BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dunia modern ini alergi merupakan penyakit yang penyebarannya paling luas. Menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan terdapat lima puluh juta orang penderita asma dan lebih dari 180.000 orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit tersebut. Pasien alergi ini ada baik di negara maju maupun negara berkembang. Dewasa ini para sarjana kedokteran telah mengembangkan baik terapi maupun penelitian tentang perkembangan, pencegahan, dan pengobatan alergi, maupun penyakit yang berhubungan dengan alergi (Effendi, 2003). Dalam Islam, kesehatan berprinsip pada upaya mencegah (preventif), setelah itu Islam menganjurkan pengobatan bagi setiap yang membutuhkan. Upaya pencegahan seperti hidup bersih, bersuci, olahraga, sederhana dalam makan dan minum sangatlah dianjurkan supaya mencapai hidup sehat dan jauh dari penyimpangan. Perintah untuk menjaga kesehatan seperti yang difirmankan Allah dalam lain QS. An-Nisa 29 yang berbunyi : 1
2 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Rasulullah juga pernah berobat apabila sakit, serta pernah menyuruh keluarga dan sahabat-sahabatnya untuk berobat. Rasulullah menganjurkan untuk berobat karena yakin Allah tidak menurunkan penyakit kecuali ada obatnya, dan jangan berobat dengan yang haram (Sagiran et al., 2008) Alergi terjadi karena adanya respon pertahanan diri dari benda asing yang masuk ke dalam tubuh, atau dikenal dengan respon imun. Jika respon imun tersebut berlebihan maka akan menimbulkan reaksi hipersensitifitas yang salah satu manifestasinya adalah alergi (Handayani et al.,2008). Ada beberapa klasifikasi reaksi alergi yaitu reaksi menurut waktunya dan menurut Gell & Coombs. Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam dua jam. Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi lambat terlihat sampai 48 jam setelah pajanan dengan alergen. Reaksi tipe I yang diperantarai IgE, Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik yang diperantarai IgE/IgM. Reaksi tipe III atau kompleks imun, dan yang terakhir adalah reaksi seluler (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel mast merupakan salah satu agen terpenting penyebab respon inflamasi seperti alergi dan anafilaksis, terutama alergi tipe segera (Effendi, 2003). Sel mast yang teraktivasi dapat memproduksi histamine serta bermacam-macam mediator inflamatori misalnya leukotriene, prostaglandin, protease dan beberapa sitokin pro inflamatori dan kemotaktik misalnya tumor necrosis factor (TNF)- dan
3 interleukin (IL)-6, IL-4, IL-3, IL-8 (Kalesnikoff & Galli, 2008). Sel mast merupakan sel jaringan ikat yang berbentuk bulat sampai lonjong yang sitoplasmanya dipenuhi granula sekretori basofilik. Granul basofilik tersebutlah yang mengandung mediator yang akan dibentuk, seperti histamin. Sel ini berasal dari sel progenitor sumsum tulang dan berfungsi sebagai penimbunan mediator kimia dari respon inflamasi. Meskipun sel progenitor memiliki banyak kesamaan dengan leukosit basofil, kedua sel tersebut berasal dari sel induk yang berbeda. Permukaan sel mast mengandung reseptor IgE, sejenis immunoglobulin yang dihasilkan sel plasma (Junquera, 2007). Salah satu dampak buruk alergi adalah menurunya kualitas hidup karena mahalnya biaya pengobatan (biaya rumah sakit dan obat) dan biaya tidak langsung (kehilangan waktu kerja maupun kematian). Data menyebutkan bahwa ada 150 juta orang yang ekonominya menjadi terganggu karena biaya pengobatan yang mahal (Franco et al., 2009). Oleh karena itu pencegahan efektif sangat diperlukan. Sampai saat ini pencegahan primerlah yang paling efektif. Di Indonesia, ekstrak tanaman herbal telah banyak digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit, namun senyawa aktif dan mekanisme kerjanya hanya sedikit yang sudah diketahui. Tanaman Dioscorea sudah dikenal masyarakat Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Jawa sebagai pengganti beras atau sagu pada masa paceklik (Sulistiyono & Marpaung., 2004). Umbi uwi ungu (Dioscorea alata L.) merupakan sumber hayati umbi umbian yang belum banyak dimanfaatkan secara optimal untuk membuat aneka olahan makanan enak, bergizi dan menyehatkan.
4 Potensi Dioscorea alata L. adalah sebagai sumber karbohidrat dan banyak mengandung senyawa fenol yaitu antosianin yang tinggi antioksidannya (Budiharjo, 2009). Antosianin adalah bagian dari flavonoid. Flavonoid memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, salah satunya sebagai agen antialergi (Miller, 1996). Kandungan inilah yang dimiliki sebagian besar buah berwarna, seperti anggur dan cranberry yang bermanfaat sebagai antioksidan (Wang et al., 1997; Einbond et al., 2004) Luas areal tanaman Dioscorea di Indonesia belum mencapai 1000 ha, ini menunjukkan bahwa tanaman ini kurang mendapat perhatian, sehingga kurang diketahui tentang pemanfaatanya (Sulistiyono & Marpaung, 2004). Di desa-desa Dioscorea alata L. hanya dianggap sebagai sumber pangan minor dan dipercaya dapat menyembuhkan gatal-gatal akibat reaksi alergi (biduren). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Adakah pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi uwi ungu (Dioscorea alata L.) terhadap reaksi alergi pada mencit Balb/C model alergi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi uwi ungu (Dioscorea alata L.) terhadap jumlah sel mast pada mencit Balb/C model alergi pencernaan.
5 D. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini kiranya dapat memberikan gambaran molekuler farmakodinamik ekstrak etanol umbi ungu (Dioscorea alata L.) pada mencit Balb/C jantan model alergi pencernaan. 2. Menambah khasanah tanaman herbal Indonesia yang bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. E. Keaslian Penelitian Sampai saat ini penelitian mengenai Dioscorea alata L. pernah dilakukan oleh Sulistiyono dan Marpaung pada tahun 2004 yang meneliti tentang kandungan Dioscorea spp. dan disimpulkan bahwa Dioscorea alata memiliki kandungan pati tertinggi. Penelitian lainnya tentang pengaruh proses pengolahan terhadap perubahan fenolik, antosianin dan antioksidan Dioscorea alata L. oleh Budiharjo pada tahun 2009 yang hasilnya menyatakan bahwa pengolahan Dioscorea alata L. yang terbaik adalah dengan dikukus. Penelitian efek anti alergi yang diperantarai sel mast pernah dilakukan antara lain oleh Kim et al. pada tahun 2007 tentang efek anti alergi Vitis amurensis, disimpulkan bahwa Vitis amurensis dapat menghambat sel mast dan reaksi alergi tipe I. Perbedaanya pada penelitian ini digunakan Vitis amurensis, mencit ICR jantan dan tikus Sprague-Dawley jantan, antigen yang digunakan Compound 48/80, dan menggunakan cairan peritoneal sebagai sumber sel mast. Kim et al. pada tahun 2005 tentang efek anti alergi Amomum xantoides, didapatkan hasil bahwa ACE melindungi dari anafilaksis dan reaksi alergi lokal. Perbedaanya pada penelitian ini digunakan Amomum xantoides, mencit ICR
6 jantan dan tikus Sprague-Dawley jantan, antigen yang digunakan Compound 48/80, dan sel mast diambil dari cairan peritoneal. Handayani et al. pada tahun 2008 tentang pengaruh ekstrak Acathodendrilla sp. terhadap inhibisi sel mast, didapatkan hasil ekstrak Acathodendrilla sp. dapat menghambat degranulasi sel mast. Perbedaanya pada penelitian ini digunakan ekstrak Acathodendrilla sp, hewan ujinya menggunakan tikus putih jantan yang sehat dan sel mast diambil dari cairan peritoneal. Penelitian mengenai pengaruh ekstrak etanol Dioscorea alata L. terhadap sel mast pada intestinum mencit Balb/C sejauh yang penulis ketahui belum pernah dilakukan.