PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA WEBSITE PORNO RAFIKA DURI / D

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Kristen Satya Wacana

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928]

MAKALAH UU ITE DI REPUBLIK INDONESIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

BAB V PENUTUP. 1) Kriteria-kriteria pelanggaran hukum dalam promosi produk digital yang

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843]

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

dengan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

Pasal 5: Setiap orang dilarang

No berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlu

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMILIK WEBSITE YANG MENGANDUNG MUATAN PORNOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat banyak yang memperbincangkan tentang pornografi yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JURNAL ILMIAH TINJAUAN TENTANG CYBER CRIME YANG DIATUR DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi dari tahun ke tahun semakin cepat. Hal yang paling

Reni Jayanti B ABSTRAK

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. yang positif yang salah satunya meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Perubahan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dihindari, sebagai

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

Bab XXV : Perbuatan Curang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

SANKSI PIDANA SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN HUMAN TRAFFICKING DI DUNIA MAYA

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang. sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial).

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. memperkecil kemungkinan membuat kesalahan, sehingga menjadikan

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

Pasal 48 yang berbunyi :

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet yang dapat

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

BAB II LANDASAN TEORI

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI Universitas Mercu Buana Yogyakarta Program Studi : 1. Teknik Informatika

Oleh Prihatin Effendi ABSTRAK. a. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. bisa dilakukan secara merata ke daerah-daerah, khususnya di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

PERKEMBANGAN RUMUSAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN KARYA JURNALISTIK DALAM RUU KUHP. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Transkripsi:

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA WEBSITE PORNO RAFIKA DURI / D 101 09 250 ABSTRAK Skripsi ini berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana pengguna website porno. Berdasarkan dasar-dasar hukum pidana, penggunaan website porno merupakan suatu kejahatan yang perlu untuk dipertanggungjawabkan jika terbukti melanggar aturan yang berlaku. Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui bentuk penggunaan website porno dan mengetahui pertanggungjawaban pidana pengguna website porno. Metode penelitian ini bersifat normatif, mengkaji segala sumber data sekunder yang berasal dari berbagai peraturan hukum atau perundangundangan dan ditunjang pendapat ahli hukum atau dokrine berkaitan dengan masalah yang hendak dikaji. Peneliti menggunakan data primer yang diperoleh dari KUHP, UU ITE, Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008, yurisprudensi, dan lain-lain. Data sekunder yang berupa bahan hukum seperti rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian yang selaras, dan literatur-literatur lainnya, dan data tersier seperti kamus. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengturan penggunaan pornografi di website diatur dalam undang-undang pidana dan pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan berdasarkan undang-undang pidana yang berlaku. Kata Kunci : Pertanggunjawaban Pidana, Pengguna, Website Porno. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Website atau situs dapat diartikan sebagai kumpulan halaman yang menampilkan informasi data teks, data gambar diam atau gerak, data animasi, suara, video dan atau gabungan dari semuanya, baik yang bersifat statis maupun dinamis yang membentuk satu rangkaian bangunan yang saling terkait dimana masing-masing dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman (hyperlink). 1 Kenyataannya, website yang berisikan pornografi masih marak berkembang di internet khususnya dalam wilayah Indonesia. Walaupun ada upaya penanggulangan yang dilakukan seperti pemblokiran website porno, namun masih ada beberapa website porno asal luar Indonesia yang masih dapat di akses masyrarakat. 1 Lihat: http://tegararian.blogspot.com/2013/03/pengertianwebsite.html Berdasarkan KUHP dan UU ITE No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak diatur tentang peraturan pornografi hanya saja menjelaskan tentang muatan yang melanggar kesusilaan. Kemudian, dalam UU Pornografi dalam UU No. 44 Tahun 2008 pengaturan pornografi melalui internet dijelaskan secara tegas. Dalam kasus ini, upaya pertanggungjawaban pidana bagi pemilik situs website menjadi hal yang tidak mungkin dilakukan karena di luar jangkauan undangundang di Indonesia. Sehingga, sebagai upaya penanggulangan tindak pidana di dunia maya khususnya website porno adalah upaya penegakan hukum pertanggaungjawaban pidana bagi pengguna website porno. Karena dalam undang-undang tidak hanya berpatokan pada pembuat, pemilik, atau produsen, namun semua pihak yang menggunakan dapat dikenakan sanksi pidana. Seharusnya pengguna website porno juga menjadi patokan sebagai pemberantasan

pornografi di dunia maya maupun dunia nyata. Misalnya, website porno digunakan sebagai tempat mengunduh gambar, video, atau tulisan untuk disebarluaskan atau dikomersialkan kepada masyarakat. Karena dalam Pasal 5 UU Pornografi 2 dikatakan bahwa setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Berdasarkan dasar-dasar hukum pidana, hal tersebut merupakan suatu kejahatan yang perlu untuk dipertanggungjawabkan jika terbukti melanggar aturan yang berlaku. Dengan demikian, pengguna website pono dapat di jatuhi tindak pidana pornografi jika terbukti melakukan pelanggaran sesuai UU yang berlaku baik dari aspek KUHP, UU ITE maupun UU pornigrafi. Berawal dari penggunan yang semakin marak di Indonesia perlu adanya pencegahan yang dilakukan dengan pertanggngjawaban pidana pengguna website porno. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah 1. Bagaimana pengaturan penggunaan website porno? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pengguna website porno? II. PEMBAHASAN A. Pengaturan Penggunaan Pornografi Pengaturan mengenai pornografi dalam Kitap KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi No. 44 Tahun 2008 lebih banyak menerangkan tentang tindakan pidana kesusilaan atau pornografi dan penyebarluasannya. Sedangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan produk Pornografi yang memberi kejelasan bahwa pornografi adalah suatu yang legal jika digunakan sesuai ketentuan yang berlaku. Pornografi tidak dipandang sebagai tindak pidana kesusilaan 2 Tim Redaksi Pustaka Yustisia. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. 2009 jika bertujuan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, dan hal khusus lainnya. Peraturan baru ini berbeda dengan undang-undang yang telah ada, karena di dalam pasal-pasalnya tidak tercantum sanksi pidana atau denda. Hanya saja jika melakukan pelanggaran dalam pembauatan, penyebarluasan, dan penggunaan akan dicabut perizinannya. Hal yang menarik adalah, PP ini dapat digunakan untuk pedoman atau acuan khusus untuk menetukan apakah seseorang yang membuat, menyebarkan, dan menggunakan pornografi dapat dijatuhi tindak pidana atau tidak. 1. Pengaturan Penggunaan Ponografi Berdasarkan KUHP Dalam pasal 282 KUHP ayat 1 sampai ayat 3, tentang pelanggaran kesusilaan dapat dijelaskan sebagai pengaturan tentang tindak pidana kejahatan tentang kesusilaan sebagai bentuk penyebarluasan, tetapi tidak mengatur secara rinci penggunaan bahan pornografi. Secara subjektif, menyiarkan, menyebarluaskan, mempertunjukkan, menempelkan, membuat, memasukkan, mengangkut merupakan suatu bentuk penggunaan pornografi yang dilakukan seseorang. Jadi, secara tidak langsung, dalam pasal 282 KUHP ini mengatur tentang penggunaan pornografi yang dapat dikenai tindakan kejahatan yang merupakan penyebarluasan pornografi sebagai bentuk tindak pidana dapat dijatuhi hukuman pidana yang berlaku. 2. Pengaturan Penggunaan Ponografi Berdasarkan UU ITE No. 11 Tahun 2008. Pengaturan tentang pornografi menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 diatur secara terbatas melalui pasal 27 ayat (1). Ketentuan ini bersifat fleksibel, karena menyebutkan dapat diaksesnya yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Jadi menurut ketentuan tersebut perbuatan apa saja yang berupa foto atau gambar atau lukisan dan tulisan yang dapat melanggar kesusilaan. Secara implisit, mengatur tentang penggunaan suatu bahan yang bersifat kesusilaan atau pornografi. Penggunaan

pornografi secara harfiah dapat dijelaskan dari mendistribusikan dan atau membuat dapat diaksesnya. Dua kata yang menjadi patokan didasarkannya sebuah penggnaan. Mendistribusikan, merupakan suatu bentuk penggunaan bahan-bahan pornografi yang disebarluaskkan melalui internet yang bersifat komersil. Dapat diaksesnya seperti yang sudah dijelasakan di atas, jelas bahwa penggunaan pornografi dalam bentuk apapun dapat di jatuhi tindak pidana. 3. Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornigrafi 3. Pada ketentuan pasal 4 Undangundang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi dijelaskan tentang laranganlarangan berbagai bentuk pornografi dan diancam pidana, seperti ketentuan hukum sebelumnya, pengaturannya hanya jelas pada memproduksi, pennyebarluasan atau mempublikasi dan lain-lain. Memproduksi, membuat, memperbayak, menggadakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, menyaiksikan pornografi merupakan bagian dari penggunaan pornografi yang dapat dijatuhi pidana. Selanjutnya, Pasal 43 Undangundang Nomor 44 Tahun 2008 memerintahkan kepada setiap orang yang menyimpan atau memiliki produk pornografi untuk memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan dalam waktu paling lama 1 bulan sejak Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 berlaku. Bagi orang yang masih menyimpan produk pornografi akan terkena sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 2 miliar rupiah. Berkenaan dengan tiga ketentuan hukum yang melarang tentang berbagai bentuk pidana kesusilaan atau pornografi belum adanya kejelasan tentang pengaturan pornografi apakah dapat digunakan untuk pribadi atau keperluan medis, pendidikan misalnya. 3 Irawan, Yusuf. Undang-Undang Pornografi. Mocopedia. Jakarta. 2008. Hlm. 5 4. Pengaturan Penggunaan Pornografi di internet dalam PP nomor 5 Tahun 2014 Dalam PP ini mengatur tentang perizinan dalam pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi tersebut. Dimaksud dengan penggunaan pornografi dalam PP ini tercantum dalam pasal 1 ayat 4 adalah dengan sengaja menggunakan produk pornografi untuk kepentingan atau tujuan tertentu yang sudah di legalkan dalam PP nomor 5 tahun 2014. Pornografi dilegalkan jika penggunaan pornografi berguna demi kepentingan pendidikan, kesehatan, tetapi dengan cara dan tempat yang khusus. Tata cara penggunaan di bidang pendidikan di atur sesuai dengan ketentuan dan persyaratan tertentu seperti yang dijelaskan pada Pasal 12 ayat 1: Penggunaan Produk Pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan paling sedikit harus memenuhi syarat: a. direkomendasikan oleh lembaga pendidikan; b. dilakukan di tempat atau lokasi tertentu; dan c. sesuai dengan jenjang pendidikan. Sanksi pelanggaran hanya berupa sanksi administratif, seperti yang dijelasakan pada Pasal 25 ayat 2 bahwa: Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa: a. teguran tertulis; b. pencabutan Izin; dan/atau c. penarikan serta pemusnahan Produk Pornografi. Dalam peraturan ini, pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi diatur agar tidak melanggar kejahatan kesusilaan yang dapat dijatuhi hukuman pidana. Secara khusus, penggunaan produk pornografi dinilai membawa dampak positif karena berguna bagai kepentingan pendidikan atau kesehatan. Tidak seperti penggunaan produk pornografi yang melanggar tindak pidana kesusilaan yang sering disalah

gunakan hanya untuk kepentingan hiburan, komersil, dan sebagainya. Pornografi yang merupakan suatu hal yang kompleks, terlebih di dunia internet. Gambar, tulisan, dan cerita-cerita jorok yang terlihat di layar monitor telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam delik pornografi, tetapi peraturan hukum pidana tidak dapat menjangkau disebabkan karena persoalan yang muncul seperti pemberian batasan pornografi yang tidak jelas, pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan tertentu dalam mengatasi masalah pornografi, ancaman hukuman yang terlalu ringan, ketidakjelasan pihak yang dianggap tepat mempertanggungjawabkan suatu bahan yang dikategorikan pornografi, penegakan hukum yang tidak konsisten. Dari beberapa perundang-udangan dan peraturan tentang pornografi seharusnya sudah memadai untuk menegakkan kejahatan kesusilaan atau pornografi yang semakin merajalela. Jika diamati lebih lanjut, ke-empar peraturan di atas merupakan suatu kesatuan yang dapat dipadukan untuk menegakkan tindak pidana yang jelas mualai dari pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi. KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi merupakan bentuk undang-undang eksekutor bagi palaku tindak pidana kejahatan sekusilaan atau pornografi, sedangkang PP Nomor 5 Tahun 2014 dijadikan sebagai panduan untuk menentukan bahan atau produk pornografi yang melanggar kejahatan atau tidaknya dengan melihat aturan dan persyaratan yang berlaku. B. Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Website Porno Pertanggujawaban berhubungan dengan tindak pidana yang telah yang dilanggarnya, bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang 4. Pelanggaran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pengguna website porno dalam arti penggunaan pornografi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana atau tidak. Menjadi permasalahan pengguna website porno (pengguna pornografi) tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang. Dalam KUHP, dijelaskan sebagai pengaturan tentang tindak pidana kejahatan tentang kesusilaan sebagai bentuk penyebarluasan. Penggunaan pornografi dapat ditafsirkan secara subjektif, seperti menyiarkan, menyebarluaskan, mempertunjukkan, menempelkan, membuat, memasukkan, mengangkut merupakan suatu bentuk penggunaan pornografi yang dilakukan seseorang. Dalam artian berbagai bentuk tulisan, video, gambar, dan lain-lain yang mengandung kesusilaan digunakan secara sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang sebagai kepentingan tertentu, misalnya bahan promosi/iklan, jual beli, dan lain sebagainya. Seperti halnya dalam Undang- Undang ITE dan UU Pornografi Nomor 44 Tahun 2008. Pengaturan tentang pengguna pornografi dan atau penggunan pornografi diperoleh melalui penafsiran secara implisit. Pengunnaan pornografi secara harfiah dapat dijelaskan dari kata kunci dalam undang-undang seperti mendistribusikan, dapat diaksesnya, memproduksi, membuat, memperbayak, menggadakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, menyaiksikan pornografi. Undang-Undang di atas, hanya mengatur tentang bentuk kesusilaan atau pornografi yang disebarluaskan, diperbanyak, diproduksi, dan lain-lain tanpa adanya alasan kuat tentang penggunaannya apakah hanya bertujuan komersial atau hal-hal yang bersifat positif. 4 Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta Timur. 2012. Hlm. 157

Dari ketiga undang-undang diatas, maka perlu adanya suatu kejelasan tentang apa itu pengguna dan penggunaan dalam hal penyebarluasan pornografi. Penyebarluasan suatu website porno adalah suatu tindakan yang melawan hukum dan harus mendapatkan suatu pertanggungjawaban hukum itu sendiri. Untuk menetukan yang dianggap sebagai pelaku dapat dijelaskan secara terperinci dalam pasal 55 ayat 1 KUHP 5 yang pada dasarnya menentukan bahwa yang dianggap dan dihukum sebagai pelaku ialah meraka yang: a. Melakukan sendiri suatu tindak pidana (plegen) b. Menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana (doenplegen) c. Turut melakukan suatu tindak pidana (mendeplegen) d. Membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana (uitlokken) Dengan adanya ketentuan pasal 55 ayat 1 (satu) KUHP mengenai pengertian pelaku mereka dapat dihukum dengan hukuman yang sama dengan pelaku utama tindak pidana yang bersangkutan walaupun menurut doktrin mereka bukanlah pelaku karena mereka tidak atau belum memenuhi unsur-unsur untuk dapat dikatakan sebagai pelaku. Dari pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengguna website porno (pengguna pornografi) dapat dijerat hukuman pidana karena melanggar peraturan. Hal ini khususnya diperoleh dari poin ketiga, dapat dijelaskan bahwa semua bentuk perbuatan apakah itu mengakses, melakukan pengunduhan dari situs-situs porno tersebut merupakan suatu tindak pidana karena masih ikut ambil bagian dalam tindak pidana penyebarluasan pornografi. 5 Suci Rahmadani. Aspek Hukum Pidana Penyebaran Pornografi Melalui Media Internet. Palu:Universitas Tadulako. 2009. Hlm: 47 Dengan demikian, baik UU Pornografi dan UU ITE dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi yang menggunakan media internet. Meskipun demikian, pasal 282 KUHP juga masih dapat digunakan untuk menjangkau pornografi di internet karena rumusan pasal tersebut yang cukup luas, ditambah lagi pasal 44 UU Pornografi menegaskan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU tersebut. Dari ketiga UU, tidak terlihat adanya pertentangan dalam pengaturan kejahatan pornografi di internet, khususnya di antara UU Pornografi dan UU ITE. Sebaliknya, ketiganya justru saling melengkapi. Batasan atau pengertian pornografi diatur dalam UU Pornografi, dan cara penyebarluasan pronografi di internet diatur dalam UU ITE. Meski demikian, bukan berarti cara pengaturan pornografi di kedua UU tersebut sudah tepat. Selain uraian diatas, ada peraturan baru mengenai pornografi dan telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perzinahan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk Pornografi pada tanggal 30 Januari 2014. Melihat isi dari PP ini, dapat diketahui bahwa pornografi tidak hanya berdampak negatfi melainkan juga dapat berdampak positif. Mengenai pemberian sanksi pada PP Nomor 5 Tahun 2014 dinilai kurang tegas, karena sanksi yang diberikan hanya sebatas administratif saja. Seharusnya, sanksi dapat dibuat lebih tegas dengan mengaitkan sanksi pidana yang berlaku di KUHP, UU ITE, ataupun UU pornografi. Melihat dampak terburuk dari pelanggaran PP ini, bisa menyebabkan pelanggaran kesusilaan dan pornografi seperti yang tercantum dalam Undang-undang. Misalnya, pelanggaran tentang penyebaran produk pornografi. Produk pornografi yang

seharusnya disebarkan demi kepentingan pendidikan atau kesehatan, disalah gunakan untuk kepentingan komersil diluar bidang yang ditentukan. Ini akan membawa dampak yang serius karena tidak sesuai dengan PP Nomor 5 tahun 2014. Tidak hanya bagi pengguna produk pornografi yang salah mengartikan maksud dan isi produk tetapi pelaku pembuat produk akan mendapat imbas kerugian atau pelcehan seksual karena penggunaan yang tidak sesuai. Tentu saja penyalahgunaan ini dapat dikenai sanksi pidana yang tercantum dalam UU pornografi atau KUHP maupun UU ITE. Hal seperti inilah yang harus perhatikan demi mengendalikan penyebarluasan pornografi yang semakin marak saat ini. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, undang-undang dan peraturan pemrintah adalah suatu kesatuan utuh yang berkaitan satu sama yang lainnya dan saling melengkapi dari kekurangan yang ada di setiap undang-undang. Salain itu, PP Nomor 5 Tahun 2014 dapat digunakan sebagai acuan khusus untuk menjerat penyalahgunaan pornografi atau tindak pidana kesusilaan. Berdasarkan isinya, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa berbagai bentuk produk pornografi di luar ketentuan atau tidak memenuhi syarat-syarat yang terdapat pada PP ini dapat dijatuhi tindak pidana kejahatan kesusilaan atau ponografi menurut KUHP, UU ITE ataupuan UU Pornografi. B. Saran 1. Berhubung dengan pengguna website porno yang dikategorikan sebagai pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 282 KUHP, Pasal 27 ITE dan secara khusus diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi, maka diharapkan aparat penegak hukum menindak tegas pelaku pengguna website porno demi mencegah, meminimalisir dan menaggulangi kejahatan kesusilaan. 2. Diharapakan dengan adanya PP Nomor 5 Tahun 2014, lebih mempertegas penidakan penyalalahgunaan produk pornografi agar mengurangi peredaran tindak pidana kesusilaan. 3. Diharapkan aparat penegak hukum bersama-sama dengan ISP (Internet Service Provider) sebagai penyelenggara jasa internet tersebut mengawasi dan menindak tegas website-website porno untuk menghindari masyarakat dari pengaruh dan penyalahgunaan pornografi. 4. Dengan adanya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang semakin disempurnakan, sebaiknya penegak hukum memberikan ancaman pidana yang lebih berat melihat dari dampak yang akan ditimbulkan untuk generasi bangsa. III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengaturan Penggunaan Website Porno Bahwa, penggunaan website porno atau pornografi diatur dalam Undang-undang hukum pidana yang berlaku di Indonesia. 2. Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Website Porno Bahwa, pertanggungjawaban pidana bagi pengguna website porno atau pornografi dapat dijerat hukum pidana atau dipidanakan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA Ali, Mahrus. Dasar-Dasar HukumPidana. Sinar Grafika. Jakarta 2011. Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta 2010. Irawan, Yusuf. Undang-Undang Pornografi. Mocopedia. Jakarta 2008. Suci Rahmadani. Skripsi. Aspek Hukum Pidana Penyebaran Pornografi Melalui Media Internet. Universitas Tadulako. Palu 2009. Tegararian. 2013. Pengertian Website. (Online) Tersedia: http://tegararian.blogspot.com/2013/03/pengertian-website.html [24 April 2014] Tim Redaksi Pustaka Yustisia. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pustaka Yustisia. Yogyakarta 2009.

BIODATA RAFIKADURI, Lahir di Dalaka, 22 Desember 1990, Alamat Rumah Jalan S. Manonda Palu Sul-Teng, Nomor Telepon +6285756464279, Alamat Email duryrafika@yahoo.com