BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sejak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dan tepat untuk diterapkan (Ismail, 2005: 1). Dengan pemberian otonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

DAFTAR ISI. Halaman. xiii xv xvi

BAB I PENDAHULUAN. Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota Denpasar pada awalnya merupakan pusat Kerajaan Badung yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya yang berkesinambungan, yang

ASSESSMENT SALES RATIO, SUATU ALAT PENGUKUR KINERJA PENETAPAN NPOP (Studi di Desa Ambarketawang, Sleman)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu PAD. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD, adalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

ANALISIS PERANAN DESENTRALISASI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

I. PENDAHULUAN. Penerimaan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan baik melalui administrator pemerintah. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat mengartikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah secara

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tempat pusat pemerintahan. Dahulunya pemerintahan pusat harus mengurusi

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari wajib pajak yang berdasarkan peraturan perundangan mempunyai. kewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintah.

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat dan pembangunan (Siahaan, 2010:9). Sedangkan pajak

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini begitu banyak pembangunan di wilayah perkotaan atau di

BAB I PENDAHULUAN. bagi seluruh makhluk dimuka bumi. Oleh karena itu, tanah memiliki peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

MASALAH UMUM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur tentang pemerintahan provinsi,

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Efektivitas Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Boyolali

BAB I PENDAHULUAN. pembayarannya bersifat wajib untuk objek-objek tertentu. Dasar hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa orde baru, pembangunan yang merata di Indonesia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. perlu terus dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

MODUL PERPAJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. seperti jalan, jembatan, rumah sakit. Pemberlakuan undang-undang tentang

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran. pemerintah di bidang pembangunan dan kemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan dalam penyelenggaraan suatu negara hal ini untuk

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 47/PJ/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Keberhasilan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah

ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR. Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama mengelola sumber daya yang. perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terbagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut. Pasal 285 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas: pendapatan asli daerah, pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan asli daerah meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada undangundang. Pungutan daerah yang berupa pajak dan retribusi diatur dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 1

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Terbitnya undang-undang tersebut berimplikasi semakin menguatnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pajak dan retribusi daerah. Terdapat 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota yang salah satunya adalah Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Salah satu kabupaten yang melaksanakan pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah adalah Kabupaten Sleman. Letak Kabupaten Sleman sangat strategis karena berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan pariwisata merupakan daya tarik bagi orang untuk datang dan tinggal di kota ini. Tentu saja dengan luasan sekitar 32,50 km² Kota Yogyakarta tidak memadai untuk menunjang pertambahan jumlah penduduk sehingga menyebabkan perkembangan Kota Yogyakarta ke arah selatan (Bantul) dan utara (Sleman). Akibat gempa yang terjadi di wilayah Yogyakarta pada Mei 2006, terjadi fenomena berpindahnya daerah tujuan untuk pengembangan properti khususnya pemukiman ke arah utara. Kabupaten Sleman dengan pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 0,73 persen dapat dikategorikan daerah dengan pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi. Kecenderungan ini disebabkan fungsi Kabupaten Sleman sebagai penyangga Kota Yogyakarta, daerah tujuan untuk melanjutkan pendidikan, dan daerah pengembangan pemukiman/perumahan sehingga pertumbuhan penduduk yang terjadi lebih banyak didorong oleh faktor migrasi penduduk bukan oleh 2

tingkat kelahiran yang tinggi (Rencana Kerja Pengembangan Daerah/RKPD Kabupaten Sleman Tahun 2013: II-8). Kabupaten Sleman sebagai daerah penyangga Kota Yogyakarta mengalami pertumbuhan sektor properti yang pesat. Hal ini menjadikan potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan bagi daerah melalui pemungutan pajak properti seperti BPHTB. Sejak tanggal 1 Januari 2011, Pemda Kabupaten Sleman telah menerima pengalihan pengelolaan BPHTB dari pemerintah pusat berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sleman Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Keberadaan BPHTB sebagai salah satu penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang sangat vital bagi daerah seperti Kabupaten Sleman. Pemasukan dari BPHTB di Kabupaten Sleman menyumbang sebesar 30 persen pada pajak daerah yang merupakan salah satu sumber dari PAD. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini. Tabel 1.1 Realisasi PAD Kabupaten Sleman, 2013 NO Sumber Pendapatan PAD Jumlah (Rupiah) 1 Pajak Daerah a. BPHTB b. Pajak Penerangan Jalan c. Pajak Hotel d. Pajak-pajak lainnya 281.380.000.000,00 82.360.000.000,00 48.410.000.000,00 41.500.000.000,00 109.110.000.000,00 2 Retribusi Daerah 48.000.000.000,00 3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 126.618.000.000,00 Jumlah 455.998.000.000,00 Sumber: BPS Kabupaten Sleman diolah, 2015 Menurut Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 14 Tahun 2010 tentang BPHTB, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Selanjutnya pada ayat (3) disebutkan jika NPOP tidak 3

diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB tersebut. NPOP tersebut adalah harga transaksi atau nilai pasar. NPOP tidak diketahui dalam pasal ini maksudnya untuk perolehan hak yang tidak melibatkan nilai uang misalnya karena waris atau hibah; atau perolehan hak karena peralihan yang tidak wajar misalnya karena adanya hubungan istimewa (antara lain peralihan hak antar saudara, perusahaan dengan anak perusahaan), atau peralihan hak karena lelang dimana harga yang didapat lebih rendah dari nilai pasar. Pemungutan BPHTB di Kabupaten Sleman dewasa ini masih menemui beberapa masalah diantaranya ketidaksesuaian NPOP terhadap harga transaksi maupun nilai pasar properti. BPHTB adalah salah satu jenis pajak yang dilaporkan sendiri oleh wajib pajak, bukan berdasarkan surat ketetapan pajak yang dibuat oleh pemerintah sebagaimana PBB. NPOP yang dilaporkan oleh wajib pajak rentan dimanipulasi. Nampaknya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 14 Tahun 2010 yang merupakan celah hukum tersebut dimanfaatkan oleh PPAT dan wajib pajak untuk tidak melaporkan besarnya NPOP yang sebenarnya. NJOP PBB yang digunakan sebagai dasar penetapan NPOP menyebabkan penerimaan dari BPHTB lebih rendah dari yang seharusnya. Hal ini disebabkan karena NJOP yang terlalu rendah dari nilai pasar. NJOP pada dasarnya ditujukan untuk pengenaan PBB di mana melibatkan masyarakat luas yang relatif berbeda kondisinya sehingga ditetapkan lebih rendah dari nilai pasar. Hal tersebut menyebabkan pemungutan BPHTB di Kabupaten 4

Sleman kurang optimal sehingga daerah kehilangan potensi penerimaan pajak yang seharusnya lebih tinggi dari yang selama ini diterima. Pemerintah daerah paling bertanggung jawab atas keberhasilan pengenaan BPHTB tersebut sehingga perlu upaya pengelolaan BPHTB secara baik. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana evaluasi kebijakan agar ada upaya pengelolaan BPHTB yang lebih baik sehingga ada keberhasilan penerimaan BPHTB yang lebih optimal yang pada akhirnya mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Sleman. 1.2 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut. Tabel 1.2 Keaslian Penelitian Penulis/Tahun Payton/2010 Variabel Market Value, Non- Market Value Alat Analisis/Lokasi Assessment Sales Ratio /USA Sunyoto/2011 PBB P2, BPHTB Analisis Deskripif Tandi/2012 PBB P2, BPHTB Analisis Deskripif dan Analisis Statistik/Sleman Hodge et al/2013 Harga jual properti, Analisis nilai hasil penilaian Regresi/Detroit penilai Kesimpulan Penilaian secara umum berada di bawah standar nilai pasar. Sebuah standar nilai pasar dapat mengurangi ketidakadilan yang melekat dalam suatu sistem nilai non-pasar. Pemda aktif dalam pengelolaan pajak daerah. Tidak ada perbedaan persepsi responden terhadap pengalihan PBB P2 dan BPHTB sebelum dan diserahkan ke Pemerintah Daerah. Terdapat perbedaan yang cukup besar antara harga jual properti dengan nilai yang dihasilkan oleh para penilai. Hal tersebut menyebabkan potensi pajak properti banyak yang hilang dan merugikan pemerintah. 5

Tabel 1.2 lanjutan Strauss /2013 Harga jual properti, nilai hasil penilaian Assessment Sales Ratio/ Philadelpia Kuswanto/2014 NPOP, nilai pasar Assessment Sales Ratio/Banyumas Sutrisna/2014 Denpasar tahun 2013) NPOP, nilai pasar Assessment Sales Ratio/Denpasar 1. Tingkat akurasi hasil penelitian yang ada menunjukkan penelitian yang dilakukan sangat tidak seragam, dan sangat regresif atau dengan kata lain terdapat ketidakseragaman yang ekstrim dan regresivitas yang ekstrim pula. 2. Terhadap sejumlah besar perhitungan yang telah dilakukan pada data yang tersedia tahun 2013, diusulkan penilaian ulang untuk tahun 2014 untuk dasar penetapan pajak properti. 1. Akurasi NPOP di wilayah penelitian masih relatif rendah dibandingkan dengan nilai pasar propertinya, sehingga mengindikasikan terjadi under assessment dalam penetapan NPOP. 2. Variabilitas nilai AR NJOP dengan nilai pasar properti masih relatif tinggi, menunjukkan tingkat keseragaman yang rendah dan terjadi regresivitas dalam penetapan NJOP sebagai dasar pengenaan BPHTB. 1. Assessment Ratio pada daerah yang diuji masih di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. 2. Tingkat keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan indikasi nilai pasar properti tergolong rendah. Mengacu pada penelitian-penelitian yang terdahulu maka penelitian ini mencoba untuk mereplikasi penelitian-penelitian tersebut. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu lokasi penelitian, objek penelitian, periode penelitian, dan model yang digunakan. Penelitian ini menggunakan variabel NPOP, nilai pasar properti, dan assessment ratio. Penelitian ini diawali dengan perhitungan nilai pasar properti pada sampel 6

penelitian. Selanjutnya dilakukan penghitungan assessment ratio untuk mengetahui berapa rasio antara penentuan NPOP terhadap nilai pasar properti, yaitu meliputi tingkat penilaian dan tingkat keseragaman penetapan NPOP, serta mengetahui seberapa besar potential loss dari perbedaan NPOP dengan nilai pasarnya. 1.3 Rumusan Masalah Terbitnya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berimpliksasi pada semakin menguatkan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan regulasi itu daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat dan menempatkan perpajakan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. BPHTB merupakan salah satu sumber penerimaan PAD yang sangat potensial bagi daerah. Dasar pengenaan BPHTB menurut ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Perda Kabupaten Sleman Nomor 14 Tahun 2010 adalah NPOP, apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP maka dasar pengenaan BPHTB menggunakan NJOP PBB. Ketentuan di atas merupakan celah hukum yang dimanfaatkan oleh PPAT dan wajib pajak untuk tidak melaporkan besarnya NPOP sesuai dengan nilai transaksinya. Jika NPOP yang dilaporkan tidak sesuai dengan nilai transaksi maupun nilai pasar propertinya, akan menimbulkan adanya potensi kehilangan penerimaan daerah dari BPHTB. Hal ini menyebabkan penerimaan PAD dari BPHTB tidak optimal. Di Desa Ambarketawang banyak terjadi transakasi jual beli tanah dan diindikasikan wajib pajak tidak melaporkan besarnya NPOP sesuai dengan nilai transaksinya. Berdasarkan kondisi tersebut 7

diperlukan suatu penelitian untuk mengukur dan menganalisis rasio/perbandingan antara NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB terhadap nilai pasar properti, serta menghitung estimasi kehilangan pajak apabila akurasi NPOP terhadap nilai pasar properti adalah rendah. 1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. 1. Berapakah tingkat rasio NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB terhadap nilai pasar properti di lokasi penelitian? 2. Bagaimanakah tingkat keberagaman penetapan NPOP sebagai dasar pengenaan BPHTB? 3. Berapakah estimasi potensi kehilangan pajak apabila rasio NPOP terhadap nilai pasar properti adalah rendah? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini diarahkan pada: 1. mengukur tingkat penilaian NPOP BPHTB terhadap nilai pasar properti sehingga diketahui apakah dalam penetapan NPOP sudah proporsional, atau terjadi under assessment, atau over assessment jika dibandingkan dengan nilai pasar propertinya; 2. mengukur keberagaman NPOP BPHTB sehingga diketahui tingkat keadilan penetapan NPOP sebagai dasar pengenaan BPHTB; 8

3. menaksir seberapa besar estimasi potensi kehilangan pajak apabila rasio NPOP terhadap nilai pasar properti adalah rendah. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. memberikan referensi bagi instansi dan pemerintah daerah dalam pemanfaatan NPOP sebagai dasar pengenaan BPHTB; 2. sebagai referensi untuk penelitian sejenis selanjutnya. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: Bab I Pengantar yang memuat latar belakang penulisan, keaslian penulisan, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori yang menguraikan tentang landasan teori yang digunakan, kajian penelitian terdahulu, dan kerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian, menguraikan tentang desain penelitian, metode pengumpulan data, metode penyampelan, definisi operasional, instrumen penelitian, dan metode analisis data. Bab IV Analisis Data, terdiri atas deskripsi data serta pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran, merupakan bab penutup yang berisikan uraian singkat mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran dari hasil kesimpulan. 9