BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting dalam menunjang aktifitas sehari-hari. Manusia melakukan berbagai upaya demi mewujudkan hidup yang sehat. Pasal 47 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Jasa pelayanan kesehatan menyandang misi fungsi sosial, yang mana misi fungsi sosial ini tetap harus diutamakan, mengingat pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan rasa kemanusiaan yang secara jelas dijamin oleh Undang-Undang, karena itu setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan memadai. Dokter dianggap sebagai pribadi yang akan dapat menolong karena kemampuannya secara ilmiah, sehingga peranan dokter dalam melakukan tindakan medis dianggap mempunyai kedudukan dan peranan yang lebih tinggi daripada pasien. Hubungan kedua belah pihak tersebut dimulai pada saat pertama kali pasien datang ke kamar praktik dokter dengan membawa keluhan sakit pada dirinya. Setelah mendengar keluhan sakit dari pasien maka timbul inisiatif dokter untuk melakukan tindakan tertentu yang bertujuan untuk menyembuhkan pasien (Rusli, dkk., 2006)
Dokter bertanggung jawab secara profesional di bidang medis, berupa pemberian bantuan atau pertolongan. Sementara pasien bertanggung jawab atas kebenaran informasi yang ia berikan kepada dokter. Dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, pasien hanya mengikuti kata dokter sehingga pasien berada pada posisi yang lemah. Sehingga hubungan dokter dengan pasien tidaklah seimbang, karena semua perkataan dan perintah dokter akan diikuti oleh pasien sedangkan hak pasien kadang terabaikan (Soerjono, 1999). Tindakan dokter secara umum menyangkut kewajiban untuk mencapai tujuan tertentu yang didasarkan pada standar profesi medis (inspanings verbintennis). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesional dan menghormati hak pasien. Kewajiban dokter untuk memberikan informed consent kepada pasien sebenarnya tidak terlepas dari kewajiban dokter untuk memperoleh atau mendapatkan informasi yang benar dari pasien (Soerjono, 1999). Kalangan penyandang profesi medik/kesehatan melakukan tindakan/ perbuatan terhadap pasien berupa upaya yang belum tentu keberhasilannya, karena transaksi terapeutik hakikatnya merupakan transaksi antara dokter dengan pasien, untuk mencari terapi yang paling tepat oleh dokter dalam upaya menyembuhkan penyakit pasien. Pasien juga tidak pernah mempunyai pikiran bahwa apa pun tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya itu
sudah didasarkan pada persetujuan pasien, yang dalam kepustakaan disebut sebagai informed consent atau persetujuan tindakan medik (Koeswadji, 2002). Hubungan dokter dengan pasien ditinjau dari sudut hukum merupakan suatu perjanjian yang obyeknya berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan, yang dikenal dengan perjanjian terapeutik. Sehingga setiap pasien mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi juga ia terlebih dahulu berhak mengetahui hak-hak mengenai penyakitnya dan tindakan-tindakan atau terapi apa yang dilakukan dokter serta segala risiko yang mungkin timbul kemudian. Atas kesepakan bersama dalam suatu perjanjian yang mendasarkan atas suatu persetujuan untuk melakukan hal-hal tertentu akan berakibat munculnya hak dan kewajiban (Koeswadji, 2002). Dari berbagai penelitian yang dilakukan, ternyata bahwa masalah penyampaian informasi oleh dokter kepada pasien memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan dan juga pelaksanaan pengobatan, terutama dampak pada pasien, karena dalam pemberian pemenuhan informasi pada penerima jasa pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien adalah pemberitahuan akan penemuan hasil diagnosa dokter setelah selesai pemeriksaan dan juga membutuhkan kebenaran informasi yang didasarkan atas kejujuran dan ketulusan dokter untuk menolong pasien (Komalawati, 1999). Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, maka seorang dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien (Permenkes No. 512 /Menkes/Per/X/2005). Oleh karena itu setiap dokter wajib menyelenggarakan kendali mutu, dimana dalam rangka pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diselenggarakan audit medis. Pengertian audit medis adalah upaya evaluasi secara professional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam medis yang dilaksanakan oleh profesi medis. Hal tersebut dilakukan karena penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit sering dikeluhkan oleh masyarakat yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang mereka terima, baik dari dokter maupun rumah sakit (Resnani, 2002). Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 52, memuat hak-hak pasien yang berupa: 1) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, yang mencangkup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; 2) meminta pendapat dokter; 3) mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4) menolak tindakan medis; dan 5) mendapat isi rekam medik. Hasil penelitian Sinulingga (2004), menyimpulkan bahwa pasien mengharapkan: petugas penerima pasien yang ramah, terampil dan memberikan informasi yang jelas, proses pelayanan berjalan cepat. Sedangkan pelayanan oleh dokter diharapkan: waktu
tunggu tidak terlalu lama, perhatian, berpengalaman, tanggap, mau mendengarkan keluhan dan dapat memberikan penjelasan tentang penyakit yang diderita pasien, dimana semua itu merupakan bagian dari hak-hak pasien yang harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya hak-hak pasien atas pelayanan kesehatan merupakan salah satu indikator tidak tercapainya kepuasan pasien atas pelayanan yang sudah diterimanya tersebut (Tengker, 1995). Hasil dari penelitian Moenir dan Sanusi (2002), diperoleh bahwa sekitar 33,58% kepuasan pasien dipengaruhi oleh persepsi atas mutu pelayanan. Hasil penelitian Resnani (2002) juga menunjukkan adanya pengaruh positif komunikasi dokter terhadap kepuasan pasien rawat jalan sebesar 68,2%. Kondisi pelayanan kesehatan di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi saat ini belum memenuhi harapan masyarakat. Hal ini ditandai dengan Bed Occupancy Rate (BOR) pada tahun 2010 sebesar 60%. Berdasarkan survei awal di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing penulis menemukan bahwa masih banyak pasien dan keluarga tidak puas atas pelayanan dokter di rumah sakit. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan 20 orang pasien rawat inap pada bulan Juli 2011, didapati: 1) sebesar 55% pasien mengatakan belum mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; 2) sebesar 17% pasien meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 3) sebesar 7% pasien menolak tindakan medis; dan 4) 76% pasien mendapatkan isi rekam medis. Selain itu, dari 100 berkas rekam medis ditemukan uraian sebagai berikut : 1) sebesar 8% terpenuhi mengenai kelengkapan
resume pasien pulang dari unit rawat inap; 2) sebesar 12% terpenuhi diagnosa akhir ketika pasien boleh keluar/pulang atau meninggal; 3) penandatanganan informed consent oleh dokter dan pasien di setiap kasus tindakan medis invasive maupun non invasive; 4) sebesar 25% terpenuhi diagnosa awal ketika pasien masuk; dan 5) sebesar 40% berkas rekam medis tidak diisi secara lengkap setiap hari oleh dokter. Belum terpenuhinya hak-hak pasien dari pihak rumah sakit dapat terjadi karena beberapa alasan, salah satunya adalah motivasi tenaga medis terutama dokter. Ishak dan Hendri (2003), menyatakan bahwa sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorong. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Pernyataan tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan McClelland yang dikutip Hasibuan (2005), bahwa keberhasilan karyawan disebabkan karena mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi dalam dirinya. Menurut Herzburg dalam Masithoh (1998) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik), yang meliputi: 1) prestasi yang diraih; 2) pengakuan orang lain; 3) tanggung jawab; 4) peluang untuk maju; 5) kepuasan kerja itu sendiri; dan 6) kemungkinan pengembangan karir. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai
manusia, pemeliharaan ketentraman dan kesehatan, yang meliputi: 1) kompensasi; 2) keamanan dan keselaman kerja; 3) kondisi kerja; 4) status, 5) prosedur perusahaan; dan 6) mutu dari supervisi teknis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan. Berdasarkan hasil survei dan fenomena tersebut di atas, maka penting dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui apakah ada pengaruh motivasi terhadap tindakan dokter dalam melaksanakan Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 2004 tentang pemenuhan hak-hak pasien di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. 1.2 Permasalahan Dari uraian pada latar belakang di atas yang menjadi permasalahan sebagai berikut: bagaimana pengaruh motivasi terhadap tindakan dokter dalam melaksanakan Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 2004 tentang hak-hak pasien di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. 1.3 Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh motivasi terhadap tindakan dokter dalam melaksanakan Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 2004 tentang hak-hak pasien di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.
1.4 Hipotesis Motivasi berpengaruh terhadap tindakan dokter dalam melaksanakan Undang- Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 2004 tentang hak-hak pasien di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi pihak Pimpinan RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan untuk mengembangkan kualitas pelayanan terkait Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 20 Tahun 2004 tentang hak-hak pasien. 2. Bagi Ilmu Pengetahuan Untuk menambah informasi dan masukan bagi pembelajaran tentang pengaruh motivasi terhadap tindakan dokter melaksanakan Undang-Undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004 tentang hak-hak pasien, terutama bidang Administrasi Rumah Sakit.