BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang masih menjadi beban kesehatan di masyarakat global. Hipertensi diperkirakan menyumbang 4,5% dari beban penyakit global dan lazim ditemukan pada masyarakat negara maju maupun negara berkembang (Tee et al., 2010). Pada tahun 2000 dibeberapa negara Asia, tercatat 38,4 juta orang penderita hipertensi dan pada tahun 2025 diperkirakan akan meningkat menjadi 67,4 juta orang (Krishnan et al., 2013). Peningkatan tekanan darah atau hipertensi merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting pada kematian di seluruh dunia serta di wilayah asia tenggara (Krishnan et al., 2013). Prevalensi hipertensi menempati urutan tertinggi diantara kelompok penyakit tidak menular (PTM) yang terjadi di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur 18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30, 9 %), diikuti Kalimantan Selatan (30,8 %), Kalimantan timur (29,6 %) dan Jawa Barat (29,4 %) (Riskesdas, 2013). Hipertensi di Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit pada tahun 2010 dengan jumlah kasus sebesar 277.846 (Profil Kesehatan Indonesia, 2010). Hipertensi dikenal sebagai heterogeneouse group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur, sosial dan ekonomi.
Kecenderungan berubahnya gaya hidup akibat urbanisasi, modernisasi dan globalisasi memunculkan sejumlah faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kesakitan hipertensi (Depkes, 2006). Sampai saat ini banyak penelitian yang hanya memperhatikan faktor-faktor fisik dan biologis sebagai faktor risiko terjadinya hipertensi, sedangkan perhatian terhadap aspek psikologis seperti masalah emosi yang berhubungan dengan penyakit tersebut masih sedikit (Mushtaq dan Najam, 2014). Sebagian klinisi medis menyarankan agar seseorang tidak terlalu banyak berpikir tentang masalah-masalah dalam hidupnya. Hal ini dimaksudkan agar ada dukungan pencegahan dan penyembuhan dari diri sendiri melalui faktor psikologisnya (Antari, 2005). Menurut pandangan psikiatrik faktor-faktor psikologis dalam hal ini emosi marah turut berperan dalam kenaikan tekanan darah seseorang. Menurut Tel (2013) ada korelasi antara kemarahan yang ditekan dengan hipertensi dan Mushtaq dan Najam (2014) mengatakan bahwa pasien hipertensi memiliki tingkat kemarahan yang lebih tinggi. Penelitian telah menunjukan bahwa secara keseluruhan tingkat kemarahan serta respon yang berbeda dari kemarahan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan. Orang dengan ekspresi marah anger-out tinggi telah ditemukan berada pada peningkatan risiko untuk penyakit jantung koroner (PJK) dan peningkatan reaktifitas tekanan darah terhadap stres terutama untuk laki-laki. Perempuan lebih mungkin untuk menekan kemarahan dalam batin, ekspresi kemarahan ini menyebabkan tekanan sistolik lebih tinggi (Starner dan Peters, 2004).
Secara keseluruhan semakin intensif emosi marah seseorang maka semakin tinggi tekanan darah sistolik dan diastoliknya (Wilner, 2004). Sejumlah alasan yang dapat memunculkan kemarahan diantaranya adalah faktor biologis, faktor lingkungan, budaya, dan tipe kepribadian (Özyeşil, 2012). Alport dalam Olson dan Hergenhahn (2013) menyatakan seorang manusia bukan sekedar pereaksi pasif terhadap lingkungan. Sebaliknya, tingkah laku dan respon seorang individu dibangkitkan dari dalam oleh struktur kepribadiannya. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Özyeşil (2012) yang meneliti tentang pengaruh kepribadian terhadap sifat dan ekspresi marah pada siswa SMA, dari hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa semua dimensi kepribadian big five memprediksi sifat marah dan ekspresi marah yang berbeda-beda. Dari lima dimensi tersebut, kepribadian neurotik memiliki kecenderungan sifat marah yang lebih tinggi dan ekspresi marah yang buruk. Menurut Ghorbaniamir et al. (2010) dan Wijono (2006), kepribadian lain seperti tipe A memiliki korelasi dengan gangguan psikologis seperti gejala kecemasan dan stres. Temuan lainnya menunjukan bahwa kepribadian tipe A dapat memunculkan ketegangan, tekanan dan perasaan gelisah yang merupakan sumber stres karena interaksi yang tidak harmonis antara individu tipe A dengan lingkungan (Wijono, 2006). Kepribadian tipe A membangun standar tinggi untuk diri sendiri yang menyebabkan stress personal dan ekspresi permusuhan. Tipe A juga memiliki perilaku koping maladaptif seperti timbulnya gejala-gejala perasaan kelelahan (Tesiria, 2010).
Hipertensi bisa kambuh, karena secara keseluruhan hipertensi tidak dapat disembuhkan. Namun dengan penatalaksanaan yang tepat, hipertensi dapat dikontrol dengan cara mengurangi risiko kekambuhan ulang. Peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi dapat dicegah dengan menjaga faktor risiko yang dapat dimodifikasi termasuk masalah emosi. Pengaturan emosi secara tepat adalah komponen kesehatan yang penting (Dorr et al., 2007). Ketika marah, seseorang dapat mengekspresikan kemarahan ini secara langsung baik positif maupun negatif, secara positif seperti berfikir ulang sebelum bereaksi, secara negatif misalnya menyerang secara verbal dan fisik, berteriak dan menekan marah. Berbagai macam pola marah yang dipilih dapat berbeda menurut tipe kepribadian (Özyeşil, 2012). Laporan tahunan 2013 RSUD Panembahan Senopati Bantul menunjukan kunjungan penderita hipertensi yang berobat di poliklinik mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, jumlah pasien hipertensi di rawat jalan penyakit dalam adalah sebagai berikut: tahun 2009 sebanyak 10.748 orang, tahun 2010 sebanyak 13.379 orang, tahun 2011 sebanyak 14.876 orang, tahun 2012 sebanyak 19.643 orang, dan tahun 2013 sebanyak 22.591 orang. Rata-rata setiap tahunnya jumlah pasien hipertensi mengalami kenaikan. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, belum ada penelitian yang berkaitan dengan tipe kepribadian dan emosi marah pada pasien hipertensi sehingga peneliti tertarik untuk meneliti hubungan tipe kepribadian dengan emosi marah pada pasien hipertensi di RSUD Panembahan Senopati, Bantul.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas maka dapat dirumuskan dalam pernyataan Apakah ada hubungan antara tipe kepribadian dengan emosi marah pada pasien hipertensi di RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini meliputi: 1) Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian dengan emosi marah pada pasien hipertensi di RSUD Panembahan Senopati, Bantul. 2) Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran tipe kepribadian pasien hipertensi di RSUD Panembahan Senopati, Bantul. b. Mengetahui gambaran emosi marah pasien hipertensi di RSUD Panembahan Senopati, Bantul. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan para professional kesehatan khususnya perawat untuk menambah pengetahuan tentang hubungan tipe kepribadian dengan emosi marah pada pasien hipertensi 2. Manfaat praktis
a. Bagi Instansi Rumah Sakit Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pertimbangan dalam pelayanan kesehatan karena setiap individu memiliki pribadi yang berbeda sehingga respon terhadap penyakit dan pengobatan dapat berbeda. b. Bagi instansi pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada mahasiswa mengenai hubungan tipe kepribadian dengan emosi marah pada pasien hipertensi. c. Bagi tenaga kesehatan misalnya perawat, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas dengan pengkajian lebih kompleks khususnya terhadap faktor psikologis. Penilaian kepribadian dapat membantu perawat lebih memahami cara berinteraksi dengan pasien yang memiliki kepribadian tertentu dan dapat mempertimbangkan intervensi tambahan misalnya manajemen perilaku untuk mengendalikan emosi marah atau menurunkan stress pada pasien hipertensi. d. Bagi pasien hipertensi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan pada pasien hipertensi agar dapat mengetahui dan memahami tipe kepribadian diri masing-masing sehingga mampu mengontrol emosi marah, memahami faktor risiko yang dapat meningkatkan tekanan darah terutama masalah emosi.
E. Keaslian Penelitian 1. Özyeşil (2012) melakukan penelitian yang berjudul Five Factor Personality Traits as Predictor of Trait Anger and Anger Expression. Total sampel yang diteliti yaitu 580 siswa (313 perempuan dan 267 laki-laki). Hasilnya semua dimensi kepribadian big five meliputi neuroticism, extraversion, openness to experiences, agreeableness dan conscientiousness secara signifikan memprediksi sifat marah dan ekspresi marah (anger-in, anger-out and anger control) yang berbeda-beda. Persamaan dengan penelitian ini antara lain alat ukur yang digunakan untuk variabel kemarahan adalah STAXI dan menggunakan pendekatan cross sectional. Perbedaan terdapat pada sampel yang diambil adalah pasien hipertensi dan teori kepribadian yang digunakan adalah teori kepribadian tipe A menurut Friedman dan Rosenman. 2. Evadewi dan Sukmayanti (2013) meneliti tentang Kepatuhan Mengonsumsi Obat Pasien Hipertensi Di Denpasar Ditinjau Dari Kepribadian Tipe A Dan Tipe B. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode komparasi. Teknik sampling yang digunakan yaitu purposive random sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien hipertensi di Denpasar dengan jumlah 267 responden. Jumlah sampel dengan kepribadian tipe A adalah 135 dan kepribadian tipe B sebanyak 132. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kepatuhan mengonsumsi obat antara pasien hipertensi dengan kepribadian tipe A dan B (signifikansi p=0,001). Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kepatuhan mengonsumsi obat secara signifikan antara kepribadian tipe A dengan kepribadian tipe B pada pasien hipertensi di Denpasar. Jumlah total responden yang memiliki skor kepatuhan mengonsumsi obat yang buruk lebih banyak terdapat pada kelompok kepribadian tipe A yaitu 109 dan kelompok berkepribadian tipe B berjumlah 80 responden. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode penelitian dan variabel terikat, sedangkan persamaannya terletak pada subjek penelitian dan teori kepribadian yang digunakan. 3. Starner & Peters (2004) meneliti tentang Anger Expression and Blood Pressure in Adolescents. Persamaan dengan penelitian ini antara lain alat ukur yang digunakan adalah STAXI, menggunakan pendekatan cross sectional. Perbedaannya terdapat pada sampel yang diambil adalah pasien hipertensi, dan variabel penelitian. Sampel penelitian sejumlah 63 orang pada remaja akhir (18 tahun), menggunakan rancangan cross sectional. Hasilnya terdapat hubungan positif yang signifikan antara ekspresi marah dengan tekanan darah, dan terdapat hubungan negatif antara anger control dengan tekanan darah pada subjek perempuan.