Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka itu, kepolisian diberikan wewenang oleh undang-undang sebagai penyidik. Penyidikan dilakukan sebagai upaya proses menetapkan siapa pelaku yang melanggar hak-hak asasi tersangka namun untuk menjamin hak-hak asasi yang lebih luas dari masyarakat umum. Pelanggaran hak-hak asasi tersangka oleh penyidik dapat dibenarkan sepanjang yang dibenarkan undang-undang (KUHAP). Namun demikian tidak jarang dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari Polri melakukan upaya justru melanggar ramburambu yang digariskan oleh undang-undang. Pelaksanaan tugas kepolisian yang sesungguhnya diberikan undang-undang dalam rangka melindungi HAM sebaliknya justru melanggar HAM lainnya. fungsi dan kewenangan Polri ada beberapa tahapan baik dalam tahap penyidikan, berupa mencari keterangan dan alat bukti dan menyuruh berhenti orang yang dicurigai sedangkan dalam tahap penyidikan berupa penangkapan dan penahanan. Kata Kunci : Polri Dalam Menjalankan Fungsi dan Wewenangnya A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum yang berarti tindakan harus berdasarkan norma hukum yang berlaku dan bersumber pada UUD 1945. Beberapa sarjana Plato, Imanuel Kant, memaparkan prinsip negara hukum diantaranya Dicey menggunakan prinsip rule of law sebagai bagian negara yang ideal di abad XX, dimana fungsi dan tindakan negara mesti didasarkan pada hukum. Institusi negara merupakan ciri khas kehidupan masyarakat modern, karena hampir tidak ada di kelompok masyarakat atau bangsa di dunia yang tidak membentuk negara di dalam era modern. Negara diberi kewenangan oleh masyarakat untuk mengurus kepentingannya. Berdasarkan kewenangannya itu negara membuat peraturan-peraturan (hukum) yang harus ditaati bersama. Peraturan-peraturan itu dapat berupa hubungan antar sesama anggota masyarakat (hukum perdata) atau yang menyangkut hubungan antar warga masyarakat dengan negara (hukum publik) misalnya hukum pidana. Negara juga diberikan wewenang untuk menjalankan pelaksanaan hukum yang telah dibuat tadi penguasa ini berupa penegakan negara hukum untuk melaksanakan pentaatan terhadap hukum utamanya hukum public. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu Iman Hidayat, SH.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 26
kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Dengan perkataan lain apabila dilihat dari sudut kebijakan kriminal maka kebijakan hukum pidana identik dengan upaya penanggulangan kejahatan sesuai dengan hukum pidana. Hukum pidana dalam arti material seperti di dalam KUHP dan beberapa undangundang hukum pidana khusus. Sedangkan hukum pidana dalam arti formal terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimuat di dalam UU No. 8 Tahun 1981. Tugas penegakan hukum pidana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana UU No. 8 Tahun 1981. Penegakan hukum dalam peradilan pidana itu meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan atau yang sering disebut dengan Integrated Criminal Justice System. Sebuah sub sistem memiliki kedudukan dan tugas yang sama pentingnya. Sub sistem kepolisian memiliki peranan yang sangat signifikan karena kepolisian merupakan pintu gerbang pertama dalam penegakan hukum. Penyidikan adalah salah satu sub sistem peradilan pidana sebelum perkara sampai ke proses penuntutan dan pengadilan. Suatu perkara harus dilengkapi berkas penyidikan, yang dilaksanakan oleh kepolisian kecuali terhadap tindak pidana tertentu yang sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka itu, kepolisian diberikan wewenang oleh undang-undang sebagai penyidik. Penyidikan dilakukan sebagai upaya proses menetapkan siapa pelaku yang melanggar hak-hak asasi tersangka namun untuk menjamin hak-hak asasi yang lebih luas dari masyarakat umum. Pelanggaran hak-hak asasi tersangka oleh penyidik dapat dibenarkan sepanjang yang dibenarkan undang-undang (KUHAP). Namun demikian tidak jarang dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari Polri melakukan upaya justru melanggar rambu-rambu yang digariskan oleh undang-undang. Pelaksanaan tugas kepolisian yang sesungguhnya diberikan undangundang dalam rangka melindungi HAM sebaliknya justru melanggar HAM lainnya. Oleh karena itu Polri dapat diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam usahanya menegakkan hukum yang dibebankan. Dalam hal demikian sudah pasti akan menghadapi tindakan pelanggaran HAM seperti pemukulan, penyiksaan, dan lain sebagainya. Polri sebagai pelaksana sistem peradilan pidana, sebagaimana dikemukakan oleh Kunarto adalah untuk menanggulangi masalah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan kata lain fungsi Polri adalah juga sebagai badan yang ikut serta sebagai pelaksana sistem peradilan pidana. Sebagai penegak hukum, penegak keamanan dan ketertiban polisi dihadapkan dengan hal-hal yang dapat menimbulkan tindakan melanggar hukum dan bahkan HAM. Keadaan ini tentu saja tidak sejalan dengan tugas yang diemban polisi sebagaimana ditentukan Pasal 6 Undang-Undang No. 8/1981 yang mengatur tentang Tugas Polri sebagai badan penyidik dan menjaga ketertiban masyarakat. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Tugas Pokok Polri (UU Polri) yaitu memelihara keamanan, serta melindungi masyarakat, mengayomi dan melayani masyarakat. Tugas tersebut merupakan tugas sangat berat yang harus dijalani oleh Polri secara profesional, sehingga dibutuhkan anggota Polri yang tidak hanya memiliki keahlian tetapi juga pengetahuan. Dengan berpedoman kepada tugas yang diemban kepolisian maka terlihat ada kontradiksi antara tugas sebagai penegak hukum dan sebagai pelindung HAM di satu pihak sebagai penegak hukum keamanan dan ketertiban masyarakat di pihak lain. Sebagai penegak hukum dan pelindung HAM diperlukan tindakan yang sesuai dengan aturan supaya tindakan tersebut tidak bertentangan dengan HAM. 27
B. Permasalahan Kewenangan-kewenangan apa saja yang dipunyai Polri dalam rangka penegakan hukum? C. Pembahasan 1. Beberapa Kewenangan Polri Dalam Rangka Penegakan Hukum Wewenang yang dibenarkan undang-undang kepada Polri dalam rangka penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai penyelidik dan penyidik sebagaimana yang ditentukan oleh UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP). a. Fungsi dan Wewenang Penyelidikan Di dalam Pasal 1 butir 4, penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Penyelidikan Monopoli Tunggal Polri. Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan : Menyelenggarakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan. Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti di masa HIR. Juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efisien. Dari penegasan bunyi Pasal 4 KUHAP, aparat yang berfungsi dan berwenang melakukan penyelidikan, hanya pejabat Polri tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi dan pejabat lain. Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang disebut pada pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi : 1. Fungsi dan Wewenang Berdasarkan Hukum Berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHAP fungsi dan wewenang aparat penyelidik : a. Menerima laporan atau pengaduan. Bertitik tolak dari fungsi ini, apabila menerima suatu pemberitahuan atau laporan yang disampaikan seseorang, penyidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti. Bisa tentang telah atau sedang ataupun diduga akan terjadi suatu peristiwa pidana, penyelidik wajib dan berwenang menerima pemberitahuan yang disertai dengan permintaan oleh pihak yang berkepentingan untuk menindak pelaku tindak pidana aduan yang telah merugikannya. Mengenai laporan atau pengaduan yang dapat diterima : - Jika laporan pengaduan diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu; - Jika laporan atau pengaduan diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor/pengadu dan penyelidik. - Jika pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dicatat dalam laporan pengaduan (Pasal 103). Prinsipnya setiap laporan atau pengaduan yang disampaikan kepada penyelidik wajib diterima dan berwenang untuk menanganinya baik hal itu yang bersifat pemberitahuan biasa atau laporan, maupun yang bersifat delik aduan (klacht delik) seperti yang 28
dijelaskan Pasal 367 ayat 2 KUHP. Menurut ketentuan Pasal 103 ayat (1), apabila penyelidik menerima laporan atau pengaduan, harus segera melakukan penyelidikan yang diperlukan. Baik hal itu atas dasar pengetahuannya sendiri maupun berdasarkan laporan atau pengaduan. b. Mencari keterangan dan barang bukti Tujuan penyelidikan dimaksud sebagai langkah pertama atau sebagai bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan, guna mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan. Seandainya penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai, bisa terjadi tindakan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi kekeliruan terhadap orang yang disidik. Akibat yang seperti ini yang dirugikan bisa menuntut ganti rugi dan rehabilitasi Pra Peradilan. Agar dapat berhasil mengumpulkan fakta, keterangan dan bukti serta sekaligus tidak terjerumus kemuka sidang pra peradilan sudah waktunya penyelidikan dilakukan dengan jalan mempergunakan metode scientific criminal detection, yakni metode teknik dan taktik penyelidikan secara ilmiah. c. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai. Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan Pasal 5 KUHAP kepada penyelidik, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Yang kurang jelas dari pelaksanaan wewenang ini, apakah penyelidik harus mendapat surat perintah dari penyidik atau atasannya? Untuk melakukan tindakan menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan sekalian menanyakan identitas orang yang ditanyai, tidak perlu surat perintah khusus atau dengan surat apapun berdasar alasan : - Ketentuan Pasal 4 KUHAP, menegaskan setiap pejabat Polri adalah penyelidik. - Kemudian makna bunyi Pasal 4 semakin jelas dapat dipahami jika dihubungkan dengan penjelasan menegaskan penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang undangundang ini untuk melakukan penyelidikan. Dari bunyi ketentuan ini, dapat dibaca bahwa KUHAP sendiri telah memberi wewenang bagi pejabat Polri untuk menjadi penyelidik. Oleh karena itu, KUHAP memberi wewenang yang lahir dari undang-undang ini kepada penyelidik untuk melaksanakan kewajiban dan wewenang penyelidikan yang ditentukan pasal 5 ayat (1) tanpa surat perintah. d. Tindakan lain menurut hukum Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP, yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat : - Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; - Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan. - Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. - Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. - Menghormati hak asasi manusia. Secara teoritis sangat sulit mengkonstruksikan suatu acuan tindakan yang konkrit atas bunyi dan penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP. Mungkin praktek hukum yang memberi jalan pemecahan. Atau ketentuan ini dalam praktek lebih berat arahnya menjurus kepada tindakan keleluasaan bagi pejabat penyelidik. Jika demikian arahnya dari sekarang kita berpendapat bahwa ketentuan ini kurang dapat dipertanggung-jawabkan di dalam pelaksanaan tindakan penyelidikan. Sebagai jalan tengah yang dapat ditolerir ialah dengan mempedomani Asas proporsional yakni kalau tindakan itu masih proporsional dengan tujuan penegakan hukum, tindakan itu masih dianggap dalam ruang lingkup pasal 5 di atas. 2. Kewenangan berdasarkan perintah penyidik. 29
Kewajiban dan wewenang penyelidik bersumber dari perintah penyidik yang dilimpahkan kepada penyelidik atau lebih tepat merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik berupa : - Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan. - Pemeriksaan dan penyitaan surat. - Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. - Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. 3. Kewajiban penyelidik menyampai-kan laporan Penyelidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b KUHAP. Laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan harus merupakan laporan tertulis sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan pembinaan pengawasan terhadap penyelidik sebagaimana yang tertera dari laporan tersebut. b. Fungsi dan Wewenang Kepolisian Sebagai Penyidik Pada tindakan penyidikan titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan barang bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Terdapat perbedaan antara penyelidikan dan penyidik, antara lain : - Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawas penyidik. - Wewenangnya sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas semua tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya). Ditegaskan di dalam Pasal 6 KUHAP yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik adalah : - Pejabat Penyidik Polri Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Memang dari segi differensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi syarat kepangkatan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan umum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidik ialah tersangka. Dari tersangkalah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli, demi untuk terang dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Kepada saksi dan ahli ini pun harus juga diperlakukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab. c. Fungsi dan Wewenang Polri Dalam Hal Penangkapan Pasal 1 butir 20 KUHAP menjelaskan : penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 30
Alasan dan syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP : - Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana dan dugaan kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup. Bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Penjelasan pasal ini juga menyatakan pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Syarat lain untuk melakukan penangkapan harus didasarkan untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16. Oleh karena penangkapan juga dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan, mesti tetap ditegakkan prinsip harus ada dugaan keras terhadap tersangka sebagai pelaku tindak pidananya, serta harus didahului adanya bukti permulaan yang cukup. Juga penting untuk diingat bahwa kepentingan penyelidikan dan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud lain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Cara pelaksanaan penangkapan diatur dalam Pasal 18 yang menentukan : - Pelaksanaan penangkapan dilakukan petugas Kepolisian Negara RI. Pengecualiannya adalah dalam hal tertangkap tangan. Dalam hal ini setiap orang berhak melakukan penangkapan, dan bagi orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan wajib menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan (Pasal 11). - Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa surat tugas penangkapan. Surat tugas ini merupakan syarat formal yang bersifat imperatif yang berisi penjelasan dan penegasan tentang : identitas tersangka, alasan penangkapan secara singkat, uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan dan menyebutkan dengan terang dimana tempat pemeriksaan dilakukan. Karena itu, demi untuk tegaknya kepastian serta untuk menghindari penyalahgunaan jabatan ataupun untuk menjaga ketertiban masyarakat dari pihak-pihak yang beritikad buruk, penangkapan oleh seorang petugas yang tidak mempunyai surat tugas harus ditolak dan tidak perlu ditaati. - Petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) KUHAP telah ditentukan lamanya penangkapan tidak boleh lebih dari satu hari. Lewat dari satu hari, berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan sendirinya penangkapan dianggap tidak sah. Konsekuensinya, tersangka harus dibebaskan demi hukum. Atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasehat hukumnya, atau keluarganya dapat meminta pemeriksaan kepada pra peradilan tentang sah-tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi. Untuk mengatasi hambatan permasalahan ini, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan, tetapi sekaligus tidak melanggar hukum dapat disetujui alternatif yang digariskan pada buku pedoman pelaksanaan KUHAP yang memberi jalan keluar atas hambatan tersebut : - Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat yang terdekat. - Apabila penangkapan dilakukan penyidik, pejabat penyidik mengeluarkan surat perintah untuk membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik. 31
Menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) KUHAP tidak dibolehkan melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran. d. Fungsi dan Wewenang Polri Dalam Hal Penahanan Penahanan menurut penjelasan Pasal 1 butir 21 KUHAP : Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hukum dalam penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang. Tujuan penahanan disebutkan dalam Pasal 20, yang menjelaskan : 1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Mengenai ukuran kepentingan penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara objektif. Tergantung kepada kebutuhan tingkat upaya penyidik untuk menyelesaikan fungsi pemeriksaan penyidikan yang tuntas dan sempurna sehingga penyidikan benarbenar mencapai hasil pemeriksaan yang akan diteruskan kepada penuntut umum, untuk dipergunakan sebagai dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Berarti, jika pemeriksaan penyidikan sudah cukup, penahanan tidak diperlukan lagi. Kecuali ada alasan lain untuk tetap menahan tersangka (Pasal 20 ayat 1). 2. Penahanan dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan (Pasal 20 ayat 2). 3. Penahanan yang dilakukan oleh peradilan dimaksudkan untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan (Pasal 20 ayat 3). Adapun unsur-unsur yang menjadi landasan dasar penahanan adalah sebagai berikut : 1. Landasan atau dasar unsur yuridis. Disebut dasar hukum atau objektif, karena undang-undang sendiri menentukan terhadap pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat diterapkan. Dasar unsur yuridis atau objektif, ditentukan dalam Pasal 21 ayat 4 yang menetapkan penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana. a. Yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. b. Penahanan dapat juga dikenakan bagi pelaku tindak pidana yang disebutkan dalam pasal KUHP dan undang-undang pdiana khusus sekalipun ancamannya kurang dari lima tahun, alasannya didasarkan pada pertimbangan pasal-pasal tindak pidana itu dapat dianggap sangat mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya serta ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khususnya. 2. Landasan unsur keadaan kekhawatiran. Unsur keadaan atau keperluan penahanan dimaksud, ditentukan dalam Pasal 21 ayat 1, yang berupa adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran : - Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri. - Merusak atau menghilangkan barang bukti. - Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. Semua keadaan yang mengkhawatirkan disini adalah keadaan yang meliputi subjektifitas tersangka atau terdakwa. Dan pejabat yang menilai keadaan kekhawatiran inipun bertitik tolak dari penilaian subjektif. 3. Dipenuhi syarat Pasal 21 ayat 1 KUHAP 32
Di samping unsur-unsur penahanan yang disebutkan di atas, penahanan harus memenuhi syarat-syarat undang-undang seperti yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP : - Tersangka atau terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan. - Dugaan yang keras itu didasarkan pada bukti yang cukup. - Syarat penahanan berbeda dengan syarat penangkapan. Perbedaan itu dalam hal bukti. Pada penangkapan, syarat bukti ini didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Sedangkan penahanan, didasarkan pada bukti yang cukup. Dengan demikian syarat bukti dalam penahanan lebih tinggi kualitasnya dari pada tindakan penangkapan. Dari uraian di atas, telah jelas bagi kita batasan tugas dari Kepolisian menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bahwa tugas Kepolisian Republik Indonesia adalah sebagai penyidik (lihat Pasal 1 UU No. 8/1981). D. Penutup 1. Kesimpulan Bahwa fungsi dan kewenangan Polri ada beberapa tahapan baik dalam tahap penyidikan, berupa mencari keterangan dan alat bukti dan menyuruh berhenti orang yang dicurigai sedangkan dalam tahap penyidikan berupa penangkapan dan penahanan. 2. Saran a. Dalam rangka mewujudkan citra Polisi sebagai penegak hukum kiranya pimpinan Kepolisian Republik Indonesia perlu meningkatkan ilmu pengetahuan anggotanya, terutama dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga pihak Kepolisian dalam bertindak akan lebih profesionalisme. b. Hendaknya Polisi sebagai penegak hukum dan pelindung hak asasi manusia dalam bertindak harus sesuai dengan koridor hukum dan juga komisi kepolisian hendaknya lebih pro aktif dalam mengambil tindakan kepada oknum-oknum polisi yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia baik itu dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. c. Sebaiknya anggota kepolisian tetap patuh terhadap ketentuan-ketentuan hukum positif yang berkaitan dengan hak asasi manusia. E. Daftar Pustaka Adji Oemar Seno, KUHAP Sekarang Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit : Citra Aditya Bandung., Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Penerbit : Fakultas Hukum UNDIP Semarang. Effendi, A. Masykur, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Graha Indonesia, Jakarta, 1993. Hamdan, M., Politik Hukum Pidana, Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Harahap, M. Yahya, SH, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Kunarto, Hak-hak Asasi Manusia Dalam POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997. Mulyatno, Hukum Pidana, Penerbit : PT. Sinar Grafika Bandung. Purbacaraka Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Rahardjo Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980. Reksodiputro Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum/Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia. 33
Soekanto Soeryono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta. Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983. 34