleh hasil studi pendahuluan (Susilawati, dkk. 2014a) yang menunjukkan dari 47 orang guru IPA SMP, 51,1% memiliki pemahaman pengetahuan tentang konsep inkuiri pada kategori rendah dan 61,7% memiliki kemampuan mengajar IPA berbasis inkuiri yang rendah. Data hasil kajian awal yang diambil pada tahun 2013, dari 115 orang guru IPA SMP, 70.45% dari mereka masih membutuhkan peningkatan kompetensi dalam hal pemahaman konsep inkuiri, begitu juga dalam hal membuat perangkat pembelajaran serta keterampilan mengajarkannya terkait beberapa aspek kemampuan inkuiri. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP di Indonesia. National Research Council (1996, hlm. 57) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi pedagogi yang terstandar, dapat diperoleh melalui pengembangan diri secara berkelanjutan dan sepanjang hayat. Pengembangan diri dapat diperoleh diantaranya melalui pendidikan dan latihan. Jadi, kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP dapat ditingkatkan melalui pengembangan profesional berkelanjutan dalam bentuk pendidikan dan latihan (Diklat) inkuiri. Diklat yang dirancang dengan perbandingan aspek teori dan jam praktik sesuai dengan kebutuhan dijelaskan pada struktur program. Pada umumnya Diklat inkuiri dilaksanakan secara terpisah-pisah, terdiri atas lokakarya yang pendek dan tidak ada hubungannya baik antara satu sama lain maupun dengan pekerjaan guru di kelas (NRC, 2000, hlm. 112). Pelaksanaan Diklat inkuiri dalam waktu yang singkat tidak mengubah praktik guru di dalam kelas dan program Diklat dianggap tidak efektif (Bush, 1984; Yoon, dkk. 2007; Darling-Hamond, dkk. 2009). Padahal sebaiknya pengembangan profesional dalam pendidikan IPA dilakukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu singkat dan berkelanjutan, disesuaikan dengan konteks, dan melibatkan peserta merefleksikan praktek mereka serta bekerja secara kolegial dengan pendidik lainnya sehingga pengembangan profesional menjadi lebih efektif (NRC, 2000; Garet, 2001; Loucks-Horsley, 2003; Gulamhussein, 2013). Efektivitas merupakan

4 hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan (Mahmudi, 2005, hlm 92). Wenning (2005) menekankan bahwa kegiatan pengembangan professional guru tentang inkuiri haruslah mempunyai karakteristik khusus untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kenyataan. Kegiatan harus termasuk menempatkan guru dalam peranannya sebagai pengajar dan pebelajar. Keadaan ini harus didukung oleh ketersediaan pelatihan, pendampingan yang terus menerus dari lembaga penyedia pelatihan. Peningkatan pemecahan masalah dalam pelatihan guru harus dikaji dari akar permasalahan yang akan mempengaruhi filosofi berpikir guru. Oleh karena itu, Wenning menekankan bahwa untuk mempengaruhi outcome guru sebagai peserta pelatihan, lembaga penyedia pelatihan perlu memberikan perhatian yang tinggi terhadap filosofi gurunya. Terdapat beberapa penelitian tentang pengembangan profesional guru khususnya pengembangan model Diklat inkuiri, seperti penelitian Smith & Enfield (2002) menemukan pola pelatihan inkuiri untuk remaja yang berperan sebagai guru mentor siswa SD dengan menggunakan "Step-Up" Incremental Training Model. Model ini meliputi tiga kali lokakarya secara berturut-turut yang diselingi dengan implementasi pembelajaran. Pemodelan yang efektif, praktik, refleksi dan review menjadi metode utama pada setiap tahapnya. Model pelatihan dapat meningkatkan kemampuan mengamati, menjelaskan objek, dan keterampilan bertanya. Smith & Enfield menganggap model ini efektif bagi remaja yang berperan sebagai guru mentor dalam kegiatan pembelajaran IPA berbasis inkuiri, akan tetapi model ini belum dilakukan kepada guru yang sesungguhnya, guru yang mempunyai tugas mengajar langsung di kelas dan guru sebagai orang dewasa yang memiliki karakteristik khusus dalam belajar, sehingga efektivitasnya masih dipertanyakan. Shedletzky (2005) mengembangkan model Diklat inkuiri menggunakan program Biomind yang dilaksanakan selama empat bulan kepada guru SMA. Guru diminta menerapkan pembelajaran dengan inkuiri terbuka dengan cara memberikan pertanyaan yang berhubungan secara logika, menulis proposal, dan

5 melakukan percobaan. Kesulitan yang dihadapi guru kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membuat disain model dan melaksanakan lokakarya. Hasilnya didapatkan model pelatihan guru dalam jabatan untuk meningkatkan pengajaran inkuiri terbuka dengan tiga tahap yaitu tahap praktik, tahap refleksi, dan tahap pengembangan profesional. Model pelatihan mengindikasikan bahwa lokakarya dapat meningkatkan baik pemahaman pentingnya proses pembelajaran inkuiri terbuka maupun pengetahuan pedagogi dalam mengajar inkuiri terbuka. Akan tetapi karena model pelatihan inkuiri guru ini hanya melatih pengajaran inkuiri terbuka saja, maka dianggap masih kurang memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri yang seharusnya dimiliki guru secara lebih luas. Wenning (2010) menemukan pendekatan inkuiri bertingkat dengan aspek kemampuan inkuiri yang lebih lengkap dan sesuai dengan kemampuan pedagogis dasar. Aspek kemampuan inkuiri yang dikembangkan dalam model inkuiri Wenning dijelaskan dalam enam level yaitu Discovery Learning (DL), Interactive Demonstration (ID), Inquiry Lesson (I Les), Inquiry Laboratory (I Lab), Real World Application (RWA), dan Hypothetical Inquiry (HI). Wenning mengimplementasikan kemampuan inkuiri pada enam level dalam pembelajaran Fisika di SMA, hasilnya dapat memberikan kerangka kerja pengajaran yang membantu meyakinkan bahwa siswa berkembang dalam hal intelektual maupun keterampilan proses sains. Menurut Wenning (2010), penggunaan urutan spektrum pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep selain mengembangkan pemahaman siswa tentang inkuiri ilmiah dan hakikat sains. Namun demikian, keberhasilan yang diungkapkan oleh Wenning merupakan contoh aplikasi model inkuiri yang diberikan khusus bagi guru Fisika SMA, sehingga hasilnya masih dipertanyakan apabila model ini digunakan dalam pelatihan guru IPA SMP yang mengajarkan materi bukan hanya Fisika tetapi juga Biologi dan Kimia. Untuk mendapatkan data yang akurat diperlukan penelitian yang tepat. Merujuk pada beberapa penelitian yang telah diuraikan, terlihat bahwa penelitian tentang pengembangan model Diklat inkuiri untuk guru telah dilakukan

6 sebelumnya. Jadi, isu besarnya bukan terletak pada tidak adanya program pengembangan professional khususnya Diklat inkuiri, namun ada beberapa hal yang belum dilakukan dan memerlukan perhatian khusus sehingga perlu diadakan penelitian. Penelitian ini mencoba menerapkan keberhasilan yang sudah diraih oleh Wenning (2010, 2011) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru secara lengkap. Perbedaannya pada penelitian ini bahwa pembelajaran inkuiri diterapkan kepada guru IPA SMP yang mengajar Fisika, Biologi, dan Kimia. Pelatihan menggunakan urutan spektrum pembelajaran yang akan menandai peningkatan level. Penggunaan inkuiri akan bermakna apabila diperlakukan sebagai kemampuan kerja ilmiah, diterapkan dan diukur selama proses pembelajaran, dan sebagai perolehan pembelajaran (Rustaman, 2005). Banyaknya aspek kemampuan inkuiri pada enam level yang dikembangkan Wenning, akan sulit bila diberikan secara sekaligus kepada guru pada satu kali pelaksanaan Diklat. Dengan demikian, aspek kemampuan inkuiri pada beberapa level yang berbeda harus diberikan secara bertahap dalam bentuk Diklat berjenjang disesuaikan dengan tujuan pedagogis dasarnya. Untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang utuh tentang pembelajaran inkuiri melalui Diklat berjenjang, guru yang mengikuti Diklat haruslah guru yang sama. Pada kenyataannya, pelatihan belum tentu diikuti oleh orang yang sama. Metode utama pada setiap tahapan mengadaptasi dari hasil penelitian Smith dan Enfield (2002) dengan modifikasi di beberapa bagian tertentu. Konten materi yang digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kompetensi pedagogi inkuiri khusus pada materi yang diajarkan di SMP kelas VIII. Pelatihan difokuskan pada peningkatan kompetensi pedagogi inkuiri guru tentang keterampilan penyusunan Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) IPA berbasis inkuiri dan keterampilan mengajar IPA berbasis inkuiri sebagaimana dipersyaratkan dalam standar kualifikasi dan kompetensi guru secara nasional. Berdasarkan uraian di atas, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah dikembangkannya model Diklat inkuiri yang dapat meningkatkan kompetensi

7 pedagogi inkuiri guru IPA SMP dengan karakteristik khusus (Inkuiri Berjenjang). Selain pelaksanaan di tempat Diklat, model Diklat juga dilengkapi dengan latihan implementasi di sekolah langsung. Model Diklat inkuiri berjenjang yang dikembangkan adalah bentuk pengembangan profesional guru yang merupakan modifikasi dari pola pelatihan yang sudah ada sebelumnya. Diharapkan model Diklat ini dapat dijadikan alternatif bagi guru untuk mengembangkan diri, karena pada dasarnya pengembangan professional menjadi usaha besar untuk meningkatkan kompetensi guru (Rotherham, 2009, hlm. 21). Pada akhirnya, pendidikan dan pelatihan bagi guru memainkan peranan penting dalam peningkatan mutu sekolah (Bradley, 1994. hlm. 236). 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian Terdapat beberapa masalah berkaitan dengan pengembangan profesional guru IPA khususnya dalam peningkatan kemampuan pedagogi inkuiri. Model Diklat inkuiri serta pelaksanaan pelatihan pedagogi inkuiri bagi guru IPA SMP selama ini dianggap masih kurang memadai dan belum sesuai dengan kebutuhan guru di lapangan. Permasalahan yang berhubungan dengan kepentingan perlunya dibuat model Diklat inkuiri untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA, dapat diidentifikasi sebagai berikut. 1. Kenyataan bahwa kemampuan inkuiri guru IPA SMP masih rendah dan memerlukan peningkatan, karena mengajar IPA dengan pendekatan inkuiri menjadi satu kebutuhan utama yang harus dikuasai guru. 2. Diklat inkuiri untuk guru umumnya dilaksanakan secara singkat, hanya dalam beberapa hari dan tidak dilengkapi dengan implementasi di sekolah, sehingga efektivitasnya kurang bisa dirasakan. 3. Belum ditemukan adanya model Diklat khusus kompetensi inkuiri untuk guru IPA SMP, yang dilaksanakan secara berjenjang dan dilengkapi dengan latihan implementasi di sekolah langsung. 4. Diperlukan model Diklat inkuiri yang memiliki karakteristik khusus dan dapat meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP.

8 1.3 Rumusan Masalah Penelitian Tuntutan perkembangan zaman mendorong guru untuk memiliki kompetensi yang memadai. Kompetensi pedagogi merupakan salah satu dari empat kompetensi yang harus dimiliki guru. Sebagai tenaga profesional guru dituntut mengembangkan kompetensinya secara terus menerus. Pengembangan kompetensi pedagogi inkuiri merupakan kebutuhan primer supaya guru dapat melaksanakan pembelajaran IPA sesuai dengan hakikatnya. Kenyataan menunjukkan bahwa model Diklat inkuiri yang ada belum sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, dianggap perlu untuk merancang sebuah model Diklat khusus pada peningkatan kemampuan inkuiri, yang mencakup program pengembangan profesional bagi guru yang efektif, efisien, dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan profesionalisme guru. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, guru paham dengan apa yang disampaikan selama Diklat dan dapat mengimplementasikannya di sekolah, model Diklat yang dikembangkan harus merupakan kegiatan pelatihan yang berjenjang yang tidak sekaligus jadi dan tidak dilaksanakan dalam waktu yang terlalu singkat. Diklat harus dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan enam level inkuiri yaitu Discovery Learning (DL), Interactive Demonstration (ID), Inquiry Lesson (I Les), Inquiry Laboratory (I Lab), Real World Application (RWA), dan Hypothetical Inquiry (HI) dan setiap level memiliki aspek kemampuan pedagogi dasar. Pelatihan memerlukan pola tertentu, diantaranya memerlukan adanya pemodelan, pendampingan dan refleksi. Pada implementasinya Diklat harus dilakukan di tempat Diklat dan di sekolah tempat guru mengajar sehingga guru mendapatkan pengalaman nyata mempraktikan hasil Diklat di sekolah. Sesuai dengan tujuan pengembangan model, untuk mengetahui efektivitas program, model Diklat dikaji dalam hal ada tidaknya peningkatan kompetensi pedagogi inkuiri guru yang meliputi kompetensi menyusun RPP IPA berbasis inkuiri dan keterampilan mengajar IPA berbasis inkuiri. Model Diklat juga dikaji dari faktor efektivitas, relevansi, manfaat, dan keterpakaian hasil Diklat di sekolah.

9 Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah model Diklat Inkuiri Berjenjang efektif dalam meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP?. Agar rumusan masalah lebih operasional, berikut diuraikan lebih rinci menjadi beberapa pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimana karakteristik model Diklat Inkuiri Berjenjang dalam meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP? 2. Bagaimana disain model Diklat Inkuiri Berjenjang yang dikembangkan dalam penelitian ini? 3. Bagaimana keterlaksanaan pembelajaran menggunakan model Diklat Inkuiri Berjenjang? 4. Apakah model Diklat Inkuiri Berjenjang yang dikembangkan efektif dalam meningkatkan kemampuan pedagogi inkuiri guru IPA SMP? 5. Bagaimana tanggapan peserta tentang relevansi, efektivitas, manfaat dan keterpakaian hasil Diklat dalam implementasi di sekolah? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji efektivitas model Diklat Inkuiri Berjenjang untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP. 1.5 Manfaat Hasil Penelitian Hasil akhir dari penelitian ini berupa model Diklat yang relevan, efektif, bermanfaat, dan dapat diimplementasikan oleh guru sebagai peserta Diklat di sekolahnya masing-masing. Oleh karena itu, manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Model Diklat Inkuiri Berjenjang bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP, baik dalam kompetensi menyusun RPP IPA berbasis inkuiri maupun keterampilan mengajar IPA dengan menggunakan inkuiri sesuai jenjangnya;

10 2. Model Diklat Inkuiri Berjenjang dapat memberikan sumbangan alternatif pengembangan model Diklat inkuiri, menambah model-model Diklat yang telah ada dalam pengembangan profesional guru; 3. Model Diklat Inkuiri Berjenjang dapat digunakan sebagai kerangka acuan bagi pengembangan Diklat di lembaga terkait, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 1.6 Penjelasan Istilah Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan yaitu sebagai berikut. 1. Model Diklat adalah kerangka konseptual yang mendeskripsikan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar. 2. Diklat berjenjang adalah Diklat yang dirancang secara berjenjang meliputi jenjang dasar dan jenjang lanjut dengan pola in-service learning dan on the job learning. Diklat dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru SMP. 3. Inkuiri Berjenjang dimaksudkan bahwa kemampuan inkuiri dilatihkan secara berjenjang. Pada jenjang dasar meliputi empat level inkuiri, sedangkan jenjang lanjut meliputi dua level inkuiri. Keterampilan inkuiri yang diberikan pada tiap jenjang berdasarkan level kemampuan dalam proses pembelajaran yang harus dicapai berdasarkan indikator kemampuan dan tujuan pedagogik dasar. 4. Kompetensi pedagogi inkuiri merupakan kemampuan inkuiri guru IPA SMP yang meliputi menyusun rencana persiapan pembelajaran inkuiri dan menyampaikan materi pelajaran selama proses pembelajaran. 5. Inkuiri digunakan sebagai pendekatan selama proses pembelajaran karena hasil yang diharapkan dari pelatihan adalah guru yang berinkuiri. 6. In service learning (ISL) adalah pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di tempat pelatihan. 7. On the job learning (OJL) adalah pelaksanaan implementasi hasil pelatihan yang dilakukan di sekolah tempat guru (sebagai peserta Diklat) mengajar.