BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB III. Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Didahului oleh pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi.

SUMBANGAN PEMIKIRAN UNTUK PENYUSUNAN: NASKAH AKADEMIK (ACADEMIC DRAFTING)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

BAB VII PERADILAN PAJAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

P U T U S A N No. 237 K/TUN/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Pelaksaan Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Debitur. yang berada ditangan tergugat meliputi :

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

KAJIAN NORMATIF EKSEKUSI ATAS PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk terlaksananya suatu putusan terdapat 2 (dua) upaya yang dapat ditempuh

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N No. : 264 K / AG / 2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

R I N G K A S A N. setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan Hakim berkewajiban membantu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA INSTRUKSI JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : INS-001/G/9/1994 TENTANG TATA LAKSANA PENEGAKAN HUKUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat

P U T U S A N NOMOR 00/Pdt.G/2013/PTA.BTN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat dan Tergugat itu belum juga berakhir. Karena salah satu pihak atau dua-duanya merasa tidak puas dengan putusan yang bersangkutan lalu menggunakan haknya dengan menempuh suatu sarana upaya hukum guna melawan putusan pengadilan tersebut. Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang dikalahkan untuk tidak menerima putusan pengadilan, yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak untuk mengajukan pemohonan peninjauan kembali dalam hal menuntut cara yang diatur dalam undang-undang. Upaya hukum terhadap putusan pengadilan ialah usaha untuk mencari keadilan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi dari pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut. 91 Upaya hukum yang tersedia dalam hukum acara Peratun adalah sebagai berikut : 92 1. Perlawanan putusan dismissal Prosedure dismissal yakni memutuskan apakah gugatan yang diajukan itu diterima atau tidak diterima. Suatu 91 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996, hlm 112 92 Martiman Prodjohamidjojo, loc.cit. 74

75 penanganan yang bersifat inquisitor belaka terhadap gugatan yang diajukan tidak ada proses antara pihak-pihak, tidak ada acara tukar menukar jawaban dan dokumen, serta tidak ada pembuktian. (Pasal 62) 2. Pemerikasaaan banding Upaya pemeriksaaan banding pada pengadilan tinggi tata usaha negara marupakan pemeriksaan ulang terhadap apa yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha tingkat pertama. Hal ini berarti bahwa pengadilan tinggi tata usaha negara akan memeriksa kembali, baik fakta maupun hukumnya serta amar putusan pengadilan tata usaha negara tingkat pertama, terlepas dari ada tidaknya memori banding. Terhadap putusan pengadilan tata usaha negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat, juga oleh pihak ketiga yang ikut serta dalam perkara, baik atas prakarsa sendiri ataupun atas pemohonan para pihak maupun atas prakarsa hakim kepada pengadilan tinggi tata usaha negara (Pasal 122). Pada pemeriksaan tingkatan banding itu para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan argumen-argumennya dalam bentuk memori banding mengenai hal-hal yang dianggapnya perlu yang menurutnya telah dilupakan oleh Hakim tingkat pertama. Dapat pula disitu diajukan bukti-bukti baru yang

76 belum pernah diajukan pada tingkat pertama atau membantah atau memperkuat pertimbangan putusan dari Hakim tingkat pertama. Pemerikasaan tingkat banding itu bersifat devolutif artinya seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan diulang oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Pengadilan Tinggi seperti duduk di tempat Hakim tingkat pertama. 3. Pemeriksaan kasasi Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,

77 dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung. Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 143 UU No 14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan. Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu dilakukan dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan surat tercatat oleh Panitera kepada penggugat atau tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah penggugat atau tergugat menerima surat tercatat yang dikirim

78 oleh Panitera yang isinya salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. 4. Perlawanan oleh pihak ketiga Pasal 118 mengatur pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksudkan dengan pihak ketiga disini ialah pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam proses perkara berdasarkan Pasal 83, yaitu mereka yang tidak intervensi. Pasal tersebut menciptakan suatu sarana perlindungan hukum yang memberi hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan.

79 5. Pemeriksaan Peninjauan Kembali Dalam sistem hukum acara peratun, di samping upaya hukum kasasi demi hukum yang diajukan Jaksa Agung, dikenal upaya hukum pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua upaya hukum ini dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa, sedangkan pemeriksaan banding dan kasasi termasuk upaya hukum biasa. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 132). Pada prinsipnya, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksaan putusan (Pasal; 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985). Permohonan peninjauan kembali dicabut sebelum diputus, maka permohonan itu tidak dapat diajukan lagi. B. Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara 1. Putusan PTUN Putusan adalah, inti, dan tujuan dari rangkai kegiatan proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak awal membebani para pihak yang merasa dirugikan. Hakim wajib memutus bagian dari

80 tuntutan tetapi hakim dilarang melebihi dari tuntutan atau hal-hal yang tidak dituntut. Ada tiga jenis putusan akhir menurut sifatnya : 93 a. Putusan bersifat pembebanan (condemnatoir) Putusan yang mengandung pembebanan b. Putusan yang bersifat pernyataan (declaratoir) Putusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. c. Putusan yang bersifat penciptaan (constitutief) Putusan yang melenyapkan suatu keadaan hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa tata usaha negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut. Dalam Pasal 97 ayat (2) diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa: a. Gugatan ditolak Putusan yang berupa gugatan yang ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau sah. 93 Ibid, hlm. 99.

81 b. Gugatan tidak diterima Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh Pengggugat. Diktum putusan ini sebenernya bersifat deklatoir, yang tidak membawa perubahan apa-apa dalam hubungan hukum yang ada antara penggugat dengan tergugat. c. Gugatan gugur Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusn yang dijatuhkan hakim karena penggugat tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil denagn patut atau penggugat telah meninggal dunia. d. Gugatan dikabulkan Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan Sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan tidak sah atau batal. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat dikualifikasi kepada 4 (empat) kategori, yaitu: 94 94 Irfan Fachruddin dalam Damar Bayukesumo, Kajian Normatif Eksekusi atas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, hlm, 21.

82 a. Putusan pokok Putusan pokok yaitu pernyataan batal atau tidak sah keputusan administrasi negara yang disengketakan (tuntutan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004) b. Putusan Tambahan Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan keputusan. Kewajiban tersebut berupa: 1) Pencabutan keputusan administrasi negra yang bersangkutan; 2) Pencabutan keputusan administrasi yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan baru; 3) Penerbitan keputusan dalam hal obyek keputusan fiktif negatif. c. Putusan Remidial Putusan remidial yaitu untuk memulihkan akibat yang telah dirimbulkan oleh keputusan pemerintah yang dinyatalan batal atau tidak sah, berupa ganti rugi dan rehabilitasi. d. Putusan Penguat Putusan Penguat yaitu sebagai alat pemaksa, supaya putusan yang bersifat condemnatoir dapat terlaksana, yaitu:

83 1) Kewajiban pembayaran sejumlah uang paksa; 2) Penjatuhan sanksi administratif; 3) Perintah mengumumkan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pada media massa cetak; 4) Mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan; 5) Mengajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam hal putusan Pasal 109 ayat (1) menyebutkan suatu keharusan bahwa putusan harus memuat : a. Kepala putusan yang berbunyi : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempaat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa; c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas; d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;

84 g. Hari, tanggal, putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak. 2. Pelaksanaan Putusan PTUN Pada pokoknya pelaksanaan putusan (executie) adalah cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat kekuasaan negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi substansi putusan dalam waktu yang ditentukan. 95 Dalam proses hukum acara TUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta dari suatu putusan akhir pengadilan. Hanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap adalah: 1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau dimintakan pemeriksaan banding lagi; 2. Putusan pengadilan tinggi yang sudah tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi; dan 3. Putusan MA dalam tingkat kasasi. Suatu putusan dapat dijalankan apabila putusan tersebut telah memperoleh dan berkekuatan hukum tetap. Penetapan hubungan 95 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita, 1984. hlm. 105.

85 hukum antara kedua belah pihak yang bersengketa itu sudah dapat ditarik kembali atau tidak bisa diubah lagi karena sudah tertutup upaya hukum sehingga putusan demikian mempunyai kekuatan eksekutorial. 96 Pelaksanaan putusan dalam hukum administrasi adalah penentu keberhasilan sistem kontrol peradilan terhadap sikap tindak pemerintah dan sistem perlindungan masyarakat terhadap tindak pemerintah. Bagaimana baiknya muatan putusan peradilan administrasi tidak akan banyak manfaatnya apabila pada akhirnya gagal dilaksanakan. Usaha pencari keadilan yang telah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya akan menjadi sia-sia tanpa manfaat. Memperhatikan batasan putusan peradilan, dihubungkan dengan batasan sengketa administrasi dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu sengketa administrasi atau Tata Usaha Negara (TUN) berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sengketa yang timbul dalam sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat disimpulkan bahwa putusan badan peradilan 96 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hlm. 107.

86 administrasi adalah pernyataan oleh hakim peradilan yang berwenang memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi antara orang atau badan hukum perdata dengan pemerintah, diucapkan pada sidang terbuka untuk umum. Dalam perkataan pelaksanaan atau eksekusi sudah mengandung arti paksaan. Putusan pengadilan dipaksakan kepada pihak yang dikalahkan, oleh karena pihak yang dikalahkan enggan mematuhi secara sukarela. Bahkan, dalam hukum acara perdata tersedia sarana-sarana penyanderaan dan penghukuman dengan denda paksa atau biasa disebut eksekusi riil. Berbeda dengan Peradilan Tata Usaha Negara, cara tersebut tidak mungkin untuk dijalankan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Apabila paksaan ini dimungkinkan harus diingat bahwa: 1. Harta benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat diletakan dalam sitaan eksekusi. 2. Memperoleh kuasa untuk melaksanakan sendiri atas beban pemerintah (pihak tereksekusi) akan merupakan hal yang bertentangan dengan asas legalitas yang mengatakan bahwa berbuat sesuatu atau memutuskan sesuatu berdasarkan hukum publik itu semata-mata hanya dapat dilakukan oleh Badan atau pejabat TUN yang diberi kewenangan atau berdasar ketentuan undang-undang.

87 3. Merampas kebebasan orang-orang yang sedang memangku jabatan pemerintahan sebagai sarana paksaan akan berakibat pantulan yang hebat terhadap jalannya pemerintahan. 4. Pemerintah itu selalu dianggap dapat dan mampu membayar (solvabel). 97 Bahkan menurut putusan Mahkamah Agung RI No. 136 K/TUN/2003 Tanggal 15 Oktober 2003, bahwa apabila hakim atau PERATUN menerapkan secara langsung upaya paksa seperti membebankan sanksi administratif kepada Tergugat yang dituangkan dalam amar putusan, guna menjamin pelaksanaan putusan, maka tindakan ini dianggap bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers). Adapun macam-macam eksekusi, yaitu: 98 1) Eksekusi Otomatis Eksekusi otomatis terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan oleh Undangundang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama salinan 97 Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Cet.4, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm, 244. 98 https://eprints.uns.ac.id/3360/ Damar Bayukesumo, Kajian Normatif Eksekusi atas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, hlm. 25 diakses tanggal 17 Desember 2016

88 putusan pegadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Penitera Pengadilan setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan yang mewajibkan kepada pejabat atau badan pemerintah untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pada dasarnya memerlukan pelaksanaan. Namun Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu apabila dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada pihak tergugat dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dinyatakan batal tersebut, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi. Penyelesaian otomatis ini dipertahankan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi ketentuan waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan obyek sengketa, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diubah menjadi setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima, tergugat tidak melaksanakan pencabutan KTUN yang bersangkutan maka

89 obyek yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Menurut Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Ketua Pengadilan perlu membuat surat yang menyatakan KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Surat tersebut dikirimkan kepada para pihak oleh Panitera dengan surat tercatat yang pelaksanaannya dilakukan oleh juru sita (Mahkamah Agung, 2008: 66). Sesuai sifat dari KTUN masih perlu mempublikasikan pernyataan tersebut agar masyarakat mengetahui bahwa KTUN yang bersangkutan sudah tidak berkekuatan hukum lagi. 2) Eksekusi Hierarkis Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan setelah disahkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Ditentukan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif 99 dan kemudian 99 Fiktif Negatif : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu

90 setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986), Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut (lihat Pasal 116 ayat (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam hal instansi atasan dimaksud tidak mengindahkannya maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan (lihat Pasal 116 ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Unsur eksekusi hierarkis kembali muncul dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, pada Pasal 116 ayat (6). Ketua Pengadilan diharuskan untuk mengajukan hal ketidaktaatan pejabat tergugat atau termohon eksekusi kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi yang ditetapkan telah lewat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya.

91 untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan. Di samping itu juga mengajukannya kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. 3) Eksekusi Upaya Paksa Selama berlakunya mekanisme eksekusi hierarkis tingkat keberhasilan pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara relatif rendah. Dengan lahirnya mekanisme upaya paksa ini, banyak pihak yang menaruh harapan bahwa instrumen ini akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi efektivitas pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara di masa mendatang. Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 mengubah mekanisme pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dari eksekusi hierarkis menjadi upaya paksa. Perubahan ini adalah sebagai koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power) badan peradilan yang memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintah untuk melaksanakan putusan. Ditentukan pada ayat (3) pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa

92 dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan menerbitkan KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 90 (Sembilan puluh) hari sejak putusan disampaikan kepada pihak tergugat menurut Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, dan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Perubahan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 pada dasarnya tidak mengubah cara upaya paksa ini. Setelah Ketua Pengadilan memerintahkan untuk melaksanakan putusan (Pasal 116 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009) ternyata tergugat tidak bersedia melaksanakannya, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/ atau sanksi administratif dan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan tersebut.

93 Dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN disebutkan mengenai proses pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu: a. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja. b. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. c. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

94 d. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. e. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). f. Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. g. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang masih dipertahankan dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

95 menyebutkan Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berkaitan dengan pelaksanaaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, pejabat tata usaha negara berkewajiban menjalankan putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana di atur dalam Pasal 97 ayat (8) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 perubahan kedua atas undangundang nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Makna dalam gugatan dikabulkan adalah bahwa proses peradilan mulai dari pemeriksaan sampai dengan putusan telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya dan apa yang dituntut di muka pengadilan itu memang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 97 ayat (9) menyebutkan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa: 1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau 2. Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara baru; atau

96 3. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 (maksudnya keputusan tata usaha negara yang tadinya tidak diterbitkan). Kewajiban-kewajiban dalam butir 1,2, dan 3 tersebut dapat disertai dengan pembebanan ganti rugi dan apabila putusan itu mengenai sengketa kepegawaian, maka disamping kewajiban tersebut, dapat juga disertai pemberian rehabilitasi. Hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (9) dan ayat (10).