RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN :

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BUPATI BANGKA TENGAH

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun Tentang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112,

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

eresli::>en REP1.JOLIt< INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLlK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

NOMOR PM 103 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN PENGENDALIAN KENDARAAN YANG MENGGUNAKAN JASA ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik In

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN PENGUMPAN REGIONAL

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan L

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PELABUHAN DI KOTA TANJUNGPINANG

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDOl\IESIA

TERMINALKHUSUS DAN TERMINALUNTUKKEPENTINGANSENDIRI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN UTAMA HUB INTERNASIONAL

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

G U B E R N U R L A M P U N G

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara

Kata Pengantar. Jakarta, PT. Diksa Intertama Consultan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 65/PUU-XII/2014 Otonomi Daerah dan Pendapatan Asli Daerah Dari Sub Sektor Kepelabuhan

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN PELABUHAN SUNGAI

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATARAN TRANSPORTASI WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN PEMANFAATAN PELABUHAN PERIKANAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI

2017, No Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lemb

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI JAWA TENGAH

Transkripsi:

Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan mengenai pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dan pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dan pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau dengan Peraturan Menteri Perhubungan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5109); 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen dan Rekayasa Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61 Tambahan Lembaran Negara No. 5221); 10. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2007; 11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 53 Tahun 2002 tentang Tatanan Kepelabuhanan Nasional; 12. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 60 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2012; 13. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 85 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor

Otoritas Pelabuhan Penyeberangan; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 2. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah. 3. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.

4. Pelabuhan Penyeberangan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. 5. Pelabuhan Penyeberangan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. 6. Pelabuhan Penyeberangan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi. 7. Penyelenggara Pelabuhan adalah otoritas pelabuhan penyeberangan atau unit pelaksana teknis pelabuhan penyeberangan. 8. Otoritas Pelabuhan Penyeberangan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan penyeberangan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial. 9. Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Penyeberangan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan penyeberangan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. 10. Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan Penyeberangan adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan penyeberangan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan penyeberangan. 11. Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Penyeberangan adalah wilayah perairan di sekeliling Daerah Lingkungan Kerja Perairan Pelabuhan Penyeberangan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 12. Badan Usaha Pelabuhan Penyeberangan adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang khusus didirikan untuk mengusahakan jasa kepelabuhanan di Pelabuhan Penyeberangan. 13. Badan Hukum Indonesia adalah badan usaha yang dimiliki oleh negara dan/atau swasta dan/atau koperasi. 14. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelabuhan penyeberangan.

15. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat. 16. Kepala Dinas Propinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dan pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan. BAB II KLASIFIKASI PELABUHAN PENYEBERANGAN Bagian Kesatu Klasifikasi Pelabuhan Penyeberangan Pasal 2 (1) Pelabuhan penyeberangan diklasifikan ke dalam 4 (empat) kelas. (2) Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. pelabuhan penyeberangan kelas I; b. pelabuhan penyeberangan kelas II; c. pelabuhan penyeberangan kelas III. (3) Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan memperhatikan: a. volume angkutan: b. frekuensi trip/hari; c. dermaga > 1000 GRT; d. waktu operasi jam/hari; e. fasilitas pokok Pasal 3 (1) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dengan memperhatikan: a. volume angkutan: 1. penumpang > 3000 orang/hari; 2. kendaraan. > 500 unit/hari;

b. frekuensi > 12 trip/hari; c. dermaga > 1000 GRT; d. waktu operasi > 12 jam/hari; e. fasilitas pokok paling sedikit meliputi: 1. perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran; 2. kolam pelabuhan; 3. fasilitas sandar kapal; 4. fasilitas penimbangan muatan; 5. terminal penumpang; 6. akses penumpang dan barang ke dermaga; 7. perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa; 8. fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker); 9. instalasi air, listrik dan komunikasi; 10. akses jalan dan/atau rel kereta api; 11. fasilitas pemadam kebakaran; 12. tempat tunggu kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal. (2) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dengan memperhatikan: a. volume angkutan: 1. penumpang : 1000-3000 orang/hari; 2. kendaraan : 250-500 unit/hari; b. frekuensi 6-12 trip/hari; c. dermaga 500-1000 GRT; d. waktu operasi > 12 jam/hari; e. fasilitas pokok paling sedikit meliputi: 1. perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran; 2. kolam pelabuhan; 3. fasilitas sandar kapal; 4. fasilitas penimbangan muatan, 5. terminal penumpang; 6. akses penumpang dan barang ke dermaga; 7. perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa; 8. fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker). (3) Penetapan pelabuhan penyeberangan kelas III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, dengan memperhatikan: a. volume angkutan: 1. penumpang < 1000 orang/hari; 2. kendaraan < 250 unit/hari;

b. frekuensi < 6 trip/hari; c. dermaga < 500 GRT; d. waktu operasi > 12 jam/hari; e. fasilitas pokok paling sedikit meliputi: 1. perairan tempat labuh termasuk alur pelayanan; 2. Kolam pelabuhan; 3. fasilitas sandar kapal; 4. fasilitas penimbangan muatan; 5. terminal penumpang. Bagian Kedua Tata cara penetapan dan perubahan kelas pelabuhan Pasal 4 (1) Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan oleh Menteri. (2) Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan evaluasi paling lama 5 (lima) tahun sekali untuk mengetahui kesesuaian klasifikasi pelabuhan penyeberangan dengan kondisi pelabuhan penyeberangan. Pasal 5 (1) Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan perubahan. (2) Perubahan Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena: a. perubahan volume angkutan; b. perubahan frekuensi; c. perubahan dermaga < 500 GRT; d. perubahan waktu operasi; (3) Perubahan Klasifikasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh: a Otoritas Pelabuhan Penyeberangan untuk Pelabuhan Penyeberangan yang diselenggarakan secara komersial;

b Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Penyeberangan untuk Pelabuhan Penyeberangan yang belum diselenggarakan secara komersial. (4) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal melakukan evaluasi sebelum ditetapkan oleh Menteri. BAB III LOKASI PELABUHAN Bagian Pertama Rencana Lokasi Pasal 6 (1) Rencana lokasi pelabuhan penyeberangan yang akan dibangun disusun dengan berpedoman pada kebijakan pelabuhan nasional. (2) Rencana lokasi pelabuhan penyeberangan yang akan dibangun harus sesuai dengan: a. rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah; c. potensi sumber daya alam; dan d. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional. Pasal 7 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, harus berpedoman pada:

a. jaringan jalan nasional; dan/atau b. jaringan jalur kereta api nasional. (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional, selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 harus berpedoman pada: a. jaringan jalan provinsi; dan/atau b. jaringan jalur kereta api provinsi. (3) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, harus berpedoman pada: a. jaringan jalan kabupaten/kota; dan/atau b. jaringan jalur kereta api kabupaten/kota. Bagian Kedua Penetapan Lokasi Pasal 8 (1) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan penyeberangan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional. (2) Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan Penyeberangan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Penyeberangan. (3) Dalam penetapan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. titik koordinat geografis lokasi pelabuhan; b. nama lokasi pelabuhan; dan c. letak wilayah administratif. Pasal 9 (1) Lokasi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari Pemerintah atau pemerintah daerah.

(2) Permohonan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi persyaratan yang terdiri atas: a. Rencana Induk Pelabuhan Nasional; b. rencana tata ruang wilayah provinsi; c. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; d. rencana Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; e. hasil studi kelayakan mengenai: 1) kelayakan teknis; 2) kelayakan ekonomi; 3) kelayakan lingkungan; 4) pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial daerah setempat; 5) keterpaduan intra-dan antarmoda; 6) adanya aksesibilitas terhadap hinterland; 7) keamanan dan keselamatan pelayaran; dan 8) pertahanan dan keamanan. f. rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat mengenai keterpaduannya dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kotamadya dan rencana tata ruang wilayah propinsi. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan penelitian terhadap persyaratan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (4) Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan, Menteri menyampaikan penolakan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan. Pasal 10 (1) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dengan memperhatikan kondisi geografi, hidrooceanografi dan topografi. (2) Kondisi geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. kondisi lahan yang akan diperuntukkan sebagai pelabuhan; b. arah dan kecepatan angin. (3) Kondisi hidrooceanografi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi :

a. luas dan kedalaman perairan; b. karakteristik pasang surut; c. karakteristik gelombang; d. arah dan kecepatan arus; dan e. erosi dan pengendapan. (4) Kondisi topografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengenai tinggi rendah permukaan tanah. Pasal 11 Kelayakan ekonomis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e angka 2 dengan memperhatikan produk domestik regional bruto, aktivitas/perdagangan dan industri yang ada serta prediksi dimasa mendatang, perkembangan aktivitas volume barang dan penumpang, kontribusi pada peningkatan taraf hidup penduduk dan perhitungan ekonomis/finansial; Pasal 12 Bentuk permohonan dan penolakan/persetujuan penetapan lokasi pelabuhan.sebagaimana contoh 1, contoh 2 dan contoh 3 pada Lampiran I Peraturan ini. BAB IV RENCANA INDUK PELABUHAN, DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN Bagian Kesatu Rencana Induk Pelabuhan Pasal 13 (1) Setiap pelabuhan penyeberangan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan.

(2) Rencana induk pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun oleh penyelenggara pelabuhan dengan berpedoman pada: a. Rencana Induk Pelabuhan Nasional; b. Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi; c. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota; d. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan; e. kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan; dan f. keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal. (3) Jangka waktu perencanaan di dalam Rencana Induk Pelabuhan meliputi: a. jangka panjang yaitu di atas 15 (lima belas) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima) tahun; b. jangka menengah yaitu di atas 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun; c. jangka pendek yaitu 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun. Pasal 14 (1) Rencana induk pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan rencana peruntukan wilayah perairan. (2) Rencana peruntukan lahan daratan dan perairan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk menentukan kebutuhan penempatan fasilitas dan kegiatan operasional pelabuhan penyeberangan yang meliputi : a. kegiatan jasa kepelabuhanan; b. kegiatan pemerintahan; c. kegiatan penunjang kepelabuhanan. Pasal 15 (1) Rencana peruntukan wilayah daratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), untuk Rencana Induk Pelabuhan penyeberangan disusun berdasarkan kriteria kebutuhan: a. fasilitas pokok; dan b. fasilitas penunjang.

(2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. terminal penumpang; b. penimbangan kendaraan bermuatan (angkutan barang); c. jalan penumpang keluar/masuk kapal (gang way); d. perkantoran untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa pelabuhan, termasuk fasilitas untuk kegiatan pengaturan, pengendalian, dan pengawasan lalu lintas dan angkutan penyeberangan di Daerah Lingkungan Kerja (DLKR); e. fasilitas bunker; f. instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi; g. akses jalan dan/atau jalur kereta api; h. fasilitas pemadam kebakaran; dan i. tempat tunggu kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal. (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan; b. tempat penampungan limbah; c. fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan penyeberangan; d. areal pengembangan pelabuhan; dan e. fasilitas umum lainnya. Catatan: fasilitas umum dan sosial perlu dibedakan Pasal 16 (1) Rencana peruntukan wilayah perairan sebagaimana dimaksud alam Pasal 14 ayat (1), untuk Rencana Induk Pelabuhan penyeberangan disusun berdasarkan kriteria kebutuhan: a. fasilitas pokok; b. fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. alur-pelayaran; b. fasilitas sandar kapal; c. perairan tempat labuh; dan

d. kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal. (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang; b. perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; c. perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar); d. perairan untuk keperluan darurat; dan e. perairan untuk kapal pemerintah. Pasal 17 Luas rencana peruntukan lahan daratan dan perairan pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 ditetapkan dengan menggunakan pedoman teknis kebutuhan lahan daratan dan perairan, sebagaimana tercantum pada Lampiran II Keputusan ini. Pasal 18 Rencana induk pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ditetapkan oleh : a. Menteri untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul; b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional; atau c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. Pasal 19 (1) Penyelenggara pelabuhan penyeberangan mengajukan usulan penetapan rencana induk pelabuhan kepada : a. Menteri melalui Direktur Jenderal untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul, setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota;

b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional, setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. (2) Menteri dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Gubernur dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Pasal 20 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dilakukan penelitian terhadap usulan penetapan Rencana induk pelabuhan oleh : a. Direktur Jenderal untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul; b. Kepala Dinas Propinsi untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional; c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan aspek: a. tatanan kepelabuhanan nasional; b. keamanan dan keselamatan pelayaran; c. prakiraan permintaan jasa angkutan penyeberangan; d. prakiraan kebutuhan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang berpedoman pada standar atau kriteria perencanaan yang berlaku; e. rencana tata guna lahan dan tata letak fasilitas pelabuhan penyeberangan baik untuk pelayanan kegiatan pemerintahan maupun pelayanan jasa kepelabuhanan serta kebutuhan tanah dan/atau

perairan untuk pengembangan pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan; f. pentahapan waktu pelaksanaan pembangunan yang disesuaikan dengan kemampuan pendanaan, rencana tata guna lahan dan tata letak fasilitas pelabuhan penyeberangan. (3) Penelitian usulan penetapan Rencana induk pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselesaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. (4) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapkan rencana induk pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak hasil penelitian diterima secara lengkap. (5) Rencana induk pelabuhan penyeberangan menjadi dasar yang mengikat dalam menetapkan kebijakan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan sesuai dengan peran dan fungsinya. (6) Bentuk permohonan, penolakan atau persetujuan penetapan rencana induk pelabuhan penyeberangan sebagaimana contoh 1 contoh 2, dan contoh 3 pada Lampiran III Peraturan ini. Pasal 21 Penyelenggara pelabuhan penyeberangan wajib melakukan evaluasi terhadap rencana induk sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun. Bagian Kedua Daerah lingkungan kerja Pasal 22 (1) Untuk kepentingan penyelenggaraan dan menjamin kegiatan kepelabuhanan di pelabuhan penyeberangan,

ditetapkan daerah lingkungan kerja berdasarkan rencana induk pelabuhan yang telah ditetapkan. (2) Daerah lingkungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan batas-batas titik koordinat geografis. (3) Daerah lingkungan kerja pelabuhan penyeberangan meliputi : a. wilayah daratan; digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. b. wilayah perairan digunakan untuk kegiatan alurpelayaran, tempat labuh, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, tempat perbaikan kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan. Pasal 23 Daerah lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, ditetapkan sebagai berikut : a. Untuk daerah lingkungan kerja daratan dengan memperhatikan : 1) rencana induk pelabuhan atau rencana kebutuhan untuk penempatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan; 2) penguasaan areal tanah oleh penyelenggara pelabuhan; 3) rencana umum tata ruang wilayah yang ditetapkan untuk daerah tempat pelabuhan berada. b. Untuk daerah lingkungan kerja perairan dengan memperhatikan: 1) perairan tempat labuh, dikaitkan dengan rencana jumlah dan frekuensi pengoperasian kapal, ukuran dan sarat kapal; 2) kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; 3) kedalaman perairan yang dibutuhkan dikaitkan dengan ukuran dan sarat kapal.

Pasal 24 Di dalam daerah lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 penyelenggara pelabuhan mempunyai kewajiban : a. di daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan : 1) memasang tanda batas sesuai dengan batas-batas daerah lingkungan kerja daratan; 2) memasang papan pengumuman yang memuat informasi mengenai batas-batas daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan penyeberangan; 3) mengamankan aset yang dimiliki dan menjamin ketertiban dan kelancaran operasional pelabuhan penyeberangan; 4) memiliki bukti penguasaan hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5) menjaga kelestarian lingkungan. b. di daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan : 1) memasang tanda batas sesuai dengan batas-batas daerah lingkungan kerja perairan yang telah ditetapkan; 2) menginformasikan mengenai batas-batas daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan penyeberangan kepada pelaku kegiatan kepelabuhanan; 3) menyediakan sarana bantu navigasi pelayaran; 4) menyediakan dan memelihara kolam pelabuhan dan alur pelayaran; 5) memelihara kelestarian lingkungan; 6) mengamankan aset yang dimiliki. Bagian Ketiga Daerah lingkungan kepentingan Pasal 25

(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan dan menjamin kegiatan kepelabuhanan di pelabuhan penyeberangan, selain ditetapkan daerah lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ditetapkan daerah lingkungan kepentingan. (2) Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan batas-batas titik koordinat geografis. (3) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan merupakan perairan pelabuhan di luar Daerah Lingkungan Kerja perairan. (4) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: a. alur-pelayaran dari dan ke pelabuhan; b. keperluan keadaan darurat; c. penempatan kapal mati; d. percobaan berlayar; e. kegiatan pemanduan kapal; f. fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; dan g. pengembangan pelabuhan jangka panjang. Pasal 26 Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, ditetapkan dengan memperhatikan : a. alur pelayaran dari dan ke pelabuhan penyeberangan, untuk menjamin keselamatan dan kelancaran lalu lintas kapal; b. keperluan keadaan darurat, untuk mengantisipasi apabila terjadi kecelakaan kapal atau musibah kapal lainnya; c. pengembangan pelabuhan jangka panjang, yang dikaitkan dengan rencana induk pelabuhan; d. percobaan berlayar dikaitkan dengan jumlah dan ukuran kapal yang melakukan percobaan berlayar; e. fasilitas perbaikan dan pemeliharaan kapal. Bagian Keempat Penetapan Daerah Lingkungan Kerja Dan Daerah Lingkungan Kepentingan

Pasal 27 (1) Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 25 dilakukan oleh: a. Menteri melalui Direktur Jenderal untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul; b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. (2) Penyelenggara pelabuhan penyeberangan menyampaikan usulan penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dengan melampirkan : a. rencana induk pelabuhan yang telah ditetapkan; b. hasil kajian terhadap batas-batas daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang diusulkan oleh penyelenggara pelabuhan; c. peta yang dilengkapi dengan batas-batas daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan; d. rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota; e. rekomendasi dari Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah kabupaten/kota. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan penelitian terhadap usulan penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan oleh : a. Direktur Jenderal untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul; b. Kepala Dinas Propinsi untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional;

c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. (4) Direktur Jenderal, Kepala Dinas Propinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya melakukan penelitian dan menyampaikan hasil penelitian selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap, dengan melampirkan rancangan keputusan dan peta batas daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan kepada : a. Menteri untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul; b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. (5) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya menetapkan batas-batas daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak hasil penelitian diterima. (6) Penetapan batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit memuat: a. luas lahan daratan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja; b. luas perairan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; c. titik koordinat geografis sebagai batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. (7) Bentuk permohonan dan penolakan/persetujuan keputusan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan sebagaimana contoh 4, contoh 5, dan contoh 6 pada Lampiran III Keputusan ini. BAB V PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN PELABUHAN

Bagian Kesatu Pembangunan Pelabuhan Pasal 28 (1) Pembangunan pelabuhan penyeberangan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan. (2) Pembangunan pelabuhan penyeberangan oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. Pasal 29 Penyelenggara pelabuhan penyeberangan dalam melaksanakan pembangunan pelabuhan diwajibkan : a. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas dan angkutan di perairan, keselamatan berlayar, pengerukan dan reklamasi serta pengelolaan lingkungan; b. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan pelabuhan penyeberangan yang bersangkutan; c. melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan penyeberangan paling lama 1 (satu) tahun sejak keputusan pelaksanaan pembangunan ditetapkan; d. melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan penyeberangan sesuai rencana induk yang telah ditetapkan; e. melaporkan kegiatan pembangunan secara berkala kepada Direktur Jenderal, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Paragraf 1 Izin Pembangunan Pelabuhan Pasal 30

(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada: a. Menteri untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul; b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. (2) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan. Pasal 31 (1) Persyaratan teknis kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) meliputi: a. studi kelayakan; dan b. desain teknis. (2) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: a. kelayakan teknis; b. kelayakan ekonomis dan finansial; dan c. analisis mengenai dampak lingkungan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. (3) kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi : a. hasil survey pelabuhan mengenai kondisi hidrooceanografi, topografi, bathimetri, geografi dan kondisi geoteknik; b. hasil studi keselamatan pelayaran mengenai rencana penempatan sarana bantu navigasi pelayaran, alur pelayaran, dan kolam pelabuhan. Pasal 32

(1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 31, Pembangunan pelabuhan penyeberangan dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan : a. bukti penguasaan hak atas tanah dan perairan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. memiliki persetujuan penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan; c. memiliki rencana induk pelabuhan penyeberangan yang telah ditetapkan; d. disain teknis pelabuhan penyeberangan yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal; e. keputusan penetapan lintas penyeberangan. (2) Desain teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat: a. kondisi tanah; b. konstruksi; c. kondisi hidrooceanografi; d. topografi; dan e. penempatan dan konstruksi Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran, alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta tata letak dan kapasitas peralatan di pelabuhan. Pasal 33 Dalam mengajukan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus disertai dokumen yang terdiri atas: a. Rencana Induk Pelabuhan; b. dokumen kelayakan; c. dokumen desain teknis; dan d. dokumen lingkungan. Pasal 34 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan pelabuhan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) belum terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan untuk melengkapi persyaratan. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan izin pembangunan pelabuhan. (4) Bentuk permohonan dan penolakan/persetujuan pembangunan pelabuhan penyeberangan sebagaimana contoh 7, contoh 8 dan contoh 9 pada Lampiran III Keputusan ini. Pasal 35 (1) Keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dicabut apabila : a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; b. tidak dapat melanjutkan pekerjaan pembangunan pelabuhan. (2) Pencabutan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penyelenggara pelabuhan penyeberangan tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, penetapan pembangunan pelabuhan dicabut. Pasal 36 Keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan penyeberangan dapat dicabut tanpa melalui proses peringatan dalam hal penyelenggara pelabuhan yang bersangkutan : a. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara; b. memperoleh penetapan pembangunan pelabuhan penyeberangan dengan cara tidak sah.

Paragraf 2 Pelaksanaan Pembangunan Pelabuhan Pasal 37 (1) Pembangunan pelabuhan penyeberangan dilakukan oleh: a. Otoritas Pelabuhan Penyeberangan untuk pelabuhan penyeberangan yang diusahakan secara komersial; dan b. Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Penyeberangan untuk pelabuhan Penyeberangan yang belum diusahakan secara komersial. (2) Otoritas Pelabuhan dan Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam membangun pelabuhan wajib: a. melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal berlakunya izin pembangunan. b. melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan yang telah ditetapkan; c. melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan pelabuhan secara berkala kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan d. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan pelabuhan yang bersangkutan. Paragraf 3 Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas Pelabuhan Pasal 38 Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan.

Pasal 39 (1) Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilakukan untuk : a. memenuhi kebutuhan pelayanan jasa angkutan yang akan datang; b. meningkatkan kapasitas pelayanan jasa angkutan sesuai kebutuhan. (2) Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan : a. kapasitas pelayanan jasa angkutan yang dibutuhkan; b. jangka waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian pembangunan pengembangan pelabuhan. (3) Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a. sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan. b. mendapat izin dari pejabat yang menetapkan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan penyeberangan sesuai kewenangannya. Pasal 40 (1) Pengembangan pelabuhan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada: a. Menteri untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul;

b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan regional; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. Pasal 41 (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) diberikan berdasarkan permohonan dari penyelenggara penyeberangan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 Pasal 42 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pengembangan pelabuhan penyeberangan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan izin pengembangan pelabuhan penyeberangan. Paragraf 4 Peran serta swasta dalam pengembangan dan pembangunan dermaga lingkungan pelabuhan penyeberangan Pasal

(1) Pengembangan dan pembangunan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal dapat dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan. (2) Pengembangan dan pembangunan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis. Bagian Kedua Pengoperasian Pelabuhan Paragraf 1 Persyaratan Pengoperasian Pelabuhan Pasal 43 (1) Penyelenggara pelabuhan dalam melaksanakan pengoperasian pelabuhan penyeberangan wajib : a. mentaati peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas dan angkutan di perairan, keselamatan berlayar, dan pengelolaan lingkungan; b. bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul karena pengoperasian pelabuhan yang bersangkutan; c. melaporkan kegiatan pengoperasian setiap bulan kepada Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, sekurang-kurangnya meliputi : 1) jumlah dan nama kapal yang beroperasi; 2) jumlah trip yang dilayani kapal penyeberangan; 3) jumlah penumpang, kendaraan beserta muatan; 4) kecelakaan yang terjadi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hurup c, disusun menurut sistem informasi manajemen operasional pelabuhan. Paragraf 2 Izin Pengoperasian Pelabuhan Pasal 44

(1) Pengoperasian pelabuhan penyeberangan oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada: a. Menteri untuk pelabuhan penyeberangan utama dan pelabuhan penyeberangan pengumpul; b. Gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi serta pelabuhan sungai dan danau yang melayani angkutan penyeberangan antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan pengumpan lokal. (3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a. pembangunan pelabuhan atau terminal telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; b. keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran; c. tersedia fasilitas untuk menjamin kelancaran arus penumpang dan kendaraan beserta muatannya; d. memiliki sistem pengelolaan lingkungan; e. tersedia pelaksana kegiatan kepelabuhanan; f. memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan g. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang dibuktikan dengan sertifikat. Pasal 45 (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diberikan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penyelenggara pelabuhan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan kelengkapan dokumen pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal...). Pasal 46

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pengoperasian pelabuhan penyeberangan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan penyeberangan untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja harus menetapkan izin pengoperasian pelabuhan. Pasal 47 (1) Pengoperasian pelabuhan penyeberangan dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, dan naik turun penumpang serta kendaraan beserta muatannya. (2) Pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. (3) Pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan: a. adanya peningkatan volume frekuensi kunjungan kapal, 70% naik turun penumpang dan kendaraan beserta muatannya; dan b. tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan penyeberangan. (4) Peningkatan pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Catatan : perlu diatur mekanisme peningkatan pengoperasian pelabuhan 1. Diusulkan oleh penyelenggara pelabuhan ke Dirjen; 2. Persyaratan waktu tertentu sesuai kebutuhan atau selama 24 (dua puluh empat) jam; 3. Waktu;

Pasal 48 Bentuk permohonan, penolakan atau persetujuan pengoperasian pelabuhan penyeberangan sebagaimana contoh 10, contoh 11 dan contoh 12 pada Lampiran III Keputusan ini. BAB VI PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI PELABUHAN Bagian Pertama Umum Pasal 49 Pelaksanaan Kegiatan di pelabuhan penyeberangan meliputi: a. kegiatan pemerintahan; dan b. kegiatan pengusahaan. Bagian Kedua Kegiatan Pemerintahan di Pelabuhan Pasal 50 (1) Pelaksana kegiatan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a, meliputi: a. Penyelenggara Pelabuhan yang memegang fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian dan pengawasan kegiatan kepelabuhan; b. Syahbandar yang memegang fungsi keselamatan dan kemanan pelayaran; c. Insatansi pemerintah yang memegang fungsi kepabeanan, keimigrasian, kekarantinaan untuk pelabuhan penyeberangan lintas antar negara dan /

atau kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap. (2) Kegiatan pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pelabuhan penyeberangan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Otoritas Pelabuhan Penyeberangan. Catatan : mekanisme perubahan pelabuhan dari komersial ke tidak komersial atau sebaliknya 1. Yang mengusulkan 2. Pesyaratannya 3. Yang menetapkannya 4. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan Dirjen (3) Kegiatan pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pelabuhan penyeberangan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah, Unit Pelaksana Teknis pemerintah provinsi, atau Unit Pelaksana Teknis pemerintah kabupaten/kota. Pasal 51 (1) Otoritas Pelabuhan Penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) mempunyai tugas dan tanggung jawab: a. menyediakan lahan di daratan dan di perairan pelabuhan; b. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan; c. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran; d. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan; e. menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan; f. menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; g. mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas

penggunaan perairan dan/atau daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh Pemerintah serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. menjamin kelancaran arus barang. Catatan : 1. tupoksi ambil dari PM no. 85 dan KM No. 11 yang terkait dengan pelabuhan. 2. Rincian tupoksi baik dari BUP (dimasukkan ke dalam bagian BUP). (2) Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Otoritas Pelabuhan penyeberangan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan. (3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan kapal kerja, kapal tunda, pelayaran-perintis, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Catatan : fasilitas pokok (fasilitas umum dan fasilitas sosial) yang belum disediakan oleh badan usaha. (4) Dalam kondisi tertentu pemeliharan penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan dalam perjanjian konsesi. Pasal 52 (1) Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (2) Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada: a. Menteri untuk Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Penyeberangan Pemerintah; dan

b. gubernur atau bupati/walikota untuk Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Penyeberangan pemerintah daerah. (3) Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan, mempunyai tugas dan tanggung jawab: a. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran; b. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran; c. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan; d. menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan; e. menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; f. menjamin kelancaran arus barang; dan g. menyediakan dan memelihara fasilitas pelabuhan. (4) Dalam kondisi tertentu pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat dilaksanakan oleh pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan dalam perjanjian konsesi. Pasal 53 (1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis. (2) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan setelah mendapat konsesi dari Unit Pelaksana Teknis. Pasal 54 (1) Penyediaan lahan di daratan dan di perairan dalam pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan.

(2) Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara. (3) Dalam hal di atas lahan yang diperlukan untuk pelabuhan terdapat hak atas tanah, penyediaannya dilakukan dengan cara pengadaan tanah. (4) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 55 Penyediaan lahan di perairan sebagaimana dimaksud dalam 51 ayat (1) huruf a dilakukan sesuai kebutuhan operasional pelabuhan dan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Pasal 56 (1) Penyediaan dan pemeliharaan penahan gelombang yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dan Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b dan Pasal 50 ayat (3) huruf a dilakukan agar arus dan ketinggian gelombang tidak mengganggu kegiatan di pelabuhan. (2) Penyediaan penahan gelombang dilakukan sesuai dengan kondisi perairan. (3) Pemeliharaan penahan gelombang dilakukan paling sedikit satu tahun sekali agar tetap berfungsi. Pasal 57 (1) Penyediaan dan pemeliharaan kolam pelabuhan yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan penyeberangan dan Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud dalam 51 ayat (1) huruf b dan Pasal 52 ayat (3) huruf a dilakukan untuk kelancaran operasional atau olah gerak kapal. (2) Penyediaan kolam pelabuhan dilakukan melalui pembangunan kolam pelabuhan. (3) Pemeliharaan kolam pelabuhan dilakukan paling sedikit satu tahun