BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem

BAB I PENDAHULUAN. mencari nafkah. Hal ini yang mendorong munculnya paktek perdagangan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

LATAR BELAKANG. Click to edit Master subtitle style

BAB I PENDAHULUAN. serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang. ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007.

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dengan manusia yang lain. Pengertian anak menurut Anwar Riksono adalah :

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Menurut Sadjijono dalam bukunya mengatakan:

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. orang migrasi ke kota untuk bekerja. Adanya migrasi ke kota membawa

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya membina. terjadi dikalangan masyarakat pada umumnya.

Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Di masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

BAB I PENDAHULUAN. rapi dan sangat rahasia keberadaannya. 2

BAB I PENDAHULUAN. melekat dan menjadi predikat baru bagi Negara Indonesia. Dalam pandangan

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum bukan

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

Bentuk Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini, sebab sebagai mahluk yang bermartabat tinggi, manusia bagaimana pun

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN TRAFIKING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI KABUPATEN SUBANG PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

PERLINDUNGAN SAKSI KORBAN DAN RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA TRAFIKING (Studi Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam) Eliwarti Ferri Aries Suranta ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan anak. mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

TINJAUAN PUSTAKA. Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-

Lex et Societatis, Vol. II/No. 9/Desember/2014

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional khususnya perdagangan orang yang merupakan pelanggaran harkat martabat manusia dan perbudakan, tetapi beberapa aturan hukum tersebut ternyata tidak membuat jera para pelaku untuk berhenti melakukan perdagangan orang, bahkan akhir-akhir ini perbuatan tersebut cenderung meningkat. Selama ini perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan orang lain. 1 Perbudakan dalam perbuatan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain, sehingga orang tersebut tidak mampuh menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan sebagai bentuk modern dari perbudakan manusia, yang merupakan perbuatan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Atas dasar itu, masalah tindak pidana perdagangan orang menjadi perhatian serius beberapa negara termasuk pemerintah Indonesia. Penanggulangan tindak pidana dapat diawali dengan dengan melakukan upaya pencegahan serta diakhiri dengan penindakan hukum atas tindak pidana 1 Heny Nuraeny, 2011. Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 27. 1

yang terjadi. Sebab itu, penanggulangan tindak pidana dapat meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil, bentuk dan jenisnya dapat berupa tindak pidana umum yang diatur dala KUHP, dan tindak pidana khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Salah satu tindak pidana khusus adalah tindak pidana perdagangan orang, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Di sisi lain sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, perdagangan orang sudah diatur dalam KUHP, khususnya yang terdapat dalam pasal 297 yang mengancam hukuman 6 (enam) tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur, pasal ini dianggap tidak efektif untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana terkait. Selain itu juga, dengan masih banyaknya praktek-praktek lain dari perdagangan orang yang terjadi, baik yang menimpa perempuan dan laki-laki dewasa, dengan dirasa masih banyaknya unsur-unsur yang tidak dapat megakomodir bentuk-bentuk praktek perdagangan orang yang terjadi kini sehingga menjadi sulit untuk dapat diberantasnya kejahatan perdagangan orang tersebut. Saat ini di dalam pemberitaan yang berkaitan dengan perdagangan orang di Indonesia saja kian marak terjadi, dari berbagai macam kegiatan kejahatan diketahui yang dilakukan oleh orang perorangan maupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat. Pelanggaran-pelanggaran tersebut ada berbagai macam bentuknya, antara lain eksploitasi sebagai buruh, menjadi korban pornografi, prostitusi dan narkoba. Kejahatan perdagangan orang ini, dapat mengancam 2

eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan perkembangan diri dari seseorang. Melihat pada kenyataan yang ada dari korbankorban perdagangan orang, luasnya praktik tersebut khususnya yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, terjadi karena banyak faktor-faktor yang mendukung dan memungkinkan untuk dapat terus berkembang lebih jauh lagi. Perdagangan orang khususnya bagi kaum perempuan dan anak bukan merupakan masalah yang baru di Indonesia serta bagi negara-negara lain di dunia. Telah banyak yang mengawali sejarah lahirnya konvensi-konvensi sebagai upaya dari berbagai negara untuk menghilangkan penghapusan perdagangan orang dan penyelundupan manusia terutama perempuan dan anak secara lintas batas negara untuk tujuan prostitusi. Sebagai perbandingan bahwa perdagangan orang dan penyelundupan manusia merupakan kejahatan dengan nilai keuntungan terbesar ke-3 (tiga) setelah kejahatan penyelundupan senjata dan peredaran narkoba. 2 Perdagangan orang (trafficking) menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (Pasal 3 2 Jurnal Nur Kusuma Wardani, Tindak Pidana Perdagangan Orang diakses dari https://www.academia.edu/8377597/jurnal_nur_kusuma_wardani pada tanggal 16 Oktober 2015 pada pukul 15.00 WIB 3

Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia). 3 Sedangkan definisi Perdagangan Orang (trafficking) menurut Pasal 1 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Pasal 1 (ayat 2) Undang-undang no 21 Tahun 2007 menyebutkan Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini. (Substansi hukum bersifat formil karena berdasar pembuktian atas tujuan kejahatan trafiking, hakim dapat menghukum seseorang). Berdasarkan pengertian dari berbagai definisi di atas, perdagangan orang dipahami mengandung ada 3 (tiga) unsur yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana Perdagangan Orang. Apabila dalam hal ini yang menjadi korban adalah orang dewasa (umur 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking yang harus diperhatikan adalah proses (pergerakan), cara dan tujuan (eksploitasi). Sedangkan apabila korban adalah Anak (umur 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking yang 3 Ibid, 4

harus diperhatikan adalah proses (pergerakan) dan tujuan (eksploitasi) tanpa harus memperhatikan cara terjadinya trafficking. 4 Penjelasan unsur-unsur trafficking yang dimaksud adalah apakah ada PROSES (pergerakan) seseorang menjadi korban dari tindak perdagangan orang melalui Direkrut, Ditransportasi, Dipindahkan, Ditampung, atau Diterimakan ditujuan, ya atau tidak, sehingga seseorang menjadi korban trafiking. sedangkan unsur cara apakah seseorang tersebut mengalami tindakan diancam, dipaksa dengan cara lain, diculik, menjadi korban pemalsuan, ditipu atau menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan, ya atau tidak, sehingga seseorang menjadi korban trafiking. kemudian dilihat dari unsur tujuan (eksploitasi) apakah korban tereksploitasi seperti dalam bidang pelacuran, bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, praktek-praktek lain dari perbudakan (misal: tugas militer paksa), atau pengambilan organ-organ tubuh, ya atau tidak, jika memenuhi semua unsur tersebut maka seseorang dipastikan menjadi korban perdagangan orang. Di Indonesia, protocol PBB tentang Trafficking diadopsi dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. RAN dikuatkan dalam bentuk Keppres RI Nomor 88 tahun 2002, disebutkan Trafficking Perempuan dan Anak adalah segala tindakan pelaku trafficking yang mengandung salah satu atau tindakan perekrutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara atau ditempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekuasaan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu 4 Ibid, 5

muslihat, memanfaatkan posisi kerentaan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain), terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedofilia), buruh imigrant legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan formal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Pelaku trafficking diartikan sebagai seorang yang melakukan atau terlibat dan menyetujui adanya aktivitas perekrutan, transportasi, perdagangan, pengiriman, penerimaan atau penampungan atau seorang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk tujuan memperoleh keuntungan. Orang yang diperdagangkan (korban trafficking) adalah seseorang yang direktur, dibawa, dibeli, dijual, dipindahkan, diterima atau disembunyikan, sebagaimana disebutkan dalam definisi trafficking pada manusia termasuk anak, baik anak tersebut mengijinkan atau tidak. Inti dari trafficking adalah adanya unsur eksploitasi dan pengambilan keuntungan secara sepihak. Eksploitasi disini diartikan sebagai tindakan penindasan, pemerasan, dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga, dan atau kemampuan seorang oleh pihak lain yang dilakukan sekurang-kurangnya dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar pada sebagian pihak. Dalam dunia perdagangan orang (trafficking) banyak sekali mitos dan kenyataan yang perlu kita pahami agar lebih waspada terhadap berbagai modus penipuan dari tindak pidana perdagangan orang. 6

Salah satu ekploitasi dalam trafficking adalah eksploitasi seksual dimana yang menjadi kebannyakan korbannya adalah kaum perempuan baik yang sudah dewasa maupun yang belum dewasa. Perempuan sebagai korban dari kegiatan jual-beli manusia ini diperlakukan seperti barang yang dapat dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali sebagai objek komoditi yang menguntungkan pelaku kejahatan tindak pidana perdagangan perempuan (women Trafficking). Korban bukan hanya mengalami eksploitasi seksual saja tetapi mendapat pelakuan kasar sebagai pekerja paksa yang merupakan bentuk tindak perbudakan manusia. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Hal ini akan mengancam kualitas penerus bangsa serta memberi dampak negatif bagi bangsa yang mengalaminya di mata dunia. Adanya kekhawatiran munculnya berbagai bentuk manipulasi dan eksploitasi manusia, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak sebagai akibat maraknya kejahatan perdagangan manusia memang bukan tanpa alasan. Banyak contoh yang dapat diberikan perempuan dan anak-anak, yang seharusnya memperoleh perlakuan yang layak justru sebaliknya dieksploitasi untuk tujuantujuan tertentu. Padahal, perempuan dan anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya. 7

Apabila melihat pada berbagai kebijakan (policy) yang dibuat pemerintah berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak, pada dasarnya kebijakan yang dibuat relatif komprehensif, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hingga peraturan-peraturan di bawahnya seperti, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden hingga Keputusan Menteri. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional secara tegas telah mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak perempuan dan anakanak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2), yang rumusannya, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tindak pidana perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk mencegah dan menanggulangi perdagangan perempuan dan anak. Dengan peraturan perundangundangan yang sudah ada, seharusnya pemerintah Indonesia bisa menjerat pelakunya dan memberikan perlindungan bagi korbannya. Pemerintah Indonesia yang dimaksud di sini adalah pihak aparat penegak hukum, yang termasuk di dalamnya adalah polisi, jaksa, dan hakim. Polisi sebagai aparat penegak hukum, mempunyai tanggung jawab yang berat untuk menanggulangi perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual komersial. Tentunya dengan 8

menerapkan peraturan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia maka diharapkan kepolisian mampu untuk melakukan upaya pencegahan/preventif dan bahkan menanggulanginya sehingga tidak ada lagi perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. Upaya pencegahan dan penanggulangan permasalahan ini dilakukan di tingkat internasional, lokal dan regional, dengan melakukan kerjasama dengan instansi terkait. Aparat penegak hukum harus bisa bekerjasama dan bekerja keras untuk mencegah permasalahan ini, Bukan hanya pemerintah dan pihak kepolisian tetapi juga instansi-instansi yang terkait, misalnya dinas sosial, dinas kependudukan, dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), ikut ambil bagian dalam menyelesaikan permasalahan ini di Indonesia atau internasional. Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, salah satunya melalui pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia, perlu secara terusmenerus dilakukan demi tetap terpeliharanya sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas perlindungan terhadap perempuan dan anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang dewasa maupun pria, karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Perdagangan perempuan merupakan isu yang dianggap sangat penting dikarenakan mengingat kejahatan ini yang sangat teroganisir dengan baik dan semakin banyak memakan korban. Terdorong oleh karenanya, pemerintah pada tahun 2007 mengeluarkan Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 9

Apapun bentuk tujuan dari perdagangan manusia tidak ada satupun yang menguntungkan hanya akan membawa penderitaan dan merugikan berbagai pihak baik Negara, masyarakat, keluarga/orang tua, terlebih lagi terhadap diri individu yang menjadi korban dan anak-anak. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti mengambil judul tentang : Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pengangkutan Atau Pengiriman Orang Dengan Tujuan Eksploitasi Seksual 1.2. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah yang diajukan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Upaya penanggulangan tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual. 2. Perlindungan bagi korban tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual. 1.3. Pembatasan Masalah Adapaun pembatasan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu membahas menegenai tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan eksploitasi seksual berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bayuwangi Nomor : 1.267/Pid.B/2010/PN.Bwi yang meneliti mengenai upaya penanggulangan tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang denga tujuan untuk eksploitasi seksual dan perlindungan bagi korban tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual. 10

1.4. Perumusan Masalah Adapun Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana upaya penanggulan tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual? 2. Bagaimana perlindungan bagi korban tindak pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual? 1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian a. Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum ( S.1 ) pada Fakultas Hukum Universitas Medan Area. b. Untuk dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembanagan ilmu pengetahuan hukum pidana, khusunya dalam tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan eksploitasi seksual. c. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang merasa tertarik pada masalah yang ditulis dalam skripsi ini. d. Untuk mengetahui Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual. e. Untuk mengetahui Bagaimana perlindungan terhadap korban tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan untuk eksploitasi seksual 11

1.5.2. Manfaat Penelitian a. Menambah pengetahuan bagi peneliti dibidang hukum pidana terurtama mengenai tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan eksploitasi seksual. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum pidana mengenai tindak pidana pengangkutan atau pengiriman orang dengan tujuan eksploitasi seksual. 12