BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

PELAKSANAAN PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN. (Studi Kasus Tindak Pidana Penipuan di Pengadilan Negeri Klaten dan. Pengadilan Negeri Surakarta)

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

IMPLEMENTASI PASAL 31 KUHAP TENTANG PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN ATAU TANPA JAMINAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. maupun bahaya baik berasal dari dalam mupun luar negeri. Negara Indonesia dalam bertingkah laku sehari-hari agar tidak merugikan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

PENERAPAN AZAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. dilahirkan sampai meninggal dunia selalu hidup bersama-sama. 1 Untuk itu. menurut Roeslan Saleh, adalah Hukum Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Semua hak dan kewajiban warga Indonesia untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadikan sistem peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 diberlakukan, hukum acara pidana yang ada di Indonesia adalah Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatblad 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951. Dalam pelaksanaannya, KUHAP harus melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan tersangka atau terpidana yang merupakan bagian dari masyarakat. 1 Semua kepentingan masyarakat harus dilindungi, ini sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk membentuk rasa keadilan dan 1 Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 3-4. 1

2 dalam masyarakat, setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana harus dituntut dan dipidana (bukan hanya yang bersifat pidana, termasuk juga tindakan, maupun kebijakan) dan berat ringannya suatu pidana dilihat dari tingkat kesalahan dan rasa keadilan. Kepentingan tersangka atau terdakwa perlindunganya terlihat dalam proses pemeriksaan, yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan. Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan, memperoleh putusan hakim, dan melaksanakan putusan hakim. 2 Pembatasan kebebasan hak seseorang terlihat pada waktu seseorang itu diduga melakukan suatu tindak pidana, dan penegak hukum berwenang membatasi kebebasan mereka, yaitu melalui proses penangkapan dan penahanan. Penangkapan harus dengan atas perintah penyidik, dan yang dimaksud dengan penyidik termasuk di dalamnya adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Perintah yang dimaksud berupa surat perintah yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan 2. Ibid. hal. 8.

3 sebelum penangkapan dilakukan, hal ini tidak berlaku apabila dalam hal tertangkap tangan. 3 Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam hal ini sangat jelas bahwa setiap penangkapan tidak dapat dilakukan sewenawenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Pasal ini menerapkan asas legalitas pada dasarnya berlaku untuk masa yang akan datang (ke depan), artinya berlaku terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi pada waktu sesudah hukum (UU) ditetapkan. 4 Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penempatannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 5 Dasar pertimbangan untuk diadakan penahanan dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu: 1. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri 2. Tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti 3 Bambang Poernomo, 2000, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Yogyakarta: Amarta Buku, hal. 67. 4 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 58. 5 Murofiqudin dan Hartanto, 2001, Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Undang-undang Pelengkapnya, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 49.

4 3. Tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana Di samping alasan untuk dapat dilakukan penahanan, undang-undang juga memberikan saluran hukum bagi seseorang untuk ditangguhkan penahanannya dengan menggunakan jaminan (uang atau orang) maupun tidak. Hal ini selaras dengan asas Presumption of Innocent yaitu asas praduga tak bersalah yang menganggap seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Penangguhan penahanan menurut Pasal 31 ayat (1) KUHAP adalah atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. Menurut M. Yahya Harahap, pengertian penangguhan penahanan yaitu mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanan berakhir. Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanan masih harus dijalani tersangka atau terdakwa yang ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. 6 Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis akan membahas tentang penangguhan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dalam perkara pidana. Apabila selama waktu penangguhan penahanan tersangka atau 6 Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan KUHP dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 209.

5 terdakwa tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang disepakati, maka penangguhan penahanan dapat dicabut oleh pihak yang memberikan penangguhan penahanan tersebut. Dalam uraian di atas, maka dalam penulisan hukum ini, penulis mengambil judul PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA ATAU TERDAKWA DALAM PERKARA PIDANA B. Batasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan hukum ini, penulis akan membatasi masalah yang diteliti, sehingga dalam pembahasan diharapkan dapat dilakukan secara tuntas dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan yang diteliti oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah penangguhan penahanan pada tingkat hakim atau pengadilan. Dengan memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Alasan apa saja yang sah untuk mengajukan penangguhan penahanan? 2. Bagaimana pelaksanaan penangguhan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa? 3. Apa saja yang menjadi hambatan di dalam pelaksanaan penangguhan penahanan? 4. Upaya apa yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan penangguhan penahanan?

6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang dikemukakan, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui alasan yang sah untuk mengajukan penangguhan penahanan. b. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan penangguhan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa itu dapat dilaksanakan. c. Untuk mengetahui hambatan di dalam pelaksanaan penangguhan penahanan. d. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan penangguhan penahanan. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk mengembangkan teori yang telah diterima penulis selama mengikuti kuliah serta melatih kemampuan penulis dalam pembuatan karya ilmiah. b. Untuk memperoleh data dan bahan yang berguna dalam penyusunan penulisan karya ilmiah. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pelaksanaan penangguhan penahanan.

7 b. Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama mengikuti kuliah ke dalam kehidupan nyata pada bidang Hukum Acara khususnya mengenai penangguhan penahanan. c. Menambah referensi dan gambaran tentang penangguhan penahanan. 2. Manfaat Praktis Memberikan masukan mengenai pelaksanaan penangguhan penahanan bagi tersangka atau terdakwa, aparat penegak hukum dan masyarakat pada umumnya. D. Kerangka Pemikiran Gambaran terjadinya penangguhan penahanan seolah-olah didasarkan pada bentuk kontrak atau perjanjian dalam hubungan perdata. Itu sebabnya cenderung untuk mengatakan terjadinya penangguhan penahanan berdasarkan perjanjian antara orang tahanan dengan pihak instansi yang menahan. Orang tahanan berjanji akan melaksanakan dan memenuhi syarat dan jaminan yang ditetapakan instansi yang menahan, dan sebagai imbalan pihak yang menahan mengeluarkan dari tahanan dengan menangguhkan penahanan. 7 Wewenang penangguhan penahanan dapat diberikan oleh semua instansi penegak hukum. Pasal 31 ayat (1) tidak membatasi kewenangan penangguhan penahanan terhadap instansi tertentu saja. Masing-masing 7 R. Soesilo, 2003, Tugas Kewajiban dan Kewenangan Penyidik, Jaksa, Hakim (Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP), Bandung: Sinar Grafika, hal. 43.

8 instansi penegak hukum yang berwenang memerintahkan penahanan, samasama mempunyai wewenang untuk menangguhkan penahanan. Baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim mempunyai kewenangan untuk menangguhkan penahanan, selama tahanan yang bersangkutan masih berada dalam lingkungan tanggung jawab yuridis mereka. Tentang alasan penangguhan penahanan tidak disinggung dalam Pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan pasal tersebut. Kalau begitu ditinjau dari segi yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap tidak relevan untuk dipersoalkan. Persoalan pokok bagi hukum dalam penangguhan berkisar pada masalah syarat dan jaminan penangguhan. Akan tetapi, sekalipun undangundang tidak menentukan alasan penangguhan, dan memberi kebebasan dan kewenangan penuh kepada instansi yang menahan untuk menyetujui atau tidak menangguhkan, sepatutnya instansi yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan dan ketertiban umum dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis dan preventif. Oleh karena itu, kebebasan dan kewenangan menangguhkan penahanan, jangan semata-mata bertitik tolak dari sudut persyaratan dan jaminan yang ditetapkan, tapi juga harus mengkaji dan mempertimbangkan lebih dalam dari sudut yang lebih luas. 8 E. Metode Penelitian Penelitian adalah suatu proses, suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapatkan pemecahan 8 Yahya Haharap, Op.Cit.,hal. 210-211.

9 masalah atau mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu. 9 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada metode, sistematis dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisis. 10 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan cermat tentang penangguhan penahanan. 2. Metode pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, karena konsep hukum sebagai lembaga yang otonom, sedangkan empiris suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan secara hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh suatu pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. 11 Dalam hal ini adalah tentang praktik penangguhan penahanan di Polresta Surakarta, Kejaksaan Surakarta, dan Pengadilan Negeri Surakarta. 3. Lokasi penelitian a. Poltabes Surakarta b. Kejaksaan Surakarta 9 Sumadi Suryabrata, 2003, Metode Penelitian, Jakarta: Raja Grapindo Persada, hal. 11. 10 Soerjono Soekanto, 2005, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, hal. 43. 11 J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 1.

10 c. Pengadilan Negeri Surakarta 4. Sumber data Pada dasarnya sumber data dibagi menjadi tiga, yaitu data primer dan data sekunder dan data tersier. a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian dan hasil wawancara dari para ahli hukum. b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan bacaan, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan penelitian. c. Data tersier adalah data yang memberikan petunjuk meskipun penjelasan mengenai data primer dan data sekunder, misalnya data dari kamus, media internet dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 12 5. Metode pengumpulan data a. Studi pustaka Yaitu pengumpulan data melalui buku, dokumen-dokumen resmi, tulisan-tulisan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penangguhan penahanan. b. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. 13 Bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas yaitu wawancara 12 Khudzaifa Dimyati dan Kelik Wardiono, 2008, Metode Penelitian Hukum, Faukulas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 13. 13 Burhan Ashshofa, 2000, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 95.

11 dengan menyiapkan pokok-pokok yang akan ditanyakan, kemudian dikembangkan lebih lanjut. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap aparat penyidik Polresta Surakarta, Kejaksaan Surakarta, dan Pengadilan Negeri Surakarta. 6. Metode analisis data Data dikumpulkan dan selengkapnya dan seteliti mungkin untuk mempertegas gejala-gejala yang ada dan selanjutnya dilakukan pengolahan data dan analisis data. Hal ini dimaksudkan untuk mengurai dan mengambil kesimpulan atas data yang diperoleh itu. Analisis data adalah suatu proses mengorganisasi dan mengumpulkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja skripsi yang disarankan oleh data. 14 Adapun metode pengambilan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif. F. Sistematika Skripsi Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum sebagai berikut: BAB I : Dalam bab pendahuluan ini penulis akan membahas tentang latar belakang, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, sistematika penulisan hukum. 14 Lexy Meleong, 1994, Metode Penelitian Kuantitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, hal. 103.

12 BAB II : Dalam bab tinjauan pustaka ini diuraikan tentang pengertian penangkapan, pejabat yang berwenang melakukan penangkapan, tujuan dan alasan penangkapan, dan syarat-syarat sahnya penangkapan. Pengertian penahanan, syarat-syarat penahanan, dan pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Jenis-jenis penahanan, pejabat yang menentukan lamanya penahanan, dan pengertian penangguhanan penahanan. BAB III : Dalam bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan bagian pokok dari keseluruhan penulisan hukum yang membahas, dan menganalisis rumusan permasalahan penelitian yang meliputi alasan yang sah untuk mengajukan penangguhan penahanan, pelaksanaan penangguhan penahanan, hambatan di dalam penangguhan penahanan, dan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan penangguhan penahanan. BAB IV : Merupakan kesimpulan tentang akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan dan diakhiri dengan saran untuk membangun penegak hukum diantaranya penyidik, penuntut umum dan hakim dalam memberikan kewenangan penangguhan penahanan.