II. TINJAUAN PUSTAKA. materil dan hukum pidana formil. Menurutnya isi hukum pidana materil adalah

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. komunitas sosial. Seringkali tindakan kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. dalam rumah tangga saat ini kerap terjadi baik merupakan kekerasan secara fisik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB I PENDAHULUAN. patut di junjung tinggi serta harus mendapatkan hak-haknya tanpa harus

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

2016, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pember

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

Institute for Criminal Justice Reform

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, baik di lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik.

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

k. Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, kapasitas perempuan, dan perlindungan anak.

BAB I PENDAHULUAN. hukum tidak berdasar kekuasaan belaka. 1 Permasalahan besar dalam. perkembangan psikologi dan masa depan pada anak.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penanggulangan Hukum Pidana 1. Pengertian Hukum Pidana Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian hukum pidana ke dalam hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Menurutnya isi hukum pidana materil adalah penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana; penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana; dan penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan. Hukum pidana formil (hukum acara pidana) berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana materil, karena merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 17 2. Upaya Penanggulangan Hukum Pidana Dalam kerangka teoritis telah dijelasakan secara singkat tentang upaya penanggulangan kejahatan dalam garis besar dapat dibagi dua, yaitu melalui jalur 17 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 2-3.

15 "penal" (hukum pidana) dan melalui jalur "nonpenal" (bukan/di luar hukum pidana). Pengertian Penal Policy (kebijakan/politik hukum pidana) dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah: a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 18 Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam Kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan "politik hukum pidana", berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. 19 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan atau politik 18 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal.22. 19 Ibid, hal. 23.

16 hukum pidana juga merrupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana". Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). OLeh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Oleh karena itu, dianggap wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). 20 Upaya Penanggulangan kejahatan yang lainnya adalah upaya nonpenal. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan jalur nonpenal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan. 21 Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi 20 Ibid, hal. 24. 21 Ibid, hal. 40.

17 semata-mata dengan "penal". Disinilah keterbatasan jalur "penal" dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh jalur "nonpenal". Salah satu jalur "nonpenal" untuk mengatasi masalah-masalah sosial adalah lewat jalur "kebijakan sosial" (social policy). Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. 22 Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah kesehatan jiwa/rohani sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan kejahatan, juga menjadi pusat perhatian Kongres PBB. Dalam pertimbangan Resolusi No. 3 Kongres ke-6 Tahun 1980, mengenai "Effective Measures to Prevent Crime" antara lain dinyatakan: - bahwa pencegahan kejahatan tergantung dari manusia itu sendiri. - bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha membangkitkan/menaikan semangat atau jiwa manusia dan usaha memperkuat kembali keyakinan akan kemampuannya berbuat baik. 23 22 Ibid, hal. 44. 23 Ibid, hal. 45.

18 Upaya nonpenal dapat digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Prof. Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara berkelanjutan termasuk upaya nonpenal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya nonpenal yang perlu diefektifkan. Perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan karena masih diragukannya efektivitas sarana penal untuk mencapai tujuan pemidanaan. 24 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam menentukan berlakunya hukum itu adalah: a. Faktor hukumnya sendiri. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 25 24 Ibid, hal. 48. 25 M. Faal, Op.Cit., hal 99.

19 a. Faktor Hukumnya Sendiri Semakin baik suatu peraturan hukum (undang-undang) akan semakin memungkinkan penegakan hukum. Secara umum peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang memenuhi konsep keberlakuan sebagai berikut : a. Berlaku secara yuridis, artinya keberlakuannya berdasarkan efektivitas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, dan terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. b. Berlaku secara sosiologis, artinya peraturan hukum tersebut diakui atau diterima masyarakat kepada siapa peraturan hukum itu diberlakukan. c. Berlaku secara filosofis, artinya peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. d. Berlaku secara futuristic (menjangkau masa depan), artinya peraturan hukum tersebut dapat berlaku jangka panjang sehingga akan diperoleh suatu kekekalan hukum. b. Faktor Penegak Hukum Penegak hukum terdiri dari : a. Pihak-pihak yang menerapkan hukum, misalnya : kepolisian, kejaksaan, kehakiman, kepengacaraan, dan masyarakat. b. Pihak-pihak yang membuat hukum, yaitu badan legislative dan pemerintah. Peranan penegak hukum sangatlah penting karena penegak hukum lebih banyak tertuju pada diskresi, yaitu dalam hal mengambil keputusan yang tidak sangat terkait

20 pada hukum saja, tetapi penilaian pribadi juga memegang peranan. Pertimbangan tersebut diberlakukan karena: 1. Tidak ada perundang-undangan yang lengkap dan sempurna, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia. 2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dalam perkembangan dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. 3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan. 4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. c. Faktor Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. d. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Sebab itu masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum di mana peraturan hukum berlaku atau diterapkan. Bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan

21 penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum dalam masyarakat meliputi antara lain : a. Adanya pengetahuan tentang hukum. b. Adanya penghayatan fungsi hukum. c. Adanya ketaatan terhadap hukum. Kelima faktor tersebut diatas sangat berkaitan dengan penegakan hukum, karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur efektivitas penegakan hukum. e. Faktor Kebudayaan Kebudayaan hakikatnya merupakan buah budidaya, cipta, rasa dan karsa manusia di mana suatu kelompok masyarakat berada. Dengan demikian suatu kebudayaan di dalamnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, yang berperan dalam hukum meliputi antara lain : a. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman. b. Nilai jasmania/kebendaan dan nilai rohania/keakhlakan. c. Nilai kelanggengan dan nilai kebaruan. 26 26 http://acceleneun.blogspot.com/2013/03/pelaksanaan-dan-penegakan-hukum.html, [17-9-2014].

22 B. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu stafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. 27 Marshall mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. 28 Pada konsep RUU KUHP tahun 2005 tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak melakukan perbuatan tertentu (pasif) yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. 27 Adami Chazawi, Op.Cit.,hal. 67. 28 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 89.

23 Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari 2 (dua) sudut pandang, yakni: (1) dari sudut teoritis; dan (2) dari sudut undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam Pasal-Pasal peraturan perundangundangan yang ada. Contoh dari sudut pandang teoritis yang diambil menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan; b. yang dilarang (oleh peraturan hukum); c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). 29 Pendapat lainnya R. Tresna mengemukakan, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni: a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); b. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. diadakan tindakan penghukuman. 30 Terdapat unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan-rumusan Buku II KUHP tentang pengelompokan kejahatan dan Buku III KUHP memuat pelanggaran, ialah 29 Adami Chazawi, Op.Cit.,hal. 79. 30 Ibid, hal. 80.

24 mengenai tingkah laku/perbuatan. Unsur kesalahan dan melawan hukum kadangkadang dicantumkan dan sering kali juga tidak dicantumkan, yang sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan 11 (sebelas) unsur tindak pidana yaitu: a. Unsur tingkah laku b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan d. Unsur akibat konstitutif e. Unsur keadaan yang menyertai f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana i. Unsur objek hukum tindak pidana j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. 31 C. Pengertian Kekerasan Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: 1. perihal yang bersifat, berciri keras; 2. perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; 3. paksaan. 32 31 Ibid,hal. 82. 32 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. 2003. hal. 425.

25 Kekerasan (violence) dalam bahasa Inggris berarti sebagai suatu serangan atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang. seperti yang dikemukakan oleh Elizabeth Kandel Englander (dalam Rika Saraswati), bahwa: in general, violence is aggressive behavior with the intent to cause harm (physical or psychological). The word intent is central; physical or psychological harm that occurs by accident, in the absence of intent, is not violence. (Secara umum, kekerasan adalah bentuk dari tindakan agresif, yang sebenarnya dilakukan dengan maksud untuk melukai orang lain (baik secara fisik maupun psikologis). Kata dilakukan dengan maksud dalam kalimat di atas, mempunyai arti bahwa segala kerugian baik secara fisik maupun psikologis yang diakibatkan oleh kecelakaan dengan tiadanya unsur kesengajaan, maka hal tersebut bukanlah sustu kekerasan). 33 Kekerasan merupakan ekspresi perbuatan yang dilakukan secara fisik maupun verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan perorangan atau sekelompok orang. 34 Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut penganiayaan. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa 33 Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 12. 34 http://id.wikipedia.org/wiki/kekerasan [17-9-2014]

26 penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. 35 Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan, dimuat dalam Buku II Pasal 351 sampai dengan 358. Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak diatur dalam Pasal 356 Ayat 1 KUHP. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga penganiayaan diatur dalam Pasal 44. D. Pengertian Anak Anak dalam kasus ini merupakan korban, jadi yang dijadikan dasar teori konseptual adalah pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak (Convention On The Rights of The Child) yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, anak berarti setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat. 35 Ismu Gunadi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2), PT. Prestasi Pustakaraya, Surabaya, 2011, hal. 3.

27 1. Dampak Kekerasan Fisik Terhadap Anak Pendidikan masa kecil seorang anak akan mempengaruhi perkembangan sikap dan kepribadiannya di masa depan. Anak adalah peniru yang sangat besar. Kekerasan terhadap anak dalam keluarga bukan saja salah, dilihat dari sudut hak asasi anak tapi juga menimbulkan dampak sangat buruk terhadap masa depan anak. Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf dan kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.. 36 2. Perlindungan Anak Begitu banyaknya fenomena kekerasan dan tindak pidana terhadap anak menjadi suatu sorotan keras dari berbagai kalangan. Hal ini dianggap sebagai suatu indikator buruknya instrumen hukum dan perlindungan anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang Perlindungan Anak, bahwa yang 36 http://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/ [19-9-2014]

28 berkewajiban dan bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Pasal 21 dan 25 dalam UU ini juga mengatur lebih jauh terkait perlindungan dan tanggung jawab terhadap anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 2 terkait ruang lingkup pada Pasal ini juga mencakup keberadaan anak untuk dilindungi dari kekerasan dalam rumah tangga. Instrumen-instrumen hukum ini menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia memberi perhatian terhadap keberadaan anak. Adapun hal yang harus dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak ialah pentingnya pemahaman dan implementasi atas hak-hak terhadap anak, seperti dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. E. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Presiden Megawati pada tanggal 22 September 2004 telah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sesuai dengan namanya maka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

29 Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. F. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik menurut Pasal 6 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah "perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat." Kekerasan psikis menurut Pasal 7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah "perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang." Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8 Undang- Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

30 b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Berdasarkan definisi bentuk-bentuk kekerasan tersebut di atas terlihat bahwa Undang- Undang Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga berusaha untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini hak-hak korban mendapat pengakuan dan diatur, sementara dalam KUHP hak-hak korban tidak diatur karena sejak awal ditujukan untuk menangani terdakwa atau pelaku kekerasan/kejahatan sehingga ketentuannya pun menitikberatkan pada kepentingan terdakwa.