BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. MT. Haryono 169 Malang

BAB II PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB III PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

I. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

6. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) 7. Tindak Pidana Anak TINDAK PIDANA KHUSUS. 1. Pengertian Tindak Pidana Khusus

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA

1.4. Modul Mengenai Pengaturan Pemberantasan Pencucian Uang Di Indonesia

BAB III KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMBUKTIAN TERBALIK. 1. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003

Perpustakaan LAFAI

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PEMBUKTIAN TERBALIK Disusun Oleh Riono Budisantoso (PPATK) dan Yunus Husein (Mantan Ka PPATK)

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

PROBLEMATIKA ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Kajian Empiris Di Pengadilan Negeri Surabaya)

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh : PROF.DR.H.M. SAID KARIM, SH. MH. M.Si. CLA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG. Oleh : Yenti Garnasih

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat luas pada umumnya. Oleh karena itu, bank sangat berkepentingan

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individuindividu

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TINJAUAN TENTANG SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSAL BURDEN OF PROOF) DALAM PEMERIKSAAN PERKARA GRATIFIKASI

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) Jawablah pertanyaan dibawah ini!

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

Kasus Korupsi PD PAL

Transkripsi:

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan beban pembuktian bukan merupakan hal baru di Indonesia karena hal tersebut sudah mulai diatur sejak tahun 1960 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembuktian terbalik/pembalikan beban pembuktian antara lain: a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 dimana Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 24 Tahun 1960 menyebutkan: Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa. Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa adanya permintaan dari Jaksa tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya. Dalam pasal ini, yang menentukan tersangka dapat memberikan keterangan terletak pada Jaksa. 88

b. Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi Sistem pembuktian dalam ketentuan Pasal 17 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dikenal dengan sistem pembagian pembuktian, yaitu merupakan suatu asas yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan ketidakbersalahannya, tanpa menutup kemungkinan jaksa melakukan hal yang sama untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tegasnya, ketentuan Pasal 17 ini tidak menganut sistem pembuktian terballik secara absolute karena terdakwa dan penuntut umum dapat saling membuktikan. Ketentuan pasal 17 dan 18 UU No. 3 Tahun 1971 tersebut di suatu sisi, dimensi pembalikan beban pembuktian untuk kesalahan pelaku dan kepemilikan harta terdakwa hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Konsekuensi logisnya, di sisi lain pembalikan beban pembuktian tidak dimiliki terdakwa sebagai hak dan terdakwa baru dapat mempergunakan pembalikan beban pembuktian sepanjang hakim memperkenankan untuk keperluan pemeriksaan. c. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Mengenai pembalikan beban pembuktian sudah juga diatur di dalam Undangundang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: 1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2. Dalam terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian, terdakwa 89

mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih (pasal 12B ayat (1) huruf a), yakni kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berlakulah pasal 37 ayat 2 yakni hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 37 yang merupakan hak terdakwa dengan melakukan pembalikan beban pembuktian dengan sifat terbatas dan berimbang. Hal ini secara eksplisit diterangkan dalam Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi: Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001. Tegasnya, politik 90

hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Eksistensi pembalikan beban pembuktian esensial dalam rangka untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Aspek ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 20 Tahun 2001, dengan redaksional bahwa: Ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat premium remidium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini d. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Ketentuan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan beban pembuktian diatur pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 dan di Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010. Pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa. Pada tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta perbuatan haram lainnya. Pembuktian terbalik ini sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan, tidak pada tahap penyidikan. Selain itu tidak pada semua tindak pidana, hanya pada serious crime 91

atau tindak pidana berat seperti korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika atau tindak pidana perbankan. 2. Dalam penerapannya, pembuktian terbalik sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sifatnya terbatas. Terbatas disini maksudnya adalah bahwa yang wajib dibuktikan oleh terdakwa hanyalah terbatas pada asal-usul Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Dan untuk unsur-unsur lainnya dari tindak pidana tersebut beban pembuktiannya berada di Jaksa Penuntut Umum. Pada prakteknya sistem pembuktian terbalik yang ditetapkan tidak menggunakan asas praduga bersalah secara mutlak, tetapi secara terbatas dan berimbang dimana di satu sisi terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana dan Jaksa Penuntut Umum juga harus membuktikan tuntutannya. Jadi dalam pelaksanaannya sistem pembuktian terbalik tidak dijalankan secara murni dengan menggunakan asas praduga bersalah secara mutlak yang mengharuskan si tersangka atau terdakwa yang diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah namun hanya terbatas pada asal usul Harta Kekayaan yang dicurigai merupakan hasil dari tindak pidana. B. Saran 1. Diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, dimana secara gamblang dapat kita lihat khususnya mengenai pengaturan mengenai beban pembuktian belum diatur mengenai pembuktian terbalik di dalam ketentuan tersebut sehingga menimbulkan kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas. 92

2. Diperlukan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Peningkatan kualitas ini merupakan suatu hal yang sangat penting, terutama pada lembagalembaga penting seperti Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, PPATK, dan Penyedia Jasa Keuangan. Mengenai lembaga Kepolisian dan Kejaksaan pada khususnya, peningkatan kualitas sumber daya manusia ini merupakan suatu hal yang harus diutamakan mengingat pentingnya peranan lembaga ini untuk mencari bukti-bukti dan membuat terang tindak pidana pencucian uang. Menyadari sulitnya usaha untuk memenuhi unsur-unsur dari pasal tindak pidana ini, maka dibutuhkan lebih banyak sumber daya manusia berkualitas di Kepolisian yang memahami masalah tindak pidana pencucian uang. 3. Diperlukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya dari tindak pidana pencucian uang. Hal ini dikarenakan akibat tindak pidana pencucian uang yang tidak merugikan seseorang secara langsung, sehingga bahayanya kurang disadari oleh masyarakat. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya dari pencucian uang ini, maka akan dapat meningkatkan kerjasama masyarakat dan berbagai pihak terkait lainnya, dalam usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 93