BAB IV GAMBARAN UMUM PANTAI KEDONGANAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN 4.1 Aspek Geografis dan Kondisi Fisik Pantai Kedonganan terletak di Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat Kedonganan. Pantai Kedonganan berbatasan dengan Pantai Kelan di sebelah utara, berbatasan dengan pantai Jimbaran di sebelah selatan, dan berbatasan dengan Jalan Pantai Kedonganan di sebelah timur, dan di sebelah barat berbatasan dengan laut. Pantai ini cukup landai, memiliki hamparan pasir berwarna putih bersih dan ombak yang tenang, dengan garis pantai sepanjang 1020 meter. Secara administratif, Pantai Kedonganan merupakan wilayah dinas Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Kelurahan Kedonganan didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 643 Tahun 1997 (Profil Kelurahan Kedonganan Tahun 2013). Kelurahan Kedonganan mencakup wilayah seluas 1 Km2, dimana wilayahnya berbatasan dengan Kelurahan Tuban di sebelah utara, Kelurahan Jimbaran di sebelah selatan, Samudera Indonesia di sebelah barat dan Selat Badung di sebelah timur (www.lpdkedonganan.com). Kelurahan Kedonganan memiliki karakteristik wilayah pesisir, dengan jenis tanah pasiran. Suhu udara berkisar antara 23,5 º 25º C, dengan curah hujan 1700 mm per tahun (Profil Kelurahan Kedonganan Tahun 2013). 44
45 Kelurahan Kedonganan berjarak 5 km dari Kuta, 26 km dari Mangupura (ibukota Kabupaten Badung), dan 20 km dari Denpasar (ibukota provinsi Bali). Lokasi Kelurahan Kedonganan dapat dicapai dengan mudah mengingat ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai. Selain dengan kendaraan pribadi, Kelurahan Kedonganan juga dapat dicapai dengan sarana transportasi umum (Profil Kelurahan Kedonganan Tahun 2013). 4.2 Aspek Demografis Jumlah penduduk Kelurahan Kedonganan sebanyak 5781 jiwa (1257 KK) terdiri atas 3110 orang laki-laki dan 2761 orang perempuan, dengan kepadatan penduduk 2952 per km². Sebagian besar penduduk Kelurahan Kedonganan merupakan suku Bali dan beragama Hindu. Tabel 4.1 menunjukkan jumlah penduduk Kelurahan Kedonganan berdasarkan agama yang dipeluk. Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kelurahan Kedonganan Berdasarkan Agama Agama Laki-laki Perempuan Islam 279 221 Kristen 23 17 Katholik 21 19 Hindu 2767 2402 Budha 20 12 Aliran Kepercayaan lainnya - - Jumlah 3110 2671 Sumber : Profil Kelurahan Kedonganan Tahun 2013 Sebagian besar penduduk Kelurahan Kedonganan telah mengenyam pendidikan SD/sederajat. Jumlah penduduk yang telah mengenyam pendidikan
46 sarjana cukup banyak. Sebanyak 214 orang mengenyam pendidikan S.1 dan 6 orang mengenyam pendidikan S.2. Tingkat pendidikan warga Kelurahan Kedonganan seperti terlihat pada Tabel 4.2. berikut: Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Warga Kelurahan Kedonganan Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Tamat SD / sederajat 1625 1633 Tamat SMP/sederajat 150 148 Tamat SMA/sederajat 606 442 Tamat D-1/sederajat 9 5 Tamat D-2/sederajat 4 - Tamat D-3/sederajat 10 6 Tamat S-1/sederajat 134 80 Tamat S-2/sederajat 6 - Tamat S-3/sederajat - - Jumlah 2554 2314 Sumber : Profil Kelurahan Kedonganan Tahun 2013, data diolah. Jumlah angkatan kerja (masyarakat berusia 18-56 tahun yang bekerja) sebanyak 3741 orang, dimana mayoritas penduduk Kedonganan bermata pencaharian sebagai pengusaha kecil dan menengah (1085 orang). Mata pencaharian lain adalah karyawan swasta (951 orang), nelayan (218 orang), pedagang (108 orang), dan 88 orang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (Profil Kelurahan Kedonganan Tahun 2013). 4.3 Aspek Pemerintahan Kelurahan Kedonganan dipimpin oleh Bapak Lurah Nyoman Sudarta, SE., yang telah menjabat sebagai lurah semenjak tanggal 3 Januari 2012. Lurah
47 Kedonganan memimpin 6 unit kerja dan 13 orang aparat pemerintahan kelurahan. Kelurahan Kedonganan meliputi 6 lingkungan, yaitu Lingkungan Kubu Alit, Ketapang, Anyar Gede, Pasek, Kerthayasa dan Pengenderan. Masing-masing Lingkungan tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Lingkungan (Kaling). Sebagai mitra kerja dalam mengembangkan pembangunan dan untuk mengakomodir aspirasi masyarakat, Kelurahan Kedonganan memiliki sebuah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang sekarang dipimpin oleh Bapak I Ketut Suwirga. Selain LPM, Kelurahan Kedonganan juga memiliki Lembaga Desa Adat, yaitu Desa Adat Kedonganan yang memiliki kewenangan dalam mengatur, mengayomi dan melindungi warganya khususnya untuk hal-hal yang terkait dengan adat dan keagamaan. Desa Adat Kedonganan dipimpin oleh seorang Jro Bendesa Adat yaitu Bapak Jro Bendesa I Ketut Puja, S.Ag. Desa Adat Kedonganan terdiri atas 6 banjar, yaitu Banjar Ketapang, Banjar Anyar Gede, Banjar Pasek, Banjar Kerthayasa, Banjar Pengenderan dan Banjar Kubu Alit. Banjar-banjar tersebut dipimpin oleh seorang Kelian Banjar. Berdasarkan penelusuran sejarah, Desa Adat Kedonganan diyakini sebagai desa kuno yang telah ada pada tahun 1324 masehi, pada masa pemerintahan Dalem Bedahulu. Pada waktu itu, nama desanya adalah Desa Kedongayan. Dari kata Kedongayan ini akhirnya lambat laun berubah menjadi Kedonganan. (www.lpdkedonganan.com). Warga Desa Adat Kedonganan terdiri atas 1257 KK dengan jumlah total warga sebanyak 5639 jiwa. Seluruh warga Desa Adat Kedonganan tersebar di 6
48 banjar yang ada, dengan sebaran seperti yang terlihat dalam Tabel 4.1 sebagai berikut: Tabel 4.3. Jumlah dan Sebaran Warga Desa Adat Kedonganan Tahun 2014 Nomor Nama Banjar Jumlah Kepala Keluarga (KK) Jumlah Penduduk 1 Kubu Alit 147 687 2 Ketapang 258 1113 3 Anyar Gede 184 845 4 Kerthayasa 156 648 5 Pasek 257 1016 6 Pengenderan 255 1310 Jumlah 1257 5639 Sumber : Profil Desa Adat Kedonganan Tahun 2014 Seluruh KK yang tersebar di 6 banjar Desa Adat Kedonganan adalah pemilik dari 24 café yang beroperasi di Pantai Kedonganan. Di setiap banjar, seluruh KK akan membagi diri menjadi 4 kelompok pemilik café, sehingga secara keseluruhan di Desa Adat Kedonganan terdapat 24 kelompok pemilik café. Setiap kelompok pemilik café berhak untuk mengelola sebuah café dan memperoleh manfaat dari kepemilikannya tersebut. 4.4 Kepariwisataan di Pantai Kedonganan Sebelum berkembangnya kepariwisataan, Pantai Kedonganan merupakan pantai nelayan yang kesehariannya lekat dengan kehidupan dan aktifitas nelayan. Hal tersebut disampaikan oleh mantan Jero Bendesa Kedonganan periode 2003-
49 2008, Bapak Ketut Mudra, yang menyatakan bahwa sebelum berkembangnya kepariwisataan, 95% penduduk Kedonganan berprofesi sebagai nelayan. Berdasarkan keterangan Ketua Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pesisir Kedonganan, Bapak I Wayan Mertha, SE., M.Si, perkembangan kepariwisataan di Pantai Kedonganan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kepariwisataan di daerah Pantai Jimbaran. Beroperasinya Hotel Four Seasons Jimbaran Bali pada tahun 1993 membuka peluang bagi masyarakat Jimbaran untuk ikut merasakan dampak positif pariwisata. Melihat banyaknya wisatawan yang datang ke Pantai Jimbaran, beberapa penduduk Jimbaran mulai mendirikan warung-warung ikan bakar bagi tamu Hotel Four Season yang ingin menikmati makanan tradisional khas nelayan sambil menikmati pemandangan matahari terbenam. Warung-warung tersebut ramai didatangi tamu, sehingga akhirnya ada 9 buah warung ikan bakar yang beroperasi di Pantai Jimbaran. Kesuksesan warung-warung ikan bakar di Jimbaran menurut Bapak I Wayan Mertha mendorong 5 orang warga Kedonganan untuk ikut mendirikan warung ikan bakar pada sekitar tahun 1995. Warung-warung makan tersebut akhirnya berkembang menjadi café seperti sekarang, dimana keberadaannya mengakibatkan Pantai Kedonganan dan Jimbaran dikenal sebagai lokasi untuk aktivitas wisata kuliner. Pada awalnya, hanya ada 5 café, namun kesuksesan 5 café tersebut mendorong semakin banyak warga Kedonganan yang ikut mendirikan café dan meninggalkan profesi nelayan yang sebelumnya mereka jalani.
50 Selain faktor ekonomi (keuntungan), ada beberapa faktor lain yang mendorong berdirinya café di sepanjang Pantai Kedonganan. Faktor-faktor tersebut seperti yang disampaikan oleh Bapak I Wayan Mertha di antaranya adalah tidak terserapnya produksi ikan kelompok-kelompok nelayan Kedonganan yang berlimpah pada waktu itu, pemindahan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ke Jembrana, yang mengakibatkan nelayan Kedonganan harus mengalokasikan biaya dan waktu yang lebih untuk membawa hasil tangkapan ke Jembrana dan adanya keluhan dari otoritas Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai terhadap pencemaran bau di sekitar perairan Pantai Kedonganan dan Kelan oleh limbah ikan yang dibuang oleh nelayan Kedonganan di tengah laut. Fakor-faktor tersebut mengakibatkan nelayan Kedonganan menganggap bahwa profesi nelayan tidak lagi menjanjikan sehingga mereka mulai beralih profesi. Salah satu peluang yang terlihat menjanjikan waktu itu adalah beralih profesi menjadi pengusaha café. Menurut Bapak I Made Sukra, salah seorang pemilik café pada awal perkembangan kepariwisataan di Kedonganan, pendirian café di Pantai Kedonganan pada waku itu tanpa koordinasi. Warga yang ingin mendirikan café akan datang ke pantai untuk kemudian mengkapling area pantai seluas yang diinginkan dan dibutuhkan. Pernyataan ini diperkuat oleh Bapak I Ketut Mudra yang menyatakan bahwa pada akhirnya, ketika lahan Pantai Kedonganan sudah mulai terbatas, warga yang ingin mendirikan café tetap memaksakan untuk mendirikan café di area yang sempit, mengakibatkan garis Pantai Kedonganan yang sepanjang 1020 meter didominasi oleh bangunan cafe. Hal tersebut terjadi karena pembangunan café waktu itu tanpa perencanaan yang baik sehingga
51 lingkungan Pantai Kedonganan menjadi tidak rapi, seperti yang terlihat pada Gambar 3. Gambar 3. Kondisi awal perkembangan café di Pantai Kedonganan Pada tahun 2006, di sepanjang Pantai Kedongaan telah berdiri sebanyak 67 café. Jumlah tersebut mengakibatkan over supply yang berujung pada perang harga. Kondisi tersebut diperburuk oleh samanya produk yang dijual oleh café di Pantai Kedonganan maupun Pantai Jimbaran yang lokasinya berdekatan, yaitu berupa makanan hasil olahan ikan laut (sea food). Kesamaan produk yang dijual serta banyaknya jumlah café mengakibatkan tingkat persaingan menjadi sangat ketat. Kondisi tersebut mengakibatkan hanya café dengan modal kuat yang dapat bertahan. Pemilik café yang tidak didukung modal yang cukup mulai mengalihkan kepemilikan usahanya kepada pihak lain (pemodal) yang kebanyakan adalah
52 orang luar Kedonganan. Para pemilik café baru ini membawa sistem kerja baru dan tenaga kerja dari daerah lain. Menurut Bapak I Wayan Mertha, hal ini mulai terjadi pada tahun 2001 hingga tahun 2006, sehingga akhirnya masyarakat Kedonganan hanya menjadi penonton dari perkembangan kepariwisataan di daerahnya. Mereka tidak lagi mendapat manfaat ekonomi dari keberadaan café seperti yang seharusnya mereka dapatkan. Banyaknya jumlah café yang ada menimbulkan berbagai dampak negatif. Dampak negatif tersebut berupa pencemaran sampah dan pencemaran bau yang bersumber dari limbah café yang dibuang langsung ke pasir pantai ataupun ke laut, akibat tidak adanya sistem pengolahan limbah. Hal tersebut mengakibatkan pantai menjadi terlihat kumuh dan tidak rapi seperti yang terlihat pada Gambar 4. Gambar 4. Kondisi Pantai Kedonganan yang terlihat kumuh
53 Selain itu, pantai yang didominasi oleh bangunan café mengakibatkan pelaksanaan kegiatan keagamaan seperti misalnya upacara melasti dan nganyut menjadi terganggu. Iring-iringan prosesi melasti yang membawa pratima yang disakralkan oleh warga harus menyusup di antara bangunan café untuk masuk ke Pantai Kedonganan. Dampak lain yaitu kurang nyamannya pelaksanaan upacara keagamaan di Pantai Kedonganan karena upacara harus dilakukan di hadapan wisatawan yang sedang makan dan minum dengan menggunakan busana pantai (bikini). Selain itu ada rasa malu dikalangan warga Kedonganan untuk mandi ataupun berenang di Pantai Kedonganan karena merasa menjadi tontonan para wisatawan yang sedang makan di café yang ada. Melihat kondisi Pantai Kedonganan yang mengkhawatirkan, serta adanya aspirasi warga Kedonganan untuk bisa menikmati hasil dari potensi yang dimilikinya dan bukan hanya sebagai penonton, memunculkan keinginan warga untuk menata kembali kondisi Pantai Kedonganan. Aspirasi tersebut kemudian disampaikan kepada pemimpin adat Desa Adat Kedonganan yaitu Jro Bendesa Bapak I Ketut Mudra. Menanggapi aspirasi tersebut, Jro Bendesa Bapak I Ketut Mudra selanjutnya berkoordinasi dengan Lurah Kedonganan, Bapak Drs. I Wayan Sandi, dan Ketua LPM Bapak I Wayan Mertha. Koordinasi itu bertujuaan untuk menyiapkan tim yang akan membuat perencanaan dan melakukan penataan serta pengelolaan kepariwisataan termasuk café yang berdiri di Pantai Kedonganan. Rencana penataan tersebut selanjutnya disosialisaikan kembali ke 6 banjar di Desa Adat Kedonganan untuk memberikan pemahaman kepada seluruh warga
54 Desa Adat Kedonganan. Sosialisasi tersebut juga bertujuan untuk memperoleh dukungan dan persetujuan warga. Setelah rencana penataan didukung dan disetujui oleh seluruh warga, proses penataan dilaksanakan dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat.