ANALISIS TERMAL GRAVIMETRI UNTUK FILM PADUAN GELATIN KULIT IKAN PARI (Himanturra gerrardi) DAN KITOSAN CANGKANG UDANG WINDU (Peneaeus monodon)

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh: ANURAGA TANATA YUSA ( ) Pembimbing 1 : Drs. M. Nadjib M., M.S. Pembimbing 2: Lukman Atmaja, Ph.D

EFEK ASAM TERHADAP SIFAT TERMAL EKSTRAK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Euthynnus affinis)

STUDI ANALISIS ANTIBAKTERI DARI FILM GELATIN- KITOSAN MENGGUNAKAN Staphylococcus aureus

4. Hasil dan Pembahasan

PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu)

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

PENJERAPAN LEMAK KAMBING MENGGUNAKAN ADSORBEN CHITOSAN

BAB III METODE PENELITIAN. selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 Metodologi Penelitian

3. Metodologi Penelitian

Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 ANALISIS KUAT TARIK DAN ELONGASI FILM GELATIN KOMERSIAL KHITOSAN

4 Hasil dan Pembahasan

3 Metodologi Penelitian

3 Percobaan. 3.1 Tahapan Penelitian Secara Umum. Tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada diagram alir berikut :

3 Metodologi Penelitian

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

4.1. Pengaruh Pra Perlakuan dan Jenis Larutan Ekstraksi terhadap Rendemen Gelatin yang Dihasilkan.

SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Karakterisasi Kitosan dari Limbah Kulit Kerang Simping (Placuna placenta) Characterization of Chitosan from Simping Shells (Placuna placenta) Waste

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

Jurnal Teknologi Kimia Unimal

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer

Bab III Metodologi Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Januari 2012

4 Hasil dan Pembahasan

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. melakukan uji morfologi, Laboratorium Teknik Kimia Ubaya Surabaya. mulai dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011.

III. METODOLOGI PENELITIAN. dengan tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel cangkang udang di PT.

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat-alat Gelas.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Kulit udang yang diperoleh dari pasar Kebun Roek Ampenan kota

Laboratorium Teknologi Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

BAB III METODE PENELITIAN

TRANSFORMASI KITIN DARI HASIL ISOLASI LIMBAH INDUSTRI UDANG BEKU MENJADI KITOSAN

PENGARUH ph DAN LAMA KONTAK PADA ADSORPSI ION LOGAM Cu 2+ MENGGUNAKAN KITIN TERIKAT SILANG GLUTARALDEHID ABSTRAK ABSTRACT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III. (HCl), 40 gram NaOH, asam fosfat, 1M NH 4 OH, 5% asam asetat (CH 3 COOH),

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu

TUGAS AKHIR RK 0502 PEMANFAATAN KITOSAN LIMBAH CANGKANG UDANG PADA PROSES ADSORPSI LEMAK SAPI

BAB III METODE PENELITIAN

PENGGUNAAN KITOSAN DARI TULANG RAWAN CUMI-CUMI (LOLIGO PEALLI) UNTUK MENURUNKAN KADAR ION LOGAM Cd DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang telah

BAB III METODE PENELITIAN

Hasil dan Pembahasan

3. Metodologi Penelitian

4 Hasil dan Pembahasan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

SINTESIS PLASTIK BIODEGRADABLE AMILUM BIJI DURIAN DENGAN GLISEROL SEBAGAI PENAMBAH ELASTISITAS (PLASTICIZER)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULAN

Makalah Pendamping: Kimia Paralel E PENGARUH KONSENTRASI KITOSAN DARI CANGKANG UDANG TERHADAP EFISIENSI PENJERAPAN LOGAM BERAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH WAKTU PROSES DEASETILASI KITIN DARI CANGKANG BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP DERAJAT DEASETILASI

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG RAJUNGAN PADA PROSES ADSORPSI LOGAM NIKEL DARI LARUTAN NiSO 4

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, TEMPERATUR DAN WAKTU PEMASAKAN PADA PEMBUATAN PULP BERBAHAN BAKU SABUT KELAPA MUDA (DEGAN) DENGAN PROSES SODA

KIMIA ORGANIK (Kode : E-08)

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan

3 Metodologi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November 2014 sampai dengan bulan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB III METODE PENELITIAN

EKSTRAKSI GELATIN DARI KAKI AYAM BROILER MELALUI BERBAGAI LARUTAN ASAM DAN BASA DENGAN VARIASI LAMA PERENDAMAN

SINTESA DAN UJI BIODEGRADASI POLIMER ALAMI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

STUDI PEMBUATAN DAN KARAKTERISTIK SIFAT MEKANIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR UMBI SUWEG (Amorphophallus campanulatus) DENGAN PEWARNA DAN RASA SECANG

BAB 3 METODOLOGI PERCOBAAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Beaker glass 50 ml pyrex. Beaker glass 100 ml pyrex

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan Oktober 2011 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

3 Metodologi Penelitian

Hasil dan Pembahasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENGARUH SUHU DAN WAKTU REAKSI PADA PEMBUATAN KITOSAN DARI TULANG SOTONG (Sepia officinalis)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif eksploratif dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan Laboratorium Peternakan Universitas

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN POTASSIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU HIDROLISIS TERHADAP PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI TANDAN PISANG KEPOK KUNING

Bab III Metodologi III.1 Waktu dan Tempat Penelitian III.2. Alat dan Bahan III.2.1. Alat III.2.2 Bahan

PROSES PEMBUATAN BIOPLASTIK BERBASIS PATI SORGUM DENGAN PENGISI BATANG SINGKONG

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

Metode Penelitian. 3.1 Alat dan Bahan Penelitian Daftar alat

4. Hasil dan Pembahasan

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK FARMASI PERCOBAAN I PERBEDAAN SENYAWA ORGANIK DAN ANORGANIK

Transkripsi:

ANALISIS TERMAL GRAVIMETRI UNTUK FILM PADUAN GELATIN KULIT IKAN PARI (Himanturra gerrardi) DAN KITOSAN CANGKANG UDANG WINDU (Peneaeus monodon) Abdul Halim*, Drs. Eko Santoso, M.Si 1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Penguapan air dan degradasi termal suatu bahan, seperti film paduan gelatin ikan pari dan kitosan udang windu, dapat dianalisis menggunakan termal gravimetri. Film dianalisa secara termal gravimetri dengan variasi konsentrasi paduan, yaitu GI 3% - Ch 3%, GI 3% - Ch 4%, dan GI 4% - Ch 3%. Film paduan tersebut ditambahkan bahan aditif seperti sorbitol dan gliserol sebagai plasticizer. Tahap penguapan air pada GI 3%-Ch 3%, GI 3%-Ch 4%, dan GI 4%-Ch 3% secara berurutan yaitu dimulai pada suhu 32,92 0 C; 32,27 0 C; dan 29,98 0 C. Sedangkan tahap degradasi termal pertama pada GI 3% - Ch 3%, GI 3%-Ch 4%, dan GI 4%-Ch 3% secara berurutan dimulai pada suhu 129,04 0 C; 138,82 0 C; dan 128,98 0 C. Tahap degradasi termal yang pertama ini merupakan degradasi sebagian molekul kitin yang belum terdeasetilasi. Tahap degradasi termal kedua pada GI 3% - Ch 3%, GI 3%-Ch 4%, dan GI 4%-Ch 3% secara berurutan dimulai pada suhu 255,24 0 C; 265,03 0 C; dan 261,94 0 C. Tahap degradasi kedua ini merupakan tahap degradasi cincin sakarida dan rantai polimer dari kitosan dan gelatin. Film paduan GI 3%-Ch 4% mempunyai titik degradasi termal yang lebih tinggi daripada film paduan GI 3%-Ch 3% dan GI 4%-Ch 3%. Key words : Film paduan gelatin-kitosan, analisis termal gravimetri, penguapan air, degradasi termal. 1. Pendahuluan Plastik konvensional yang terbuat dari petrolium, gas alam atau batu bara dianggap sebagai sumber pencemar lingkungan karena sulit terurai di alam selama berabad-abad. Berbagai penelitian dilakukan untuk mencari bahan alternatif pengganti material polimer sintetis dengan material polimer yang ramah lingkungan atau lazim disebut sebagai bahan biodegradable (Strickland, 2007). Plastik biodegradabel (bioplastik) dirancang mampu terdekomposisi di alam. Proses biodegradasi ini dilakukan oleh mikroba yang mampu memetabolisme secara alami struktur molekul film plastik menjadi monomer-monomer yang ramah lingkungan seperti bahan humus dan biogas. Bioplastik ini dibuat dari bahan terbarukan atau yang berbasis petrolium dengan kombinasi bahan aditif biodegradabel (Adam, S. dan Clark D, 2009). Salah satu plastik biodegradable (bioplastik) yang saat ini mengalami perkembangan cukup pesat adalah dari selulosa. Namun, juga ada beberapa riset yang meneliti plastik biodegradable dari protein hewan yaitu gelatin, dan dari polisakarida yaitu kitosan (Gennadios,1997; Tharanathan, 2003) *Corresponding Author Phone : +6285731856756 Email : abdul_hlm@chem.its.ac.id 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia FMIPA-ITS Surabaya Sebuah studi komparatif dari pembentukan film gelatin kulit sapi dan gelatin kulit ikan tuna dilakukan Gomez, et al, (2009) untuk mengetahui sifat fisik dan kimianya. Hasil studi menyebutkan sifat fisik keduanya (kelarutan air dan breaking force) tidak berpengaruh pada asal-usul gelatin. Begitu pula pada sifat termal keduanya. Kedua gelatin tersebut mempunyai sifat amorf dimana titik transisi gelasnya yang sama (Gomez- Estaca, J., et al, 2009). Ekstraksi gelatin dari kulit ikan pari juga sudah pernah dilakukan oleh Niniet (2010). Dari gelatin yang sudah diekstrak dengan variasi perendaman asam, didapatkan gelatin yang bertitik denaturasi paling tinggi dan total pengurangan massa yang rendah secara analisis termal gravimetri adalah gelatin yang dilarutkan dalam asam fosfat 4%. Akan tetapi, hasil ekstrak tersebut berbentuk serbuk yang diambil dari plat kaca setelah pemanasan, dan tidak dibentuk film. Selain itu, gelatin mempunyai beberapa kelemahan seperti sangat mudah menyerap air dari udara, sehingga sangat terbatas aplikasinya (Gomez, 2011). Oleh karena itu ada beberapa strategi untuk meningkatkan sifat fisik gelatin. Diantaranya yaitu dengan menggunakan perlakuan kimia atau enzimatis (Cao, 2007; Chiou et al., 2008; de Carvalho, 2004; Spanneberg et al., 2010; Zhang et al., 2010), hingga memadukan dengan polimer lain sebagai bahan komposit di film yang telah dibuat (Garcia, et al, 2004)

Selain gelatin, juga ada senyawa polisakarida yang dapat digunakan sebagai plastik biodegradable dan antimikroba. Yaitu senyawa kitosan yang berasal dari kitin. Kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli(2-amino-2- dioksi-β-d-glukosa) yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat (Helander, et al, 2001). Penelitian tentang perpaduan gelatin dan kitosan juga sudah pernah dilakukan oleh Arvanitoyannis, Nakayama, dan Aiba, (1998), Kolodziejska dan Piotrowska, (2007) serta Kolodziejska, Piotrowska, Bulge, dan Tylingo, (2006). Dan secara umum, penelitian perpaduan gelatin dan kitosan tersebut dapat memperbaiki sifat fisik dari masing-masing bahan dibanding sifat sebelum dipadukan (Gomez, 2011). Selain itu, Gomez (2011) juga melaporkan hasil penelitiannya terkait pengaruh asal-usul gelatin yang dipadukan dengan kitosan untuk mengetahui sifat fisik dan kimianya. Paduan tersebut dibentuk menjadi film diatas plat fleksiglass dengan variasi konsentrasi paduan. Gelatin yang dipadukan dengan kitosan adalah gelatin dari kulit sapi dan gelatin dari kulit ikan tuna. Hasil dari pemanasan yang berkelanjutan menyatakan bahwa interaksi paduan gelatin ikan tuna dan kitosan adalah yang paling kuat daripada paduan gelatin sapi dengan kitosan. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan gelatin ikan sebagai bahan untuk dipadukan dengan kitosan. Bahan perpaduan gelatin dan kitosan pada penelitian Gomez (2011) dijadikan film dengan beberapa variasi konsentrasi, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh terhadap sifat fisik dan kimianya. Salah satunyaa dalah sifat termal, yaitu kalorimetri. Namun pada penelitian tersebut tidak dibahas salah satu analisis sifat termal yang lain, yaitu analisis termal gravimetri. Padahal analisis secara termal gravimetri ini cukup penting, untuk mengetahui sifat degradasi termal dari paduan gelatin ikan dan kitosan dengan variasi konsentrasi yang sangat berpotensi untuk berbagai aplikasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang membahas salah satu analisis termal gravimetri dari suatu paduan gelatin ikan dan kitosan dengan variasi konsentrasi. Penelitian ini menggunakan bahan kulit ikan pari (Himanturra gerrardi) dan kitosan dari cangkang udang windu (Penaeus monodon) sebagai paduannya. Kulit Ikan Pari dipilih sebagai sumber gelatin karena luas kulit yang cukup lebar, sehingga diharapkan gelatin yang diperoleh maksimal. Selain itu, cangkang udang windu dipilih karena merupakan salah satu limbah dari perusahaan cold storage yang masih belum dimanfaatkan secara opimal.. 2. Metodologi 2.1 Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Pari 2.1.1 Persiapan Bahan Baku Ikan Pari segar dikuliti dan dibersihkan dari daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak yang masih menempel. Kulit kemudian dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Kulit bersih dimasukkan dalam kantong plastik dan ditutup rapat, kemudian disimpan dalam lemari pendingin untuk preparasi dan analisis gelatin berikutnya. 2.1.2 Preparasi Gelatin Kulit yang telah disimpan dalam lemari pendingin dicuci dengan air mengalir. Kulit kemudian direndam dengan air panas 60-700C selama 1-2 menit. Kulit lalu ditiriskan dan dipotong kecil-kecil kemudian dicuci dengan air mengalir. Kulit ditimbang ± 30 gram kemudian direndam dalam larutan asam, yaitu H3PO4 4%, Perendaman dilakukan selama 12 jam. Kulit yang telah direndam lalu ditimbang dan dicuci dengan air mengalir hinga ph menjadi netral (6-7). Kulit diekstrasi dalam waterbath pada suhu 60-700C selama 2 jam dengan perbandingan kulit : air = 1:2 Ekstrak disaring untuk menghilangkan kotoran, kemudian diukur filtrat yang diperoleh. Filtrat kemudian dimasukkan dalam lemari pendingin hingga membentuk gel. Gel lalu dioven dengan suhu 60oC selama 24 jam hingga terbentuk lapisan gelatin. Lapisan tipis gelatin yang diperoleh dimasukkan desikator sampai uap panasnya hilang kemudian ditimbang dan dikecilkan ukurannya untuk disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. 2.1.3 Analisis Gugus Fungsi Gelatin Ikan Pari Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi khas dari gelatin yang telah dipreparasi. Sampel gelatin yang digunakan ialah serbuk gelatin yang diperoleh melalui proses perendaman engan H 3 PO 4 4%. Spektra FTIR diperoleh dari kepingan yang berisi 1 mg sampel dalam 100 mg kalium bromida (KBr). Sampel dibaca dari range 4000-500 cm -1 2.2 Ekstraksi Kitin dan Perolehan Kitosan dari Cangkang Udang Windu 2.2.1 Ekstraksi Kitin - Preparasi Cangkang Udang Windu Cangkang udang windu kasar dicuci terlebih dahulu lalu dikeringkan dibawah sinar matahari langsung selama kurang lebih 4 jam, lalu cangkang udang windu yang telah kering dihancurkan (diballmil maupun diblender). Setelah hancur diayak dengan ukuran 100 mesh sampai diperoleh serbuk cangkang udang. - Deproteinasi Proses ini dilakukan pada suhu 60-70 C dengan menggunakan larutan NaOH 3,5% (w/w) dengan perbandingan serbuk cangkang udang dengan

NaOH = 1:10 (gr serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 2 jam. setelah itu dimasukkan ke dalam penangas es sampai seluruh endapan mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci menggunakan aquades sampai ph netral. Selanjutnya dikeringkan ke dalam oven vakum selama 4 jam pada suhu 100 o C. Lalu endapan kering tersebut diuji menggunakan ninhidrin untuk mengetahui bahwa di dalam endapan sudah tidak terkandung protein. - Demineralisasi Endapan yang terbentuk pada saat proses deproteinasi serbuk cangkang udang kemudian dicampur dengan larutan HCl 1N dengan perbandingan endapan dan larutan HCl1N sebesar 1:15 (w/v). Endapan yang telah dicampur dengan larutan HCl 1N kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer, setelah itu campuran dibiarkan mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Endapan kemudian dicuci menggunakan aquades sampai phnya menjadi netral. Endapan kemudian dikeringkan dalam oven selama 4 jam pada suhu 100 o C. Kemudian endapan dikarakterisasi menggunakan FTIR. 2.2.2 Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan Kitin yang telah dihasilkan pada proses diatas dimasukkan dalam perlengkapan refluks dengan larutan NaOH 50% (w/w) pada suhu 90-100 C sambil dialiri gas N 2 konstan selama 60 menit. Hasilnya berupa endapan disaring, endapan dicuci dengan aquadest sampai ph netral lalu dikeringkan. Maka terbentuklah kitosan. Kitosan yang terbentuk adalah kitosan standard sebelum dibuat film dengan gelatin 2.2.3 Analisis FTIR Kitin dan Kitosan Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi-gugus fungsi khas dari khitin dan khitosan yang telah dipreparasi. Cuplikan khitin yang digunakan ialah serbuk khitin setelah proses demineralisasi. Sedangkan cuplikan khitosan yang digunakan adalah serbuk khitosan yang diperoleh dari proses setelah deasetilasi cangkang udang. Spektra FTIR diperoleh dari kepingan yang berisi 1 mg sampel dalam 100 mg kalium bromida (KBr). Sampel dibaca dari range 4000-500 cm -1 dan ditentukan Derajat Deasetilasinya (DD). 2.3 Pembuatan Film Paduan Gelatin-Kitosan (GI-Ch) 2.3.1 Film Paduan GI 3% - Ch 3% Pembuatan larutan gelatin ikan 3% yaitu dengan cara melarutkan 3 gr gelatin ke dalam 100 ml aquades (GI 3%) dan 3 gr khitosan ke dalam 100 ml asam asetat 0, 15 M (Kh 3%). Selanjutnya, keduanya dicampurkan dan ditambah dengan campuran antara sorbitol dan gliserol sebanyak 0,15 gr per gram total dari campuran larutan polimer (gelatin dan/atau khitosan). Lalu larutan yang telah disiapkan tadi kemudian dibuat film dengan cara casting atau meletakkannya diatas plat kaca dan diratakan. Setelah itu plat kaca yang terdapat capuran larutan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o C selama 15 jam. Film kemudian diletakkan di dalam sedikator selama 3 hari. 2.3.2 Film Paduan GI 3% - Ch 4% Pembuatan larutan gelatin ikan 3% yaitu dengan cara melarutkan 3 gr gelatin ke dalam 100 ml aquades (GI 3%). Sedangkan pembuatan larutan kitosan dilakukan dengan cara melarutkan 4 gr khitosan ke dalam 100 ml asam asetat 0,15 M (Kh 4%). Selanjutnya, keduanya diampurkan lalu ditambah dengan campuran antara sorbitol dan gliserol sebanyak 0,15 gr per gram total dari campuran larutan polimer (gelatin dan/atau khitosan). Lalu larutan yang telah disiapkan tadi kemudian dibuat film dengan cara casting atau meletakkannya dia atas plat kaca dan diratakan. Setelah itu plat kaca yang terdapat capuran larutan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o C selama 15 jam. Film kemudian diletakkan di dalam desikator selama 3 hari. 2.3.3 Film Paduan GI 4% - Ch 3% Pembuatan larutan pembuat film (Film Forming Solution) dilakukan terlebih dahulu sebelum membuat film Pembuatan larutan GI dilakukan dengan cara melarutkan 4 gr gelatin ke dalam 100 ml aquades (GI 4%) dan 3 gr khitosan ke dalam 100 ml asam asetat 0, 15 M (Kh 3%). Selanjutnya, keduanya diampurkan lalu ditambah dengan campuran antara sorbitol dan gliserol sebanyak 0,15 gr per gram total dari campuran larutan polimer (gelatin dan/atau khitosan). Lalu larutan yang telah disiapkan tadi kemudian dibuat film dengan cara casting atau meletakkannya dia atas plat kaca dan diratakan. Setelah itu plat kaca yang terdapat capuran larutan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o C selama 15 jam. Film kemudian diletakkan di dalam desikator selama 3 hari. 2.4 Analisa Gugus Fungsi Film Paduan Gelatin Kulit Ikan Pari Kitosan Udang Windu Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi-gugus fungsi khas dari film gelatin kulit ikan pari (GI)-khitosan (Ch) yang telah dipreparasi. Cuplikan diperoleh dari film GI 4%-Ch 3%, GI 3%-Ch 4%, dan GI 3%-Ch 3%. Spektra FTIR diperoleh dari kepingan yang berisi 1 mg sampel dalam 100 mg kalium bromida (KBr). Sampel dibaca dari range 4000-500 cm -1.

2.5 Analisis Termal Gravimetri (TGA) Film Paduan Gelatin Kulit Ikan Pari Kitosan Cangkang Udang Windu Analisis termal gravimetri sampel menggunakan instrument TGA untuk mengetahui degradasi termal dari film paduan gelatin ikan pari dan khitosan, seperti sifat penurunan massa. Cuplikan diperoleh dari film GI 4%-Ch 3%, GI 3%-Ch 4%, dan GI 3%-Ch 3%. Tiap cuplikan ditimbang sekitar 20mg lalu dimasukkan ke tempat (pan) cuplikan. Suhu pemanasan disetting mulai 30 o C hingga 600 o C. 3. Hasil dan diskusi 3.1 Preparasi Gelatin Ikan Pari (Himanturra Gerrardi) 3.1.1 Proses Pengkulitan Ikan Pari Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan pari (Himanturra Gerrardi) seberat 16 kg, dengan panjang 85 cm serta lebarnya 105 cm dan sebagai bahan baku cadangan yaitu ikan pari (Himanturra Gerrardi) yang lebih kecil ukurannya dari ikan pari pertama. Ikan tersebut memiliki ciri tubuh berwarna coklat keabu-abuan, berekor panjang dan dilengkapi dengan duri penyengat, serta memiliki sepasang sirip dada yang melebar dan menyatu dengan sisi kiri-kanan kepalanya. Ikan pari diperoleh dari Pasar Ikan Pabean Surabaya. Proses berikutnya adalah mendapatkan kolagen beserta gelatin yang ada dikulit ikan pari. Ikan pari tersebut diambil kulitnya dan dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak yang masih menempel untuk diolah pada tahap selanjutnya. Kulit ikan kemudian dicuci dengan air mengalir hingga bersih dan dimasukkan dalam kantong plastik yang ditutup rapat untuk disimpan dalam freezer lemari pendingin. Penyimpanan dalam lemari pendingin ini berfungsi untuk menjaga kesegaran dan kualitas kulit sampai digunakan untuk perlakuan selanjutnya. Waktu maksimum penyimpanan ikan dalam lemari pendingin adalah kurang dari dua bulan (Yang, 2007). 3.1.2 Tahap Perendaman Kulit Ikan Pari (Himanturra Gerrardi) Kulit ikan pari yang sudah dikupas dan telah disimpan dalam lemari pendingin tersebut dicuci lagi dengan air mengalir lalu direndam dalam air panas bersuhu 60-70 0 C selama 1-2 menit. Pemanasan singkat ini ditujukan agar kulit ikan pari yang sempat membeku bisa kembali lagi seperti semula, sehingga memudahkan untuk proses berikutnya. Selanjutnya kulit tersebut dipotong kecil-kecil dengan ukuran kurang lebih 2 x 2 cm. Pemotongan kulit ikan pari ini ditujukan agar memperluas permukaan kulit sehingga dapat mengoptimalkan interaksi molekul-molekul kolagen dengan larutan pada saat perendaman maupun ekstraksi. Kulit ikan tersebut ditimbang sebanyak 30 gram lalu direndam dalam larutan H 3 PO 4 4% selama 12 jam. Fungsi perendaman asam ini untuk mengkonversi kolagen menjadi bentuk yang sesuai ekstraksi melalui interaksi io H + dari larutan asam format. Setelah direndam selama 12 jam, tampak sampel menjadi menggelembung, atau istilah lainnya swelling dan berwarna putih pucat. Swelling adalah penggembungan kulit ikan akibat adanya proton masuk dalam struktur kulit yang kehilangan mineral atau adanya ruang kosong yang terdapat di tropokolagen. Ion H + akan berinteraksi dengan gugus karboksil sehingga dapat mengacaukan ikatan intra dan antar molekul tropokolagen. Ion H + ini mampu mengacaukan ikatan intra dan antar molekul tropokolagen karena pada saat perendaman, ion ini mampu masuk ke sela-sela antar kepala tropokolagen yang mempunyai jarak. 3.1.3 Tahap Ekstraksi dan Pengeringan Gelatin Kulit ikan hasil perendaman dalam larutan asam ditiriskan dan dicuci dengan air mengalir sampai ph 6-7. Pencucian ini dilakukan pada ph 6-7 karena pada umumnya ph tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen protein non-kolagen pada kulit sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan (Hinterwaldner, 1977). Titik isoelektrik ialah ph pada saat peptida tidak bergerak dalam medan listrik (Lehninger, 1982), sehingga pada saat ekstraksi komponen non tersebut tidak ikut terekstrak dalam air. Perlakuan berikutnya yaitu ekstrak gelatin dari kulit ikan dengan menggunakan sistem waterbath dan suhu yang diberikan sekitar 60-70 0 C selama 2 jam. Perbandingan kulit dan air demineralisasi yang digunakan pada sistem ini yaitu 1:2. Menurut Fatimah (2006), selain perlakuan dengan asam, tropokolagen juga akan terdenaturasi oleh pemanasan. Dipilih suhu 60-70 0 C karena pada suhu 45 C serabut kolagen ikan sudah mengalami penyusutan, sedangkan pada 80ºC protein dapat terkoagulasi. Tahap ekstraksi ini menyebabkan molekul triple-helix kehilangan stabilitasnya dan akhirnya terurai menjadi 3 rantai-α. Rantai-α adalah rantai peptida helik yang bersifat putar kanan atau searah putaran jarum jam (Hart, 2003). Ekstraksi dengan air hangat akan melanjutkan perusakan ikatanikatan silang, untuk merusak ikatan hidrogen yang menjadi faktor penstabil struktur kolagen. Selama ekstraksi struktur tripel helik terdenaturasi menjadi rantai-rantai tunggal yang dapat larut air, atau polimer-polimer kecil atau fragmen (Karim, 2008). Selanjutnya, gelatin hasil ekstrak disaring untuk memperoleh filtrat yang jernih. Tampak pada botol yang berisi gelatin tersebut berwarna putih keabu-abuan. Setelah itu, gelatin disimpan

dalam lemari pendingin hingga terbentuk gel. Menurut Karem (2009), gelatin ikan dapat menjadi gel bila didinginkan pada suhu 7,1-18 C, tergantung dari jenis ikan yang digunakan sebagai sumber memperoleh gelatin. Setelah didinginkan, gelatin ditempatkan diudara terbuka untuk dianginanginkan dalam suhu ruang. Setelah beberapa jam kemudian, gelatin yang semula gel menjadi cair kembali seperti sebelum didinginkan. Proses ini dinamakan termoreversibel. Sebuah loyang dilapisi plastik yang cukup tebal disiapkan untuk proses pemanasan gelatin, untuk menjadi sebuah bentuk lembaran. Selanjutnya, gelatin dituang diatas loyang yang berlapiskan plastik tersebut. Lalu gelatin dipanaskan dalam oven dengan suhu 60 0 C selama 24 jam. Suhu tidak dibuat terlalu tinggi untuk menghindari denaturasi rantai polipeptida. Gelatin diangkat dari oven setelah 24 jam, tampak diatas loyang gelatin menjadi sebuah lembaran yang cukup kaku dan bersifat mudah patah. Perlakuan selanjutnya, gelatin dipotong sekitar 3x3 cm untuk memudahkan penyimpanan dan untuk proses berikutnya. Sebelum disimpan, gelatin ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui rendemennya. Untuk massa kulit ikan pari yang diekstrak gelatin kali kedua yaitu sebesar 80,2453 gram, dan menghasilkan gelatin sebanyak 8,5892 gram, yang berarti rendemen hasil ekstraksinya sebesar 10,7037%. Gelatin yang sudah kering disimpan dalam desikator untuk menghindari penambahan kadar air dan siap untuk dikarakterisasi menggunakan instrument FTIR. 3.1.4 Analisa Gugus Fungsi Gelatin Ikan Pari Instrumen FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi dari gelatin hasil ekstrak. Pembuatan pelet gelatin ikan yaitu dengan cara mencampurkan 1 mg gelatin murni dalam 99 mg halide anorganik, yaitu KBr. Lalu keduanya ditumbuk bersama dalam keramik, dan dicetak menggunakan wadah baja stainless steel dengan tekanan pompa hidrolik selama kurang lebih 13 kali pompa. Pada spektra FTIR 3.2, gelatin ikan pada umumnya, terdapat empat daerah yang lazim muncul, yaitu daerah amida A, amida I, II, dan III (J.H. Muyonga,, C.G.B. Cole, dan K.G. Duodu, 2004) serta ada pula penelitian yang melaporkan terdapat amida B pada gelatin ikan unicorn leatherjacket (Mehraj Ahmad, Soottawat Benjakul, 2010). Dan pada penelitian ini, spektra FTIR gelatin ikan pari hasil ekstrak dilaboratorium menunjukkan adanya lima daerah, yaitu amida A, amida B, amida I, II, dan III. Semua daerah tersebut menunjukkan gugus fungsi khas gelatin Gelatin pada umumnya berstruktur protein yang memilki struktur karbon, hidrogen, gugus hidroksil (OH), gugus karbonil (C=O), dan gugus amina (NH) (Sai, 2001) Spektra FTIR diatas telah dibagi menjadi empat bagian atau empat daerah serapan. Menurut Sai (2001), daerah serapan amida A berkisar antara 3580-3650 cm -1. Daerah ini merupakan daerah serapan yang paling kuat, dan memiliki puncak yang melebar atau broad di bilangan gelombang sekitar 3340 cm -1. Gugus yang berada pada daerah ini yaitu gugus OH dan strectching NH.. Pada umumnya, regangan NH diserap dengan bentuk puncak yang cukup tajam dan sempit. Namun regangan NH pada spektra diatas kurang terlihat jelas Hal ini bisa disebabkan jumlah gugus OH yang cukup dominan, sehingga puncak NH (baik sekunder, maupun primer) tertutupi oleh serapannya. Daerah serapan amida B pada spektra infra merah diatas juga merupakan gugus khas gelatin. Pada daerah serapan ini terdapat puncak yang berkisar di bilangan gelombang 2931cm -1. Puncak ini menunjukkan adanya serapan stretching NH yang cenderung berikatan dengan regangan CH 2. Ikatan ini terjadi apabila gugus karboksilat dalam keadaan stabil (Kemp, 1987) Gugus khas berikutnya adalah amida I. Pada daerah serapan amida I ini terdapat stretching C=O, bending ikatan NH dan stretching CN sehingga muncul puncak pada bilangan gelombang sekitar 1658 cm -1 (Muyonga, dkk., 2004). Pada spektra, puncak ini terlihat cukup tajam dan kuat serapannya. Amida II merupakan gugus khas berikutnya dari spektra FTIR gelatin ikan pada umumnya. Menurut Hashim, dkk, (2009), struktur α-helik pada amida II, berada pada bilangan gelombang sekitar 1550-1540 cm -1. Sedangkan pada spektra, struktur α-helik berada pada bilangan gelombang 1543 cm -1. Hal ini berarti bahwa terjadi deformasi ikatan N-H pada sampel tersebut yang berkisar 1543 cm -1. Untuk gugus khas gelatin yang terakhir, yaitu amida III. Menurut Hashim dkk (2009), daerah amida III merupakan daerah yang berhubungan dengan struktur triple heliks dari kolagen dan muncul pada bilangan gelombang sekitar 1240-670 cm -1. Pada spektra, terlihat puncak yang berada di amida III ini sebesar 1246 cm -1. Hal ini terjadi karena bisa jadi masih ada sedikit kolagen yang belum terkonversi dan tidak ikut tersaring. Jadi, dari kelima daerah gugus khas gelatin seperti yang ada di spektra menunjukkan bahwa gelatin hasil ekstrak dilaboratorium sudah layak untuk diproses selanjutnya. 3.2 Preparasi Kitosan 3.2.1 Pencucian dan Pengeringan Kulit Udang Windu (Peneaeus monodon) Cangkang udang windu (Penaeus monodon) yang telah dicuci dan dikeringkan

dibawah sinar matahari berfungsi untuk membersihkan sisa-sisa kotoran yang masih menempel di kulit udang. Setelah itu penghancuran cangkang dengan ayakan 100 mesh berfungsi untuk memperluas permukaan dari cangkang udang agar kitin yang diekstrak semakin banyak. 3.2.2 Deproteinasi Proses ini disebut sebagai proses penghilangan senyawa protein yang masih terkandung dalam kulit udang. Serbuk kulit udang yang di deproteinasi sebanyak 30,1474 gram. Larutan yang digunakan adalah basa kuat, yaitu NaOH 3,5 % dengan pemanasan 60-70 0 C sambil diaduk selama 2 jam untuk mempercepat reaksi. Larutan NaOH digunakan untuk melarutkan protein yang terkandung didalam kulit udang (Eka, 2007) Setelah diproses sebagaimana metodologi, hasil yang diperoleh diuji dengan ninhidrin untuk memastikan endapan atau cuplikan kulit udang sudah tidak terkandung protein. Ninhidrin mendeteksi protein dengan ditandai warna ungu pada cuplikan yang diuji. Dan hasilnya negatif, cupilkan tidak terdapat warna ungu pada saat diuji dengan ninhidrin. Hal ini berarti deproteinasi cukup berhasil. Rendemen yang dihasilkan berkisar antara 94% atau berat cuplikan setelah dikeringkan sebesar 28,3385 gram. 3.2.3 Demineralisasi Proses ini menggunakan larutan asam yaitu HCl 1 M untuk penghilangan kandungankandungan mineral yang ada pada serbuk kulit udang terdeproteinasi. Reaksi yang terjadi pada kalsium adalah sebagai berikut: CaCO 3 + 2 HCl CaCl 2 + H 2 CO 3 H 2 CO 3 CO 2 + H 2 O (Salami, 1998) Proses demineral ini menghasilkan gas CO 2 yang berarti bahwa HCl yang dibuat sebagai larutan telah bereaksi dengan garam mineral pada serbuk kulit udang. Massa endapan yang diperoleh setelah dikeringkan dalam oven sebesar 6,9871 gram. Hal ini berarti bahwa rendemen demineralisasi yang dihasilkan dari serbuk udang yaitu sekitar 24,655%. Serbuk udang hasil demineralisasi ini telah menjadi kitin. Kitin yang diperoleh dari rendemen diidentifikasi terlebih dahulu gugus fungsionalnya menggunakan instrumen FTIR. 3.2.4 Analisa Gugus Fungsi Kitin Spektra infra merah kitin pada gambar 4.7 menunjukkan adanya puncak pada 3549,79 cm -1. Puncak di serapan tersebut merupakan stretching gugus OH (Sastrohamidjojo, 2001). Puncak selanjutnya yaitu muncul pada serapan 2933,8 cm -1. Serapan ini menurut Hartomo dan Purba (1986), merupakan serapan gugus C-H dari alkana atau C- H sp 3.. Keberadaan gugus CH3 yang terikat pada amida (-NHCOCH3), didukung oleh adanya serapan pada bilangan gelombang 1474,69cm-1 (Hartomo dan Purba, 1986). Gambar 3.1 Spektra Infra Merah Kitin Menurut Williams dan Fleming (1987) serta Hartomo dan Purba (1986) bending NH amida berada pada daerah 1570-1515 cm -1. Serapan tersebut juga terdapat pada spektra diatas. Puncak dikisaran 1570-1515 cm -1 muncul di serapan 1561,97 cm -1. Hal ini menandakan bahwa kitin yag dianalisa mengandung gugus NH amida. Puncak berikutnya yaitu puncak yang terdapat pada serapan 1670,36 cm -1. Menurut Khopkar (1990) daerah serapan tersebut merupakan serapan gugus C=O amida. Begitu pula puncak pada serapan 1382,49 cm -1, dimana puncak ini merupakan bending dari OH. Gugus C-O terdapat pada daerah serapan fingerprint,yaitu sekitar 1250 cm -1. Pada spketra juga dilampirkan struktur kitosan (Alexandre T. Paulino, et al). Dengan demikian, kitin hasil ekstrak cukup layak untuk diproses berikutnya 3.2.5 Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan Deasetilasi kitin merupakan proses pengubahan gugus asetil yang ada pada kitin untuk menjadi senyawa turunannya, yaitu kitosan. Proses ini merubah gugus asetil (-NHCOCH 3 ) menjadi gugus amina (-NH 2 ) dengan mereaksikan kitin dan NaOH 50% memakai perbandingan 1:10 (w/v) di kondisi yang inert. Pada dasarnya, reaksi deasetilasi adalah suatu reaksi hidrolisis amida dari β-(1-4)-2- asetamida-2-deoksi-d-glukosa dengan NaOH. Setelah dikeringkan, hasil deasetilasi berbentuk serbuk berwarna putih kecoklatan. Massa kitosan yang didapat seberat 3,4208 gram dan rendemen yang diperoleh dari deasetilasi ini sebesar 48,96%. Dan jika dihitung dari bahan awal diperoleh rendemen sekitar 11,34%. 3.2.6 Analisis Gugus Fungsi Kitosan dan Derajat Deasetilasi Setelah proses deasetilasi, kitosan perlu dikarakterisasi gugus fungsinya untuk mengetahui derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi sangat

penting untuk dihitung karena hal ini menentukan berhasil tidaknya atau banyak sedikitnya jumlah kitin yang telah diturunkan menjadi kitosan. Pada umumnya derajat deasetilasi minimal 70% untuk bisa dimanfaatkan berbagai aplikasi (Tsugita, 1997). Pada spektra di gambar 3.3, puncak di serapan 3436cm -1 merupakan adanya stretch OH yang melebar. Adanya puncak gugus hidroksi yang melebar ini mengakibatkan gugus NH amida primer tertutupi. Oleh karena itu, gugus NH amina primer yang harusnya keluar sekitar 3500 cm -1 menjadi tidak tampak (Khopkar, 1990). Puncak selanjutnya berada pada serapan 2919,59 cm -1. Menurut Abe (1972), puncak ini bisa disebabkan oleh strectch CH 2 -. Sehingga spektra tersebut mengindikasikan adanya stretch CH 2 - pada kitosan. Gugus berikutnya, yang terdeteksi di serapan 1633,05 cm -1, menunjukkan adanya keberadaan amina primer (-NH 2 ). Hal ini menurut Silverstein (1967) merupakan gugus khas dari kitosan. Namun pada serapan tersebut agak rancu, karena mendekati serapan karbonil dari amida (CONH 2 ). Hal ini berarti kitin yang masih terkandung dalam kitosan, terdeteksi gugus karbonilnya pada serapan tersebut. Sedangkan pada serapan 1373,61 cm -1 dan 1080,4cm -1 merupakan serapan bending CH 2 - dan stretching C-O-C pada kitosan. Serapan-serapan ini sebagai data penguat setelah data serapan khas gelatin (Gyliene dkk., 2003). Dari hasil spektra infra merah dan gambar struktur molekul kitosan diatas spektra (Alexandre T. Paulino, et al), maka dapat disimpulkan sementara bahwa kitosan hasil ekstrak udang windu layak untuk proses berikutnya. Namun untuk lebih mengetahui secara kualitatif presentase kitin yang telah berubah menjadi kitosan, maka dihitung derajat deasetilasinya (DD). Dengan menggunakan metode baseline yang dirumuskan oleh Baxter (Khan et al, 2002), perhitungan telah dijelaskan dalam lampiran. DD yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu sebesar 57 %. 3.3 Pembentukan Film Paduan GI 3%-Ch 3%, GI 3%-Ch 4%, dan GI 4%-Ch 3% Secara umum, pembuatan film gelatinkitosan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat fisik dan kimia dari kedua bahan asalnya. Namun untuk penelitian kali ini, perubahan termal gravimetrinya saja yang akan dibahas, selain gugus fungsi yang terkandung didalam film gelatin kitosan. Sorbitol dan gliserol yang ditambahkan pada film berfungsi sebagai plasticizer. Hal ini dikarenakan molekul plasticizer dapat mengurangi interaksi antar molekul gelatin dan kitosan, dan juga dapat meningkatkan fleksibilitas pada film (J.Gómez-Estaca, et al, 2011). Pembentukan film dari kedua larutan ini sebelumnya dilarutkan ke dalam masing-masing pelarut. Gelatin dilarutkan dalam aqua demineralisasi dan kitosan dilarutkan dalam asam asetat 0,15 M. Salah satu dasar asam asetat dijadikan pelarut kitosan karena kitosan memiliki gugus-gugus amino dan hidroksil yang menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas yang tinggi. Ketika kitosan dilarutkan kedalam asam, amina primer pada molekul kitosan menjadi terprotonasi dan memperoleh muatan positif, karena itu molekul kitosan yang terlarut adalah polikationik. Sedangkan dasar kitosan tidak larut dalam basa (alkali), karena pengaruh gugus amina (Kim, S.Y., Cho, S.M., Lee, Y.M. and Kim, S.J., 2000). Film yang terbentuk agak berwarna coklat dan bening serta sedikit berbau. Begitu pula untuk film paduan lainnya. Dengan presentase kitosan atau gelatin yang lebih pekat, bisa jadi sifat termal film gravimetrinya berbeda dengan film sebelumnya. Biasanya film yang terbentuk agak lengket dengan plat kaca, hal ini dikarenakan sifat adesi dari bahan cukup besar. 3.4 Analisis Film Paduan GI-Ch 3.4.1 Analisis Gugus Fungsi Gambar 3.2 Spektra Spektra infra merah dari gelatin ikan, kitosan dan paduan film GI-Ch dengan prosentase 3%-3%; 3%-4%; serta 4%-3% Secara umum, gugus fungsi khas gelatin dan kitosan hampir sama dan dapat dibuktikan dengan spektra pada gambar 4.13. Meski kedua bahan tersebut mempunyai gugus amida, stretch OH dan gugus lainnya, namun pada spektra penggabungan keduanya terlihat ada sedikit perbedaan di daerah serapan 1500 cm -1. Pada spektra gelatin muncul puncak didaerah 1500 cm -1 tersebut, namun pada spektra kitosan tidak muncul. Hal ini disebabkan karena tidak adanya bending NH yang berpasangan dengan stretching CN pada kitosan (Jackson, 1995). Selain daerah serapan 1500 cm -1 dari gelatin yang mempengaruhi film paduan GI-Ch, ada juga serapan yang tidak muncul puncak atau sangat kecil jika dibandingkan dengan serapan gelatin. Serapan tersebut berada pada 1250 cm -1 yang

berarti bahwa stretch C-O pada film paduan GI-Ch sangat kecil. 3.4.2 Analisis Termal 3.4.2.1 Gelatin Ikan Pari (Himaturra gerrardi) massa yang hilang akibat penguapan air pada kitosan terjadi pada suhu sekitar 60 0 C (Al Sagheer F.A, et al, 2009). Fakta ini menunjukkan kandungan air dalam kitosan yang diekstrak, cukup sesuai dengan penelitian sebelumnya. Setelah mengalami proses penguapan air, massa kitosan cukup lama mengalami kekonstanan. Lalu pada suhu sekitar 153 0 C, massa berkurang cukup drastis hingga 20% dari tahap sebelumnya. Pada tahap ini terjadi proses degradasi termal kitosan. Degradasi tersebut merupakan degradasi molekul polimer menjadi monomer-monomer kitosan. Molekul yang terdegradasi telah dijelaskan oleh Paulino, et al (2006). Gambar 3.3 Kurva TGA Gelatin Ikan Pari (Himanturra Gerrardi) Kurva Thermal Gravimetry Analysis (TGA) dari gelatin ikan dapat dilihat pada gambar 4.14. Analisis termal ini dijalankan dengan kecepatan pemanasan 10 0 C/menit. Pada kurva tersebut mengandung informasi bahwa tahap penguapan air dimulai dari suhu awal terjadinya pengurangan massa. Tahap ini merupakan tahap penguapan air yang teradsorb pada film gelatin (Hoque, et al, 2011). Tahap penguapan air pada gelatin ikan ini dimulai pada suhu kisaran 33 0 C sampai pada suhu sekitar 161 0 C. Dan presentase berat yang hilang sekitar 9,29%. Suhu penguapan sangat tinggi dikarenakan massa air dalam gelatin cukup besar. Setelah tahap pengurangan massa gelatin karena penguapan air ini selesai. Massa gelatin ikan mengalami sedikit kekonstanan. Namun proses itu hanya sebentar. Pada suhu sekitar 161 0 C sampai 293,12 0 C terjadi pengurangan massa yang cukup signifikan. Massa yang berkurang sampai 29,59% dari tahap sebelumnya. Pengurangan massa ini terjadi karena degradasi termal polimer gelatin, dan terdegradasi menjadi monomer-monomernya. Khususnya molekul protein yang terdenaturasi akibat pemanasan yang berkelanjutan diatas titik lelehnya (Niniet, 2010). Sedangkan range suhu setelah 293,12 0 C sampai 600 0 C merupakan tahap yang ketiga, seperti pada penelitian Hoque (2011). Tahap ini merupakan tahap degradasi termal dari protein-protein yang masih tersisa pada gelatin. 3.4.2.2 Kitosan Cangkang Udang Windu Kurva 4.14 menunjukkan sifat termal dari kitosan menggunakan instrument TGA. Pada suhu 57,5 0 C tampak mulainya pengurangan massa. Pada range suhu ini merupakan tahap pengurangan air. Prosentase massa yang hilang akibat penguapan air ini sebesar 5,7%. Pada penelitian sebelumnya, Gambar 3.4 Kurva TGA Kitosan dari cangkang udang windu (Panedeus Monodon) Pada range suhu tersebut merupakan degradasi termal dari sebagian molekul kitosan yang terdeasetilasi atau molekul-molekul yang masih mengandung gugus asetil. Tahap selanjutnya merupakan tahap degradasi kedua yang memasuki suhu 239 0 C hingga 600 0 C. Tahap ini merupakan tahap degradasi termal dari cincin sakarida dan rantai polimer, serta dekomposisi dari unit yang masih terdapat gugus asetil dan unit yang sudah tidak terdapat gugus asetilnya (Paulino, 2006),. Prosentase massa yang hilang akibat degradasi tersebut sebesar 28,31% dari tahap sebelumnya. 3.4.2.3 Film Paduan GI 3%-Ch 3% Penurunan massa film paduan GI 3%-Ch 3% terjadi pertama kali pada suhu sekitar 32 0 C hingga 129 0 C. Penurunan massa ini merupakan pertanda penguapan air yang berlangsung pada film tersebut. Penguapan air pada suhu yang cukup besar (>100 0 C) dapat disebabkan adanya air yang terjebak pada kedua bahan yang dipadukan. Prosentase massa yang berkurang pada gambar 4.16 terjadi penguapan air sebesar 3,08%. Hal ini berarti kandungan air yang terdapat dalam film ini sebesar 3,08%. Tahap berikutnya, yaitu

tahap degradasi termal dari film paduan. Degradasi termal dimulai pada suhu sekitar 129,04 0 C hingga 255 0 C. Degradasi ini menyebabkan turunnya massa hingga 24,01% dari tahap sebelumnya. Tahap degradasi termal ini juga biasa disebut dengan dekomposisi termal (Paulino, 2006). kitosan, dan juga protein dari gelatin yang terdenaturasi. Tahap ketiga, yaitu tahap degradasi termal berikutnya terjadi pada suhu sekitar 265 0 C. Tahap ini merupakan tahap degradasi molekulmolekul kitosan dan gelatin yang masih belum sepenuhnya terdegradasi ditahap sebelumnya. 3.4.2.5 Film Paduan GI 4%-Ch 3% Gambar 3.5 Kurva TGA Film Paduan GI 3%- Ch3% 3.4.2.4 Film Paduan GI 3%-Ch 4% Gambar 3.6 Kurva TGA Film Paduan GI 3%-Ch 4% Pada kurva 4.17 tampak suhu penguapan air dan degradasi termal dari GI 3%-Ch 4%. Range suhu penguapan air dimulai pada suhu 32,27 0 C hingga 138 0 C. Prosentase massa yang menurun akibat penguapan ini hingga 7,5%. Pada tahap ini kurang terlihat penurunan massanya karena bisa disebabkan oleh proses penguapan yang langsung masuk ke tahap degradasi termal. Kurva menunjukkan sedikit massa yang konstan setelah tahap pertama. Tahap degradasi termal pada film ini terjadi pada suhu sekitar 138,82 0 C hingga 265 0 C dengan prosentase massa yang habis sekitar 29,76% dari tahap pertama. Molekul-molekul yang terdegradasi yaitu molekul-molekul sakarida dari Gambar 3.7 Kurva TGA Film Paduan GI 4%-Ch 3% Kurva pada gambar 4.18 merupakan kurva termal gravimetric dari GI 4% - Ch 3%. Tahap penguapan air pada film GI 4% - Ch 3% berlangsung dari suhu sekitar 29,98 0 C hingga 126 0 C. Prosentase massa yang menurun akibat penguapan ini sebesar 4,78%. Berbeda dari film sebelumnya, suhu akhir penguapan air film ini cenderung lebih kecil. Hal ini bisa disebabkan jumlah air yang terkandung dalam paduan GI 4%- Ch 3% cukup sedikit. Tahap berikutnya yaitu tahap degradasi termal yang terjadi mulai suhu 128,98 0 C hingga 261 0 C. Degradasi ini terjadi penurunan massa sebesar 30,5% dari tahap sebelumnya. Sama seperti film paduan GI 3% - Ch 3% dan GI 3% - Ch 4%, degradasi termal pada film ini juga terjadi pada sebagian molekul kitin yang belum terdeasetilasi dan molekul sekitarnya, serta terjadi denaturasi pada gelatin. 3.5 Tren Kurva TGA dari Gelatin Ikan, Kitosan, dan Film Paduan GI-Ch Tren yang tampak pada kurva di gambar 4.19 menunjukkan adanya perbedaan titik awal penguapan air dan degradasi termal dari gelatin, kitosan, dan paduan GI 3% - Ch 3%, GI 3% - Ch 4%, dan GI 4% - Ch 3%. Kurva TGA khitosan merupakan kurva yang paling cepat mengalami penguapan air, sedangkan kurva lainnya tidak demikian. Hal ini bisa disebabkan karena kitosan lebih sedikit mengandung air daripada gelatin dan film paduan lainnya. Kurva tersebut juga

menunjukkan tren degradasi termal yang berbeda pula. Kurva gelatin ikan menunjukkan adanya pengurangan massa yang lebih tinggi suhunya daripada kitosan dan film paduan GI-Ch. Kurva kitosan dan film paduan ketiganya terjadi penurunan massa di suhu sekitar 120-150 0 C, akan tetapi penurunan massa gelatin tidak terjadi pada suhu tersebut, melainkan terjadi penurunan massa di suhu sekitar mulai terjadi pengurangan massa di suhu 160 0 C. Hal ini bisa dikarenakan struktur gelatin yang cukup kompleks membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memulai terdegradasi. Sedangkan tren presentase tahap penguapan air dan degradasi termal menunjukkan adanya kurva dari salah satu paduan yang lebih tinggi daripada yang lainnya Gambar 3.8 Tren Kurva TGA Gelatin, Kitosan, dan Film Paduan GI-Ch 3%-3%; 3%-4%; dan 4%-3% Kurva yang lebih tinggi pada degradasi termal pertama dan kedua yaitu terjadi pada kurva film paduan GI 3%-Ch 4%. Fakta ini bisa diamati pada tabel 4.3. Pada film paduan ketiganya, yaitu GI 3% - Ch 3%, GI 3% - Ch 4%, dan GI 4% - Ch 3% mempunyai titik awal penguapan air dan degradasi termal yang berbeda-beda. Dan tentunya analisis termal gravimetrinya berbeda pula Tabel 3.1 Spesifikasi Titik Awal Penguapan Air dan Degradasi Termal I dan II serta Prosentase Massa yang berkurang pada Film Paduan Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penel Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini: 1. Film paduan GI 3% - Ch 4% lebih tinggi titik akhir degradasi termalnya dibanding GI 3% - Ch 3% maupun GI 4% - Ch 3%. 2. Pengaruh variasi konsentrasi secara analisis termal gravimetri yaitu konsentrasi kitosan yang lebih besar dari gelatin didapatkan titik awal degradasi termal yang paling tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang telah memberikan sebaik-baik nikmat dan rahmat 2. Orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya baik berupa material maupun spiritual 3. Bapak Drs. Eko Santoso, M.Si selaku dosen pembimbing pertama 4. Bapak Lukman Atmaja, Ph.D, selaku dosen pembimbing kedua 5. Team MEWAH atas segala kerjasamanya 6. Pihak lain yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung DAFTAR PUSTAKA Abe, Y., dan Krimm, S, (1972), Normal Vibration of Crystalline Polyglycine I, Biopolymer, 11. 1817-1839 Adam, S. dan Clark, D., (2009), Landfill Biodegradation An in-depth Look at Biodegradation in Landfill Environments, Bio-tec Environmental, Albuquerque & ENSO Bottles, LLC, Phoenix, hal. 9-11. Alexandre T. Paulino, Julliana I. Simionato, Juliana C. Garcia, Jorge Nozaki, (2006), Characterization of chitosan and chitin produced from silkworm crysalides, Carbohydrate Polymers, vol. 64 hal. 98 103 Baily, A.J, dan N.D. Light, (1989), Genes, Biosynthesis and Degradation of Collagenin Connetive tissue in Meat and Meat Products, London: Elsevier Applied Science. Balley, J.E., and Ollis, D.F., (1977), Biochemical Engineering Fundamental, Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo Bassler G. C., Morril T. C., (1981), Spectrometric Identification of Organic Compounds, John Willey and Sons Inc. Che, Pei-Ru, Kang, Pei-Lu, Su, Wen-Yu, Lin, Feng-Huei, dan Chena, Ming-Hong. (2005), The Evaluation of Thermal Properties and In Vitro Test of Carbodiimide or Glutaraldehyde Croos-

Linked Gelatin for PC 12 Cells Culture, Journal Biomedical Engeneering- Aplication, Basis & Communication Vol. 17, No. 2, hal 101-107. Choi, S.S., dan J.M. Regenstein, (2000), Physicochemical and Sensory Characteristics of Fish Gelatine, Journal of Food Science vol. 65, hal. 194-199. Eka, Rahmawati, (2007), Pemanfaatan Kitosan Hasil Deasetilasi Kitin Cangkang Bekicot sebagai Adsorben Zat Warna Remazol Yellow, FMIPA UNS, Surakarta Ewing, Galen, (1988), Instrumental Methods of Chemicals Analysis, Fifth Edition, New York: McGraw-Hill Book Company. Fatimah, T., (1996), Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Basa terhadap Sifat Fisikokimia Gelatin yang Dihasilkan, Jurusan Kimia FMIPA-IPB, Bogor F.A. Al Sagheer a, M.A. Al-Sughayer b, S. Muslim a, M.Z. Elsabee, (2009), Extraction and characterization of chitin and chitosan from marine sources in Arabian Gulf, Carbohydrate Polymers vol. 77 ; page 410 419 Gόmez-Guillén, M. C., dan Montero, P, (2001), Extraction of Gelatin from Megrim (Lepidorhombus boscii) Skins with Several Organic Acids, Journal of Food Science 66, 2: 213 216 Grossman, S. dan Bergman, M., (1991), Process for The Production of Gelatin from Fish Skin, European Paten Application Gyliene, O, Razmute, I, Tarozaite, R dan Nivinskiene, O. (2003), Chemical Composition and Sorption Properties of chitosan Produced from Fly larva Shells, Chemija (Vilnius), T.14 Nr.3: 121-127 Hanafi, M., Syahrul A., Efrina D., dan B. Suwandi,, (1999), Pemanfaatan Kulit Udang untuk Pembuatan Kitosan dan Glukosamin, LIPI Kawasan PUSPITEK, Serpong Hardaning, Pranamuda, (2009), Pengembangan Bahan Plastik Biodegradabel Berbahan Baku Pati Tropis, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta. Weblog Biology Resources on Shantybio. Hart, H., (2003), Kimia Organik edisi kesebelas, Jakarta : Erlangga Hargono, Abdullah dan Indro Sumantri, (2008), Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta aplikasinya dalam Mereduksi Kolestrol Lemak Kambing, Jurnal Kimia Universitas Diponegoro, Vol.12; 53-57 Hartomo A. J. dan Purba A. V., (1986), Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, Edisi keempat. Erlangga. Jakarta. Terjemahan : Silverstein R.M.,