BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah

BAB II KAJIAN TEORI. hipotesis untuk membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah di jelaskan di dalam undang undang tersebut maka

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

BAB I PENDAHULUAN. mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan. mengakibatkan muculnya berbagai permasalahan-permasalahan kependudukan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan rakyat saat ini menjadi isu kebijakan yang semakin strategis,

BAB I PENDAHULUAN. mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan. dengan kependudukan di Indonesia. Berbagai permasalahan ini mengakibatkan

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik. kegiatan tertentu. Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang

BAB VII PENUTUP. penduduk Kota Magelang yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Program

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

IV. GAMBARAN UMUM. Implementasi merupakan suatu kajian mengenai kebijakan yang mengarah

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelayanan publik yang berkualitas menjadi salah satu wujud dari ciri tata

Model Mazmanian dan Sabatier

BAB III METODE PENELITIAN. karena penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena implementasi

BAB II LANDASAN TEORI. yang penting. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan dan Posyandu yang tersebar sampai ke desa terpencil

Implementasi Kebijakan Penyaluran Hibah Dan Bantuan Sosial Di Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik Kota Bontang

BAB I PENDAHULUAN. beberapa indikator dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development. sosial ekonomi masyarakat (Koentjoro, 2011).

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Implementasi Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Sleman dan faktorfaktor

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (Information

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pembahasan peneliti pada bab sebelumnya mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV STRATEGI PELAKSANAAN DAN PROGRAM REFORMASI BIROKRASI. Pelaksanaan reformasi birokrasi dibagi ke dalam dua tingkatan pelaksanaan, yaitu:

BAB II TELAAH PUSTAKA. karena kebijakan publik itu meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata

BAB I PENDAHULUAN. transparan, seolah-olah menjadi satu tanpa mengenal batas Negara. Kondisi ini

BAB I PENDAHULUAN. tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun Kemudian UU ini

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI KABUPATEN SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN. pengadaan saat ini masih ditangani secara ad-hoc oleh panitia yang dibentuk dan

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan (preventif) untuk meningkatkan kualitas hidup serta memberikan

I. PENDAHULUAN. perumahan yang telah disediakan oleh pemerintah. Sehingga masyarakat dari

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. administration atau to administear yang berarti mengelola (to manage) atau. usaha seperti tulis menulis, surat menyurat.

B. Maksud dan Tujuan Maksud

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Proses Pengambilan Keputusan mengungkapkan bahwa analisis didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan lanjutan dari Restitutie Regeling tahun Pada tahun 1985

BAB II GAMBARAN PELAYANAN SEKRETARIAT DPRD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam literatur-literatur politik. Masing-masing definisi memberi penekanan yang

BAB I PENDAHULUAN pada alinea ke empat yang dijadikan sebagai landasan pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

Implementasi Kebijakan Program e-ktp di Kecamatan Ibu Kabupaten Halmahera Barat Oleh : Susi Stella Anggreni Frans

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Karena

BAB. I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan hak-haknya

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai. 1. Implementasi Program PWK Bidang Ekonomi

STUDI TEORI KEBIJAKAN TERHADAP IMPLEMENTASI BELANJA LANGSUNG PENDIDIKAN (Studi Dilingkungan Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin) H. Gt.

Iftakhul Nuraida 1 Dr. Rita Kala Linggi, M.Si 2 Dr. Anwar Alaydrus, S.Sos, MM 3

DAFTAR PERTANYAAN SEBAGAI PEDOMAN WAWANCARA. 1. Pedoman Wawancara dengan Informan Kunci (Pelaksana Kebijakan)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen Kepensiunan di Indonesia (Studi Kasus:Tinjauan Implementasi

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan telah diterbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)

BAB VII PENUTUP. Temuan penelitian tentang hasil implementasi kebijakan dapat. digambarkan dalam tabel berikut ini:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mazmanian dan Sabsister dalam Siswadi (2012:24)

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kompleks dan bersifat multidimensional, dimana berkaitan dengan aspek sosial,

BAB I PENDAHULUAN. baik (good governance). Menurut Thoha dalam Jurnal Pendayagunaan Aparatur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Semua warga negara berhak mendapatkan jaminan kesehatan. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa bangsa yang

KAJIAN IMPLEMENTASI PROGRAM JAMINAN PERSALINAN DI PUSKESMAS PERTIWI DAN PUSKESMAS JUMPANDANG BARU KOTA MAKASSAR TAHUN 2012

Siska Ayu Puspita Dewi. Abstrak

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada bulan April 2008, pemerintah telah meresmikan Undang-Undang

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Responden Deskripsi Karakteristik Responden

IMPLEMENTASI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi Kasus di SMA Negeri 4 Kota Magelang) ABSTRAK

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tersebut yaitu mengenai Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 tentang

METODE PENELITIAN. Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

PERMASALAHAN PELAYANAN PUBLIK PADA PEMERINTAH DAERAH Oleh : Davy Nuruzzaman ABSTRAKSI

Oleh : Rista Dewi Putriana, Hartuti Purnaweni

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya pembuat

BAB I P E N D A H U L U A N. berada atau sedang menuju kepada masyarakat yang berorientasi kerja, yang

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDO... NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan Hidup 70,5 Tahun (BPS 2007). Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan akses pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan memang mahal. (www.depkes.go.id/jamkesmas.pdf) Dan untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, sejak tahun 2008 pemerintah telah mengupayakan untuk mengatasi kendala masyarakat miskin dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan melalui pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Kebijakan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam membuat kebijakan untuk pembiayaan gratis terhadap rakyat miskin melalui program Jamkesmas adalah kebijakan yang patut didukung.

Namun yang sangat disayangkan, ternyata di lapangan terdapat adanya kasus salah sasaran. Ada keluarga yang rumahnya berlantai keramik, punya listrik, telepon, dan sepeda motor yang menerima program Jamkesmas. Sedangkan keluarga yang lebih miskin justru tidak menerima. Fakta lapangan tentang ketidakmerataan pembagian dan banyaknya salah sasaran tetap saja didalih oleh pemerintah sebagai hal yang wajar dan dianggap sangat manusiawi. (www.kompasonline.com) Fakta tentang masih banyaknya masyarakat miskin yang tidak terserap dan terdata untuk merasakan program Jamkesmas tersebut juga terdapat di kota Medan. Saat ini masih ada puluhan ribu rakyat miskin di luar kuota Jamkesmas yang belum mendapatkan kepastian jaminan kesehatan. Maka untuk menanggulanginya, berdasarkan SK Walikota Medan No 440/923.K/2008 pemerintah daerah kota Medan mengeluarkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPK-MS) yang dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin kota Medan yang tidak mendapatkan program Jamkesmas. JPK-MS sebagai program yang memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin diterapkan di seluruh puskesmas yang ada di kota Medan serta beberapa rumah sakit milik pemerintah. Dan harapan yang ada pada program ini semoga masyarakat miskin yang sebelumnya tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan pada akhirnya mendapatkan pelayanan kesehatan sama seperti masyarakat yang lain. Namun dari awal pelaksanaannya program JPK-MS ini sudah mengalami banyak kendala, dimulai dari lamanya pemberian izin dari walikota, kriteria dan syaratsyarat penerima program yang dinilai tidak jelas hingga keterlambatan pelaksanaan program dari waktu yang telah ditetapkan sebelumnya.

1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah yang dimaksud dengan program JPK-MS? 2. Bagaimana implementasi program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPK-MS) di Puskesmas Kota Matsum, Kecamatan Medan Area? 3. Hambatan-hambatan apa saja yang terjadi dalam proses implementasi program JPK-MS di Puskesmas Kota Matsum, Kecamatan Medan Area? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah: 1. Untuk mengetahui tentang program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPK-MS). 2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses implementasi program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPK-MS) di puskesmas Kota Matsum Kecamatan Medan Area. 3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses implementasi JPK-MS di Puskesmas Kota Matsum, Kecamatan Medan Area. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang hendak diambil dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai implementasi program JPK-MS, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang

berminat menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan informan penelitian yang lebih banyak; 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dijadikan sebagai kontribusi terhadap pemecahan permasalahan yang terkait dengan implementasi program JPK-MS. 1.5. Kerangka Teori Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti ini. Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman berfikir yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. (Suyanto, 2005:34) Dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teorinya adalah: 1.5.1 Hierarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs) Perilaku seseorang pada suatu ketika biasanya ditentukan oleh kebutuhan yang paling kuat. Hal ini hendaknya dapat dipahami oleh setiap aparatur pemerintahan bahwa pada umumnya setiap masyarakat mampunyai kebutuhankebutuhan yang dianggap paling penting baginya. Untuk membicarakan kebutuhankebutuhan yang mempunyai kekuatan yang tinggi pada saat tertentu bagi seseorang, Abraham Maslow telah mengembangkan suatu konsep teori motivasi yang dikenal dengan hierarki kebutuhan (Hierarchy of Needs). Menurut Maslow, tampaknya ada semacam hierarki yang mengatur dengan sendirinya kebutuhan-kebutuhan manusia ini, dimana kebutuhan ini akan dapat dipenuhi seperti anak tangga dari tangga kebutuhan yang satu ke tangga kebutuhan berikutnya. (Thoha, 2007:221)

Fisik Keamanan Sosial Penghargaan Aktualisasi Diri Gambar 1 Hierarki Kebutuhan dari Maslow Sumber: Thoha (2007:222) Kebutuhan fisik dalam gambar di atas diletakkan di atas dalam susunan hierarki. Maksudnya, pada saat ini kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara yang lain. Dalam hal ini seseorang sangat membutuhkan makan, pakaian, papan, dan bebas dari rasa sakit. Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan perilaku memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. (Gibson, 1997:97) Sebenarnya tidak bisa dipungkiri, pada awalnya mayoritas dari aktivitas kehidupan manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan fisik ini. Ketika aktivitas pemenuhan kebutuhan fisik ini sudah mulai menurun maka naiklah kebutuhan lain seperti mencari keamanan. Begitu pula yang terjadi dengan masyarakat kita terutama masyarakat miskin, ketika kebutuhan akan sandang, pangan dan papan telah terpenuhi tentunya mereka memerlukan tubuh yang sehat untuk terus memenuhi tiga kebutuhan utama tersebut. Terlebih lagi kesehatan bagi masyarakat menjadi sebuah kebutuhan yang

mendasar karena menyangkut kualitas hidup masyarakat di masa yang akan datang. Artinya kualitas hidup masyarakat di masa yang akan datang salah satunya dipengaruhi oleh faktor kesehatan di masa kini. Karena itu masyarakat akan semakin menuntut tersedianya pelayanan kesehatan yang lebih baik. Namun kesehatan malah menjadi sesuatu yang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat saja. Biaya perawatan kesehatan seperti biaya rumah sakit dan obat tidak dapat terjangkau oleh sebagian besar masyarakat kita yang golongan ekonominya masih rendah. Banyak warga masyarakat miskin yang tidak menyadari bahwa pelayanan kesehatan dasar merupakan hak dasar yang seyogyanya disediakan oleh negara. Berkaitan dengan hal ini, negara sebagai instrumen publik memiliki kewenangan dan kewajiban untuk memenuhi hak-hak dasar tersebut. Negara berwenang memformulasikan anggaran bagi publik melalui program pemerintah maupun swasta. Dengan demikian, atas dasar untuk memenuhi kebutuhan fisiologis masyarakat miskin akan kebutuhan bebas dari rasa sakit maka dibuatlah satu kebijakan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPK-MS). Program ini muncul karena memang adanya suatu peristiwa yang kritis yakni derajat kesehatan masyarakat miskin yang dinilai masih, yakni AKB sebesar 26,9 per 1.000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan Hidup 70,5 tahun (BPS 2007). Derajat kesehatan masyarakat miskin yang rendah tersebut disebabkan sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Banyaknya masyarakat miskin yang tidak bisa berobat ke puskesmas ataupun rumah sakit disebabkan karena

keterbatasan biaya dan hal inilah yang telah mendorong pemerintah untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat miskin terhadap kesehatan. Program JPK-MS bertujuan memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin kota Medan terutama yang tidak mendapatkan program Jamkesmas. Pada program ini pemerintah kota Medan memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada 500 ribu jiwa masyarakat miskin yang belum mendapatkan program kesehatan apapun. Dimulai dari berobat ke puskesmas hingga berobat gratis ke rumah sakit apabila penyakit yang diderita tergolong penyakit parah dan tidak dapat ditanggulangi oleh puskesmas. 1.5.2. Implementasi Kebijakan 1.5.2.1 Defenisi Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan adalah bagian dari rangkaian proses kebijakan publik. Proses kebijakan adalah suatu rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Winarno, 2002:29). Meski demikian, harus diakui bahwa studi tentang implementasi kebijakan kurang mendapat perhatian di kalangan ilmuwan politik maupun policy maker (Winarno, 2001:104). Sebenarnya hal ini bukan berarti bahwa studi tentang implementasi kebijakan tidak terlalu penting melainkan karena rumitnya kompleksitas interelasi yang terdapat di dalamnya. Tentang hal ini dinyatakan: Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa proses implementasi diabaikan oleh para pembuat kebijakan dan analisis-analisis kebijakan, dan juga tidak berarti bahwa hambatan-hambatan tersebut tidak dapat diatasi. Beberapa ilmuwan politik maupun pembuat kebijakan telah mulai mengembangkan studi implementasi kebijakan. Salah satu faktor yang menjadi pendorong adalah akibat dari hasil-hasil yang mengecewakan dari program-program sosial yang

bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang membantu pemahaman proses implementasi kebijakan. (Winarno, 2002:105) Perhatian besar terhadap masalah implementasi kebijakan timbul pada awal tahun 1970-an atau tepatnya sejak diterbitkannya karya Pressman dan Wildavsky yang berjudul implementation pada tahun 1973 (Solichin, 2001:60). Kamus Webster merumuskan implementasi secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Implikasi dari pandangan ini maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, dan dekrit presiden) (Solichin, 2001:64). Pressman dan Wildavsky (Solichin, 1997:65) menyatakan bahwa sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda kebijaksanaan. Senada dengan ini, Van Meter dan Van Horn memberikan batasan terhadap konsep implementasi dengan menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah: tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok), pemerintah, atau swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusankeputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jones (dalam Tangkilisan, 2003) menganalisis masalah pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional.

Jones mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor yang terlibat dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah: 1. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan. 2. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan. 3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lain (Tangkilisan, 2003:19). Setidaknya ada dua hal mengapa implementasi kebijakan pemerintah memiliki relevansi: Pertama, secara praktis akan memberikan masukan bagi pelaksanaan operasional program sehingga dapat dideteksi apakah program telah berjalan sesuai dengan yang telah dirancang serta mendeteksi kemungkinan tujuan kebijakan negatif yang ditimbulkan. Kedua, memberikan alternatif model pelaksanaan program yang lebih efektif. Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap

implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut (Winarno, 2002:102). Berdasarkan pandangan yang diutarakan diatas dapat disimpulkan, bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tujuan kebijakan, baik yang negatif maupun yang positif (Tangkilisan, 2003:19). 1.5.2.2 Model-Model Implementasi Kebijakan Kemudian dalam rangka untuk mengimplementasikan kebijakan publik ini dikenal dengan beberapa model, antara lain: a. Model Gogin Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan Model Gogin, maka perlu diidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi yakni: (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan (3) Pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antar warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

b. Model Grindle Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh kebijakan yang terdiri dari: (1) kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi; (2) jenis atau tipetipe manfaat yang dihasilkan; (3) derajat perubahan yang diharapkan; (4) letak pengambilan keputusan; (5) pelaksanaan program, dan (6) sumber daya yang dilibatkan. Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga penguasa, dan kepatuhan serta daya tanggap. c. Model Meter dan Horn Meter dan Horn mengemukakan model implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu: (1) standar kebijakan dan sasaran yang akan menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh; (2) sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi; (3) komunikasi inter organsisasi dan aktivitas pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai; (4) karakteristik pelaksanaan, artinya karateristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program; (5) kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan; dan (6) sikap pelakasanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

d. Model Deskriptif William N. Dunn (dalam Tangkilisan, 2003) mengemukakan bahwa model kebijakan dapat diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting di antaranya adalah: (1) perbedaan menurut tujuan; (2) bentuk penyajian; dan (3) fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah: (1) Model deskriptif; dan (2) Model normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan dan atau meramalkan sebab dan akibat pilihanpilihan kebijakan. Model kebijakan ini digunakan untuk memonitor hasil tindakan dalam suatu kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan di lapangan. e. Model George Edwards III Menurut George C. Edwards III, implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana kebijakan (implementor).

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berhubungan satu sama lain, yakni: 1. Komunikasi Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah itu dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat. Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. a. Transmisi; sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. b. Kejelasan; jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan

tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interprestasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. c. Konsistensi; jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. 2. Sumberdaya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial serta fasilitasfasilitas. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di atas kertas dan menjadi dokumen saja. Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang

baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, informasi, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usulusul diatas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik. a. Staf Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Salah satu hal penting yang harus dingat bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. b. Informasi Informasi merupakan sumber penting yang kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk; Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana harus melakukannya. Dengan demikian para pelaksana diberi petunjuk untuk melaksanakan kebijakan. Kedua, data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksanapelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentaati undangundang ataukah tidak. c. Wewenang Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda,

seperti misalnya: hak untuk mengeluarkan surat panggilan untuk datang ke pengadilan; mengajukan masalah-masalah ke pengadilan; mengeluarkan perintah kepada para pejabat lain; menarik dana dari suatu program; menyediakan dana, staf dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah; membeli barangbarang dan jasa. d. Fasilitas-fasilitas Fasilitas fisik mungkin pula merupakan sumber-sumber penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil. 3. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. (Subarsono, 2005:90)

4. Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktifitas organisasi tidak fleksibel. Selain itu menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai standard operating procedures (SOP) dan fragmentasi. a. Standars Operating Procedures (SOP) Struktur organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya ( Standard Operating Procedures, SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Para pelaksana jarang mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan seksama dan secara individual setiap keadaan yang mereka hadapi. Sebaliknya, mereka mengandalkan pada prosedur-prosedur biasa

yang menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada Namun demikian, prosedur-prosedur biasa yang dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan untuk menyelesaikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan keadaan sekarang sehingga justru akan menghambat perubahan dalam kebijakan karena prosedur-prosedur biasa itu tidak sesuai dengan keadaankeadaan baru atau program-program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implemetasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. b. Fragmentasi Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Kongres dan lembaga-lembaga legislatif lain mencantumkan banyak badan secara terpisah dalam undangundang agar dapat mengamatinya lebih teliti dan dalam usaha menentukan perilaku mereka. Sementara itu, badan-badan yang ada bertentangan satu sama lain untuk mempertahankan fungsi-fungsi mereka dan menentang usaha-usaha yang memungkinkan mereka mengkoordinasi kebijakan-kebijakan dengan badan-badan yang melaksanakan

program-program yang berhubungan. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. Pertama, tidak ada orang yang akan mengakhiri implemetasi kebijakan dengan melaksanakan fungsifungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Di samping itu, karena masing-masing badan mempunyai yuridiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas penting mungkin akan terdampar antara retakretak struktur orgamisasi. Kedua, pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan mungkin juga menghambat perubahan. Suatu kebijakan (publik) dikatakan berhasil bila dalam implementasinya mampu menyentuh kebutuhan kepentingan publik. Pertanyaannya adalah ketika suatu kebijakan tidak lagi memenuhi kepentingan publik, bagaimana bisa disebut sebagai kebijakan yang berhasil? Peters (dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan bahwa: Implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor, yaitu informasi, di mana kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan itu; isi kebijakan, dimana implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern kebijakan itu sendiri; dukungan, dimana implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut; pembagian potensi, dimana hal ini terkait dengan pembagian potensi di antaranya para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

1.6. Kerangka Pemikiran Uma Sekaran (dalam Sugiyono, 2005:65) mengemukakan bahwa kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Berikut ini merupakan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini: Kebutuhan Dasar Masyarakat Miskin Akan Kesehatan Pemerintah mengeluarkan kebijakan program JPK- MS Implementasi JPK-MS: a. Sosialisasi program JPK-MS b. Pendataan masy. Miskin yang berhak menerima JPK-MS c. Pendistribusian kartu JPK-MS d. Pemberian pelayanan kesehatan Feedback Hambatan-hambatan Output; a. Diketahuinya program JPK-MS oleh masyarakat b. Terdatanya masy. Miskin sebagai peserta JPK-MS c. Diterimanya kartu JPK-MS sebagai bukti kepesertaan d. Masy.miskin menerima pelayanan kesehatan Rekomendasi Bagan 1. Kerangka Pemikiran

1.7. Operasional Konsep Karena penelitian kualitatif bukanlah suatu penelitian yang bersifat mengukur suatu variabel maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan operasional konsep sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian mengenai implementasi program JPK-MS ini, peneliti memakai teori George Edward III sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Implementasi program JPK-MS di puskesmas Kota Matsum, Kecamatan Medan Area dilihat dari: a. Komunikasi 1. Transmisi; Pengetahuan implementor tentang program JPK-MS dan waktu pelaksanaannya. 2. Kejelasan; Pengetahuan implementor tahap-tahap pelaksanaan program JPK- MS. 3. Konsistensi; Pelaksanaan program JPK-MS sesuai dengan peraturan yang ada. b. Sumber Daya 1. Staf; Ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam proses implementasi JPK-MS. 2. Informasi; Ketaatan implementor dalam melaksanakan JPK-MS sesuai dengan peraturan yang berlaku, artinya sesuai dengan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksana (juklak). 3. Wewenang; Hak masing-masing implementor dalam mengimplementasikan JPK-MS. 4. Fasilitas; Fasilitas yang dimiliki puskesmas Kota Matsum yang mendukung pengimplementasian program JPK-MS.

c. Disposisi 1. Komitmen yang dimiliki aparatur puskesmas Kota Matsum dalam pelaksanaan JPK-MS. 2. Kejujuran aparatur puskesmas Kota Matsum terkait tugas dan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan JPK-MS. d. Struktur Birokrasi; Kejelasan petunjuk pelaksanaan program JPK-MS. 1.7. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka pemikiran, operasional konsep, dan sistematika penulisan. BAB II METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian dimana peneliti melakukan penelitian yang meliputi keadaan geografi, demografi, ekonomi, sosial dan budaya serta hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. BAB IV PENYAJIAN DATA Bab ini membahas tentang hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung dan juga dokumendokumen lain yang akan dianalisa.

BAB V ANALISA DATA Bab ini berisikan tentang kajian dan analisis data yang diperoleh saat penelitian dan memberikan interpretasi terhadap masalah yang diajukan. BAB VI PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan.