BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang terkenal akan keanearagaman budaya yang dimiliki setiap suku bangsa yang mendiami wilayahnya. Kemajemukan Indonesia tercermin dalam sebuah palsapah Bhinneka tunggal Ika yang mempersatukan. Setiap suku bangsa yang ada memiliki identitas dan ciri khas budaya masing-masing sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk kegiatan sehari-hari, misalnya upacara ritual, pakaian adat, bentuk rumah, kesenian, bahasa, dan tradisi lainnya. Setiap suku yang ada di Indonesia tentunya memiliki aturan hubungan kekerabatan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Perkerabatan ini juga akan turut memperlihatkan bagaimana intensitas setiap manusia dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Komunikasi dibutuhkan untuk dapat berinteraksi dengan sesama baik secara langsung maupun tak laungsun. Keseharian manusia dalam beraktivitas tentunya tidak terlepas dari komunikasi. Komunikasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan seharihari, karena melalui komunikasi seorang tumbuh dan belajar, menemukan kepribadian diri maupun orang lain. Menurut Cangara (1998): komunikasi merupakan salah satu aktifitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia. Proses komunikasi merupakan rangkaian kejadian dengan melakukan hubungan, kontak, interaksi satu dengan yang lain berupa penyampaian pesan melalui penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti dan makna. Proses komunikasi yang baik adalah apabila suatu interaksi penyampaian pesan yang dilakukan oleh komunikan dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh pendengar atau komunikan dan terjadi intraksi yang timbal balik. Namun dalam prosesnya komunikasi tidak dapat belangsung secara mulus, tetapi akan ada hambatan atau gangguan yang disebabkan berbagai hal. Menurut Shannon (Cangara,1998): gangguan komunikasi terjadi jika terdapat intervensi yang
menggangu salah satu elemen komunikasi, sehingga proses komunikasi tidak dapat berjalan dengan efektif. Salah satu hambatan dalam proses komunikasi adalah hambatan budaya yang dimiliki oleh setiap mannusia. Hambatan atau rintangan budaya merupakan rintangan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi (Cangara, 1998:134). Hal-hal tersebut sering dijumpai saat orang yang berbeda suku berinteraksi dan bahkan orang yang sama suku bangsanya. Masing-masing etnis yang ada di dunia ini pastinya memiliki aturan tertentu dalam proses komunikasi antar sesama. Salah satunya etnis Simalungun yang merupakan salah satu sub-etnis Batak yang masih menjunjung tinggi nilai dan tatanan budaya dalam berinteraksi antar sesama. Cara berkomunikasi antar sesama anggota keluarga masih dapat dibedakan berdasarkan status kekerabatannya (partuturan). Pada suku Simalungun tuturlah yang memperlihatkan dekat atau tidaknya pardiha-dihaon (kekeluargaan) antara satu dengan yang lain. Sistem kekrabatan suku Simalungun adalah sistem patrilineal dimana garis keturunannya ditarik berdasarkan keturunan laki-laki yaitu berdasarkan marga yang dimiliki laki-laki. Pembawa marga hanyalah anak dengan jenis kelamin lakilaki. Sistem kekerabatan seperti ini menganut bahwa kedudukan dari pihak lakilaki dinilai lebih tinggi serta mendapatkan hak-hak yang lebih banyak. Penetuan tutur terhadap seseorangpun, akan selalu ditentukan berdasarkan marga yang dimiliki laki-laki. Salah satu status kekerabatan pada suku Simalungun adalah tutur besan (nasibesan). Perlu diketahu bahwa pihak-pihak yang bertutur besan maksudnya disini bukan seperti besan yang kita ketahui pada umumnya seperti tutur besan pada orang Jawa yaitu orang tua pihak laki-laki dan orang tua pihak perempuan yang terjadi karena hubungan pernikahan anak. Dalam hal ini orang yang dikatakan memiliki status tutur marnasibesan (besan), adalah orang luar yang masuk menjadi keluarga karena adanya hubungan pernikahan. Besan adalah panggilan untuk istri ipar atau lawei (Poerba, 2011:39). Sebagai contoh misalnya,
dalam sebuah keluarga yang memilki dua orang anak yaitu laki-laki dan perempuan, kemudian mereka masing-masing menikah dan pastinya anak lakilaki akan mendatangkan istri, dan anak perempuan akan mendatangkan suami dalam keluarga besar mereka. Maka yang disebut orang yang bertutur besan itu adalah orang yang dinikahi oleh kedua anak tersebut, dan dapat disimpulkan bahwa istri dari anak laki-laki akan berstatus tutur nasibesan dengan suami dari anak perempuan tersebut. Struktur dibawah ini dapat dilihat sebagai gambarkan denah kekerabatan pada sebuah keluarga pada suku Simalungun untuk menerangkan secara lebih rinci dan jelas mengenai pihak-pihak yang berstatus besan (nasibesan). *LL = Laki-laki, PR = Perempuan Gambar 1 (Suber: Japiten Sumbayak, 2001: 91) Dari contoh denah kekerabatan (partuturan) diatas maka akan jelas kita lihat bahwa tutur besan terjalin antara nomor 8,10 dengan 12, 14 atau sebaliknya. Status marnasibesan pada suku Simalungun memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara langsung. Dalam kehidupan keseharian masyaraka
Simalungun apabila bertemu dengan keluarga yang merupakan besan kita, maka kita tidak dapat berkomuniksi langsung dengan orang tersebut. Dalam tradisi nilai-nilai adat suku Simalungun ada istilah marmalang yang artinya saling segan atau lebih mengarah pada penghindaran atau pembatasan. Jadi antar dua orang suku Simalungun yang marnasibesan akan terbatas (marmalang) dalam bekomunikasi mulai dari berbicara, duduk berhadapan, dan berjalan bersama. Ada sebuah cerita rakya Simalungun yang merupakan sebuah anekdot yang menggambarkan adanya keterbatasan komunikasi dua orang yang marnasibesan. Suatu hari ada seorang laki-laki sedang memancing di sungai, kebetulan dihulu sungai tersebut adalah pemandian khusus perempuan kampung setempat. Tiba-tiba terlihat seorang perempuan hanyut terbawa arus sungai dan meminta tolong. Laki-laki yang sedang memancing tadi melihat dan ingin menolong, ternyata permpuan tersebut adalah besannya. Mengetahui bahwa perempuan yang hanyut tersbut adalah besannya, ia pun hanya terdiam melihat dan tak dapat berbuat apa-apa dan hanya berkata pelan in mayup nasibesan (aduh hanyut besan), dan meminta tolong melalui orang lain, meskipun sebenarnya ia sendiri dapat menolong langsung. Anekdot tersebut menggambarkan bahwa adanya keterbatasan hubungan interaksi antara orang-orang yang berstatus tutur besan, dimana dalam keadaan genting sekalipun mereka tidak dapat berhubungan secara langsung. Dalam konteks tersebut telah terjadi sebuah hambatan komunikasi antara dua orang tersebut. Ada sebuah paham yang telah diwariskan dari nenek moyang suku Simalungun secara turun-temurun. Paham yang telah ada pada kehidupan masyarakat Simalungun ini menjadi sebuah penghalang atau hambatan dalam kontek komunikasi antara dua orang yang berbesan. Paham yang telah terkontruksi tersebut diartikan sebagai pantangan atau pembatasan interaksi antara mereka. Majunya teknologi informasi dan komunikasi adalah hal yang tidak bisa dihindari, dan hal tersebut akan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat dunia akan semakin sempit, dimana arus informasi akan sangat terbuka dan
mudah diakses tanpa dibatasi ruang dan waktu. Hal tersebut memungkinkan masuknya budaya-budaya asing dan lambat laun akan berakulturasi dengan kebudayaan lokal. Pada dasarnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memang sangatlah di perlukan, tetapi apabila masyarakat tidak mampu memfilterisasinya, maka akan sangat fatal efek yang akan ditimbulkankhususnya pada kebudayaan lokal yang dianut oleh masyarakat sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Pada umumnya generasi muda adalah dianggap sebagai individu-individu yang sangat cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk melalui proses akulturasi. Dan sebaliknya generasi tua dianggap sebagai orang-orang kolot yang sukar menerima unsur-unsur baru (Soekamto, 1982 :196). Hal tersebut disebabkan karena nilai-nilai tradisional yang telah mendarah daging pada diri generasi tua, sehingga sangat sulit untuk menerima pengaruh dari luar. Sebaliknya pada generasi muda yang belum mendalami nilai dan norma kebudayaan nenek moyangnya, membuat mereka lebih cepat dan gampang menerima pengaruh dari luar, sehingga sangat memungkinkan terjadinya pergeseran nilai dan norma yang dahulu telah ada. Selain itu, semakin moderen pola pikir pada generasi muda membuat budaya lokal semaki tergerus sedikit demi sedikit. Hal tersebut juga terjadi pada suku Simalungun dan berpengaruh pada tradisi marsimalangan antara orang yang berstatus tutur besan, dimana pemahaman pada hal tersebut juga semakin berkurang. Banyak yang berdalih kalau hal tersebut sulit untuk diterapkan secara utuh pada masa skarang, sebagaimana yang dilaksanaka nenek moyang terdahulu karena sudah tidak sesuia dengan kemajuan zaman dan menganggap tradisi marsimalangan tersebut menjadi jarak pemisah didalam keluarga. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Komunikasi Antara orang-orang yang Berstatus Tutur Besan pada Suku Simalungun (studi deskriptif komunikasi Antara orang-orang yang BerstatusTutur Besan dan hambatan proses komunikasi pada suku Simalungun).
1.2 Fokus Masalah Fokus masalah dalam penelitian ini adalah, 1. Bagaimana komunikasi antara orang yang bertutur besan pada suku Simalungun. 2. Apa yang menjadi hambatan dalam proses komunikasi antara orang yang berstatus tutur besan pada suku simalungun. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi antara orang-orang yang berstatus tutur besan suku Simalungun. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi hambatan pada proses komunikasi orang-orang yang berstatus tutur besan pada suku Simalungun. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitin ini adalah sebagai berikut: 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi atau sumbangan ilmiah dan memperkaya sumber bacaan di lingkungan FISIP USU Medan. 2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan penulis serta memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu komunikasi. 3. Secara praktis, informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, khususnya bagi generasi muda suku Simalungun dalam pelestarian budaya Simalungun.