Oleh : Herma Yanti, SH.MH. Abstract. Key Note : Development of Local Government Supervision

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration

2012, No sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG KELOMPOK KERJA SEKRETARIS GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2017 TENTANG

KEDUDUKAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 42 TAHUN No. 42, 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2001 TENTANG PELAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH. Oleh : Michael Barama 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2001 TENTANG PELAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Jurnal Panorama Hukum

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN DI KOTA DENPASAR MENURUT UNDANG UNDANG NO.32 TAHUN 2004 DAN PERDA NO.9 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. otonom (locale rechtgemeenschappen) yang pembentukannya ditetapkan

G U B E R N U R L A M P U N G

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Kata Kunci: Kedudukan, Kewenangan, Pemerintah Kecamatan ABSTRACT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH DI ERA REFORMASI

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

I. UMUM. Dalam...

ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

AKIBAT HUKUM ATAS DIBATALKANNYA PERATURAN DAERAH MELALUI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BOALEMO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

APA ITU DAERAH OTONOM?

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 7 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG

PERAN BIRO HUKUM DALAM HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI BIRO HUKUM SETDA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA VERTIKAL Hubungan Pusat dan Daerah

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.07/2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

EVALUASI PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DI KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA MOJOKERTO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MOJOKERTO,

PELAKSANAAN TUGAS DEKONSENTRASI OLEH GUBERNUR KAJIAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH APBD DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW. Oleh : Mahmuddin Kobandaha 1

PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH)

ATE/D.DATA WAHED/2016/PERATURAN/JULI

11/PMK.07/2010 TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1

ASPEK YURIDIS PENYERAHAN WEWENANG DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH DALAM HAL PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROPINSI ISTIMEWA ACEH NOMOR : 8 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

Transkripsi:

PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT DALAM MELAKSANAKAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 Oleh : Herma Yanti, SH.MH Abstract Guidance and supervision by the central government to local government penyelenggraaan is an important aspect in order to guarantee the upholding of the Republic of Indonesia. for the governance of the district / city, in order to ensure an effective and efficient the Act No. 32 of 2004 puts Governor as Deputy Regional Government in addition to his position as head of the province. To that end, the governor has a very important role that local government penyelenggaraaan not deviate from the concept of the Unitary Republic of Indonesia, as well as guaranteeing the compatibility and harmony between government actions government structure. But the governor's role as the representative of the central government is weak, because it implies a relationship disharmony between the governor and the district / city. This was influenced by the provisions of Law No. 32 of 2004 that put the governor on the dual position as head of the region as well as representatives of the central government in the region, as well as setting the position of governor as the representative of the central government were inadequate. Key Note : Development of Local Government Supervision A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian dikukuhkan lagi melalui Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 setelah perubahan, secara tegas dinyatkaan bahwa khusus bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Ketentuan tersebut menegaskan tekad untuk tetap mempertahankan tegaknya Negara Kesatuan dalam Negara Republik Indonesia. Dalam konsteks Negara kesatuan ini, maka segala tanggung jawab pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat. Namun mengingat wilayah negara yang sangat luas, dengan masyarakat yang sangat heterogen, baik dari aspek etnis, agama, budaya maupun latar belakang kehidupan di bidang ekonomi dan lain sebagainya, maka penyelenggaraan pemerintahan dijalankan dengan system desentralisasi yang berinti pokok pada otonomi. Herma Yanti, SH.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 75

yaitu kebebasan bagi daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat, sebagaimana tercermin dalam Pasal 18, 18 A dan 18 B UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 sebagai landasan pemberian otonomi pada daerah dalam ayat (1) menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.. Berdasarkan ketentuan diatas, struktur hubungan kekuasaan antar pemerintah pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota ini bersifat pembagian yang bertingkat-tingkat, sehingga karena itu harus dilihat sebagai hubungan yang bersifat hierarkis. Konsep pembagian kekuasaan (division of power) di sini bersifat vertical dan hierarkis.. 1 Hal ini berarti bahwa kebebasan yang diberikan kepada daerah otonom bukan berarti daerah lepas sama sekali dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi tetap di bawah kendali pemerintah pusat sebagai pemegang penuh kekuasaan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Sir William O. Hart-J.F.Garner yang dikutip oleh Bagir Manan yang menyatakan bahwa, ditinjau dari hubungan Pusat dan Daerah, pengawasan merupakan pengikat kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan (unitary): if local autonomy is not to produce a state of affairs bordering on anrchy, it must subordinated to national interest by means divised to keep its actions within bounds. 2 Sehubungan dengan itu, dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan pada umumnya, haruslah diusahakan selalu adanya keserasian atau harmoni antara tindakan pusat dengan tindakan daerah, agar dengan demikian kesatuan negara dapat tetap terpelihara. Agar pemerintah daerah tetap berada dalam sistem negara kesatuan, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menempatkan pembinaan dan pengawasan sebagai salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Untuk pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Untuk itu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah propinsi disamping kedudukan gubernur sebagai kepala daerah. Sebagai kepala daerah gubernur menyelenggarakan otonomi di daerah propinsi, sedangkan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, 1 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 428. 2 Sir William O. Hart-J.F.Garner, dikutip oleh Bagir Manan dalam Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, Hal. 181. 76

gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota Dengan demikian, sebagai wakil pemerintah pusat gubernur mempunyai peran yang sangat penting sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, terutama melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun pengaturan tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ini cenderung melemahkan peran gubernur dalam implementasinya. Seperti banyak diberitakan, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ini cenderung menimbulkan konflik atau ketidakharmonisan dalam hubungan antara gubernur dengan pemerintah daerah, karena keberadaan gubernur cenderung diabaikan oleh bupati/walikota karena banyak bupati/walikota yang tidak tunduk kepada gubernur, sehingga dikhawatirkan menghambat jalannya pemerintahan serta merusak prinsip Negara Kesatuan sebagai salah satu sendi dasar Negara Republik Idonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Kenyataan tersebut sudah umum diketahui terjadi di hampir semua daerah, karena itu timbul pemikiranpemikiran tentang bagaimana memperkuat peran dan kedudukan gubernur sehingga mampu menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, tulisan ini membahas lebih lanjut tentang bagaimanakah peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, apa yang mempengaruhi lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, serta bagaimana pengaturannya ke depan? C. Pembahasan 1. Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Di Daerah Dalam Melaksanakan Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/Kota Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki hubungan antar susunan pemerintahan yang bersifat hierarkis, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan gubernur selain sebagai kepala daerah otonom, gubernur juga berkedudukan sebagai kepala wilayah. Pasal 37 UU Nomor 32 tahun 2004 dalam (1) menegaskan bahwa : Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan : Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur bertanggung jawab kepada presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut, gubernur mempunyai kedudukan ganda, yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai kepala wilayah yang bertindak sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, gubernur adalah kepala pemerintahan daerah provinsi, gubernur dan perangkatnya adalah pelaksana kebijakan daerah yang 77

bertanggung jawab kepada rakyat daerah setempat. Sedangkan sebagai kepala wilayah administrasi, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di wilayah administrasi propinsi yang bersangkutan, gubernur dan perangkatnya adalah pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Oleh karena itu gubernur wajib melaksanakan tugas dan mengamankan kepentingan pemerintah pusat. Kepentingan pemerintah pusat yang utama adalah tetap tegak dan utuhnya Negara kesatuan Republik Indonesia. Peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 38 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa sebagai wakil pemerintah, gubernur memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut : 1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; 2. koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan pusat di daerah provinsi dan kabupaten/kota; 3. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa salah satu peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah adalah melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Konsekuensi dari kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, berarti kedudukan atau posisi gubernur lebih tinggi dari pemerintah daerah kabupaten/kota. Karena itu Gubernur berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Peran gubernur dalam melakukan Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 217 meliputi: a. koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan b. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan c. pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d. pendidikan dan pelatihan; e. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Sedangkan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 218 meliputi : a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah Kemudian dalam Penjelasan Umum UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pengawasan dilaksanakan terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan terhadap peraturan daerah dilakukan secara preventif dan represif. Pengawasan preventif ditujukan terhadap Raperda tentang pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR. Terhadap keempat jenis Raperda kabupaten/kota tersebut 78

sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Gubernur. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. Sedangkan pengawasan represif ditujukan terhadap peraturan daerah selain tersebut di atas. Dalam hal ini setiap peraturan daerah kabupaten/kota wajib disampaikan kepada Gubernur untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai peraturan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat bahwa gubernur mempunyai peran yang sangat penting sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, khususnya dalam melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Khusus dalam melaksanakan pembinaan terhadap pemerintahan daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaimana ditentukan dalam pasal 217 di atas, agar dapat terlaksana tentunya diperlukan pertemuan-pertemuan rutin secara berkala antara gubernur dengan para bupati/walikota di wilayahnya. Untuk itu tentunya gubernur berwenang menentukan dan mengundang para bupati/walikota di wilayahnya untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan pemerintahan maupun pelaksanaan kehiatan-kegiatan terkait dengan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang tentunya berkedudukan lebih tinggi dari bupati/walikota. Pelaksanaan peran gubernur dalam melakukan pembinaan dan pengawasan tersebut lebih lanjut diatur dalam beberapa Peraturan Pemerintah. Dengan pentingnya peran tersebut, pemerintah kemudian memperkuat peran gubernur sebagai wakil pemerintah tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Propinsi. Berdasarkan Pasal 4 dinyatakan dinyatakan bahwa gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang meliputi: a. mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal; b. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat; c. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji; d. menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota; f. memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; g. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraaan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi; dan 79

h. melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam Peraturan pemerintah tersebut, selanjutnya dinyatakan bahwa koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi dilaksanakan melalui: a. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan b. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan. Rapat kerja tersebut dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun. Terhadap Pemerintah kabupaten/kota yang dengan sengaja tidak ikut serta dalam pelaksanaan koordinasi dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah di atas semakin mempertegas kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dimana gubernur diberikan wewenang memberikan sanksi terhadap pemerintah kabupaten/kota yang sengaja tidak ikut serta dalam pelaksanaan koordinasi yang dilakukan. 2. Hal-hal yang Mempengaruhi Lemahnya Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sebagaimana telah disingggung sebelumnya bahwa peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dinilai lemah dan cenderung menimbulkan konflik atau ketidakharmonisan dalam hubungan antara gubernur dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Keberadaan gubernur cenderung diabaikan oleh bupati/walikota karena banyak bupati/walikota yang tidak tunduk kepada gubernur, sehingga dikahwatirkan menghambat jalannya pemerintahan. Lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota tersebut, ternyata dipengaruhi oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Adapun ketentuan-ketentuan yang mempengaruhi kurang efektifnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tersebut diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, dipengaruhi oleh kedudukan ganda yang dimiliki gubernur berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, selain sebagai kepala daerah gubernur juga berkedudukan sebagai kepala wilayah. Sebagai kepala daerah otonom, gubernur adalah kepala pemerintahan daerah provinsi, yang bertanggung jawab kepada rakyat daerah setempat. Sedangkan sebagai kepala wilayah administrasi, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di wilayah administrasi propinsi yang bersangkutan. 80

Adanya kedudukan ganda pada gubernur tersebut karena pemerintah pusat menyerahkan kewenangan (desentralisasi) kepada daerah propinsi dan melimpahkan kewenangan (dekonsentrasi) kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Dalam statusnya sebagai kepala daerah otonom, gubernur dan perangkatnya adalah pelaksana kebijakan daerah dan bertanggung jawab kepada rakyat di daerah. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai kepala wilayah administrasi, gubernur merjadi wakil dari pemerintah pusat di daerah dan bersama perangkatnya juga melaksanakan kebijakan pemerintah pusat di daerah. Dalam hal ini gubernur wajib melaksanakan tugas dan mengamankan kepentingan pemerintah pusat. Kepentingan pemerintah pusat yang utama adalah tetap tegak dan utuhnya Negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai kepala daerah otonom, gubernur berkedudukan sejajar dengan kepala daerah otonom lainnya, karena sesama daerah otonom tidak saling membawahi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sarundajang bahwa : otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan sub-ordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain. 3 Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan gubernur dengan bupati/walikota adalah sejajar karena sama-sama sebagai kepala daerah otonom. Sementara di sisi lain, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah administrasinya. Dalam hal ini gubernur diberi peran melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayahnya. Adanya kedudukan ganda yang dimiliki gubernur inilah yang menyebabkan lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga menjadi pemicu timbulnya konflik antara gubernur dengan bupati/walikota. Ketidakharmonisan itu dipengaruhi oleh pemahaman atas pola hubungan yang lebih mengedepankan pola hubungan yang sejajar dan tidak saling mempengaruhi sebagai sesama daerah otonom. Pemikiran bahwa sebagai sesama daerah otonom, daerahdaerah otonom berkedudukan sejajar dan tidak saling membawahi. Masingmasing kepala daerah otonom sama-sama dipilih oleh rakyat di daerah dan bertanggung jawab kepada rakyat pemilihnya, serta menjalankan wewenang yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dengan pemahaman tersebut, akibatnya banyak para bupati/walikota yang tidak tunduk pada gubernur bahkan cenderung mengabaikan keberadaan gubernur, karena merasa sama-sama bertanggung jawab kepada rakyat pemilihnya. Akibat ini juga sebagai dampak dari pengaturan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 yang berlaku sebelum UU Nomor 32 tahun 2004. sebagaimana diketahui dalam Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa : daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota, masing- 3 Saraundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hal 34-35. 81

masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hieraki satu sama lain. Ketentuan tersebut mencerminkan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah propinsi serta kabupaten/kota bersifat horizontal, sehingga menimbulkan masalah kesalahpahaman dalam hubungan antar susunan pemerintahan di Indonesia. Meskipun ketentuan tersebut telah dikoreksi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang meletakkkan adanya hubungan yang bersifat hierarki, namun sepertinya masih meninggalkan pengaruh yang cukup kuat. Kedua, Selain kewenangan ganda yang dipegang oleh gubernur tersebut, lemahnya peran gubernur dalam pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh pengaturan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang kurang memadai dibandingkan dengan pengaturan sebagai kepala daerah. Selain jumlah pasal tentang kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang sangat sedikit, dari segi substansinya juga kurang tegas. Pengaturannya lebih banyak diatur dalam Peraturan Pemerintah, dan terakhir sebagaiaman dikemukakan sebelumnya pemerintah mencoba memperkuat peran gubernur tersebut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Propinsi. 3. Pengaturan ke Depan Mencermati kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu kiranya dilakukan perubahan-perubahan pengaturan terkait dengan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah, khususnya terhadap pemerintahan kabupaten/kota. Berkembangnya wacana pemikiran yang sering dilontarkan melalui seminar-seminar yang hendak menempatkan propinsi semata-mata hanya sebagai wilayah administrasi dengan gubernur semata-mata hanya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah perlu kiranya diapresiasi melalui perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dengan posisi hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, tentunya pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah akan lebih efektif. Para bupati/walikota, meskipun dipilih oleh rakyat secara langsung akan lebih mudah memahami pola hubungan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu merupakan pola hubungan yang bersifat hierarkis. Dengan demikian, daerah otonom sebagai pelaksanaan dari asas desentralisasi diletakkan di daerah kabupaten/kota, sedangkan propinsi semata-mata hanya sebagai wilayah administrasi yang merupakan wilayah kerja pemerintah pusat di daerah. Sehingga dengan demikian, garis komando lebih jelas dan mudah dipahami oleh para penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini juga sesuai dengan konsep yang pernah dikemukakan Muhammad Hatta yang menitikberatkan otonomi pada daerah kabupaten/kota, karena lebih dekat kepada masyarakat. Sesuai dengan tujuan otonomi daerah itu sendiri yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. 82

Namun untuk itu, hal ini harus diawali dengan pekerjaan berat dan besar yang harus dilewati terlebih dahulu yaitu melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Karena hal tersebut terkait dengan kedudukan Propinsi sebagai daerah otonom sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan tersebut jelas menentukan bahwa propinsi sebagai daerah otonom yang tentu saja gubernur adalah sebagai kepala daerah otonom. Karena itu, jika ke depannya gubernur hanya sebagai kepala wilayah (hanya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah), maka seyogyanya perubahan terhadap ketentuan harus dilakukan. Sejalan dengan adanya wacana untuk melakukan perubahan tahap kelima terhadap UUD 1945, perlu kiranya hal ini dijadikan sebagai salah satu skala prioritas dalam rencana perubahan UUD 1945. Namun jika hal ini sulit untuk dilaksanakan, artinya jika ke depannya gubernur tetap mempunyai fungsi ganda sebagai kepala daerah dan sekaligus sebagai kepala wilayah yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, maka penguatan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah khususnya dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu kiranya didukung dan mendapat sambutan positif dari pengambil kebijakan yang terlibat dalam perubahan undang-undang tersebut. Jika selama ini peran dan fungsi sebagai wakil pemerintah pusat itu lebih dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah, maka dalam perubahan ke depan pengaturan dalam Undang- Undang lebih diperkuat. Karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pengawasan merupakan aspek dari otonomi, agar bandul kebebasan berotonomi tidak merusak tatanan citra Negara Kesatuan Republik Indonesia. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa : 1. Gubernur mempunyai peran yang penting sebagai wakil pemerintah pusat di daerah khususnya dalam rangka melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, agar tidak melenceng dan keluar dari prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Hal-hal yang menyebabkan lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah disebabkan antara lain, karena : a. Gubernur mempunyai peran ganda, yaitu sebagai kepala daerah yang berkedudukan sejajar dengan kepala daerah kabupaten/kota dan sebagai wakil pemerintah pusat yang berkedudukan lebih tinggi dari pemerintah daerah kabupaten/kota. Dalam implementasinya 83

karena gubernur dan kepala daerah kabupaten/kota sama-sama dipilih oleh rakyat dan sama-sama bertanggung jawab kepada rakyat pemilihnya, sehingga timbul pemahaman yang lebih mengedepankan pola hubungan yang bersifat sejajar antara gubernur dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, akibat keberadaan gubernur sebagai wakil pemerintah yang tentunya lebih tinggi dari pemerintah daerah kabupaten/kota kurang diabaikan. b. Kurang memadainya pengaturan tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah ketimbang peran gubernur sebagai kepala daerah otonom, sehingga kurang dipahami oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Ditambah lagi hal ini sebagai akibat pengaruh UU yang berlaku sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999, yang mengedepankan hubungan yang bersifat sejajar dan tidak saling membawahi antara antara pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota; 3. Ke depannya, perlu dilakukan penataan kembali kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melalui perubahan aturanaturan terkait, misalnya dengan dengan menempatkan gubernur semata-mata hanya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah agar garis komando lebih jelas sehingga pembinaan dan pengawasan yang dilakukan lebih efektif. Kemudian pengaturan pengaturan sebagai wakil pemerintah ini perlu dipertegas dalam Undang-Undang, bukan dengan Peraturan pemerintah. E. Daftar Bacaan Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, Hal. 18. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi daerah, FH UII Press Yogyakarta, 2001. Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Gramedia, Jakarta, 2005 Ni matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007 Ridwan, Hukum Administrasi di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2009 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000 Sarman dan Muhammad Taufik Makarao, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2011 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 19 tahun 2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Propinsi. 84