LAPORAN PENELITIAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LAUT

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PENGINTEGRASIAN KOMPONEN PERTAHANAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kepada pengembangan sektor jasa dan industri, termasuk di dalamnya

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DHAHANA PUTRA DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA R.I

Penyunting: Dr. Ronny Sautma Hotma Bako, S.H., M.H. KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN DAN PENEGAKAN HUKUM DI LAUT

LAPORAN. Penelitian Individu

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengantar

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI MALUKU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

memajukan kescjahteraan umum sebagaimana Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk

PERSPEKTIF HUKUM. Dr. IMA MAYASARI, S.H., M.H

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN ARAHAN UMUM MKP

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT TAHUN

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 50 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011

GUBERNUR SULAWESI UTARA

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau STUDI KASUS PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN PADA PROVINSI KEPULAUAN RIAU

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RINGKASAN. vii. Ringkasan

LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

UPAYA MEMBERI PAYUNG HUKUM YANG KOMPREHENSIF DI BIDANG KONSERVASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 29 April 2016; disetujui: 10 Mei 2016

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

RENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Transkripsi:

2014 LAPORAN PENELITIAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LAUT Dr. Ronny Sautma Hotma Bako, S.H., M.H. Novianto M. Hantoro, S.H., M.H. Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn. Denico Dolly, S.H., M.Kn. Prianter Jaya Hairi, S.H., LL.M P U S A T P E N G K A J I A N P E N G O L A H A N D A T A D A N I N F O R M A S I S E K R E T A R I A T J E N D E R A L D P R R I G e d u n g D P R R I N u s a n t a r a I L t. 2 J l. J e n d. G a t o t S u b r o t o J a k a r t a 1 0 2 7 0

EXECUTIVE SUMMARY KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LAUT A. Pendahuluan Wilayah negara Indonesia mempunyai wilayah perairan lebih luas daripada wilayah daratan, namun saling terintegrasi sebagai kesatuan utuh. Berdasarkan wilayahnya, Indonesia mempunyai 17.499 pulau, yang saling terhubung dengan laut seluas 5.800.000 km 2. Perairan laut Indonesia terbagi atas archipelagic waters seluas 2.950.000 km 2, territorial waters seluas 300.000 km 2, dan area of EEZ of Indonesia (ZEE Indonesia) seluas 2.550.000 km 2. Perairan laut merupakan bagian integral dari wilayah negara sehingga berada di bawah kedaulatan negara Republik Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan, sehingga laut mempunyai arti penting bagi Indonesia. Laut berfungsi untuk mewujudkan integrasi bangsa dan sebagai ruang/kondisi juang bangsa Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara. Kedaulatan negara dan hak berdaulat di laut diatur dalam United Nations Conference on Law of Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conference on Law of Sea. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam kelautan yang sangat besar. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD N RI Tahun 1945, potensi kelautan harus dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, agar dapat digunakan sesuai dengan tujuan negara. Potensi kelautan ini telah dikelola sejak jaman prasejarah hingga saat ini. Kemampuan mengelola laut sebagai modal untuk mewujudkan berbagai kepentingan bangsa dan negara, dapat dilakukan apabila ada political will dari segenap komponen bangsa dan pemimpinnya. Kemampuan ini harus seimbang dengan keadaan geostrategis yurisdiksi perairan Indonesia. Negara menggunakan asas desentralisasi dalam mengelola laut sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 (UU Pemda). Pasal 18 UU Pemda memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah yang memiliki wilayah laut untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Pemerintah Provinsi diberikan kewenangan paling jauh 12 mil laut (4-12 mil laut) dan 1/3 dari itu untuk Pemerintah Kabupaten/Kota (0-4 mil laut) yang diukur dari garis pantai dan/atau ke arah perairan kepulauan. Ini berarti daerah otonom diberikan kewenangan mengelola sumber daya kelautan yang diukur dari perspektif daratan, sejauh tidak menyangkut lima urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007. 1

Pengelolaan laut juga didasarkan pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang) dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 (UU PWP3K). UU Tata Ruang menentukan pengelolaan ruang laut dan ruang udara diatur dengan undang-undang tersendiri namun hingga saat ini undang-undang tersebut belum ada, sedangkan UU PWP3K menentukan pemerintah daerah wajib menyusun perencanaan PWP3K yang terdiri dari rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil namun UU PWP3K tidak mengatur tentang rencana zonasi nasional, rencana zonasi rinci lintas wilayah, dan rencana zonasi rinci kawasan strategis nasional. Kedua undang-undang ini mempunyai implikasi yuridis terhadap pengelolaan ruang laut yang menjadi wilayah yurisdiksi nasional, sebagai akibat terjadinya kekosongan hukum dari kedua norma hukum tersebut. Ini menyebabkan terjadi konflik pemanfaatan ruang, konflik kepentingan, dan persoalan transboundary, sehingga untuk mengatasi enclave diperlukan suatu rencana tata ruang laut nasional yang diatur dalam undang-undang secara tersendiri. Selain itu, konflik tersebut bersumber dari kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan laut saling tumpah tindah sebagai akibat dari disharmoninya peraturan perundang-undangan tersebut. Kewenangan pengelolaan laut yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut belum sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang diamanatkan oleh undangundang yang bersangkutan, sehingga timbul perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap kewenangan pengelolaan kelautan, perbedaan persepsi dan interpretasi juga timbul disharmoni dari peraturan perundang-undangan itu dan kekosongan hukum. Atas dasar itu, permasalahan hukum dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan laut, yang dijabarkan dalam pertanyaan penelitian yaitu pertama, bagaimana pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan laut, kedua, bagaimanakah implementasi dari kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah Daerah dalam pengelolaan laut, dan ketiga kendala/hambatan/persoalan apa sajakah yang terjadi dalam implementasi kewenangan pengelolaan laut oleh Pemerintah Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan laut, implementasi dari kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah Daerah dalam pengelolaan laut, dan kendala/hambatan/persoalan apa sajakah yang terjadi dalam implementasi kewenangan pengelolaan laut oleh Pemerintah Daerah. Penelitian ini diharapkan dapat berguna secara 2

akademis dan praktis, yaitu dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah pada umumnya dan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan laut dan sumbangan pemikiran untuk Pembentukan RUU tentang Kelautan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2014. B. Metode Penelitian Penelitian tentang kewenangan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah tentang pengelolaan laut akan menggunakan metode penelitian hukum empiris normatif. Ini didasarkan pada ruang lingkup permasalahan penelitian, yang tidak mungkin hanya menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melihat hukum sebagai norma yang telah tertulis saja (law as it is written in the books), sehingga digunakan juga metode penelitian hukum empiris (law in context). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan sifat penelitian deskriptif, sehingga dapat melakukan pengamatan terhadap setiap tindakan nyata atau perilaku aktual dari warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Metode penelitian hukum empiris-normatif ini akan digunakan dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa focus group discussion, observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Data yang terkumpul dalam penelitian ini disusun secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dianalisis secara kualitatif. Penelitian dilakukan di Provinsi Sulawesi TEnggara (tanggal 24 s.d. 30 Maret 2014) dan Provinsi Kepulauan Riau (tanggal 19 s.d. 25 Mei 2014). Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Riau ditentukan sebagai daerah penelitian karena kedua daerah tersebut berada dalam wilayah perairan yang cukup luas. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan Provinsi yang berada di wilayah timur Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempunyai perairan laut seluas 110.000 km 2 dan mempunyai potensi sumber daya alam laut yang cukup beragam, serta secara geografis berada dalam perairan laut yang luas dan berbatasan dengan Laut Flores di sebelah selatan, Laut Banda di sebelah timur, Teluk Tolo di sebelah timur laut, dan Teluk Bone di sebelah Barat, sedangkan secara oceanografi provinsi ini perairan lautnya sangat potensial untuk pengembangan usaha perikanan dan pengembangan wisata bahari. Namun, potensi kelautan Provinsi Sulawesi Tenggara ini belum dapat dilaksanakan dengan cukup baik. Provinsi Kepulauan Riau sebagai mempunyai potensi laut yang besar, yaitu 95% dari luas wilayah sebesar 252.601 km 2 merupakan lautan dan berada dalam wilayah perairan perbatasan negara 3

yang langsung berhadapan dengan laut bebas dan wilayah perairan strategis (Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Andaman, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan), sehingga provinsi ini mempunyai karakteristik politis dan mempunyai banyak stakeholders yang bersinggungan, sehingga terjadi banyak benturan tekanan dan kewenangan antara negara tetangga, pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan otorita terkait dengan kedudukannya sebagai provinsi yang mempunyai daerah kepulauan yang berbatasan dengan negara lain. Penelitian ini menggunakan beberapa stakeholders sebagai narasumber yaitu Pemerintah Provinsi (Biro Hukum/Kota), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda Provinsi/Kota), Dinas Kelautan dan Perikanan (Provinsi/Kota), Akademisi (perguruan tinggi), dan Badan Otorita Batam. C. Hasil Penelitian a. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan laut Pengelolaan laut didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU Pemda, UU Perairan, UU Tata Ruang, UU PWP3K, UU Migas, dan UU Kepariwisataan. Peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan pengelolaan kepada beberapa stakeholder s, di antaranya pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 23 UU Perairan, pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional. Demikian pula administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan pemerintah daerah atas pengelolaan laut didasarkan pada Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemda dan Pasal 6 UU PWP3K. Pemerintah provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola laut sejauh 4-12 mil dan pemerintah kabupaten/kota sejauh 0-4 mil yang diukur dari garis pantai. Norma tersebut menunjukan yurisdiksi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota saling berkaitan. Keterkaitan ini tampak dalam rumusan urusanurusan pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah provinsi yang jatuh bersamaan dengan wewenang daerah kabupaten/kota. Kewenangan dimaksud adalah kewenangan otonom untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dirumuskan dalam pasal 18 ayat (3) tersebut diatas. Namun demikian UU Pemda tidak menetapkan tata cara yang harus ditempuh untuk menetapkan batas luar wilayah yurisdiksi pemerintah provinsi di laut. Demikian pula ketentuan mengenai siapa yang harus menetapkannya, belum ditetapkan, apakah ditetapkan oleh masing-masing provinsi yang saling berbatasan ataukah oleh pemerintah pusat bersama 4

dengan masing-masing pemerintah daerah. Batas wilayah yurisdiksi pemerintah daerah di laut merupakan masalah yang penting untuk ditetapkan secara definitif. Penetapan yurisdiksi ini berkaitan langsung dengan pelaksanaan wewenang pengelolaan sumber daya oleh pemerintah daerah. Demikian pula pelaksanaan wewenang dalam pemberian izin bagi kegiatan/usaha dilaut baik yang menjadi wewenang pemerintah provinis maupun kabupaten/kota akan sangat tergantung oleh penetapan batas wilayah yurisdiksi masing-masing. Pengelolaan laut ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, antar-pemerintah daerah, antar-sektoral, serta antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Namun, pemahaman pelaksanaan otonomi daerah terhadap pengelolaan sumber daya kelautan masih beragam. Batas wilayah pengelolaan perairan sering kali disalahartikan sebagai batas administrasi atau bahkan sebagai wilayah kedaulatan daerah. Hal ini telah memicu adanya konflik antardaerah dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Di sisi lain, ada sekitar 20 (dua puluh) kementerian/lembaga yang mengurusi pengelolaan laut, juga membuat rumit masalah pengelolaan laut di Indonesia. Selain itu, pemerintah daerah diwajibkan untuk membuat tata ruang laut dengan sistem zonasi yang disesuaikan dengan pengaturan mengenai rencana tata ruang wilayah daerah dan rencana tata ruang wilayah nasional. Namun, untuk melaksanakan kewenangan dan kewajiban tersebut terdapat permasalahan hukum dengan adanya enclave yang timbul dari amanat UU Tata Ruang dan UU PWP3K. Berkaitan dengan pengelolaan laut ini, terdapat dua isu strategis daerah, yaitu pertama, optimalisasi penanganan wilayah perbatasan, pulau-pulau terdepan dan pulau-pulau kecil sebagai pusat pertumbuhan serta pertahanan dan keamanan wilayah kedaulatan negara, dan kedua, kurangnya pengembangan sektor industri pengolahan terutama industri pengolahan hasil kelautan dan perikanan. Selain itu, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Pasal 5 UU PWP3K mengatur mengenai proses pengelolaan yaitu meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil merupakan kewenangan pemerintah daerah atas pelimpahan dari pemerintah pusat, sebagaimana amanat undang-undang. Namun, pengelolaan laut yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih seringkali ditemui permasalahan. Permasalahan tersebut diperkirakan bersumber dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah seringkali sama dengan kewenangan Pemerintah Pusat dalam mengelola objek laut yang sama. Oleh karena itu, ada suatu tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam mengelola laut tersebut. Beberapa pendapat mengatakan bahwa tumpang tindih kewenangan ini bersumber dari tidak harmonisnya antara satu undang-undang dengan undangundang lainnya. Tumpang tindih kewenangan ini menyebabkan banyak laut yang tidak dikelola dengan baik oleh Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, sudah seharusnya wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil dikelola dan digunakan sebesarbesarnya demi kemakmuran rakyat Indonesia. Ini berarti bahwa kewenangan pemanfaatan wilayah laut oleh pemerintah daerah dibatasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan wilayah laut. Atas dasar hasil penelitian ini, maka Pengelolaan kelautan sebagai aset bersama milik bangsa Indonesia harus dilakukan secara menyeluruh, sistemis, dan terpadu melalui sebuah kerangka hukum yang dapat menjamin kepastian hukum dan kemanfaatannya bagi seluruh masyarakat. Pengelolaan dan pembangunan bidang kelautan yang meliputi berbagai macam sumber daya dan kompleksitas sektor atau kelembagaan memerlukan kerangka hukum yang sistemis dan terpadu dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan terkait sebagai realisasi dari pembentukan hukum nasional yang senantiasa relevan dan mutakhir. Selain itu, roses pengelolaan dan pemanfaatan ini harus tetap menjaga keseimbangan ekosistem laut, keanekaragaman sumber daya kelautan, dan ancaman/dampak yang dapat diakibatkan dari pengelolaan tersebut, serta ada kerjasama, komunikasi, maupun koordinasi dari pemerintah, masyarakat maupun setiap stakeholders yang terkait. b. Implementasi dari kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah Daerah dalam pengelolaan laut Pelaksanaan kewenangan ini dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menjadikan tataran koordinasi sebagai fokusnya, terutama yang menyangkut pengelolaan sumber daya di laut. Pemerintah daerah membuat pemetaan mengenai persoalan-persoalan yang akan 6

diantisipasi yang berkaitan dengan pengelolaan laut, antara lain tata ruang laut, pelestarian sumber daya alam di laut, penegakan hukum, dan perlindungan ekosistem laut. Ini dilakukan dengan tetap berpegang pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan berorientasi pada hasil sesuai dengan kewenangannya. Kewenangan ini diimplementasikan dalam rencana pembangunan daerah untuk meningkatkan pendayagunaan sumber daya kelautan, perikanan, dan pulau-pulau kecil, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengembangkan wisata berbasis kelautan, budaya lokal dan keunggulan wilayah. Pengembangan wilayah laut dan sektor-sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu grand design pembangunan oleh pemerintah daerah, seperti pembangunan minapolitan, pembangunan wisata kelauatan/wisata bahari, modernisasi armada nelayan tradisional, pengembangan budidaya laut, dan peningkatan penegakan hukum di wilayah laut. Rencana pembangunan daerah tersebut dituangkan pengaturannya ke dalam peraturan daerah. c. Kendala yang terjadi dalam implementasi kewenangan pengelolaan laut oleh Pemerintah Daerah Wilayah yurisdiksi nasional Indonesia memiliki potensi keanekaragaman sumber daya kelautan, namun potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Ini disebabkan belum ada landasan yang kuat bagi pemanfaatan ruang laut dalam mensinergikan berbegai kegiatan antarnegara, antar-sektor, dan antar-wilayah, serta belum adanya stratgei pemanfaatan ruang perairan yang komprehensif dan terpadu. Ini menyebabkan pelaksanaan kewenangan ini masih menemui kendala, yaitu tumpang tindihnya kewenangan dari para stakeholders, banyak stakeholders yang terlibat di dalamnya namun belum ada stakeholder yang ditunjuk sebagai penanggung jawab (leading sector), tumpang tindih atau ketidaksinkronan pengaturan yang terkait dengan pengelolaan laut dalam peraturan perundang-undangan, Indonesia belum mempunyai rencana tata ruang wilayah untuk ruang laut sebagaimana diamanatkan oleh UU Tata Ruang, belum tersusunnya Rencana Zonasi Nasional yang diamanatkan oleh UU PWP3K. Pemerintah daerah dalam melaksanaan kewenangan ini mengalami kendala regulasi dan keterbatasan anggaran. Pemerintah daerah mengalami keterbatasan anggaran dan sarana prasarana untuk menetapkan titik terluar batas wilayah lautnya. Selain itu, belum semua daerah mempunyai regulasi yang mengatur mengenai pengelolaan wilayah laut ini. Kendala regulasi ini mengakibatkan tumpang tindih kewenangan pemanfaatn wilayah laut di ruang yang sama, sehingga berkembang menjadi konflik antar-lembaga dan antar-sektor, bahkan antar-negara terutama bagi daerah yang berbatasan dengan negara lain. 7

Penyelesaian masalah tumpang tindih tersebut tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang kepada UU sektoralnya dan UU sektoral itu sama derajatnya. Permasalahan tumpang tindih ini semakin kompleks dikarenakan tidak adanya satu kementerian/lembaga yang berwenang untuk mengkoordinasikan kebijakan terkait pemanfaatan wilayah laut dan implementasinya, masing-masing sektor dinaungi oleh kementerian. Dalam hal ini perlu dilakukan, pertama, harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan wilayah laut. Kedua, koordinasi semua sektor yang memiliki kewenangan di laut demi menghindari konflik antarinstansi, membangun sinergi dan penguatan antarinstansi pemerintah baik di pusat dan di daerah. Ketiga, kerjasama antarinstansi yang harmonis untuk mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah laut daerah. Hal ini untuk menjaga keutuhan NKRI yang harus menjadi prioritas utama semua instansi maupun lembaga negara. Keempat, menyusun penataan ruang kelautan nasional. D. Penutup Pengelolaan laut mempunyai banyak stakeholder s yang berwenang, di antaranya pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan laut didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU Pemda, UU Perairan, UU Tata Ruang, UU PWP3K, UU Migas, dan UU Kepariwisataan. Pemerintah provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola laut sejauh 4-12 mil dan pemerintah kabupaten/kota sejauh 0-4 mil yang diukur dari garis pantai. Selain itu, pemerintah daerah diwajibkan untuk membuat tata ruang laut dengan sistem zonasi yang disesuaikan dengan pengaturan mengenai rencana tata ruang wilayah daerah dan rencana tata ruang wilayah nasional. Namun, untuk melaksanakan kewenangan dan kewajiban tersebut terdapat permasalahan hukum dengan adanya enclave yang timbul dari amanat UU Tata Ruang dan UU PWP3K. Kewenangan pengelolaan laut oleh pemerintah daerah diimplementasikan dengan berdasarkan pada rencana pembangunan daerah yang dituangkan pengaturannya ke dalam peraturan daerah. Pelaksanaan kewenangan ini masih menemui kendala, yaitu tumpang tindihnya kewenangan dari para stakeholders, banyak stakeholders yang terlibat di dalamnya namun belum ada stakeholder yang ditunjuk sebagai penanggung jawab (leading sector), tumpang tindih atau ketidaksinkronan pengaturan yang terkait dengan pengelolaan laut dalam peraturan perundang-undangan, Indonesia belum mempunyai rencana tata ruang wilayah untuk ruang laut sebagaimana diamanatkan oleh UU Tata Ruang, belum tersusunnya Rencana Zonasi Nasional yang diamanatkan oleh UU PWP3K. 8

Atas dasar itu, perlu ditunjuk satu pihak yang paling bertanggung jawab terhadap laut Indonesia sebagai leading sector dari seluruh stakeholders yang berwenang di laut Indonesia, perlu segera dibentuk undang-undang mengenai tata ruang laut dan rencana zonasi laut untuk segera mengatasi enclave yang timbul sebagai implikasi yuridis dari permasalahan tersebut. 9